Pendahuluan
Pneumonia nasokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) merupakan
salah satu infeksi nasokomial yang paling sering terjadi yang didapat saat menjalani
rawat inap di rumah sakit. (1). Di Amerika serikat, HAP menduduki peringkat ke-2
tersering dari seluruh infeksi nosokomial pada pasien anak yang dirawat di Pediatric
intensive care unit ( PICU ). (2) (3) hal ini berhubungan dengan peningkatan angka
kesakitan, kematian dan biaya perawatan dirumah sakit. (3)
Insiden HAP bervariasi antara 16-29 % dari pasien anak yang dirawat di
rumah sakit sedang kejadian HAP sekitar 10-15 % dari seluruh infeksi nasokomial
pada anak. HAP merupakan infeksi nosokomial yang mengancam nyawa dengan
angka kematian berkisar 20% hingga 70% sesuai dengan organisme dan penyaki
yang mendasarinya (2)
Di Indonesia, angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial pada
anak tidak diketahui dengan pasti disebabkan antara lain tidak terdapat data nasional
dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah
serta angkanya sangat bervariasi. (3)
Pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas sebab pasien
yang terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial rentan terhadap mikroorganisme
yang berbeda dengan pneumonia komunitas dan kemungkinan besar resisten berbagai
antibiotik.
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk menjelaskan secara ringkas
mengenai Hospital acquired pneumonia pada anak
Definisi
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam
dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk
rumah sakit. Sedangkan Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang
terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal. (3)
1
Etiologi
Klasifikasi
Berdasarkan onset terjadinya pneumonia nosokomial dibedakan menjadi dua yaitu
pneumonia nosokomial onset awal dan pneumonia nosokomial onset lanjut. Pneumonia
nosokomial onset awal adalah pneumonia yang terjadi sebelum hari ke lima rawat inap
sedangkan Pneumonia nosokomial onset lanjut terjadi pada hari rawat kelima atau lebih.
(1)
Patogenesa
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia
komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah.
Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah
yaitu :
1. Aspirasi
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko
mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar
berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan
pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan
inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan
faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia
nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan
flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-
bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia. (3)
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)
• Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
• Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari
• Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut
• Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi (3)
3
Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah
sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
• Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
o
• Ditambah 2 diantara kriteria berikut: - suhu tubuh > 38 C
- sekret purulen
- leukositosis
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS
1. Dirawat di ruang rawat intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 %
Terapi antibiotik
Pemberian awal terapi empiris untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas
nasokomial pneumonia. Terapi empiris sebaiknya yang peka terhadao semua kuman
patogen terutama kuman setempat. Beberapa faktor penting penggunaan antibakteri
pada pasien nasokomial pneumonia seperti beratnya penyakti, waktu onset
nasokomial pneumonia, penggunakan ventilator, penyakit-penyakit dasar,
penggunaan antibiotik sebelumnya
Rekomendasi untuk terapi empiris tergantung dari data epidemiologis dan kepekaan
mikroorganisme di daerah tersebut. Song dan Asian HAP Working Group (2008)
menyatakan bahwa kejadian pneumonia nosokomial lebih sering ditemukan di negara-
negara Asia dibandingkan di negara maju, hal ini berkaitan dengan prevalensi
4
mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik, sehingga strategi penatalaksanaan
pneumonia nosokomial dengan pendekatan sebagai berikut:
2.1.9.1 Terapi empiris pada pneumonia nosokomial
Pendekatan terhadap terapi empiris membagi pasien ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal dan kelompok dengan pneumonia
nosokomial onset lanjut. Kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal tidak
berisiko terhadap mikroorganisme resisten berbagai antibiotik sehingga tidak
memerlukan terapi antibiotik spektrum luas, sedangkan kelompok dengan pneumonia
nosokomial onset lanjut berisiko terinfeksi mikroorganisme yang resisten terhadap
berbagai antibiotik dan berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan
kematian. Terapi antibiotik empiris dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal
seperti pola kepekaan kuman, ketersediaan antibiotik dan biaya yang dikeluarkan (Song
dan Asian HAP Working Group, 2008).
Terapi empiris dengan linezolid atau glycopeptide tidak direkomendasikan sebab pada
sekitar 20% pasien pneumonia nosokomial onset lanjut disebabkan oleh Acinetobacter
spp. sehingga penggunaan antibiotik yang secara langsung melawan mikroorganisme ini
akan meningkatkan munculnya Staphylococcus aureus atau Enterococcus spp. yang
resisten terhadap vancomycin. Jika mikroorganisme penyebab adalah Acinetobacter
spp. maka pemilihan antibiot
Lama terapi
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi
gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari
bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka
lama terapi 14 – 21 hari. (3)
5
RESPONS TERAPI
Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian
antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah
memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi
bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka
modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis
berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti
pola resisten, virulensi dan keadaan lain).
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan
sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil
mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau
infeksi persisten.
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan
klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan
antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu
menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi
klinis pasien perlu diwaspadai. (3)
Penyebab Perburukan
Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-
kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu
pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung,
emboli paru dengan infark, kontusio paru , pneumonia aspirasi akibat bahan kimia
diterapi sebagai HAP.
6
disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen
yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik.
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses
paru dan empiema. Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain
yang bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis
dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal
seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel. (3)
7
Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit
melalui selang makanan ke usus halus
3. Pencegahan inokulasi eksogen
Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar,
untuk menghindari infeksi silang
Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien
misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll
Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur
Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi
Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya
selang makanan , jarum infus dll
4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien
Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi
Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya
Mobilisasi sedini mungkin (3)
Bibliography
1. Hospital -Acquired pneumonia : pathophysiology, diagnosis and treatment. Alicia N.
Kieninger, Pamela A. Lipsett. s.l. : Surg Clin N Am, 2009, Vol. 89. 439–461.
6. Palungan, aman B. Diabetes pada anak dan remaja. [pengar. buku] Yazid Dimyati, Siska
Mayasari Lubis, Hendri Wijaya Muhammda Ali. Pendekatan diagnostik dan tatalaksana
endokrinologi anak dan masalah kesehatan remaja. Medan : USU press, 2014, Vol. 15.
7. The epidemiology and pathogenesis of type 1 diabetes mellitus in Africa. Padoa CJ, PhD. 3,
s.l. : JEMDSA, 2011, Vol. 16. 130-136.
8. Jose RI, batubara bambang Tridjaja AAP, Aman B Pulungan. Diabetes Mellitus. [pengar.
buku] Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N Rustama DS. Buku Ajar
Endokrinologi anak IDAI. Jakarta : Sagung Seto 124-161, 201O, Vol. 21.
9. MA, Sperling. diabetes mellitus tipe I. [pengar. buku] kliegman,arvin behrman. Nelson
text book pediatric. pennsylvania : Saounders company. hal 20010-1, 2000.
DAFTAR PUSTAKA