GEOLOGI INDONESIA
‘’POLA TEKTONIK PULAU SUMATERA’’
Oleh:
Dalfa Fatihatussalimah (H1F012008)
Satrio Budi Harjo (H1F012009)
Erzandy Eka Putra (H1F012010)
Dwi Luthfiyah Nur (H1F012012)
Shisil Fitriana (H1F012013)
Enggar Shafira Agriska (H1F012015)
Heru Dwi Saputra (H1F012016)
Cek u n gan D ep an - B u s u r
Rangkaian pulau-pulau yang berada di sebelah barat P.Sumatra, yang
dikenal sebagai busur “non-volkanik”, merupakan titik keseimbangan antara
pengangkatan yang diakibatkan oleh pergeseran (akrasi) jalur subdiksi, dan gejala
penurunan, yang sebagian besar disebabkan oleh pembebanan pada bagian
lempeng yang menyusup.
Sebelah timur dari P. Nias, atau pulau-pulau lainnya yang tergabung sebagai
“batas pemisah palung”, berada dalam keadaan mantap atau menurun. Jalur
menurun yang berada pada lereng sebelah timur “jalur pemisah” itu merupakan
bagian dari sistim “Palung-Busur” yang dinamakan Cekungan depan-busur.
Namun di busur SUNDA ini, KARIG cenderung untuk menganggap
me’lange sebagai dasar cekungan muka-busur. Sebagai alasan adalah : seandainya
benar, seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa gejala penyusupan itu
berlanjut sejak Kapur, maka bahan yang bergeser selama jaman Tersier bawah
seharusnya berada disisi P. Sumatra, meskipun mengalami pergeseran atau
penyesuaian melalui sesar mendatar
Cek u n gan b el ak an g b u s u r.
S trati graf i
C ekun gan - ce kun gan Ter s i e r m en em p at i ba gi an s ebel ah t i m ur
pul au S um at r a. S el u ruhn ya t e rdi ri da ri :
C ekun gan S um at ra Ut ar a,
C ekun gan S um at ra T en ga h,
C ekun gan S um at ra S el at an
Pengendapan dalam cekungan ini diawali dengan endapan darat pada jaman
Eosen. Oligosen awal dengan diwakili oleh pasir kasar, kerakal dan tufa.
Sedimen-sedimen tersebut diendapkan sebagai kipas-kipas aluvial, sungai bersirat
dan “pledmont” (endapan lereng-lereng), diatas batuan pra-Tersier.Satuan batuan
ini sekarang tersimpan dalam bentuk-bentuk “amblesan” atau “graben-graben”
sebagai Formasi Lahat
Gam bar 2.5 L i t ol ogi For mas i L a pi s an di Sumat r a S el a t an
Gambar 2.6 Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan
sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE.
Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar
bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari
cekungan yaitu Formasi Lahat.
Gambar 2.7 Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid
Model (Pulonggono dkk, 1992).
Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar,
Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi
Muara Enim.
Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen
menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim
telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun
diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan
perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri
pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar 2.8 Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).
Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi
oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh
keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik
ketebalan sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer
(Hamilton, 1979). Sejarah tektoik Pulau Sumatra berhubungan erat dengan
dimulainya peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia
Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan rangkaian
perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan
perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang
terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter/tahun menurun menjaedi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja,
1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan sampai sekitar 76 milimeter/
tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini pada akhirnya
mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar sebelah timur India.
Keadaan Pulau Sumatra menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat
proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-
tension) Paleosoikum Tektonik Sumatra menjadikan tatanan Tektonik Sumatra
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatra, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
a. Bagian Selatan Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra menunjukkan sebuah pola geser kanan en echelon dan
terletak pada 100-135 kilometer di atas penunjaman.
2. Lokasi gunung api umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar.
3. Cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan ke dalaman 1-2
kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama.
4. Punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal
dan berbentuk sederhana.
5. Sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan
busur muka dan cekungan busur muka relatif utuh.
6. Sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
b. Bagian Utara Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125-140
kilometer dari garis penunjaman.
2. Busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatra.
3. Kedalaman cekungan busur muka 1-2 kilometer.
4. Punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat
beragam.
5. Homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama
dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya.
6. Sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.
c. Bagian Tengah Pulau Sumatra memberikan kenampakan tektonik:
1. Sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatra menunjukkan
posisi memotong arah penunjaman.
2. Busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatra.
3. Topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2-0.6 kilometer,
dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring
4. Busur luar terpecah-pecah.
5. Homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan
cekungan busur muka tercabik-cabik.
6. Sudut kemiringan penunjaman beragam.
1. Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan
Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan
batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum
tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan
Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan
Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit
yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk.,
1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan
kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat
pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain
kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan
yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini
berarti Granit mengintrusi batuan filit.
2. Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan
dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari
konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan
batupasir kuarsa. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenaipetroleum
system dari formasi lahat.
3. Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi
terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada
lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi
Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan
secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari
batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya
berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang
Akar berkisar antara 400 m – 850 m. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari formasi Talang Akar.
4. Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang
Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari
batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping
serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen
Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
formasi Batu Raja.
5. Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di
Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih
gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di
bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.Ketebalan
formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan
pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
formasi Gumai.
6. Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas
Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri
dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-
abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian
atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera.
Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur
Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
Air Benakat.
7. Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase
regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air
Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin.
Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung ,
batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung
glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa
konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada
formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen
Akhir – Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari Air Benakat.
8. Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir
tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tufpumice kaya
kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit
mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai
sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies
pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur
Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
9. Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak
terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara
tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-
fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik
andesitik-basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.
5. PENGEMBANGAN POTENSI PULAU SUMATRA
5.1 Pengembangan Potensi Daerah Pesisir (marine)
Potensi - potensi SDA di daerah pesisir yang dapat dimanfaatkan
antara lain:
1. Estuaria (daerah pantai pertemuan antara air laut dan air tawar)
berpotensi sebagai daerah penangkapan ikan (fishing grounds) yang
baik.
2. Hutan mangrove (ekosistem yang tingkat kesuburannya lebih tinggi
dari Estuaria ); untuk mendukung kelangsungan hidup biota laut.
3. Padang Lamun (tumbuhan berbunga yang beradaptasi pada kehidupan
di lingkungan bahari) ; sebagai habitat utama ikan duyung, bulubabi,
penyu hijau, ikan baronang, kakatua dan teripang.
4. Terumbu Karang (ekosistim yang tersusun dari beberapa jenis karang
batu tempat hidupnya beraneka ragam biota perairan).
5. Pantai Berpasir (tempat kehideupan moluska) ; memiliki nilai
pariwisata terutama pasir putih.
https://smiatmiundip.wordpress.com/2012/05/17/perkembangan-tektonik-pulau-
sumatra/ (Diakses pada Kamis, 7 Mei 2015 pukul 08.35)
https://alexanderparera.blogspot.com/2011/07/tektonik-pulau-
sumatera_19.html?m=1 (Diakses pada Kamis, 7 Mei 2015 pukul 09.00)