Anda di halaman 1dari 33

TUGAS TERSTRUKTUR I

GEOLOGI INDONESIA
‘’POLA TEKTONIK PULAU SUMATERA’’

Oleh:
Dalfa Fatihatussalimah (H1F012008)
Satrio Budi Harjo (H1F012009)
Erzandy Eka Putra (H1F012010)
Dwi Luthfiyah Nur (H1F012012)
Shisil Fitriana (H1F012013)
Enggar Shafira Agriska (H1F012015)
Heru Dwi Saputra (H1F012016)

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
PURBALINGGA
2015
GAMBARAN UMUM PULAU SUMATERA

Pulau Sumatra, berdasarkan luas merupakan pulau terbesar keenam di


dunia. Pulau ini membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi
khatulistiwa, seolah membagi pulau Sumatra atas dua bagian, Sumatra belahan
bumi utara dan Sumatra belahan bumi selatan. Pegunungan Bukit Barisan dengan
beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut, merupakan
barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke
arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan
pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur
pulau yang luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat
Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan.
Di bagian utara pulau Sumatra berbatasan dengan Laut Andaman dan di
bagian selatan dengan Selat Sunda. Pulau Sumatra ditutupi oleh hutan tropik
primer dan hutan tropik sekunder yang lebat dengan tanah yang subur. Gunung
berapi yang tertinggi di Sumatra adalah Gunung Kerinci di Jambi, dan dengan
gunung berapi lainnya yang cukup terkenal yaitu Gunung Leuser di Nanggroe
Aceh Darussalam dan Gunung Dempo di perbatasan Sumatra Selatan dengan
Bengkulu. Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena
dilintasi oleh patahan kerak bumi disepanjang Bukit Barisan, yang disebut
Patahan Sumatra; dan patahan kerak bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang
lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau terbesar di Indonesia, Danau Toba terdapat
di pulau Sumatra.
1. PEMBENTUKAN PULAU SUMATERA
Pulau Sumatera pada dasarnya merupakan bagian dari benua Asia.namun
karena pada Kapur Awal bagian timur benua Gondwana pecah dan India
memisahkan diri dari Benua Antartika-Australia dengan pergerakan berarah
Baratlaut yang kemudian berarah Utara-Selatan pada Kapur tengah yang akirnya
menumbuk Benua Asia dan berdampak pada pergerakan beberapa bagian timur
asia yang bergerak kearah tenggara dan timur serta menjadi dasar tatanan tektonik
paparan sunda.

Gambar 1.1 Pergerakan bagian timur Asia


Di utara, pertemuan lempeng tersebut ditandai oleh daerah tumbukan antara
india dengan asia sepanjang pegunungan Himalaya. Kearah selatan gerak antara
bagian kerak samudra dari lempeng india – Australia dengan kerak benua dari
lempeng Eurasia ditentukan terbentuknya jalur subduksi spanjang 6500 km yang
membentang dari laut Andaman di selatan Burma ke palung nikobar dan ke
palung sunda di barat pulau Sumatra dan selatan Jawa.
Gambar 1.2 India menumbuk Benua Asia
Gambar diatas merupakan proses dimana ketika India menumbuk benua
Asia dengan arah relatif Utara-Selatan.adanya bagian benua Asia yang bergerak
kearah timur dan Tenggara merupakan dampak tumbukan tersebut.bagian benua
Asia yang bergerak kearah tenggara itulah yang menjadi cikal bakal Paparan
Sunda tempat pulau Sumatera berada.
Dasar itu pulalah yang menjadi landasan bahwa tektonik sumatera di anggap
sebagai produk interaksi konvergen antara lempeng india - australia dan asia, dan
pola serta ragam tektoniknya dipengaruhi oleh besarnya sudut interaksi serta
kecepatan dari pada konverggensi lempengnya. Gerak – gerak tersebut
menghasilkan bentuk gabungan subduksi dan sesar mendatar dextrral yang
mantap tetapi bervariasi. Geologi tersier dan kuarter sumatera yang kita ketahui
sekarang merupakan pencerminan dari gerak- gerak tersebut, meski ada beberapa
aspek yang masih belum diketahui.
2. POLA TEKTONIK PULAU SUMATERA
2.1 Sejarah Pembentukan Cekungan Sumatera
Cekungan Sumatera terbentuk pada kurun Eosen Tengah (45 Ma). Pada
kurun waktu tersebut terjadi proses syn rift yang menyebabkan terbentuknya
Pulau Sumatera. Proses syn rift tersebut terjadi akibat adanya pertumbukan antara
lempeng India Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu
menyebabkan deformasi di benua Asia. Bagian tepi dari Asia Tenggara bergeser
ke Tenggara. Akibatnya terbentuk sesar-sesar berarah Barat Laut – Tenggara
(termasuk sesar semangko). Sesar-sesar mendatar yang terus bergeser
menyebabkan terbentuknya sesar-sesar normal yang menjadi cikal bakal
cekungan-cekungan yang ada di Pulau Sumatera.
Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan
kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-
plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi,
2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda
dan yang memisahkan dari lereng trench.
2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik
punggungan outer-arcdengan bagian di bawah permukaan dan
volkanik back-arc Sumatra.
3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah,
dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda
pada bagian bawah Bukit Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk
terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-
arc dan back-arc basin.

 Cek u n gan D ep an - B u s u r
Rangkaian pulau-pulau yang berada di sebelah barat P.Sumatra, yang
dikenal sebagai busur “non-volkanik”, merupakan titik keseimbangan antara
pengangkatan yang diakibatkan oleh pergeseran (akrasi) jalur subdiksi, dan gejala
penurunan, yang sebagian besar disebabkan oleh pembebanan pada bagian
lempeng yang menyusup.
Sebelah timur dari P. Nias, atau pulau-pulau lainnya yang tergabung sebagai
“batas pemisah palung”, berada dalam keadaan mantap atau menurun. Jalur
menurun yang berada pada lereng sebelah timur “jalur pemisah” itu merupakan
bagian dari sistim “Palung-Busur” yang dinamakan Cekungan depan-busur.
Namun di busur SUNDA ini, KARIG cenderung untuk menganggap
me’lange sebagai dasar cekungan muka-busur. Sebagai alasan adalah : seandainya
benar, seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa gejala penyusupan itu
berlanjut sejak Kapur, maka bahan yang bergeser selama jaman Tersier bawah
seharusnya berada disisi P. Sumatra, meskipun mengalami pergeseran atau
penyesuaian melalui sesar mendatar

Gambar 2.1 Posisi Cekungan Sumatra

Stratigrafi Cekungan Depan-Busur


Cekungan depan-busur dengan pengendapan yang tebal merupakan bentuk
yang penting didalam sistim-palung-busur pada tepi benua yang mempunyai
tingkat sedimentasi yang cepat. Apabila dalam sistim ini terdapat suatu busur-luar
(“outer-arc-risge”), maka sedimen-sedimen yang berasal dari busur volkanik akan
tertahan dibelakang punggungan dan terkumpul dalam jumlah yang sangat tebal
didalam cekungan-depan-busur. Ukuran dari cekungan-depan-busur seperti itu
dapat mencapai lebar 50 - 100 KM, dan panjang hingga beberapa ratus Km,
dengan terputus-putus menjadi beberapa sub-sub-cekungan olehtinggian-tinggian
yang memotongnya.
Seluruh wilayah cekungan muka-busur ini diisi oleh urutan-urutan lapisan
yang hampir menerus berumur Miosen dan Pilosen.
Pemboran-pemboran yang dilakukan didekat kepulauan Banyak (bor
Palembak dan bor Ujung Batu) telah menembus lapisan-lapisan tebal endapan
turbidit yang ditutupi oleh batugamping terumbu Plistosen hingga Resen.

 Cek u n gan b el ak an g b u s u r.
S trati graf i
C ekun gan - ce kun gan Ter s i e r m en em p at i ba gi an s ebel ah t i m ur
pul au S um at r a. S el u ruhn ya t e rdi ri da ri :
 C ekun gan S um at ra Ut ar a,
 C ekun gan S um at ra T en ga h,
 C ekun gan S um at ra S el at an

C ekun gan - ce kun gan t ers ebut um um n ya d i ci ri k an ol e h en dap a n


t ers i ern ya ya n g s an gat t eb al da n di en d apka n dal am w akt u ya n g
rel at i f s i n gkat .

 Cek u n gan S u mat ra Uta ra


Mempunyai bentuk segitiga yang membuka ke utara, dibatasi oleh tinggian
ASAHAN disebelah tenggara dari Cekungan Sumatra tengah. Pengendapan Eosen
sampai Oligosen dibagian barat cekungan dicirikan oleh sedimen klastis kasar
(Fm. Meucampli) yang tidak mengalami deformasi,dan berubah secara berangsur
ke timur menjadi endapan karbonat paparan (Fm. Tampur). Tidak dijumpainya
endapan volkanik yang tersebar luas didalam Fm. Meucampil, mungkin
merupakan indikasi bahwa busur luar yang berada disebelah barat Sumatra utara,
sebagian besar adalah tidak bergunung-api, yang juga berarti bahwa tidak ada atau
hanya sedikit saja terjadi proses subduksi pada kala itu.

Gam bar 2.2 C e kung an bel a kang - bus ur S umat r a T i mu r


Struktur batuan dasarnya dikontrol oleh sesar-sesar yang berarah Utara
Selatan, yang membaginya menjadi beberapa sub-cekungan dan tinggian

Gam bar 2.3 . St r at i g r af i C eku ngan Suma t r a Ut ar a

 Cekungan Sumatra Tengah


Dipisahkan oleh tinggian ASAHAN dari cekungan Sumatra Selatan
disebelah tenggara. Dasar dari cekungan ini diperkirakan terdiri dari kerak benua
yang tipis dan sangat terpatahkan (“fractured”)

Gam bar 2.4 Pola struktur dan pengendapan Cekungan Sumat r a


T engah

Batuan berumur Paleogen terdiri dari endapan darat (Fm. Pematang),


terutama terdiri dari lempung merah dan hijau dan serpih karbonan serta batupasir
berbutir sedang sampai halus. Setelah pengendapan ini disusul oleh pengangkatan,
perlipatan, pensesaran dan erosi dari Fm. Pematang dan daerah-daerah tinggian
lainnya. Fm. Menggala yang terletak tidak selaras diatas Fm. Pematang
menunjukkan diawalinya proses transgresi yang terus berlanjut hingga Miosen
Tengah, yakni saat terjadinya gejala tektonik. Batuan berumur Paleogen dan yang
lebih tua lagi, diendapkan dadalam bentuk-bentuk “graben” dan “setengah
graben” yang dibatasi oleh sesar-sesar yang sama yang mengontrol pengendapan
sebelumnya. Gejala penurunan yang disusul oleh transgresi umum ini berlanjut
sepanjang Miosen Awal dengan diendapkannya batuan klastik yang tergolong
dalam Kelompok Sihapas, yang mencakup seluruh cekungan. Kelompok ini
didominasi oleh batupasir dan konglomerat dibagian bawah (Fm. Menggala),
dengan sisipan-sisipan terbatas batugamping dan serpih.

Cekungan Sumatra Selatan


Cekungan Sumatra Selatan membentang mulai dari tinggian Asahan di
baratlaut sampai ke tinggian Lampung yang terletak di bagian paling Selatan
pulau.

Pengendapan dalam cekungan ini diawali dengan endapan darat pada jaman
Eosen. Oligosen awal dengan diwakili oleh pasir kasar, kerakal dan tufa.
Sedimen-sedimen tersebut diendapkan sebagai kipas-kipas aluvial, sungai bersirat
dan “pledmont” (endapan lereng-lereng), diatas batuan pra-Tersier.Satuan batuan
ini sekarang tersimpan dalam bentuk-bentuk “amblesan” atau “graben-graben”
sebagai Formasi Lahat
Gam bar 2.5 L i t ol ogi For mas i L a pi s an di Sumat r a S el a t an

Baru setelah menjelang akhir awal oligosen, terjadi permulaan gejala


trasgresi dimana sedimen-sedimen lingkungan darat sampai delta diendapkan
sebagai Formasi Talang Akar, yang terutama terdiri dari pasir, lanau dan lempung
yang merupakan ciri khas daripada endapan paparan delta (“delta plain”) dan
berangsur beralih ke bagian muka delta yang berupa pasir dan lempung marin
serta lanau dibagian-bagian yang dalam.
Dengan berlanjutnya masa transgresi pada awal Miosen, laut sudah mulai
menutupi bagian-bagian yang tinggi daripada batuan dasar dengan disertai oleh
bertambah kurangnya suplai bahan berukuran pasir dan lempung, dan kemudian
diambil alih oleh paparan lamparan-lamparan karbonat dan terumbu. Satuan
batuan ini dikenal sebagai Formasi Baturaja. Karbonat terutama berkembang,
pada bagian-bagian yang rendah, tetap diendapkan lempung (Fm. Gumai)
2.2 Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra
dan Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
 Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur.
Tektonik ini menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti
Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi
Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit
berumur Jurasik – Kapur.

Gambar 2.6 Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).

 Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan
sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE.
Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar
bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari
cekungan yaitu Formasi Lahat.
Gambar 2.7 Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid
Model (Pulonggono dkk, 1992).

 Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar,
Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi
Muara Enim.
 Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen
menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim
telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun
diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan
perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri
pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar 2.8 Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).

2.3 Pola Tektonik Pulau Sumatera


Pola tektonik yang berkembang di Pulau Sumatera dipengaruhi oleh aktivitas
tektonisme yang bekerja yaitu subduksi. Ada 2 (dua) subduksi yang bekerja di
Pulau Sumatera yaitu utara dan selatan. Sejak zaman Permian, terjadi interaksi
konvergen dari arah selatan (lempeng India-Australia) dan dari arah utara ke
selatan (lempeng L. China selatan) membentuk jalur subduksi dan magmatik yang
berkelanjutan dari zaman Permian yang semakin muda ke arah selatan dan utara.
Ada 3 sistem tektonik yang terdapat di Pulau Sumatera yaitu sistem subduksi
Sumatera, sistem sesar Mentawai (Mentawai Fault System) dan sistem sesar
Sumatera (Sumatera Fault System).
 Sistem Subduksi Sumatera
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam.
Pada zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-
timur laut, di mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini
disebabkan oleh pembentukan letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan
antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi pada sudut
yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks
subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan
Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada
Laut Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE
menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat
kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar
berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur
pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P.
Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan
Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great
Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko
hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga
Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak
lurus terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia.
Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-
Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka
Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama
Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi
Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat
mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya,
terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian
timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang
bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di
bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
 Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang
mengakibatkan kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan
penunjaman menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang
non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga
P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di
tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau
Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini
menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini
diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah
rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya,
yaitu: Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan
Sesar Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini
terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan
lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan
tanah longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian
yang tinggi. Banda Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak
Pliosen, hingga terbentuk sebuah graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh
batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi
Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat
mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya,
terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian
timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak
naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian
timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta
tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan
relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar
lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-
Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun
secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan
tersebut.
Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun
pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam
Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok
sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses
tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan
terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat
proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-
tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk,
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
2.4 Manifestasi Tektonik Pulau Sumatera

Gambar 2.9 zona penunjaman di selatan Pulau Sumatera

Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi
oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh
keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik
ketebalan sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer
(Hamilton, 1979). Sejarah tektoik Pulau Sumatra berhubungan erat dengan
dimulainya peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia
Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan rangkaian
perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan
perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang
terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter/tahun menurun menjaedi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja,
1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan sampai sekitar 76 milimeter/
tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini pada akhirnya
mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar sebelah timur India.
Keadaan Pulau Sumatra menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat
proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-
tension) Paleosoikum Tektonik Sumatra menjadikan tatanan Tektonik Sumatra
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatra, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
a. Bagian Selatan Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra menunjukkan sebuah pola geser kanan en echelon dan
terletak pada 100-135 kilometer di atas penunjaman.
2. Lokasi gunung api umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar.
3. Cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan ke dalaman 1-2
kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama.
4. Punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal
dan berbentuk sederhana.
5. Sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan
busur muka dan cekungan busur muka relatif utuh.
6. Sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
b. Bagian Utara Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125-140
kilometer dari garis penunjaman.
2. Busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatra.
3. Kedalaman cekungan busur muka 1-2 kilometer.
4. Punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat
beragam.
5. Homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama
dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya.
6. Sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.
c. Bagian Tengah Pulau Sumatra memberikan kenampakan tektonik:
1. Sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatra menunjukkan
posisi memotong arah penunjaman.
2. Busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatra.
3. Topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2-0.6 kilometer,
dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring
4. Busur luar terpecah-pecah.
5. Homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan
cekungan busur muka tercabik-cabik.
6. Sudut kemiringan penunjaman beragam.

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu:


lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik dimana kepulauan
di nusantara tersebut akan terus bergerak rata-rata 3-6 cm (bahkan 12cm) per
tahunnya, yang saling bertumbukan/berinteraksi.
Pulau sumatera sendiri berada pada zona wilayah tumbukan antara
lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Pegunungan Bukit Barisan adalah
jajaran pengunungan yang membentang dari ujung utara (di Nangroe Aceh
Darusalam) sampai ujung selatan (di Lampung) pulau Sumatra. Proses
pembentukan pegunungan ini berlangsung menurut skala tahun geologi yaitu
berkisar antara 45 – 450 juta tahun yang lalu. Teori pergerakan lempeng tektonik
menjelaskan bagaimana pegunungan ini terbentuk.
Lempeng tektonik merupakan bagian dari litosfer padat yang terapung di
atas mantel yang bergerak satu sama lainnya. Terdapat tiga kemungkinan
pergerakan satu lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila:
1] Kedua lempeng saling menjauhi (spreading)
2] Saling mendekati (collision)
3] Saling geser (transform).

Tumbukan lempeng tektonik antara indian-australian plate dengan


eurasian plate terus bergerak secara lambat laun. Saat kedua lempeng
bertumbukan, bagian dari indian-australian plate berupa kerak samudera yang
memiliki densitas yang lebih besar tersubduksi tenggelam jauh ke dalam mantel
dibandingkan dengan kerak benua pada eurasian plate. Zona gesekan akibat gaya
tekan dari tumbukan tersebut menjadi begitu panas sehingga akan mencairkan
batuan disekitarnya (peleburan parsial). Kemudian magma naik
lewat/menerobos/mendesak kerak dan berusaha keluar pada permukaan dari
lempeng di atasnya. Sehingga terbentuklah busur pegunungan bukit barisan di
bagian tepi eurasian plate, di pulau Sumatera, Indonesia . Salah satu
manifestasinya berupa puncak tertinggi pada gunungapi Kerinci, 3.805 mdpl, di
Jambi.

Gambar 2.10 Gunungapi Kerinci 3.805 mdpl


3. EVOLUSI TEKTONIK PULAU SUMATERA
Selama Zaman Karbon sampai Perm, terdapat subduksi di sebelah barat
Sumatera yang menghasilkan batuan vulkanik dan piroklastik dengan komposisi
berkisar antara dasit sampai andesit di daerah Dataran Tinggi Padang, Batang
Sangir dan Jambi (Klompe et all., 1961; dalam Hutchison, 1973). Batuan intrusif
yang bersifat granitik terbentuk di Semenanjung Malaysia, melewati Pulau
Penang, dan diperkirakan menerus ke Kepulauan Riau.

Gambar 3.1 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Karbon Akhir sampai Perm Awal

Selama Zaman Perm, tidak ada perubahan penyebaran keterdapatan batuan


plutonik dan volkanik dari Karbon Akhir. Sistem busur-palung yang bekerja di
Sumatra masih tidak mengalami perubahan (Gambar 3.1 dan 3.2). Batuan
volkanik dan piroklasik berkomposisi andesitik sampai riolitik menyebar di
bagian barat dari Sumatera Tengah. Dari Trias Akhir sampai Jura Awal, subduksi
di Sumatra terus berlangsung dan menghasilkan kompleks ofiolit Aceh di bagian
utara dan kompleks ofiolit Gumai-Garba di selatan. Kedua ofiolit tersebut
menurut Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973) berumur Trias. Pada Jura
Tengah sampai Kapur Tengah, terjadi pengangkatan di wilayah Semenanjung
Malaysia, menyebabkan perubahan lingkungan sedimentasi pada daerah tersebut
dari lingkungan laut menjadi lingkungan darat, ditandai dengan endapan tipe
molasse dan sedimentasi fluviatil. Volkanisme di kawasan Sumatra dan sekitarnya
kurang aktif pada selang waktu ini. Selama Jura dan Kapur, kawasan Sumatra dan
sekitarnya terkratonisasi, dan sistem pensesaran strike slip terbentuk (Tjia et. All,
1973; dalam Hutchison, 1973).

Gambar 3.2 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Perm ke Trias Awal

Pada Kapur Akhir, zona subduksi bergerak ke arah barat Sumatra,


sepanjang pulau-pulau yang saat ini berada di barat Sumatra seperti Siberut.
Ofiolit dari subduksi ini sendiri oleh Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973)
diperkirakan berumur Kapur Akhir sampai Tersier Awal. Di bagian utara Sumatra
terdapat Intrusi Granitik Tersier sedangkan di selatan terdapat Adesit Tua dan
Intrusi Granit Miosen Awal. Pola dari sistem palung busur di Sumatra pada saat
itu digambarkan pertama kali oleh Katilli (1971; dalam Hutchison, 1973) seperti
pada gambar 3.3. Subduksi yang berada di barat Sumatra menerus ke selatan Jawa
Barat, lalu berbelok ke timur laut menuju arah Pegunungan Meratus di
Kalimantan.
Gambar 3.3 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari
Trias Akhir sampai Jura Awal
Gambar 3.4 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari
Kapur Akhir sampai Tersier Awal
Dari Tersier sampai sekarang, subduksi terus mundur ke arah barat melewati
kepulauan yang terdapat di sebelah barat Sumatra dan menerus ke timur di selatan
melewati Pulau Jawa (Gambar 3.4). Busur gunung api di sepanjang zona subduksi
tersebut terdapat di Pegunungan Barisan di Sumatera dan menerus ke Pulau Jawa.
Volkanisme basalt hadir di Sukadana, Sumatra Selatan dan diperkirakan
berhubungan dengan pensesaran ekstensi dalam yang dihasilkan sebagai interaksi
dari lempeng-lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik.
Gambar 3.5 Skema Tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya saat ini
4. POLA STRATIGRAFI REGIONAL PULAU SUMATERA

Dari gambar diatas sebenanya kita sudah dapat merekontruksi pembentukan


Cekungan Sumatra secara singkat berawal dari tebentukanya batuan-batuan dasar
pada masa Pre-Tersier dimana tektonik yang berkembang gaya kompresi lalu
terjadinya fase tektonik berupa gaya tension yang menyebabkan adanya fase syn-
rift disini dimana dimulai fase pengisian material-material sedimen ke dalam
cekungan akibat dari gaya tension yang terjadinya sebelumnya. Peristiwa ini
terjadi pada kala Oligosen akhir-Miosen Awal. Dan diakhiri oleh adanya fase
post-Rift yang diendapkan selaras diatasnya oleh formasi gumai. Kemudian
terjadi kembali fase tektonik berupa gaya kompresi dimana fase terakhir dengan
terendapkannya formasi Air Benakat, formasi Muara Enim, Formasi Kasai dan
endapan alluvial diatasnya secara selaras.

1. Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan
Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan
batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum
tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan
Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan
Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit
yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk.,
1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan
kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat
pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain
kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan
yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini
berarti Granit mengintrusi batuan filit.
2. Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan
dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari
konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan
batupasir kuarsa. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenaipetroleum
system dari formasi lahat.
3. Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi
terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada
lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi
Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan
secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari
batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya
berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang
Akar berkisar antara 400 m – 850 m. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari formasi Talang Akar.
4. Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang
Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari
batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping
serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen
Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
formasi Batu Raja.
5. Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di
Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih
gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di
bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.Ketebalan
formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan
pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
formasi Gumai.
6. Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas
Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri
dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-
abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian
atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera.
Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur
Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
Air Benakat.
7. Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase
regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air
Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin.
Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung ,
batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung
glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa
konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada
formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen
Akhir – Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari Air Benakat.
8. Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir
tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tufpumice kaya
kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit
mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai
sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies
pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur
Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
9. Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak
terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara
tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-
fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik
andesitik-basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.
5. PENGEMBANGAN POTENSI PULAU SUMATRA
5.1 Pengembangan Potensi Daerah Pesisir (marine)
Potensi - potensi SDA di daerah pesisir yang dapat dimanfaatkan
antara lain:
1. Estuaria (daerah pantai pertemuan antara air laut dan air tawar)
berpotensi sebagai daerah penangkapan ikan (fishing grounds) yang
baik.
2. Hutan mangrove (ekosistem yang tingkat kesuburannya lebih tinggi
dari Estuaria ); untuk mendukung kelangsungan hidup biota laut.
3. Padang Lamun (tumbuhan berbunga yang beradaptasi pada kehidupan
di lingkungan bahari) ; sebagai habitat utama ikan duyung, bulubabi,
penyu hijau, ikan baronang, kakatua dan teripang.
4. Terumbu Karang (ekosistim yang tersusun dari beberapa jenis karang
batu tempat hidupnya beraneka ragam biota perairan).
5. Pantai Berpasir (tempat kehideupan moluska) ; memiliki nilai
pariwisata terutama pasir putih.

5.2. Pengembangan Potensi Hidrologi


Potensi - potensi yang dapat dikembangkan berkaitan dengan
kondisi hidrologi antara lain:
1. Sumatera memiliki banyak teluk, dapat dimanfaatkan sebagai tempat
pelabuhan.
2. Sungai yang banyak dan besar dapat dimanfaatkan sebagai alat
transportasi sungai, pembangkit listrik dan juga industri perikanan.
3. Banyaknya danau-danau besar dapat dimanfaatkan sebagai empat
rekreasi maupun pembangkit listrik.
5.3 Pengembangan Potensi Bentanglahan Vulkanis
Potensi - potensi bentanglahan vulkanis yang dapat dimanfaatkan antara
lain:
1. Adanya dereten Pegunungan Barisan berpotensi untuk lahan pertanian
dan kehutanan, serta mempunyai keanekaragaman vegetasi yang
banyak.
2. Vegetasi yang beranekaragam bermanfaat untuk peternakan.

5.4. Pengembangan Potensi Geologi


Dengan berbagai kondisi geologi yang ada di Pulau Sumatera
menyebabkan Pulau Sumatera meimiliki kandungan mineral yang banyak dan
beraneka ragam. Berdasarkan pembagian hasil tambang di Pulau Sumatra meliputi
batu bara, minyak, gas bumi, dan timah.
Propinsi Riau adalah penghasil minyak bumi terbesar di Pulau ini dengan
sumur minyak di Minas, Duri, Pedada, dan lirik (darat). Minyak bumi dihasilkan
oleh langsa (D.I Aceh), Pendopo Pribumulih (Sumatra Selatan), dan Jambi.
Penghasil gas alam adalah Arun (D.I Aceh) dengna tempat pengolahan di
Lhokseumawe. Penghasil Batu Bara adalah Ombilin dan sawahlunto (Sumatra
Barat) serta Bukit Asam, yang memiliki cadangan sekitar 10 miliar ton. Penghasil
Timah adalah Bangkinan Riau daratan.
Selain itu masih terdapat berbagai jenis bahan galian yang belum dikelola
secara maksimum, seperti kaolin (Sawahlunto, dan Batang kapas di Sumatra
Barat), Fosfat (Pasaran Bacang di utara Padang), Batu Gamping (Padang), tras
(Sumatra Barat dan Utara), serta emas (Rejangleboh, Bengkulu). Pulau-pulau di
sekitar Pulau Sumatra (Bangka, Belitung, Singkep, Karimun dan Kundur) juga
menghasilkan timah dan Bintan menghasilkan bauksit.
Berdasarkan potensi bahan galian tersebut, maka dapat di uraikan jenis
bahan galian, letak dan kesampaian daerah, serta kegunaannya adalah sebagai
berikut:
1. Marmer
Batuan Marmer dalam istilah geologi adalah batu gamping atau dolomite
yang mengalami metamorfosa kontak atau regional. Batuan Marmer di daerah
ini, berwarna abu-abu gelap-agak kemerahan putih, keras, kompak, masif,
sebagian terkekarkan kuat, terisi mineral kalsit, dan oksida besi, struktur
laminasi masih nampak, berbutir kasar-halus, umumnya tidak menunjukkan
suatu perlapisan. Batuan marmer di daerah ini membentuk perbukitan terjal,
sebagian berupaya perladangan dan hutan semak belukar. Lokasi bahan
galian marmer di Kecamatan Muara Sipongi, terdapat di Desa Ranjo Batu,
Desa Hutatoras, Kecamatan Kotanopan terdapat di Desa Huta Pungkut dan
dapat Kecamatan Panyabungan, terdapat di Desa Aek Banir dan Sipagapaga.
Kegunaan marmer terutama untuk bangunan seperti ubin lantai, dinding,
papan nama, dekorasi atau hiasan, monument, dan perabot rumah tangga
seperti meja dan kap lampu, serta bahan baku pembuatan pupuk.
2. Andesit
Bahan galian andesit, berupa lava andesit, berwarna abu-abu - gelap, kompak,
keras, masif, rekah rekah, sedikit berpori, tekstur porphyritic, dan disusun
oleh mineral utama plagioklas, hornblende, biotit dan piroksim, umumnya
membentuk perbukitan menyebar ke arah barat dan timur meliputi daerah
Panyabungan, Sipaga-paga dan Purba Lama, sebagian besar bersifat
bongkahan-bongkahan, Bahan galian andesit ini umumnya menempati daerah
pemukiman, perkebunan, dan perladangan serta aliran aliran sungai. Lokasi
dan Kesampaian Daerah Bahan galian andesit dijumpai di Kecamatan
Panyabungan, terdapat di daerah Aek Banir, Sipaga-paga, dan Purba Lama.
Daerah tersebut dapat dijangkau dengan kondisi jalan beraspal. Penyebaran
bongkahan bongkahan batuan andesit umumnya dapat diamati secara jelas
pada aliran aliran sungai di daerah tersebut. Kegunaan bahan galian andesit
ini terutama untuk bahan bangunan (agregat) dan batu hias (ornamental
stone).
3. Batu Gamping
Batu Gamping, berwarna abu-abu - keputihan, keras, kompak, struktur masif,
tekstur kristalin dengan ukuran butir kasar, sebagian terkekarkan kuat, terisi
mineral kalsit dan oksida besi, umumnya tidak menunjukkan suatu
perlapisan, ketebalan bervariasi dari 4-10 meter. Batugamping ini tersusun
oleh mineral kalsit (CaCo), terjadi secara organik, mekanik atau kimia. Batu
gamping ini pada umumnya membentuk perbukitan merupakan areal
perladangan dan semak belukar. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Potensi
bahan galian batu gamping di Kecamatan Muara Sipongi, terdapat di Kp.
Hutalemba dan di Kecamatan Batang Natal, terdapat di desa Sopotinjak,
Bangkelang dan Muara Soma, pada umumnya dapat di jangkau dengan
kenderaan roda empat melalui jalan beraspal dengan kondisi jalan baik.
Penggunaan batu gamping tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimianya.
Penggunaan sebagai bahan bangunan ditentukan oleh sifat fisiknya,
sedangkan sebagai bahan industri di tentukan oleh sifat kimianya. Batu
gamping banyak digunakan sebagai bahan baku semen, karbid, bahan
pemutih, penetral keasaman, pupuk industri, keramik, bahan bangunan, bahan
ornamen, pengembang dan pengisi dalam industri cat, kertas, karer, dan
plastik serta dalam industri farmasi, kosmetik, dan industri kimia lainnya.
Disamping itu, daerah yang mempunyai topografi karst dapat dikembangkan
menjadi objek wisata.
4. Granit
Batuan granit pada umumnya berwarna abu-abu-putih bintik hitam, berbutir
kasar, tekstur granitic, kompak, terkekarkan, bentuk kristal subhedral-
anhedral, komposisi antara lain kuarsa, biotit dan plagioklas. Pada umumnya
tubuh batuan granit di daerah ini telah mengalami tingkat pelapukan yang
cukup tinggi sehingga batuan 5- 10 meter. Untuk mengetahui ciri litologi dan
sifat fisik batuan ini beberapa bongkahan-bongkahannya yang terdapat di
sungai masih menunjukkan aslinya. Batuan granit ini termasuk dalam
Batholith. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Bahan galian granit terdapat di
Kecamatan Muara Sipongi (Muara Sipongi), Kecamatan Kotanopan
(Kotanopan), dan Kecamatan Panyabungan (desa padangluru dan Tebing
Tinggi), pada umumnya dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan
selanjutnya berjalan kaki menuju lokasi bahan galian.
Kegunaan Batuan granit yang berbutir kasar dan menengah dapat digunakan
sebagai bahan bangunan, dermaga, pengeras jalan, dan bendungan. Batuan
granit yang berbutir halus dapat diasah dan dipoles untuk penghias lantai dan
rumah/gedung. Batuan granit yang berwarna pink, abu-abu bintik hitam,
dapat dipoles untuk dinding rumah/gedung, dekorasi, dan alat rumah tangga
seperti meja.
5. Kaolin
Kaolin adalah massa batuan yang tersusun dari material lempung dengan
kandungan besi rendah. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Potensi bahan galian
kaolin terdapat di daerah Sibanggor Tonga, Kecamatan Kotanopan, daerah
tersebut dapat ditempuh dengan kenderaan roda empat melalui jalan beraspal,
terdapat ditepi jalan. Kegunaan: Bahan galian kaolin umumnya digunakan
dalam berbagai industri, baik sebagai bahan baku utama atau sebagai bahan
pembantu. Fungsinya bisa sebagai pengisi (filler), pelapis (coater), bahan
tahan api, atau penyekat (isolator). Penggunaan kaolin yang utama adalah
dalam industri kertas, keramik, cat, karet/ban, dan plastik. Sedangkan
penggunaan lainnya di antaranya untuk industri semen, pestisida, pupuk,
kosmetik, farmasi, pasta gigi, tekstil, dan lain-lainnya.
6. Batumulia
Batumulia adalah semua jenis mineral dan batuan yang mempunyai sifat fisik
dan kimia yang khas, serta digunakan untuk perhiasan dan bahan dekorasi
atau hiasan. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Bahan galian batumulia terdapat
di daerah Muara Soma dan sekitarnya, Kecamatan Batang Natal, daerah ini
dapat ditempuh dari kota Panyabungan dengan kenderaan roda empat melalui
jalan beraspal sekitar 65 Km. Batu mulia umumnya dijumpai pada sungai-
sungai di sekitar daerah tersebut dengan berbagi ukuran dari kerikil sampai
kerakal. Kegunaan: Batumulia biasanya digunakan sebagai perhiasan oleh
manusia dan penambah keindahan ruangan. Dalam industri pengolahan
batumulia antara lain pembuatan cincin, giwang, liontin, gelang, asbak, vas
bunga, plakat, batu alam, dan lain-lain.
7. Phospat
Endapan posfat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu endapan permukaan,
endapan gua dan endapan bawah permukaan.
8. Secara umum endapan posfat berasal dari tumpukan kotoran burung dan
kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batugamping karena pengaruh air
hujan dan air tanah. Endapan posfat di daerah penyelidikan, terdapat mudah
digali. Endapan posfat pada daerah ini belum pernah diselidiki. Lokasi dan
Kesampaian Daerah: Potensi endapan posfat terdapat pada Gua Soma di Desa
Muara Soma, Kecamatan Batang Natal. Daerah tersebut dapat ditempuh
kendaraan roda empat dengan kondisi jalan beraspal, selanjutnya menuju
lokasi dengan berjalan kaki. Kegunaan: Kegunaan endapan posfat terutama
sebagai pupuk, baik pupuk buatan maupun pupuk alam, dalam industri
detergen, asam sulfat, dan industri kimia lainnya.
9. Pasir dan Batu
Pasir dan batu (sirtu) merupakan batuan hasil rombakan dari batuan asal yang
tidak terkonsolidasi. Sirtu ini pada umumnya ditemukan pada aliran sungai.
Potensi bahan galian sirtu di daerah ini tersebar dan sebagian telah
dimanfaatkan. Lokasi dan Kesampaian Daerah :Bahan galian sirtu (pasir dan
batu) pada umumnya terdapat pada aliran-aliran sungai besar antara lain di
Batang Angkola, Batang Natal, Batang Gadis, Aek Soma dan beberapa anak
sungainya dan sebagian telah diusahakan oleh penduduk setempat.
Kegunaan: Sirtu dapat digunakan dalam sektor konstruksi, seperti perumahan,
pertokoan, perkantoran, jembatan, dan jalan.
10. Serpentinit
Batuan serpentinit merupakan batuan metamorf, pada umumnya berwarna
kehijauan-gelap, berlaminasi, berbentuk lembaran, mudah terbelah melalui
bidang-bidang belahan, ketebalan antara 2 -8 meter. Batuan serpentinit
mempunyai komposisi utama serpentin yang paling dominan. Serpentin yang
menunjukkan kandungan unsur MgO tinggi dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk alternatif.Lokasi dan Kesampaian Daerah Potensi serpentin di daerah
Kecamatan Batang Natal, terdapat di Desa Muara Soma, dan sekitarnya.
Daerah tersebut dapat di tempuh kendaraan empat dengan kondisi jalan
beraspal, selanjutnya menuju lokasi dengan berjalan kaki.
DAFTAR PUSTAKA

https://smiatmiundip.wordpress.com/2012/05/17/perkembangan-tektonik-pulau-
sumatra/ (Diakses pada Kamis, 7 Mei 2015 pukul 08.35)
https://alexanderparera.blogspot.com/2011/07/tektonik-pulau-
sumatera_19.html?m=1 (Diakses pada Kamis, 7 Mei 2015 pukul 09.00)

Anda mungkin juga menyukai