Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggungjawab
laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan
social dan kebudayaan masyarakat. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk
menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Agar proses yang adil bagi
perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk
menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah
menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil
dari peran yang dimainkannya. Kalangan feminisme liberal yang prcaya bahwa
bila perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, maka perempuan
akan mendapatkan keadilannya dimasyarakat. Asumsi seperti ini, melihat bahwa
ketertinggalan perempuan dalam sebuah proses pembangunan adalah diakibatkan
karena perempuan selalu dikesampingkan dengan kaum laki-laki.
Analisis gender sebagai alat analisa sosial konflik memusatkan perhatian
pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender-bias gender-
pen- yang mengakar dan tersembunyi seperti tradisi masyarakat, keyakinan
keagamaan, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan. Bias gender ini
umumnya dibaikan oleh banyak perencana pembangunan dan akibatnya banyak
perempuan dirugikan akibat bias gender tersebut. Pembangunan di dunia ketiga
yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi (kapitalisme-pen), menjadi isu
gender karena model pembangunan tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi
perempuan baik di ruang publik maupun privat. Moose juga menyatakan, bahwa
dalam proses pembangunan, perempuan tidak hanya menderita akibat diskrimasi
gender, namun juga karena relasi kelas, warna kulit, serta suku. Maka dari itu
perlu diadakan keadilan gender. Keadilan geder di tujukan agar tidak ada
perbedaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, karena selama ini kaum
perempuan selalu dikesampingkan dari kaum laki-laki, maka dari itu perlu
diadakan keadilan gender.
Pemberdayaan haruslah dilakukan dalam sudut pandang perempuan dan
bukanlah dibuat oleh para intelektual. Relevansi antara gender dan pembangunan
mencakup bagaimana merumuskan model pembangunan dari sisi perempuan.
Pembangunan yang melibatkan perempuan tertindas dan bersifat down-top
merupakan upaya-upaya untuk dapat melihat kebutuhan perempuan. Bila
pembangunan dilihat sebagai upaya pembebasan manusia, maka pembangunan
yang berperspektif gender akan dapat menuntaskan ketidakadilan yang dialami
perempuan dan membebaskan. Dari sudut kodrat, laki-laki dan perempuan

1
memang berbeda, tapi dalam pelaksanaan hak dan kewajiban bukan untuk di beda-
bedakan, maka dari itu, hak-hak dan peranan kaum perempuan harus disamakan
dengan kaum laki-laki tanpa harus membeda-bedakan gender.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Teori Gender


Konsep gender dapat di artikan “sifat” yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang di bentuk oleh factor-faktor social dan budaya sehingga lahir
berupa teori atau anggapan dan pendapat mengenai pera social budaya laki-laki
dan permpuasn. Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan
tanggungjawab laki-laki dan paerempuan yang terjadi akibat dari dan dapat
berubah oleh keadaan social dan budaya masyarakat.
Dari sudut kodrat laki-laki dan perempuan memang beda, tapi dalam
pelaksanaan hak dan kewajiban bukan untuk di beda-bedakan . did ala masyarakat
memang harus di akui bahwa masih terdapatnya perbedaan hak, tanggungjawab,
peran, kedudukan yang menyebabkan terjadinya disparitas peran antara laki-laki
dan perempuan.
Untuk itu di butuhkan pemahaman yang komprehesif tentang permasalahan
gender ini untuk mendapatkan apemahaman bahwa perbedaan laki-laki dan
perempuan di lihat dari sudut pandang “non kodrati”, bukan dari sudut pandang
kodrati.
Menurut Gross, Maton dan Mc. Eachern memberikan definisi peran sebagai
seperangkat harapan-harapan yang di kenakan pada individu yang menempat
kedudukan social tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari
norma-norma social dan oleh karena itu dapat di katakana bahwa peran-peran itu
di tentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat.
Paul B. Horton dan Chesar I. Hunt mengartikan peran sebagai perilaku yang
di harapkan dari seseorang dalam status tertentu, maka perilaku peran adalah
perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut.
Menurut Dvid Berry: ”pertama-tama penting untuk menanyakan bagaimana
masyarakat menentukan harapan-harapannya terhadap pemegang-pemegang peran.
Dahrendorf mengatakan bahwa harapan-harapan yang terdapat dalam satu peran
berasal dari norma-norma social yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Masyarakat menuntut adanya keadilandi banding pelaksanaan hak dan
kewajiban, kedudukan, peran yang di jalankan antara laki-laki dan perempua
dalam segenap aspek kehidupan. Budaya pada masyarakat betawi selama ini telah
meminggirakan peran wanita dalam kehidupan sosialnya. Tuntutan akan adanya
perubahan social dalam masyarakat tentang kesetaraan gender pada masyarakat
betai akan baerlangsung dengan cepat atau pun lambat de sesuaikan dengan
kebutuhan masyarakatnya.
Menurut Ralf Dahrendorf mengidentifikasikan terjadinya perubahan sosial

3
 Setiap masyarakat senantiasa berada didalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan-perubahan sosial merupakan
gejala yang melekat didalam setiap masyarakat.
 Setiap masyarakat mengandung konflik didalam dirinya, konflik adalah gejala
yang melekat didalam setiap masyarakat.
 Setiap undur didalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
 Setiap masyarakat yang berintegrasi, diatas penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang yang lain.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, maka tuntutan peran yang harus
dijalankan oleh perempuan mengalami perubahan pula. Dahulu perempuan sulit
untuk mengaktualisasikan dirinya karena adanya ikatan budaya, maka budaya
itupun akan berubah sejalan dengan terjadinya perubahan sosial pada
masyarakatnya

B. KEADILAN GENDER
Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki
dan perempuan. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud,
diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial
dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa
berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender
mengantar ke kesetaraan gender.
Untuk mengakhiri ketimpangan dan memperkuat otonomi diperlukan
perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki secara berbeda. Oleh karena itu,
keadilan gender tidak berfokus pada perlakuan yang sama tetapi lebih
mementingkan pada kesetaraan sebagai hasilnya. Perlakuan yang tidak sama
memerlukan kejujuran dan keadilan dalam distribusi manfaat dan tanggung jawab
antara perempuan dan laki-laki. Konsep keadilan gender mengenali bahwa
perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan-kebutuhan, kekuasaan yang berbeda,
dan bahwa perbedaan-perbedaan ini harus diidentifikasi dan diatasi agar
kesetaraan antar kedua jenis kelamin dapat terwujud.

C. KEBUTUHAN-KEBUTUHAN PRAKTIS GENDER


Kebutuhan-kebutuhan praktis adalah kebutuhan yang muncul dari kebutuhan
sehari-hari seperti kebutuhan akan akses kepada air bersih, makanan, rumah, dan
sebagainya. Contoh-contoh kebutuhan praktis adalah pendidikan dan pelatihan
keterampilan dalam baca-tulis, pengelolaan rumah tangga, gizi, kesehatan; akses
kepada modal dan kredit; pelayanan kesehatan reproduksi, pelayanan keluarga
berencana, pengadaan sanitasi.

4
D. KEPENTINGAN-KEPENTINGAN STRATEGIS GENDER
Kepentingan-kepentingan strategis gender (perempuan) muncul dan
berkembang karena relasi perempuan dan laki-laki yang timpang, dimana
perempuan berada pada posisi tersubordinasi. Memenuhi kepentingan-kepentingan
strategis (perempuan) adalah upaya jangka panjang dan berkaitan dengan upaya
memperbaiki posisi sosial perempuan. Termasuk dalam kepentingan-kepentingan
strategis ini adalah hak-hak hukum perempuan; perlindungan terhadap perempuan
dari kekerasan dimana saja dan dalam bentuk apapun; keterlibatan dalam
pembuatan keputusan/ perencanaan/ kebijakan/ pelaksanaan/monitoring dan
evaluasi, penguasaan atas tubuh perempuan sendiri; akses terhadap proses-proses
demokratis yang partisipatoris, yang umumnya juga merupakan kepentingan-
kepentingan strategis kelas pekerja yang miskin dan mereka yang berasal dari
komunitas akar rumput.

E. KELAS
Suatu hirarki yang mengelompokkan orang-orang menurut tingkat sosial dan
ekonominya. Secara umum, suatu masyarakat terdiri dari 3 kelas yaitu kelas atas,
kelas menengah, dan kelas bawah. Analisis gender akan memberikan gambaran
kenyataan yang holistik apabila memasukkan dimensi kelas ke dalam analisisnya.

F. KESADARAN DAN KEPEKAAN GENDER


Adalah kemampuan untuk mengenali kesenjangan hubungan kekuasaan
antara perempuan dan laki-laki di dalam keluarga dan di dalam komunitas;
dampak pembagian kerja berdasarkan gender terhadap perempuan dan laki-laki;
bahwa pengalaman, permasalahan, kebutuhan, kepentingan, aspirasi perempuan
dan laki-laki juga berbeda. Kesadaran ini membawanya kepada kepekaan gender
yang artinya selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek,
kegiatan adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan
hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.

G. KESETARAAN GENDER
Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan.
Berarti perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama dan memiliki
kondisi yang sama untuk menggunakan hak-haknya dan kemampuannya secara
penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, ekonomi,

5
sosial, dan budaya. Dengan demikian, kesetaraan gender merupakan penilaian
yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, dan atas berbagai peran yang mereka lakukan.

H. KESENJANGAN GENDER
Suatu istilah yang mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan
dan laki-laki dalam akses ke dan kontrol atas sumber-sumber daya penting,
perbedaan dalam pekerjaan dan upah dimana laki-laki menerima lebih banyak
dibandingkan perempuan. Selain itu terkandung juga dalam kesenjangan gender
ini yaitu ketidak-seimbangan hubungan antara perempuan dan laki-laki di dalam
proses pembangunan, dimana perempuan tidak berpartisipasi dalam proses
pembangunan (merencanakan, memutuskan, melaksanakan, memonitor dan
mengevaluasi). Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui analisis gender.

I. KETERGANTUNGAN
Suatu keadaan tersubordinasi. Dalam isu-isu gender, ketergantungan
biasanya digunakan untuk mendiskripsikan keadaan yang dialami oleh kaum
perempuan yang tidak memiliki penguasaan (kontrol) atas sumberdaya ekonomi
dan pengambilan keputusan. Dalam banyak negara-negara Selatan (negara-negara
dunia ketiga), ketika pendapatan kaum perempuan (misalnya, dari pertanian atau
kerajinan tangan) dirusak, kaum perempuan tergantung secara ekonomi dan
tergantung dalam pengambilan keputusan.

J. MANFAAT
Termasuk dalam manfaat adalah hal-hal praktis (uang atau pendapatan,
pelatihan, kebutuhan-kebutuhan dasar, waktu, dsb.) dan hal-hal yang strategis
(meningkatnya status sosial, kesempatan, contohnya dengan dimilikinya
keterampilan dalam hal-hal tertentu) yang dipunyai oleh laki-laki dan perempuan
yang diperolehnya dari kegiatan-kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial
mereka. Manfaat-manfaat dari berbagai sumberdaya tersebut di atas, dan dari
kegiatan-kegiatan pembangunan perlu diukur untuk memastikan adanya
kesetaraan / ketimpangan gender dalam suatu kelompok atau komunitas.

K. MASKULIN, MASKULINITAS
Dalam kaitannya dengan diskursus mengenai gender, istilah ini memiliki
konotasi otonomi, rasionalitas, kekuatan fisik, jarak emosional, bahkan kekerasan.
Beberapa berpendapat bahwa dunia ini banyak didominasi oleh ciri-ciri yang
maskulin dan hal tersebut perlu diimbangi oleh ciri – ciri yang feminim seperti
kedamaian, cinta, perhatian, dan pengasuhan.

6
L. MISOGINI
Kebencian terhadap perempuan yang menampakkan diri dalam bentuk yang
berbeda, termasuk simbol-simbol abstrak seperti bahasa. Pemikiran bahwa
perempuan itu penggoda atau pendosa adalah misogini.

M. NETRAL GENDER
Netral Gender adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang tidak
memihak pada salah satu jenis kelamin.

N. ANALISA GENDER
Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematis untuk
mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan,
akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam
proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang timpang, yang didalam pelaksanaannya
memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bentuk ketidakadilan jender lainnya yaitu sub-ordinasi atau penomerduaan.
Konsep subordinasi posisi perempuan terhadap laki-laki mengacu pada hubungan
antara perempuan dan laki-laki di dalam proses sosial secara keseluruhan, dan
bagaimana hubungan ini berlangsung sehingga merendahkan posisi perempuan,
perempuan dianggap tidak penting. Di lingkup ini, Moore [1988] secara kritis
mengkaitkan pelabelan seksual dengan konsep kerja. Menurut Moore [1998] di
dunia kapitalis ini, terjadi anggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang
menghasilkan upah/bernilai ekonomi (produksi dan di publik) dianggap sebagai
kerja, sementara pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan upah/tidak bernilai
ekonomi dianggap bukan kerja, hanya aktivitas. Oleh karena itu dengan tajam
Moore (1988: 15) menyimpulkan kerja-kerja perempuan seringkali tidak
tampak (invisible) karena keterlibatan perempuan tampak di pekerjaan-pekerjaan
yang tidak menghasilkan upah atau tidak dilakukan di luar rumah (walaupun
memberikan penghasilan) , maka perempuan dianggap hanya beraktivitas, bukan
kerja, dan karenanya tidak penting. Studi yang dilakukan oleh Chotim (1994)
memperlihatkan adanya pembagian kerja yang merendahkan perempuan di
industri kecil batik. Perempuan banyak dipekerjakan sebagai buruh ‘putting out’
lewat sistim makloon, dan upah buruh perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Bentuk marjinalisasi lainnya yaitu kekerasan. Deklarasi Anti-Kekerasan
terhadap Perempuan menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap
tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, berakibat atau mungkin berakibat
pada kerugian fisik, seksual, atau psikologis; atau penderitaan perempuan,
termasuk ancaman terjadinya perbuatan itu, pemaksaan atau penghilangan
kebebasan secara sewenang-wenang, baik di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi (Pasal 1). Dengan demikian bentuk kekerasan terhadap perempuan
mencakup kekerasan fisik maupun psikologis.

Anda mungkin juga menyukai