Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana.
Seringkali resiko tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak
dikelola dengan baik. Hal ini menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering,
bencana terjadi secara tak terduga-duga. Dampak paling awal dari terjadinya
bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi penurunan drastis dalam kualitas
hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri. Kondisi ini harus
bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan dasar
komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah atau bahkan
bisa membaik.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu
direspons. Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana
sebagai sebuah akibat pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan
bencana tidak terbatas pada simpton simpton persoalan, tetapi menyentuh
substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian kondisi darurat perlu dipahami
sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri. Penanganan
kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif penanganan
terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya diikuti
dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut
perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup
komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses
preventif.
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan
kerja penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu
kerusakan terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun
biasanya sangat besar. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon
kondisi darurat. Komitmen, kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi
bencana (termasuk konflik) dalam rangka memahami latar belakang kebiasaan,

1
2

kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan karenanya kebutuhan mereka,
sangat dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi
legitimasi kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup
untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana. Di sisi lain,
sekecil apapun sumber daya yang kita miliki akan memberikan arti bila
didasarkan pada pemahaman kondisi yang baik dan perencanaan yang tepat dan
cepat, mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan
masyarakat dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya
maupun material. Jika kita mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak
untuk hidup layak maka komunitas manapun yang mengalami bencana berhak
atas bantuan kemanusiaan dalam batas-batas minimum.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.2.1 Apa Saja Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 Cs (Command,
Control, Coordination & Communication)?
1.2.2 Bagaimana Perawatan Terhadap Individu Dan Komunitas?
1.2.3 Apa Saja Perawatan Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Bencana?
1.2.4 Apa Saja Perawatan Untuk Populasi Rentan?
1.2.5 Apa Saja Pemenuhan Kebutuhan Jangka Panjang?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk Mengetahui Dan Mempelajari Tentang Apa Saja Pengelolaan
Kegawatdaruratan Bencana 4 Cs (Command, Control, Coordination &
Communication).
1.3.2 Untuk Mengetahui Dan Mempelajari Tentang Bagaimana Perawatan
Terhadap Individu Dan Komunitas.
1.3.3 Untuk Mengetahui Dan Mempelajari Tentang Apa Saja Perawatan
Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Bencana.
3

1.3.4 Untuk Mengetahui Dan Mempelajari Tentang Apa Saja Perawatan Untuk
Populasi Rentan.
1.3.5 Untuk Mengetahui Dan Mempelajari Tentang Apa Saja Pemenuhan
Kebutuhan Jangka Panjang.
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan diatas maka manfaat penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.4.1 Agar Dapat Memahami Dan Mengerti Tentang Apa Saja Pengelolaan
Kegawatdaruratan Bencana 4 Cs (Command, Control, Coordination &
Communication).
1.4.2 Agar Dapat Memahami Dan Mengerti Tentang Bagaimana Perawatan
Terhadap Individu Dan Komunitas.
1.4.3 Agar Dapat Memahami Dan Mengerti Tentang Apa Saja Perawatan
Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Bencana.
1.4.4 Agar Dapat Memahami Dan Mengerti Apa Saja Perawatan Untuk Populasi
Rentan.
1.4.5 Agar Dapat Memahami Dan Mengerti Tentang Apa Saja Pemenuhan
Kebutuhan Jangka Panjang.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 Cs (Command, Control,


Coordination & Communication)
Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka
penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan
aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan koordinasi
dan kloaborasi dengan sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang
lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat
tanggap darurat dan pasca bencana.
Menurut DepKes RI (2006a) manajemen siklus penanggulangan
bencana terdiri dari:
1. impact (saat terjadi bencana)
2. Acute Response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (Mitigasi)
7. Preparedness (kesiapsiagaan).
Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan dalam
siklus bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk
menyelamatkan kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan rehabilitatif.
Menurut DepKes RI (2006) untuk mengetahui manajemen penanggulangan
bencana secara berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan
bencana dan peran tiap komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut:
1. Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah
manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat
menyebabkan hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan
harta benda dan lingkungan, yang melampaui kemampuan dan
sumberdaya masyarakat untuk mengatasinya.

4
5

2. Tanggap darurat (acute response)


Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan untuk
menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana, terutama
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
3. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak fisik
dan psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan
semula. Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar
(jalan, listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat
bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang dilakukan setelah
kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah,
fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda
ekonomi. Tahapan yang kedua yaitu rekonstruksi, yang merupakan
program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi program
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat
pada kondisi yang sama atau lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain berupa
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian mengenai bahaya
bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada intervensi
terhadap gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan terjadinya
bencana dan atau menghindarkan akibatnya dengan cara
menghilangkan/memperkecil kerawanan dan meningkatkan
ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik
struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non- fisik
struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi
6

merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau


mengurangi derajat risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang
berasal dari kerusakan alam dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al.,
2004).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Persiapan adalah salah satu tugas utama dalam disaster managemen,
karena pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan vulnerability
maupun bencana secara tuntas
2.2 Perawatan Terhadap Individu Dan Komunitas.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban
:kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard.
Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko
penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan
terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann
sampah dan genagan air yang memungkinkan tejadinya perindukan vector.
Maka kegiatan pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk
spraying, atau fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian
melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor
resikonya. Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu
hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam
catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak.
Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat
7

seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada
tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di DIY dan
jateng apda tahun 2006.
2.3 Perawatan Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Bencana
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa
kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah
spiritual yang dilakukan melalui beberapa tahapan.
Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang
dapat memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta
tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk
menguasai dirinya.
Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya,
setelah seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani
mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang
sederhana melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan
mempengaruhi kekuatan perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya
perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan.
Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk mengembangkan kekuatan
psikis seseorang.
Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus
memiliki kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya
memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga
memberikan efek bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.
Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir.
Artinya, seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk
dalam berpikir, seperti khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan
mengurangi daya kekuatan dalam mengekspresikan diri.
Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan
untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki
seseorang harus ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang
melimpah. Saat itulah kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri
8

sendiri maupun orang lain. Kekuatan psikis yang timbul dari energi spiritual
bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara konstan dan stabil.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran
diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self
identification), dan tahapan pengembangan diri (self development). Pada fase
penyadaran diri, para korban akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau
hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri, penginsyafan
diri, dan pertaubatan diri.
Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada
pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai
ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-
potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, berbagai potensi itu
perlu segera dimunculkan.
Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan
difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual.
Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam
hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan
kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
2.4 Perawatan Untuk Populasi Rentan
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat
yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari
potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan
menanggapi dampak bahaya tertentu.
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban,
sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat
manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang
9

berfokus pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam


menghadapi dampak tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1)
menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang
membutuhkan bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, lansia. Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya
tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan
banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
mengalokasikan dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang
ancaman dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
2.5 Pemenuhan Kebutuhan Jangka Panjang
Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami
perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu,
pelayanan medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam
menanggulangi setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti di
bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi
berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan. Untuk
menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan
lancarnya pelaksanaan Triage (triase), Treatment (pertolongan pertama), dan
transportation (transportasi) pada korban luka, yang dalam pelayanan medis
bencana disebut dengan 3T. selain tindakan penyelamatan secara langsung,
10

dibutuhkan juga perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik
di rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian
yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari
tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-hal
yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan supaya dapat
menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi
kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan
kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat,
pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di
daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan
bantuan.
11

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana.
Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus
dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah
sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan dengan
terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai sakit baik
fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan
dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu
dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan
tindakan tanggap bencana.
3.2 Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan
pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu
diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah
berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam
penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di
bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu
fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul di tempat yang sedang terjadi
bencana.

11
12

DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley,2015-2017. Nanda International, Inc. Nursing Diagnoses :


Definitions & Classification. 10th Ed. The atrium, shouter Gate, Chichester,
West Sussex
Bulechek, Gloria M & Butcher, Howard, K, 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). 6th Ed. St Louis : Missouri
Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Keliat,B.A, dkk. 2006. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa Dalam Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : Modul IC CMHN.FIKUI
Moorhead, Sue & Johnson Marion. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC). 5th Ed. St Louis :Missouri
Suliswati. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
13

Lampiran: Jurnal Terkait

PERAN TENAGA KESEHATAN


DALAM PENANGANAN MANAJEMEN BENCANA
THE ROLE OFHEALT OF OFFICER
IN HANDLING DISASTER MANAGEMENT
Mizam Ari Kurniayanti
Program Studi S1 Keperawatan
STIKES Widyagama Husada

ABSTRAK
Bencana merupakan kejadian luar biasa yang menyebabkan kerugian besar bagi
manusia dan lingkungan dimana hal itu berada diluar kemampuan manusia untuk
dapat mengendalikannya. Didalam Penanganan bencana terdapat beberapa
aspek yaitu aspek mitigasi bencana (pencegahan), Kegawatdaruratan saat
terjadinya bencana, dan aspek rehabilitasi. Penanganan kegawatdaruratan ketika
bencana targetnya adalah penyelamatan sehingga risiko tereliminir. Hodgetts &
Jones (2002), mengatakan bahwa faktor yang mendukung keberhasilan dalam
pengelolaan bencana adalah manajemen bencana. Salah satu syarat sukses
dalam management bencana adalah tenaga kesehatan. Ketiadaan atau
kelemahan ketenaga kesehatan adalah kebingungan, kehancuran, kerugian, dan
malapetaka. Namun justru hal inilah yang biasanya menjadi titik lemah
penanganan bencana di Indonesia, termasuk kasus penanganan gempa dan
tsunami di NAD khususnya pada saat-saat awal kejadian bencana, dimana untuk
tenaga kesehatan perannya sangat diperlukan.
KEYWORD: Peran, Tenaga Kesehatan, Manajemen Bencana

JURNAL ILMIAH KESEHATAN MEDIA HUSADA I VOLUME 01/NOMOR


01/AGUSTUS 2012
14

PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO


BENCANA ALAM DI INDONESIA
Paidi
STIE Dharma Bumiputera, Jakarta

ABSTRACT

The natural disaster such as earthquake, tsunami, volcano eruption, hurricane,


flood and landslide may occur to anyone, whenever, and wherever. According to
the various sources, in Indonesia 87% are the natural disaster prone regions, or
of 440 Urban/Regency territories, 383 out of them are natural disaster prone
regions. The objective of this paper is to assist the socialization the understanding
of the community in Indonesia on natural disaster is very low. The data or
information is obtained from the bibliography of various sources. What should be
taken into account are the focus on the preparedness, impact mitigation,
emergency response, rehabilitation and recovery as well a reconstruction which
can be conducted to minimize the impact, and the affected area will be expectedly
recoverable as usual, and even improved mentally, economically, infrastructural
and in other social life.

WIDYA Tahun 29 Nomor 321 Juli - Agustus 2012


15

Evaluasi Pelayanan Kesehatan Reproduksi Bagi Pengungsi


Rawan Bencana Erupsi Merapi
Siti Nuruniyah1
1Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta

Abstrak
Kondisi di pengungsian menyebabkan beberapa masalah kesehatan reproduksi
seperti kekerasan dan pelecehan seksual, hubungan seksual yang tidak aman,
masalah distribusi kontrasepsi, koordinasi lintas program dan lintas sektoral yang
belum optimal, penanggung jawab dan struktur organisasi yang belum jelas serta
belum semua tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan terlatih. Untuk
mengatasi masalahmasalah tersebut dan memberikan pelayanan kesehatan
reproduksi yang ideal bagi pengungsi dibutuhkan strategi untuk mencapainya.
Strategi tersebut dirumuskan dari hasil analisa SWOT input, proses dan output
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
Kata Kunci : Manajemen Bencana, Kesehatan Reproduksi, Pengungsi

Nurunniyah, 2014. JNKI, Vol. 2, No. 2, Tahun 2014, 57-61

Anda mungkin juga menyukai