Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Triage IGD


2.1.1. Pengertian Triage IGD
Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan
berat ringannya kondisi klien atau kegawatannya yang memerlukan tindakan
segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (response
time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu < 10
menit. Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan screening di
medan perang. Kata ini berasal dari bahasa Perancis yang berarti bermacam-
macam dalam memilah gangguan. Dominique Llarrey, yang merupakan ahli
bedah Napolleon Bonaparte, adalah orang yang pertama kali melakukan triage.
Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan
pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
terhadap hampir 100 juta orang yang memerlukan pertolongan di IGD setiap
tahunnya (Pusponegoro, 2010).
Triage merupakan proses sistematis yang bertujuan untuk memprioritaskan
pasien berdasarkan kondisi keakutan dan kegawatannya. Triage juga berarti suatu
proses yang berkelanjutan karena kondisi pasien yang dapat berubah sewaktu-
waktu selama tindakan dilakukan untuk menstabilkan kondisi pasien. Pada
beberapa kasus trauma sering terjadi kondisi pasien yang semakin memburuk
setelah dilakukan initial assessment sehingga proses monitoring dan evaluasi
harus terus-menerus dilakukan sampai kondisi pasien stabil (Kartikawati, 2011).
Triage yang akurat merupakan kunci untuk tindakan yang efisien di IGD
(Manitoba Health, 2010). Penatalaksanaan pada kondisi darurat didasarkan pada
respon klinis daripada urutan kedatangan (Australasian College For Emergency
Medicine, 2016). Pasien dengan prioritas rendah akan menunggu lebih lama untuk
penilaian dan pengobatan (Suryanto et al., 2018). Triage memiliki fungsi penting
di IGD, di mana banyak pasien dapat hadir secara bersamaan. Hal ini bertujuan
untuk memastikan bahwa pasien dirawat sesuai urutan urgensi klinis mereka yang
mengacu pada kebutuhan untuk intervensi waktu kritis.

2.1.2. Prinsip Triage IGD


Triage mengutamakan perawatan pasien berdasarkan gejala. Perawat triage
menggunakan Airway Breathing Circulation Disability (ABCD) keperawatan
seperti jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, serta warna kulit, kelembaban, suhu,
nadi, respirasi, tingkat kesadaran untuk memprioritaskan perawatan yang
diberikan kepada pasien di ruang gawat darurat. Perawat memberikan prioritas
pertama untuk pasien gangguan jalan nafas, kesulitan bernafas atau sirkulasi
terganggu. Pasien-pasien ini mungkin memiliki masalah jantung yang butuh
tindakan segera sehingga dimasukan kategori pertama. Pasien prioritas pertama
yang memiliki masalah pada saat di triage yang sangat mengancam kehidupan
dapat diberikan pengobatan langsung pada saat di triage (Australasian College
For Emergency Medicine, 2016).
Menurut Lerner et. al (2008) prinsip yang digunakan adalah sistem
prioritas. Prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan
mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul
dengan seleksi pasien berdasarkan; (1) ancaman jiwa yang dapat mematikan
dalam hitungan menit (2) dapat mati dalam hitungan jam (3) trauma ringan (4)
sudah meninggal. Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan
dengan menilai: (1) tanda vital dan kondisi umum korban (2) kebutuhan medis (3)
kemungkinan bertahan hidup (4) bantuan yang memungkinkan (Lerner et al.,
2008).
Menurut Kartikawati (2011) beberapa prinsip pelaksanaan triage
dijabarkan sebagai berikut:
a) Proses triage singkat, cepat, dan tepat
b) Pengkajian harus di lakukan secara adekuat dan akurat
c) Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
d) Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi keakutan pasien
e) Tercapainya kepuasan pasien
2.1.3. Proses Triase IGD
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu IGD. Perawat triage
harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan
melakukan pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah pasien yang berada di
brankar sebelum mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat (Kartikawati,
2011).
Pengkajian triage haruslah dilakukan dengan jelas dan tepat waktu. Tujuan
triage ini ialah untuk mengumpulkan data dan keterangan sesuai dengan kondisi
pasien dalam rangka pengambilan keputusan triage (Fultz & Sturt, 2005).
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih
dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama.
Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan
yang tepat; misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung
dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien
pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang
oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit (Prasetyantoro, 2013).
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu.Setiap pengkajian
ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis.Informasi baru dapat
mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya
kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan
minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami
sesak nafas, sinkop, atau diaforesis (Christ et al., 2010)
Ketika perawat triage menemukan kondisi yang mengancam nyawa,
pernapasan atau sirkulasi, maka perawat tersebut harus segera melakukan
intervensi dan pasien dibawa ke ruang perawatan (FitzGerald, et.al, 2010). Bila
kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien
ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan
data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik,
data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung
dari pasien (Kartikawati, 2012).
Di dalam tindakan triage terdapat istilah undertriage dan uptriage (Jones,
Marsden & Windle, 2006). Dua konsep kunci ini sangat penting untuk memahami
proses triage. Undertriage adalah proses yang underestimating tingkat keparahan
atau cedera. Misalnya pasien prioritas 1 (segera) sebagai prioritas 2 (tertunda) atau
prioritas 3 (minimal). Uptriage adalah proses overestimating tingkat individu
yang telah mengalami sakit atau cedera. Misalnya pasien prioritas 3 sebagai
prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 1 (segera) (Volz et al., 2019). Beberapa
literature menyebutkan apabila terdapat keragu-raguan dalam menentukan
prioritas penderita maka dianjurkan untuk melakukan uptriage untuk menghindari
penurunan kondisi penderita (ENA, 2006).
Tujuan tindakan triage bukan untuk mendiagnosis penyakit tetapi
melakukan pengkajian dan rencana tindakan sesuai dengan kondisi pasien
(Nonutu, Malara, & Mulyadi, 2015). Sistem subjective, objective, asessment,
planning (SOAP) bisa digunakan sebagai panduan dalam pengumpulan data
subjektif, objektif, rencana tindakan dan penatalaksanaanya. Proses SOAP secara
efektif dapat berfungsi sebagai dokumentasi pengkajian dan tindakan keperawatan
dalam proses triage (Lubis et al., 2013).
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Triage
Faktor yang mempengaruhi triage decision makingdibagi menjadi dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencerminkan
keterampilan perawat dan kapasitas pribadi. Faktor eksternal mencerminkan
lingkungan kerja, termasuk beban kerja tinggi, pengaturan shift, kondisi klinis
pasien, dan riwayat klinis pasien. Jika faktor-faktor tersebut diabaikan, maka
pelaksanaan triage berjalan tidak optimal sehingga dapat menyebabkan kesalahan
dalam pengambilan keputusan, serta mengakibatkan ketidakmampuan dan bahkan
cacat permanen bagi pasien (Ainiyah, 2015).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan perawat
triage berdasarkan penelitian Duko et al., (2019) pada 101 perawat di Rumah
Sakit Pendidikan Hawassa Ethiopia didapatkan hasil mayoritas perawat berjenis
kelamin perempuan, hampir seluruhnya berusia kurang dari 30 tahun, separuh dari
responden memiliki pengetahuan tentang triage yang rendah. Faktor yang
signifikan mempengaruhi pengetahuan perawat tirage diantaranya adalah
pengalaman bekerja, tingkat pendidikan, dan pengalaman triage. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan triage diantaranya adalah
pengalaman bekerja dan pengalaman triage.

2.2.1. Pengetahuan

2.2.1.1. Pengertian Pengetahuan


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu manusia dan ini terjadi setelah
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2012).
Ranah kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir, mencakup
memampuan intelektual yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Pada ranah ini
induvidu dituntut untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan. Semakin
tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukan semakin sulitnya tingkat
berfikir atau tuntutan seseorang. Penguasaan tingkatan ranah di bawahnya,
merupakan prasyarat untuk menguasai tingkatan ranah di atasnya yang lebih
tinggi (Nurhidayah, 2010).
2.2.1.2. Tingkatan Pengetahuan
Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa tingkatan pengetahuan terbagi
menjadi 6 tingkatan, yaitu:
1) Tahu
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat mengintegrasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi
Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi real. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai apliksi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam
konteks atau situasi yang lain.
4) Analisis
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.
5) Sintesis
Menunjukan pada suatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6) Evalausi
Evaluasi itu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi
dengan anak yang kekuarangan gizi, dan sebagainya.
2.2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Notoadmodjo (2012), mengatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang
dipengaruhi banyak faktor yaitu pendidikan, informasi, sosial ekonomi,
lingkungan, pengalaman dan usia.
1) Pendidikan
Pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Semakin
tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin luas pula pengetahuannya.
Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak
berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.
2) Informasi
Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan
informasi dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi pengetahuan masyarakat
tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media
massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.
3) Sosial dan ekonomi
Sosial dan Ekonomi juga sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu
fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial
ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan seseorang.
4) Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam
lingkungan tersebut.
5) Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa
lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan akan
memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta dapat
mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan
manisfestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak
dari masalah nyata dalam bidang kerja.
2.2.1.4. Pendidikan
Koentjoroningrat (2010), mengatakan pendidikan adalah kemahiran
menyerap pengetahuan, pendidikan seseorang berhubungan dengan sikap
seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya. Semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan. Pendidikan
merupakan unsur karateristik personal yang sering dihubungkan dengan tindakan
seseorang atau masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang , maka akan
semakin mudah untuk menyerap informasi dalam bidang kesehatan. Mudahnya
seseorang untuk menyerap informasi akan berpengaruh terhadap pembentukan
individu baru yang lebih baik.
Di Instalasi / Unit Gawat Darurat ada beberapa cara yang dimanfaatkan
untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan (in service training) perawat secara
berkelanjutan, yaitu:
a. Ada program orientasi / pelatihan bagi petugas baru yang bekerja di unit
gawat darurat.
b. Ada program tertulis tiap tahun tentang peningkatan ketrampilan bagi tenaga
di Instalasi / Unit Gawat Darurat.
c. Ada latihan secara teratur bagi petugas Instalasi / Unit Gawat Darurat dalam
keadaan menghadapi berbagai bencana (disaster).
d. Ada program tertulis setiap tahun bagi peningkatan ketrampilan dalam bidang
gawat darurat untuk pegawai rumah sakit dan masyarakat.
Kepada perawat di instalasi gawat darurat juga perlu dijelaskan bahwa
kompensasi yang diberikan, dihitung berdasarkan keterampilan dan
kemampuannya menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada perawat. Misalnya:
perawat yang mampu menanggani pasien gawat darurat dengan terampil, dinilai
lebih dari perawat yang hanya mampu menangani pasien cidera atau trauma.
2.2.1.5. Pelatihan
Menurut Thoha (2011), latihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki
kemampuan kerja tenaga kesehatan, mampu melaksanakan pelayanan kesehatan
serta berorientasi pada kegiatan pelayanan secara langsung. Secara umum bentuk
metode ini dapat di bedakan menjadi empat bentuk , yaitu :
1) On the job training, adalah merupakan metode latihan yang paling banyak
digunakan. Sistem ini terutama memberikan tugas kepada atasan langsung dari
pegawai yang baru dilatih mereka. Sistem ini merupakan sistem yang
ekonomis (hemat), karena tidak perlu menyediakan fasilitas khusus untuk
latihan.
2) Vestibule school adalah bentuk latihan dimana pelatihannya bukanlah atasan
langsung tetapi pelatih- pelatih khusus. Alasannya terutama adalah untuk
menghindari para atasan langsung tersebut dengan tambahan kewajiban dan
memusatkan latihan hanya kepada para ahli dalam bidang latihan
3) Apprenticeship (magang), sistem ini dipergunakan untuk pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan yang relatif lebih tinggi. Program ini biasanya
mengkombinasikan on the job training dengan pengalaman dan petunjuk
dikelas dalam pngetahuan-pengetahuan tertentu. Sistem magang ini
mempunyai prinsip umum, yaitu belajar sambil bekerja.
4) Kursus-kursus, merupakan bentuk pengembangan pegawai yang lebih mirip
pendidikan daripada latihan. Kursus-kursus ini biasanya diadakan untuk
memenuhi kebutuhan dan minat daripada pegawai dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan tertentu, seperti : kursus manajemen keperawatan dan
penanganan kasus gawat darurat.
Berikut adalah beberapa jenis pelatihan yang harus di ikuti perawat di
instalasi gawat darurat adalah :
a. Sesuai dengan sistem pelayanan gawat darurat yang diterbitkan Depkes
(2006), disebutkan bahwa setiap petugas IGD harus telah pernah mengikuti
Pelatihan Penanganan Gawat Darurat (PPGD). Pelatihan penanganan gawat
darurat adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dilakukan pada kondisi
gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian atau
kecacatan.
b. Pelatihan BTLS (Basic Trauma Life Support) adalah tindakan untuk
memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat guna
mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktivitasnya dapat
dipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat
yang terjadi. Pada kegiatan BTLS terdapat enam fase, yaitu: fase deteksi, fase
supresi, fase pra rumah sakit, fase rumah sakit dan fase rehabilitasi.
c. Pelatihan BCLS ( Basic Cardiac Life Support) adalah pelatihan untuk
memberikan bantuan hidup dasar pada pasien yang mengalami trauma dan
gangguan jantung paru (kardiopulmoner).
2.2.1.6. Pengalaman Kerja
Menurut pendapat Asad (1982) dalam Nursalam (2012), bahwa faktor yang
mempengaruhi pekerjaan seseorang adalah Extrovet , yaitu seseorang yang
memiliki wawasan dan perhatian keluar dari dirinya , hal ini terkait dengan
lamanya orang tersebut bekerja dengan pedoman atau cara kerja yang sama.
Pelayanan kesehatan di instalasi gawat darurat dikhususkan pada penanganan
pasien yang membutuhkan tindakan medis secara cepat, cermat dan tepat. Apabila
seseorang tenaga kesehatan sudah lama bekerja di instalasi gawat darurat tersebut
maka dia sudah mempunyai wawasan dan pemahaman yang luas tentang cara
penanganan pasien dengan kondisi yang berbeda.
Sunaryo (2004), mengemukakan bahwa tingkat kematangan dalam berpikir
dan berperilaku dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan sehari- hari. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin lama masa kerja akan semakin tinggi tingkat
kematangan seseorang dalam berpikir sehingga lebih meningkatkan pengetahuan
yang dimiliki. Lama bekerja seorang petugas kesehatan IGD dapat melakukan
triage minimal memiliki masa kerja > 2 tahun. Lama bekerja seseorang akan
menentukan banyak pengalaman yang didapatkannya.
2.2.2. Beban Kerja
2.2.2.1. Pengertian Beban Kerja
Menurut Menpan, Dhania (Paramitadewi, 2017) pengertian beban kerja
adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit
organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
menurut Salah satu tokoh yang mengemukakan definisi beban kerja adalah
Gopher & Doncin (1986) mengartikan beban kerja sebagai suatu konsep yang
timbul akibat adanya keterbatasan kapasitas dalam memroses informasi. Saat
menghadapi suatu tugas, individu diharapkan dapat menyelesaikan tugas tersebut
pada suatu tingkat tertentu.
Permendagri No.12/2008 (Sitepu, 2013) menyatakan bahwa beban kerja
adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan
merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Jika kemampuan
pekerja lebih tinggi daripada tuntutan pekerjaan, akan muncul perasaan bosan.
Namun sebaliknya, jika kemampuan pekerja lebih rendah daripada tuntutan
pekerjaan, maka akan muncul kelelahan yang lebih. Beban kerja yang dibebankan
kepada karyawan dapat dikategorikan kedalam tiga kondisi, yaitu beban kerja
yang sesuai standar, beban kerja yang terlalu tinggi (over capacity) dan beban
kerja yang terlalu rendah (under capacity).
Menurut Mashkati, Hariyati (Saefullah, 2017) dapat didefinisikan sebagai
suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan
pekerjaan yang harus dihadapi. Mengingat kerja manusia bersifat mental dan fisik,
maka masing-masing mempunyai tingkat pembedaan yang berbeda-beda. Tingkat
perbedaan yang terlalu tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan
dan terjadi overstress. Sebaliknya intensitas pembebanan yang terlalu rendah
memungkinkan rasa bosan dan kejenuhan atau understress.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahawa beban kerja
yaitu sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau
pemegangjabatan dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil kali antara
volume kerja dan norma waktu juga merupakan perbedaan antara kapasitas atau
kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi.
2.2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja
Menurut Gillies (Trihastuti, 2016) faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja

adalah:

a. Jumlah pasien yang dirawat setiap hari/bulan/tahun di unit tersebut.


b. Kondisi penyakit atau tingkat ketergantungan pasien.
c. Rata-rata hari perawatan klien (AvLOS).
d. Pengukuran perawatan langsung, tidak langsung.
e. Frekwensi tindakan perawatan yang dibutuhkan.
f. Rata-rata waktu perawatan langsung, tidak langsung.
Pendapat lain dari Sunyoto (Trihastuti, 2016) fakto-faktor yang berpengaruh
terhadap beban kerja adalah:
1. Faktor Internal, pengaruh dari tubuh sendiri terdiri dari faktor biologis seperti
umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, status gizi, kesehatan diri, serta
faktor psikologis seperti persepsi, motivasi, kepercayaan, keputusan serta
keinginan.
2. Faktor eksesternal yakni faktor semua faktor duluar biologis pekerjaan-
pegawai yaitu: keinginan di institusi kerja, tugas pokok dan fungsi perawat,
kondisi lingkungan kerja dan sarana kerja.
2.2.2.3. Jenis Beban Kerja
Beban kerja meliputi 2 jenis, sebagaimana di kemukakan oleh Munandar
(Trihastuti, 2016) ada 2 jenis beban kerja yaitu:
1. Beban kerja kuantitatif meliputi:
a. Harus melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam kerja.
b. Banyaknya pekerjaan dan beragamnya pekerjaan yang harus dikerjakan.
c. Kontak langsung perawat, pasien secara terus menerus selama jam kerja.
d. Rasio perawat dan pasien.
2. Beban kerja kualitatif meliputi:
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perawat tidak mampu mengimbangi
sulitnya pekerjaan di rumah sakit.
a. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas
b. Tuntutan keluarga pasien terhadap keselamatan pasien
c. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat
d. Tugas memberikan obat secara intensif
e. Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya, koma dan kondisi
terminal
f. Tanggung jawab yang tinggi terhadap asuhan keperawatan pasien kritis.
2.2.2.4. Aspek Beban Kerja
Menurut Susianti (Trihastuti, 2016) membagi beban kerja dalam dua sudut
pandang, yaitu secara subjektif, dimana meliputi : beban fisik, sosial, beban
mental dan objektif, dimana meliputi : keadaan nyata dilapangan secara objektif
dilihat dari keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan.
Kegiatan-kegiatan perawat meliputi kegiatan produktif langsung maupun tidak
langsung dan kegiatan non produktif.
a. Kegiatan produktif langsung
Meliputi : menerima pasien baru, melakukan anamnese, mengukur TTV,
observasi pasien, memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta nutrisi,
memenuhi kebutuhan eliminasi urine dan BAB, memenuhi kebutuhan
oksigen, melakukan nebulizing, mengoplos obat, memberikan terapi injeksi,
memberikan terapi peroral, memenuhi kebutuhan rasa aman nyaman,
membantu mobilisasi pasien, memperbaiki posisi pasien, mengganti alat tenun
pasien, melakukan personal dan oral hygiene, merawat luka, melakukan
genetalia higyene pasien, memasang infus, memasang dan melepas kateter,
mengukur urine, memasan dan melepas NGT, menganti cairan infus,
memasang syrung pump, memasang infus pump, memberi kompres hangat,
pendidikan kesehatan, menyiapkan spesimen lab, memberikan enema,
melakukan pemeriksaan GDA, melakukan pemeriksaan EKG, melakukan
informed consent, menangantar pasien pindah ruangan, menjemput pasien dari
ICU, mengantar pasien untuk pemeriksaan USG dan Rontgen dll, pemenuhan
spritual pasien, melakukan resusitasi, merawat jenazah.
b. Kegiatan produktif tidak langsung
Meliputi : pendokumentasian askep, laporan dokter, telekomunikasi dengan
ruangan lain, pendataan pasien baru, timbang terima pasien, persiapan dan
sterilisasi alat, melakukan inventaris alat kesehatan, membuat inventaris dan
sntralisasi obat, mengantar visite dokter, memasukkan pemakaian alat kestatus
pasien, memasukkan data administrasi ke komputer, menyiapkan pasien yang
akan pulang, mengantar resep ke kamar obat, melakukan discharge planning,
melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain, melakukan kewaspadaan
universal precaution, memeriksa kelengkapan status pasien, mengirim bahan
pemeriksaan kelaboratorium, menyiapkan pasang infus, menyiapkan rawat luka,
menyiapkan pasang NGT, membimbing mahasiswa praktik, berdiskusi tentang
kasus pasien, melakukan verifikasi pemakaian alat.
c. Kegiatan non produktif
Meliputi : datang, absensi, makan dan minum, mengobrol, main
HP/telepon pribadi, berganti pakayan dan berhias, shalat, toileting, diam di
nurse station. Pemakaian waktu pelaksanaan kegiatan produktif perawat pada
shift pagi dan sore lebih banyak dibandingankan dengan shift malam. Menurut
Hendiani (2012) rata-rata pemakaian waktu pelaksanaan kegiatan produktif
pada shif pagi dan shif sore mencapai 74,16%, sedangkan shift malam
sebanyak 34,03%.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Kasmarani, M.K (2012) di
RSUD Cianjur pada perawat di Instalasi Gawat Darurat, membagi beban kerja
menjadi dua yaitu, beban kerja fisik dan beban kerja mental. Dari 26 perawat
diperoleh hasil dimana beban kerja fisik berada pada katagori ringan (96,2%)
dan beban kerja secara mental berada pada katagori tinggi (70,1%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mudayana, A.A (2012)
pada karyawan RS Nur Hidayah Bantul, dimana dari 79 responden terdapat 27
perawat yang merupakan sampel yang digunakan. Diperoleh hasil beban kerja
berada pada katagori sedang (54,4%), dengan hasil tersebut menurut peneliti
bahwa besar kecilnya beban kerja yang diterima karayawan RS Nur Hidayah
Bantul tidak mempengauhi kinerja, dimana karyawan akan tetap bekerja
dengan baik selama mereka termotivasi dalam bekerja.
2.2.2.3.1. a

2.2.2.4. A
2.2.2.5. A
2.2.2.6. A
2.2.2.7. A
2.2.2.8. a
2.2.3. A
2.2.4. A
2.2.5. A
2.2.6. a

2.3. A
2.4. A
2.5. A
2.6. A
2.7. A
2.8. A
2.9. A
2.10. A

Anda mungkin juga menyukai