Anda di halaman 1dari 6

PENETRATING KERATOPLASTY IN SCLERO CORNEAL ULCERATION

KERATOPLASTI TEMBUS PADA ULSERASI KORNEA SKLERA

Dr Tjahjono D Gondhowiarjo SpM (K)

Departemen Medik Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Koligium Oftalmologi Indonesia

Dibacakan pada KONAS PIT PERDAMI ke 38


Palembang 29-31 agustus 2013

PRESENTASI KASUS

Seorang laki-laki, 48 tahun datang ke poliklinik mata di rujuk oleh dokter mata daerah
untuk dilakukan keratoplasti tektonik pada mata kiri. Terdapat riwayat dilakukan tindakan
bedah insisi pterigium mata kiri 2 tahun yang lalu. Kemudian dirasakan sakit, dan terlihat
warna putih dikelilingi warna merah pada mata yang di operasi tersebut. Pasien telah
berobat kembali pada dokter mata yang melakukan tindakan bedah tersebut, akan tetapi
semakin memburuk sehingga tidak dapat melihat.

Keadaan umum: baik, tidak ada penyakit HIV dan defisiensi imun lainnya

Pemeriksaan mata:
Tajam penglihatan : mata kanan 6/6 dan mata kiri 2/60 tak dapat dikoreksi
Tekanan intraokular (TIO) mata kanan 15 mmHg dan TIO mata kiri 9 mmHg
Pemeriksaan dengan lampu celah memperlihatkan mata kanan dalam kondisi normal, baik
segmen anterior maupun segmen posterior. Pada mata kiri memperlihatkan konjungtiva
hiperemis, injeksi konjungtiva dan injeksi silier. Pada kornea terlihat ulkus kornea dengan
impending perforasi. Besar ulkus 6x 5 mm di derah perifer kornea nasal, batas ulkus kabur
dan tes fistel negative. Tes flourensi memperlihatkan adanya pooling yang menandakan
positif ulkus. Terlihat iris sinekia anterior terutama bagian nasal dan bilik mata depan
dangkal disisi ulkus kornea. Lensa jernih dan sklera di bagian nasal tampak sangat tipis,
batas tidak tegas dengan gambaran bayangan choroid dengan hiperemis disekitarnya, pus
tidak ada. Tidak ada pus dan tanda endoftalmitis. Pemeriksaan funduskopi memperlihatkan
gambaran segmen posterior baik.
Diagnosis pada mata kiri adalah ulkus kornea impending perforasi disertai sklera malasi
dan surgically induced necrotizing skleritis. Penatalaksaan pasien ini adalah pemberian
antibiotik tetes mata 6 kali 1 tetes sehari dan sulfas atropin 2 % 3 kali sehari 1 tetes.
Rencana dilakukan keratoplasti tembus tetonik.
Diskusi
Surgically induced necrotizing scleritis disebabkan oleh auto imun seperti rematoid
artritis, tindakan bedah ber ulang yang melibatkan jaringan kolagen sklera, iskemia lokal
akibat pemakaian kauter yg berlebihan, penggunaan obat anti metabolit tidak hati-hati
seperti penggunaan mitomicin C atau eksposure radiasi dan pemberian obat imunosupresif
serta nonsteroid anti inflamasi jangka panjang
Pada pasien saat dilakukan insisi pterigium, juga disertai pemberian obat mitomicin
C ( MMC) dengan bare sclera. Mitomisin C adalah obat antimetabolite yang berpengaruh
dalam proses penyembuhan luka. Cara kerja obat ini adalah berhentinya proses pembelah
dalam siklus sel pada fase G. Pemberian dosis tinggi akan menyebabkan kematian jaringan,
baik nekrosis maupun apoptosis.1 Sehingga proses penyembuhan di daerah sklera dan
kornea yang di operasi tidak berlangsung dengan baik, kornea dan sklera menipis akibat
kematian jaringan epitel kornea dan jaringan kolagen sklera. Keadaan tersebut, t indakan
keratoplasti tembus tektonik tidak dapat di hindari lagi dalam mempertahankan integritas
bentuk bola mata.
Keratoplasti tembus tektonik (KTT) adalah tranplantasi kornea dari donor ke
host/pasien yang diperlukan dalam mempertahankan keutuhan bentuk bola mata.
Termasuk dalam tindakan KTT adalah keratoplasti tembus (KT), keratoplasti lamellar
anterior (KLA), dan graf kornea lamellar perifer dengan bentuk dan besar yang bervariasi.
Keratoplasti tembus adalah tindakan yang mengangkat seluruh 5 lapisan kornea host yang
kemudian di gantikan dengan seluruh lapisan kornea donor. Tindakan KT sering di kerjakan,
banyak laporan keberhasilan tindakan tersebut, akan tetapi banyak pula melaporkan
kegagalannya.2,3 Reaksi penolakan menjadi masalah utama, melibatkan proses immune
komplek tubuh, terutama bila dikerjakan pada kornea yang masih mengalami proses
inflamasi, sehingga KT dilakukan sebagai KT terapeutik (bersifat mempertahankan struktur
bola mata) dan bersifat sementara. Apabila proses peradangan mereda, maka dilakukan
kembali tindakan bedah KT optik (mengusahakan peningkatan tajam penglihatan). Konsep
awal mengenai transplantasi kornea (keratoplasti) pertama kali dikemukakan oleh Frans
Reisinger pada tahun 1824, yang selanjutnya mulai dikembangkan oleh ahli kornea pada
abad tersebut. Samuel Bigger pertama kali mempublikasikan keberhasilan keratoplasti pada
hewan di tahun 1935. Keratoplasti tembus (penetrating keratoplasty) pertama kali pada
manusia dilakukan oleh Eduard Zirm pada tahun 1906. Donor kornea yang digunakan
berasal dari mata anak berusia 11 tahun yang ditransplantasikan pada orang dewasa
dengan indikasi trauma kimia basa. Kornea yang ditransplantasikan berukuran 5-mm dan
didapatkan tetap jernih selama setengah tahun.2,3

Keratoplasti lamellar anterior, dilakukan apabila kornea yang diganti tidak


menyeluruh lapisan kornea host yang diangkat dan di cangkok kornea donor adalah
sebagian lapisan kornea stroma di atas sel endotel kornea. Keadaan demikian
mempertahankan endotel host dalam mengurangi reaksi penolakan dan diharapkan kornea
donor dapat bertahan lama. Keratoplasti lamelar dikemukakan pertama kali oleh Anton
Elsching pada tahun 1914 dengan menggunakan trepin von Hippel, pada kasus keratitis
interstitial. Teknik operasi keratoplasti lamelar terus berkembang hingga awal abad ke-20
melalui berbagai penelitian yang dilakukan oleh Barraquer, Filatov, Paufique, dan ahli
kornea lainnya. Selanjutnya mulai muncul berbagai permasalahan yang timbul pasca
keratoplasti lamelar ini, seperti interface haze, scarring, maupun epithelial ingrowth.
Oleh sebab itu, teknik keratoplasti tembus masih lebih diminati dibandingkan keratoplasti
lamelar. 2,4
Tissue Typing and Matching adalah Immune previledge yang dimiliki kornea terkait
dengan frekuensi dan keparahan rejeksi kornea pasca transplantasi, bila dibandingkan
dengan transplantasi organ tubuh lainnya. Berbagai teori mencoba menjelaskan penyebab
hal ini. Medawar pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa kondisi kornea yang avaskular
dan tidak memiliki aliran limfatik, menjadi salah satu komponen yang menciptakan keadaan
immune previledge kornea.5

Gen Human Leucocyte Antigen (HLA) yang diekspresikan kornea, selanjutnya


ditemukan turut berperan dalam low immunogenity kornea. Gen HLA diklasifikasikan
menjadi dua, yakni:
 HLA kelas I yang terdiri dari HLA-A, HLA-B dan lokus HLA-C. Antigen yang dproduksi
oleh gen ini ditemukan pada semua sel berinti, dengan domain yang dikenali oleh sel T
sitotoksik (CD 8+).5,6
 HLA kelas II, meliputi HLA-DP, HLA-DQ dan lokus HLA-DR. Antigen yang diproduksi oleh
gen ini hanya ditemukan pada sel umun yang dipresentasikan terhadap sel T helper,
meliputi limfosit B, monosit, makrofag, sel T-teraktivasi, serta sel dendritik dan
Langerhans. Antigen HLA kelas II dikenali oleh sel T helper (CD4+). Sel T helper
selanjutnya memproduksi sitokin yang menginduksi produksi sel T sitotoksik, dengan
target jaringan donor. Pada transplantasi kornea, cell-mediated immunity diperkirakan
lebih berperan dibandingkan dengan humoral immunity.5-,8

Antigen HLA kelas I diekspresikan di epitel, stroma dan endotel kornea. Antigen HLA
kelas II ditemukan dalam sel Langerhans di dalam epitelium, dan ekspresinya meningkat
dalam keadaan inflamasi. Atas dasar imunologi di atas, penelitian selanjutnya berkembang
pada tissue HLA matching antara donor dan resipien sebelum dilakukannya transplantansi
kornea, sebagai upaya menurunkan risiko rejeksi. 5,6 Meskipun demikian, Pada tahun 1992,
Collaborative Cornea Transplantation Study (CCTS), 7 yang merupakan studi multisenter
terbesar dalam meneliti efektivitas HLA matching pada pasien dengan risiko tinggi rejeksi
kornea pasca transplantasi, mendapatkan bahwa matching pada antigen HLA-A, HLA-B
maupun HLA-DR tidak terbukti secara signifikan dalam menurunkan risiko rejeksi.
Collaborative Cornea Transplantation Study 7 juga meneliti mengenai ABO blood
group matching antara donor dan resipien. Didapatkan bahwa pada high risk group dalam
tiga tahun pasca transplantasi, proporsi mata dengan graft failure dijumpai lebih tinggi pada
ABO-incompatible group dibandingkan dengan ABO-compatible group (41% vs 31%, RR
1,43, 95% CI 1,00 – 2,06). Sedangkan pada grup yang tidak memiliki risiko tinggi, Roy et al 8
pada tahun 1997, mendapatkan bahwa ABO group matching tidak menunjukkan peran yang
bermakna dalam menurunkan risiko kegagalan graft. Studi mengenai tissue matching masih
berkembang hingga kini, dengan hasil yang beraneka ragam. Meskipun demikian, dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, tissue matching tidak dilakukan pada
semua kasus transplantasi kornea, namun dapat dipertimbangkan pada kasus – kasus
dengan risiko tinggi.3,7-9
Graf kornea digunakan sesuai keperluannya, bila sebagaian kornea host dapat
dipertahankan dan yang diganti kornea donor hanya sebagian kornea host yang mengalami
infeksi, atau sebagian penipisan kornea. Jaringan kornea donor dapat pula digunakan untuk
menutupi sclera yang juga mengalami infeksi atau penipisan/sclera malasi. 5

Langkah langkah tindakan bedah keratoplasti tembus pada keratosklera malasi


adalah;
Prinsip utama dalam operasi keratoplasti tembus adalah: (1) mendapatkan aposisi jaringan
kornea yang baik dengan astigmatisme minimal, dan (2) mencegah kerusakan pada sel
endotel donor.1,4 Langkah – langkah yang harus diperhatikan dalam keratoplasti tembus
adalah sebagai berikut:
1. Penandaan aksis optikal kornea resipien, selanjutnya pengukuran diameter horizontal
kornea resipien yang akan ditrepinasi menggunakan kaliper, disertai penandaan dengan
menggunakan radial marker untuk membantu aposisi penjahitan kornea donor-resipien
yang simetris dan radial. Penentuan diameter kornea resipien bergantung pada
beberapa faktor meliputi kondisi patologis kornea resipien dan risiko rejeksi. 1,4,

(A) (B)
Gambar 11. (A) Pengukuran diameter horizontal kornea resipien menggunakan
kaliper. (B) Penandaan radial marker kornea resipien, dengan titik tengah aksis
optikal kornea.dikutip dari kepustakaan nomor 1
2. Trepinasi kornea donor.
Dilakukan trepinasi kornea donor, sesuai dengan ukuran diameter kornea resipien. Pada
mata phakic, umumnya digunakan ukuran trepin 0,25 mm lebih besar dari kornea
resipien, karena kornea donor ditrepinasi dari permukaan endotel yang diperkirakan
memiliki diameter sekitar 0,25 mm lebih kecil dibandingkan dengan diameter trepin
dari permukaan epitel. Pada mata aphakic, digunakan ukuran donor 0,5 mm lebih besar
untuk mendapatkan mata yang lebih miopia pasca keratoplasti. Pada pasien dengan
diameter kornea (limbal to limbal) ≥ 12,5 mm, umumnya digunakan ukuran trepin
donor 8,25 atau 8,5 mm. Ukuran trepin donor 7,5 atau 7, mm digunakan pada pasien
dengan diameter kornea (limbal to limbal) ≤ 11,5 mm. Diberikan viscoelastik untuk
melindungi permukaan endotel donor. 2,4,10

(A) (B) (C)


Gambar 12. (A) Trepinasi kornea donor pada sisi endotel (B) Barron Donor Corneal
Punch (C) Viscoelastic diberikan pada sisi endotel donor yang telah ditrepinasi. dikutip dari
kepustakaan nomor 4 dan 9

3. Trepinasi kornea resipien


Dilakukan trepinasi kornea resipien pada garis marker yang telah dibuat sebelumnya.
Chamber entry dapat diperoleh melalui trepin maupun blade. Trepinasi hingga sekitar ¾
ketebalan kornea, yang selanjutnya diikuti dengan penembusan anterior chamber
menggunakan blade lebih diminati karena memberikan chamber entry yang lebih
terkontrol. Kornea resipien kemudian digunting menggunakan gunting kornea. 2,4,10
4. Pengguntingan kornea resipien

(A) (B)
Gambar 13. (A). Trepinasi kornea resipien (B) Kornea resipien digunting menggunakan
gunting kornea. Setelah didapatkan kondisi open sky, diinjeksikan viscoelastik ke dalam
bilik mata depan.

5. Managemen iris
Keadaan pupil konstriksi pada keratoplasti tembus dapat membantu melindungi lensa.
Pada kasus keratoplasti secara umum, tindakan iridektomi perifer tidak menjadi suatu
prosedur yang rutin. Meskipun demikian, iridektomi perifer beserta release sinekia
penting untuk dilakukan pada mata dengan riwayat inflamasi dan peningkatan tekanan
intraokular. 1,4

6. Graft management and chamber maintenance


Langkah selanjutnya adalah menempatkan donor kornea ke resipien. Viskoelastik
digunakan untuk membentuk bilik mata depan.1,4

7. Penjahitan
Teknik penjahitan kornea donor bervariasi dari jahitan multipel interuptus, running
suture, maupun kombinasi keduanya, menggunakan benang nilon 10.0. Dengan teknik
apapun, langkah pertama penjahitan adalah menempatkan empat jahitan kardinal
untuk mendapatkan fiksasi kornea donor. Empat jahitan kardinal pada arah jam 12, 6, 3,
dan 9 harus dibuat dengan distribusi tarikan yang seimbang pada semua kuadran.
Jahitan selanjutnya dilanjutkan hingga 16 jahitan interuptus, running suture, ataupun
double running suture. Penjahitan kornea merupakan langkah yang paling penting dalam
membentuk luka yang kedap, dan menciptakan struktur kornea yang optimal untuk
mendapatkan koreksi optikal yang baik. Simpul benang selanjutnya dibenamkan
seluruhnya, ke arah donor atau resipien. Akan tetapi, simpul yang dibenamkan ke arah
kornea resipien lebih berisiko menstimulasi timbulnya vaskularisasi kornea. 2,4,10

(A) (B)
Gambar 14. (A) Penjahitan pada empat posisi kardinal yakni arah jam 12, 6, 3 dan 9. (B)
Penjahitan dilanjutkan hingga16 jahitan interuptus.dikutip dari kepustakaan nomor 9

8. Final checks
Tahap terakhir dalam pembedahan adalah memastikan luka kedap, bilik mata depan
yang terbentuk dengan baik, serta tekanan intraocular yang normal. Bila diperlukan,
dapat ditambahkan jahitan interuptus diantara 16 jahitan yang sudah ada. Antibiotik
subkonjungtiva diinjeksikan pada akhir pembedahan.

Perhatian untuk dokter mata yang melakukan insisi pterigium :


Cara menangani jaringan mata baik konjungtiva terutama terhadap kornea, harus dilakukan
dengan seksama sebaiknya gunakan mikroskop. Aplikasi antimetabolite MMC. Sebaiknya
dilakukan dengan hati hati disertai pemberian dosis yang benar.

Kepustakaan :
1. Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ. Cornea. Fundamental, diagnosis and management.
2010.
2. Nijm LM, Mannis MJ, Holland EJ. The evolution of contemporary keratoplasty. In:
Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, editors. Cornea: fundamentals, diagnosis and
management. 3rd ed. Expert Consult. St Louis, MO: Mosby Elsevier; 2011 [CD-ROM]
3. Marcus Ang, Jodhbir S. Mehta,Chelvin C.A. Sng, Hla Myint Htoon, Donald T.H. Tan .
Indications, Outcomes, and Risk Factors for Failure in Tectonic Keratoplasty.
Ophthalmology 2012;119:1311–1319
4. Arenas E, Esquenazi S, Anwar M, Terry M. Lamellar corneal transplantation. Surv
Ophthalmol 2012;57:510-29
5. Forrester JV, Kuffova L. Corneal transplantation: an immunological guide to the clinical
problem. London: Imperial College Press; 2004: p.1-6
6. Brightbill FS, McDonnell PJ, Farjo AA, McGhee CNJ, Serdarevic ON, editors. Corneal
surgery: theory, technique and tissue. 4th ed. Winconsin: Mosby Elsevier; 2009: p.292-98,
365-75
7. The Collaborative Cornea Transplantation Studies Research Group. The collaborative
corneal transplantation: effectiveness of histocompatibility matching in high-risk corneal
transplantation. Arch Ophthalmol 1992;110:1392-1403
8. Roy R, Marchais DB, Bazin R, Boisjoly MH, Dube I,Laughrea PA. Role of ABO and lewis
blood group antigens in donor-resipient compatibility of corneal transplantation
rejection. Ophthalmology 1997;104:508-12
9. Borderie VM, Scheer S, Bourcier T, Touzeau O, Laroche L. Tissue crossmatch before
corneal transplantation. Br J Ophthalmol 2004;88:84-7
10. Lee WB, Mannis MJ. Corneal suturing techniques. In: Macsai MS, editor. Ophthalmic
microsurgical suturing techniques. Glenview: Springer; 2007: p.49-58
11. Test
12. Ok
13. Sip
14.

Anda mungkin juga menyukai