Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TIBIA FIBULA


Disusun untuk Menyelesaikan Tugas State Keperawatan Medikal Bedah II
di Ruang Gedung Prof. Soelarto (GPS) Lantai 1 RSUP Fatmawati

Di susun oleh:
Desi Rahmawati Dewi
Kelompok II

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
A. Konsep Fraktur Tibia Fibula
1. Definisi Fraktur Tibia Fibula
Fraktur pada shaft (batang) tibia dan fibula yang sering disebut fraktur kruris
merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan dengan fraktur pada tulang
panjang lainnya. Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama path daerah
depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya
fragmen frakturnya bergeser karena berada langsung dibawah kulit sehingga sering
juga ditemukan fraktur terbuka (Purnomo, 2018).
Fraktur cruris merupakan patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada
proksimal (kondilus), diafisis atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
Fraktur cruristerbuka adalah terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula disertai
kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah) sehingga
memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara
yang luar yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung yang mengenai kaki.
(Muttaqin, 2011).
Fraktur cruris adalah terputusnya hubungan tibia dan fibula. Secara klinis bisa
berupa fraktur terbuka bila disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit,
pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen
tulang yang patah dengan udara luar dan fraktur tertutup (Zairin, 2016; Helmi, 2013).

2. Etiologi Fraktrur Tibia Fibula


Etiologi fraktur menurut Reksoprodjo, 2010 dalam (Puspitasari, 2012) :
a. Trauma
Trauma langsung berhubungan dengan terjadinya benturan pada tulang secara
langsung dan mengakibatkan terjadinya fraktur di tempat itu. Trauma tidak
langsung terjadi di titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur yang berjauhan.
b. Fraktur patologis disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker
tulang.
c. Spontan : terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
Penyebab fraktur cruris menurut Syamsuhidajat (2010), yaitu cedera yang terjadi
akibat gaya angulasi yang menyebabkan fraktur transversal atau miring. Sedangkan
menurut Muttaqin (2011) fraktur cruris tertutup disebabkan oleh cedera dari trauma
langsung atau tidak langsung yang mengenai kaki, dapat terjadi juga akibat daya
putar atau puntir yang dapat menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki
dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik
pendek.

Penyebab lain menurut ( Rosyidi & Hidayat, 2013, pp. 35-36) :


a) Kekerasan langsung
Kekerasan lansung menyebabakan terjadinya frakktur pada bagian yang
mengalami kekerasan atau trauma
b) Kekerasan tidak lansung
Terjadi patah tulang dimana lokasi patah tulang jauh dari tempat kekerasan hal ini
dikarenakan bagian tersebut adalah bagian paling lemah dalam dalam jalur vector
kekerasan.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jaringan terjadi. Patah tulang tersebut
biasanya disebabkan oleh penekanan, pemuntiran, penekanan dan penekukan
bahkan bisa ketiganya secara bersamaan dengan kuat.
Sedangkan menurut (Hariyanto & Sulistyowati, 2015, p. 87)
a) Adanya tumor yang mengurangi desintas tulang
b) Karena beban yang berlebih seperti berlatih ekstra.

3. Manifestasi Klinis Fraktrur Tibia Fibula


Secara umum menurut Sjamsuhidajat (2010), gejala fraktur cruris adalah adanya
rasa nyeri dan bengkak dibagian tulang yang patah, deformitas, nyeri tekan, krepitasi,
gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan
gangguan neurovaskular.
a. Pembengkakan
Pembengkakan pada ekstremitas merupakan suatu tanda adanya bekas trauma
yang terjadi pada pasien. Pembengkakan dapat terjadi pada jaringan lunak, sendi,
atau tulang. Pembengkakan juga dapat disebabkan oleh infeksi, tumor jinak, atau
ganas.
b. Kelemahan otot
Kelemahan otot biasanya dapat bersifat umum misalnya pada penyakit distrofi
muscular atau bersifat local karena gangguan neurologis pada otot.
c. Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada gangguan
musculoskeletal. Kebanyakan pasien dengan penyakit atau kondisi traumatic, baik
yang terjadi pada otot, tulang, dan sendi biasanya mengalami nyeri.
d. Gangguan sensibilitas
Gangguan sensibilitas terjadi apabila melibatkan kerusakan pada upper/lower
motor neuron, baik bersifat local maupun menyeluruh. Gangguan sensibilitas
dapat pula terjadi apabila terdapat trauma atau penekanan pada saraf.
e. Hilangnya fungsi
Gangguan atau hilangnya fungsi pada sendi dan anggota gerak dapat disebabkan
oleh berbagai hal, seperti gangguan fungsi karena nyeri yang terjadi setelah
trauma, adanya kekakuan sendi atau kelemahan otot (Noor, 2016).

4. Klasifikasi Fraktur Tibia Fibula


a. Klasifikasi umum fraktur
1) Simpleks (tertutup) : fragmen tulang menembus kulit
2) Compound(terbuka) : fragmen tulang menembus kulit
3) Inkompleta (parsial) : kontinuitas tulang belum terputus seluruhnya
4) Kompleta (total) : kontinuitas tulang sudah terputus seluruhnya
b. Klasifikasi berdasarkan posisi fragmen
1) Kominutiva (communited, remuk) : tulang pecah menjadi sejumlah potongan
kecil-kecil
2) Impakta (impacted) : salah satu fragmen fraktur terdorong masuk kedalam
fragmen yang lain
3) Angulata (angulated, bersudut) : kedua fragmen fraktur berada pada posisi
yang membentuk sudut terhadap yang lain
4) Dislokata (displaced) : fragmen fraktur saling terpisah dan menimbulkan
deformitas
5) Nondislokata (nondisplaced) : kedua potongan tulang tetap mempertahankan
kelurusan
6) Overriding : fragmen fraktur saling menumpuk sehingga keseluruhan panjang
tulang memendek
7) Segmental : fraktur terjadi pada dua daerah yang berdekatan dengan segmen
sentral yang terpisah
8) Avulsi (avulsed) : fragmen fraktur tertarik dari posisi normal karena kontraksi
otot atau resistensi ligamen
c. Klasifikasi berdasarkan garis fraktur
1) Linier : garis fraktur berjalan sejajar dengan sumbu tulang
2) Longitudinal : garis fraktur membentang dalam arah longitudinal (tetapi tidak
sejajar) disepanjang sumbu tulang
3) Oblik : garis fraktur menyilang tulang pada sudut sekitar 45 derajat terhadap
sumbu tulang
4) Spiral : garis fraktur menyilang pada sudut yang oblik sehingga menciptakan
pola spiral
5) Transversal : garis fraktur membentuk sudut tegak lurus terhadap sumbu
tulang (Kowalak, 2011)

5. Komplikasi Fraktur Tibia Fibula


Komplikasi yang dapat timbul dari fraktur kruris adalah infeksi, delayed union,
dan non-union, kerusakan pembuluh darah (sindrom kompartemen anterior), trauma
saraf terutama pada nervus peroneal komunis,, dan gangguan pergerakan sendi
pergelangan kaki (Muttaqin, 2008). Beberapa resiko komplikasi yang dapat terjadi
pada pasien pasca operasi fraktur adalah syok hipovolemi, atelektasis, pneumonia,
retensi urine, infeksi, dan thrombosis vena profunda (Lukman & Ningsih, 2012).
6. Patofisiologi Fraktur Tibia Fibula
7. Penatalaksanaan Fraktur Tibia Fibula
a. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur dengan
manipulasi tertutup dan pembiusan umum. Gips sirkuler untuk imobilisasi
dipasang sampai diatas lutut. Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler
dengan tumpuan pada tendo patella yang biasanya digunakan setelah
pembengkakan mereda (Muttaqin, 2008).
b. Tindakan operatif
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam terapi
konservatif, fraktur tidak stabil dan non-union. Metode penatalaksanaan tersebut
meliputi pemasangan plate dan screw, nail intramedular, pemasangan screw saja
atau pemasangan fiksasi eksternal (Muttaqin, 2008). Fiksasi internal atau ORIF
(Open Reduction Internal Fixation), digunakan untuk reduksi terbuka dengan
menggunakan pemasangan implant indikasi dari pemasangan fiksasi internal
adalah fraktur intra-artikular, misalnya fraktur maleolus, kondilus, olekranon
patella. Fiksasi eksternal atau OREF (Open Reduction External Fixation),
digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
(Pramono, 2013).
Terdapat 4 prinsip penatalaksanaan fraktur meliputi :recognition merupakan
diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai
keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan
teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari komplikasi yang mungkin
terjadi selama dan sesudah pengobatan. Reduction merupakan restorasi fragmen
fraktur sehingga posisi yang paling optimal didapatkan. Reduksi fraktur apabila
perlu, pada fraktur intra-artikular diperlukan reduksi anatomis, sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal, dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteoarthritis dikemudian hari. Retention atau
imobilisasi fraktur. Secara umum teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah
mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang
lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur. Rehabilitation
merupakan mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin. Program
rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh keadaan pasien pada
fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali. Misalnya, pada pasien pasca
amputasi kruris, program rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana pasien
dapat melanjutkan hidup dan melakukan aktivitas dengan memaksimalkan organ
lain yang tidak mengalami masalah (Muttaqin, 2008).

8. Pemeriksaan Penunjang Fraktur Tibia Fibula


Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
a. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma.
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur. Pemeriksaan
penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multipel). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stress normal setelah
trauma.
e. Kreatinin Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel,
atau cedera hati

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
 Identitas
Pada fraktur biasanya lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dan fraktur yang terjadi pada laki-laki cenderung pada usia dibawah 45 tahun,
fraktur yang terjadi sering berhubungan dengan pekerjaan, olahraga atau trauma
yang disebabkan karena kecelakaan bermotor (Lukman & Ningsih, 2013, p. 26).
 Status kesehatan saat ini
 Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien fraktur cruris post op hari ke-0 adalah nyeri, nyeri
yang dirasakan lebih hebat dan berlangsung lebih lama pada lansia dibandingkan
pasien yang masih muda.(Lukman & Ningsih, 2013, p. 302).
 Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian dilakukan dengan cara :
1. Proviking incident: Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung. Penanganan pada pasien fraktur
bisa dilakukan dengan beberapa prosedur salah satunya adalah pembedahan
(Warjiman & Munawaroh, 2015, p. 38)
2. Quality of pain: Pada saat pasien sadar dari general anesthesia maka
menimbulkan berbagai keluhan dengan gejala dimana salah satu keluhan yang
sering dikemukakan adalah nyeri (Warjiman & Munawaroh, 2015, p. 38)
3. Region: nyeri dapat menyebar pada keadaan yang menyebabkan tekanan
serabut saraf (Lukman & Ningsih, 2013, p. 302)
4. Severity: dampak yang ditimbulkan dari kerusakan jaringan yaitu perubahan
sensori ketidaknyaman. Untuk pengukuran nyeri dalam proses pengkajian
lebih mudah menggunakan skala 0-10 (skala nyeri ringan, sedang dan berat)
yaitu analog visual skala dengan menyatakan sejauh mana nyeri yang
dirasakan klien (Lukman & Ningsih, 2013, p. 302)
5. Time: pasca tindakan pembedahan klien merasakan nyeri, nyeri yang
dirasakan lebih hebat dan berlangsung lama (Lukman & Ningsih, 2013, p.
302)
 Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit sebelumnya
Fraktur biasanya sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor (Lukman & Ningsih, 2013, hal.
26) sehingga dilakukan pembedahan.
 Riwayat penyakit keluarga
Penyakit riawayat keluarga penyakit tulang penyebab terjadinya fraktur karena
menjadi factor prediposisi unrtuk penyakit keturunan seperti diabetes,
osteoporosis, dan kanker tulang yang cenderung secara genetic (Rosyidi &
Hidayat, 2013, p. 48)
1. Alergi (obat, makanan, plaster dll)
Jika alergi terhadap obat maka akan berpengaruh pada pengobatan (Muttaqin
& Sari, 2013, p. 302)
 Keadaan umum
Saat pasien sadar dari anastesi umum, rasa nyeri menjadi sangat terasa sebelum
kesadaran pasien kembali penuh. Nyeri akut akibat insisi menyebabkan pasien
gelisah dan menyebabkan tanda-tanda vital berubah (Muttaqin & Sari, 2013, p.
140)
2. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek dari anastesi umum terlihat pada
sistem respirasi, dimana akan terjadi respon depresi pernafasan sekunder sisa
anastesi inhalasi, control kepatenan jalan nafas menurun (Muttaqin & Sari,
2013, p. 137)
2) Sistem kardiovaskuler
Pada pasien pasca operasi akan mengalami efek anastesi yang akan
mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal sehingga mempunyai
resiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke
volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah jantung (Muttaqin &
Sari, 2013, p. 137)
3) Sistem persyarafan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek anastesi pada system syaraf pusat
akan mempengaruhi penurunan control kesadaran dan kemampuan orientasi
pada lingkungan (Muttaqin & Sari, 2013, p. 137)
4) Sistem pengindraan
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal tidak ada lesi tidak ada
nyeri tekanan ( Rosyidi & Hidayat, 2013, p. 52)
5) Sistem pencernaan
Efek anastesi juga mempengaruhi kemampuan pengosongan lambung
(Muttaqin & Sari, 2013, p. 137)
6) Sistem perkemihan
Efek anastesi juga mempengaruhi terhambatnya jaras efren dan efren terhadap
control miksi, sehingga berimplikasi pada masalah gangguan pemenuhan
eliminasi urine (Muttaqin & Sari, 2013, p. 137)
7) Sistem musculoskeletal
Pembedahan menimbulkan kerusakan pada jaringan dan akan melepaskan zat
histamine, serotonin, plasmakini, bradikinin, prostaglandin yang disebut
mediator nyeri. Mediator ini merangsang reseptor nyeri yang terletak di ujung
saraf bebas dari kulit, selaput lendir dan jaringan lain sehingga rangsangan
dirasakan sebagai nyeri.
8) Sistem integument
Efek dari anastesi juga mempengaruhi pusat pengatur suhu sehingga kondisi
pasca bedah pasien akan mengalami hipotermi (Muttaqin & Sari, 2013, p.
137)
9) Sistem endokrin
Pada pasien post operasi akan mangalami hipoglikemi karena efek anastesi
menyebabkan asupan karbohidrat tidak adekuat (Muttaqin & Sari, 2013, p.
85)
10) Sistem imunologi
Bila terjadi gangguan imunologi pasien mengalami mual dan muntah (Setiati
dkk, 2014, p. 1560)
11) Sistem reproduksi
Pada pasien fraktur tidak bisa mekukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri ( Rosyidi &
Hidayat, 2013, p. 50)
3. Pemeriksaan penunjang
 PemeriksaanRontgen :
Untuk mengetahui lokasi, luasnya fraktur, luasnya trauma dapat dilakukan
pemeriksaan rontgen.
 CT-scan
CT scan dilakukan untuk memperlihatkan fraktur dan juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
 Hitung darah lengkap
HB mungkin meningkat atau menurun (Hariyanto & Sulistyowati, 2015, p. 88)

4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik b.d ketidakbugaran fisik, efek agen farmakologis, nyeri,
keengganan melakukan pergerakan
c. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi
(kelebihan atau kekurangan), kelebihan atau kekurangan volume cairan, efek
terapi radiasi, neuropati perifer, perubahan hormonal.
d. Risiko infeksi dengan faktor risiko : efek prosedur invasive, penyakit kronis
diabetes, malnutrisi, peningkatan paparan organism lingkungan, ketidakadekuatan
pertahanan tubuh primer, ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder.
(SDKI, 2017)
5. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
. Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Tujuan : Pain Management
agen pencedera Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
fisik Pain control termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi,
Comfort level kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
Kriteria hasil : Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
Mampu mengontrol mengetahui pengalaman nyeri pasien
nyeri (tahu penyebab Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
nyeri, mampu Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
menggunakan tehnik Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
nonfarmakologi untuk tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa Iampau
mengurangi nyeri, Bantu pasierl dan keluarga untuk mencari dan
mencari bantuan) menemukan dukungan
Melaporkan bahwa Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
nyeri berkurang dengan seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
menggunakan Kurangi faktor presipitasi nyeri
manajemen nyeri Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
Mampu mengenali non farmakologi dan inter personal)
nyeri (skala, intensitas, Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
frekuensi dan tanda intervensi
nyeri) Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Menyatakan rasa Berikan anaIgetik untuk mengurangi nyeri
nyaman setelah nyeri Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
berkurang Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
nyeri sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
beratnya nyeri
Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis
optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri
hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala

2. Gangguan Tujuan : Exercise therapy : ambulation


mobilitas fisik Joint Movement :  Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan
b.d Active lihat respon pasien saat latihan
ketidakbugaran Mobility level  Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana

fisik, efek agen Self care : ADLs ambulasi sesuai dengan kebutuhan
farmakologis,  Transfer performance  Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
nyeri, Kriteria Hasil: dan cegah terhadap cedera
keengganan  Klien meningkat dalam  Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
melakukan aktivitas fisik teknik ambulasi
pergerakan  Mengerti tujuan dan  Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
peningkatan mobilitas  Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
 Memverbalisasikan secara mandiri sesuai kemampuan
perasaan dalam  Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
meningkatkan kekuatan penuhi kebutuhan ADLs pasien.
dan kemampuan  Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
berpindah  Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
 Memperagakan bantuan jika diperlukan.
penggunaan alat
 Bantu untuk mobilisasi
(walker)

3. Kerusakan Tujuan : Pressure Management


integritas kulit  Tissue Integrity :  Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
b.d perubahan Skin and Mucous longgar
sirkulasi, Membranes  Hindari kerutan pada tempat tidur
perubahan  Hemodyalis akses  Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
status nutrisi  Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
(kelebihan atau Kriteria Hasil : sekali
kekurangan),  Integritas kulit yang  Monitor kulit akan adanya kemerahan
kelebihan atau baik bisa  Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah
kekurangan dipertahankan yang tertekan
volume cairan, (sensasi, elastisitas,  Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
efek terapi temperatur, hidrasi,  Monitor status nutrisi pasien
radiasi, pigmentasi)  Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
neuropati  Tidak ada luka/lesi Insision site care
perifer, pada kulit  Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses
perubahan  Perfusi jaringan baik penyembuhan pada luka yang ditutup dengan jahitan,
hormonal.  Menunjukkan klip atau straples
pemahaman dalam  Monitor proses kesembuhan area insisi
proses perbaikan kulit  Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
dan mencegah  Bersihkan area sekitar jahitan atau staples,
terjadinya cedera menggunakan lidi kapas steril
berulang
 Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami

4. Risiko Infeksi Tujuan : Infection Control (Kontrol infeksi)


 Immune Status  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
 Knowledge : Infection Pertahankan teknik isolasi
control  Batasi pengunjung bila perlu
 Risk control  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan
Kriteria Hasil: saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan
 Klien bebas dari tanda pasien
dan gejala infeksi  Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
 Mendeskripsikan  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
proses penularan keperawatan
penyakit, faktor yang  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
mempengaruhi  Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan
penularan serta alat
penatalaksanaannya  Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing
 Menunjukkan sesuai dengan petunjuk umum
kemampuan untuk  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
mencegah timbulnya kandung kencing
infeksi  Tingktkan intake nutrisi
 Jumlah leukosit dalam Berikan terapi antibiotik bila perlu
batas normal  Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
 Menunjukkan perilaku Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
hidup sehat  Monitor hitung granulosit, WBC
 Monitor kerentangan terhadap infeksi
 Batasi pengunjung
 Sering pengunjung terhadap penyakit menular
 Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
 Pertahankan teknik isolasi k/p
 Berikan perawatan kulit pada area epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
 Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif

(Nurarif & Kusuma, 2015)


DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto, A & Sulistyowati, R. (2015). Buku ajar keperawatan medikal bedah 1 : dengan
diagnosis NANDA international. Yogyakarta : AR- RUZZ MEDIA.

Helmi, Z. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Kowalak, J. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Lukman & Ningsih, N. (2012). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Lukman dan Ningsih, N. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan pasien gangguan sistem muskuloskeletal. Jakarta:


EGC.

Muttaqin, A. (2011). Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A & Sari, K. 2013. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Kepeawatan Medikal
Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Noor, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal . Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Purnomo, I Gusti Ngurah. 2018. Open Fracture Tibia dan Fibula. Denpasar : Universitas
Udayana.

Puspitasari, C. (2012). ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. Y DENGAN CLOSE


FRAKTUR CRURIS (TIBIA FIBULA) 1/3 DISTAL DEXTRA DI RUANG INSTALASI
BEDAH SENTRAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA.
Surakarta: FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA.

Rosyidi, K & Hidayat. 2013. Muskuloskeletal. Jakarta: Trans Info Media.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: InternaPublishing.

Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Anda mungkin juga menyukai