KANKER PAYUDARA
Disusun untuk Menyelesaikan Tugas State Keperawatan Medikal Bedah 1
di Ruang Teratai Lantai 4 Selatan RSUP Fatmawati
Di susun oleh:
Desi Rahmawati Dewi
(Syoretta, 2017)
7. Penatalaksanaan Kanker Paru
Terdapat perbedaan fundamental antara perangai biologis NSCLC dengan SCLC
sehingga tata laksananya pun harus dibedakan:
a. NSCLC
Staging TNM yang didasarkan ukuran tumor (T), kelenjar getah bening yang
terlibat (N),dan ada tidaknya metastasis bermanfaat dalam penentuan tata laksana
NSCLC ini. Staging dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
serta perhatian khusus kepada keadaan sistemik, kardiopulmonal, neurologi, dan
skeletal. Hitung jenis sel darah tepi dan pemeriksaan kimia darah diperlukan
untuk mencari kemungkinan adanya metastasis ke sumsum tulang, hati, dan
tengkorak
1) Terapi Bedah
Terapi bedah adalah pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien
dengan parenkim paru yang adekuat. Reseksi paru biasanya ditoleransi baik
bila hasil prediktif FEV1 pasca reseksi yang didapat dari pemeriksaan
spirometri preoperatif dan pemeriksaan kuantitatif ventilasi perfusi melebihi
1000 ml. Prosedur lobektomi atau pneumonektomi tetap jadi standar bila
segmentektomi dan reseksi baji bilobektori atau reseksi sleeve menjadi pilihan
pada situasi tertentu. Angka ketahanan hidup penderita yang dioperasi pada
stadium I mendekati 60%, stadium II 26-37 %, dan IIa 17-36,3%. Pada
stadium IIIa, masih terdapat kontroversi mengenai keberhasilan operasi bila
kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding toraks terdapat metastasis.
Penderita stadium IIb dan IV tidak dioperasi saja melainkan diterapi dengan
kombinasi modalitas, yaitu gabungan radiasi dan kemoterapi dengan operasi
(dua atau tiga modalitas). Terapi kombinasi dilaporkan dapat memperpanjang
ketahanan hidup dari beberapa studi yang dilaporkan.
2) Radioterapi
Pada beberapa kasus yang tidak dapat dioperasi, radioterapi dilakukan sebagai
pengobatan kuratif. Namun, radioterapi bisa juga sebagai terapi adjuvan/
paliatif pada tumor dengan komplikasi, misalnya dengan tujuan mengurangi
efek obstruksi/penekanan terhadap pembuluh darah/bronkus. Efek samping
yang sering terjadi adalah disfagia karena esofagitis post radiasi, sedangkan
pneumonitis post radiasi jarang terjadi (< 10%). Radiasi dosis paruh yang
bertujuan kuratif secara teoritis bermanfaat pada kasus yang tidak dapat
dioperasi, namun belum disokong data percobaan klinis yang sahih.
Keberhasilan memperpanjang ketahanan hidup sampai 20% dengan cara
radiasi dosis paruh ini didapat dari kasus stadium I usia lanjut, kasus dengan
penyakit penyerta sebagai penyulit operasi, atau penderita yang menolak
dioperasi. Penderita dengan metastasis sebatas N1-2 atau saat operasi terlihat
tumor sudah merambat sebatas sayatan operasi dianjurkan untuk dilakukan
radiasi post operasi. Radiasi preoperasi untuk mengecilkan ukuran tumor agar
saat reseksi dapat dicapai lebih komplit, seperti pada tumor Pancoast atau
kasus stadium IIIb, dilaporkan bermanfaat dari beberapa pusat kanker. Radiasi
paliatif juga dilaporkan sangat bermanfaat pada kasus sindrom vena kava
superior, kasus dengan komplikasi dalam rongga dada akibat kanker
(hemoptisis, batuk berulang, atelektasis), serta nyeri akibat metastasis ke
tulang tengkorak dan tulang.
3) Kemoterapi
Pengobatan kuratif kemoterapi dikombinasikan secara terintegrasi dengan
modalitas pengobatan kanker lainnya pada pasien dengan penyakit
lokoregional lanjut. Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien
mulai dari stadium IIIa dan pengobatan paliatif. Kemoterapi adjuvan diberikan
mulai dari stadium II agar tumor lokoregional dapat direseksi lengkap.
Kemoterapi diberikan setelah terapi lokal definitif dengan pembedahan,
radioterapi, atau keduanya. Regimen yang dikembangkan adalah CAP
(siklofosfamid, doksorubisin, dan cisplatin). Kemoradioterapi konkomitan
bertujuan untuk meningkatkan kontrol lokoregional dimulai dari stage III
(tumor lokoregional yang tidak dapat direseksi). Protokol yang digunakan
adalah protokol dengan basis cisplatin misalnya FP (5-Fluorouracil dan
cisplatin), selanjutnya dikembangkan dengan memasukkan etoposide menjadi
protokol EFP. Pada protokol FP, 68% kasus menjadi dapat direseksi komplit.
Pada protokol EFP, kasus yang dapat direseksi komplit menjadi 76% .
Sebagian besar obat sitostatik mempunyai aktivitas yang cukup baik pada
terapi NSCLC dengan tingkat respon antara 15-33%. Walaupun demikian,
penggunaan obat tunggal tidak dapat mencapai remisi komplit. Kombinasi
beberapa sitostatik telah banyak diteliti untuk meningkatkan tingkat respon
yang akan memperpanjang harapan hidup. Salah satunya regimen CAMP
(siklofosfamid, doksorubisin, metotreksat, prokarbasin) yang memberikan
tingkat respon sebesar 26%. Obat baru saat ini telah banyak dihasilkan dan
dicobakan sebagai obat tunggal, seperti Paclitaxel, Docetaxel, Vinorelbine,
Gemcitabine, dan Irenotecan dengan hasil yang cukup menjanjikan.
4) Terapi biologi dan gen
Penggunaan agen biologi seperti Levamisole, BCG, interferon,dan interleukin
dengan kombinasi modalitas lainnya hasilnya masih kontroversial. Akhir-
akhir ini dikembangkan pula penyelarasan gen (Chimeric) dengan cara
transplantasi sel punca dari darah tepi maupun sumsum tulang alogenik.
b. SCLC
SCLC dibagi menjadi dua, yaitu:
(1) limited-stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (kombinasi
kemoterapi dan radiasi) dengan angka keberhasilan terapi sebesar 20%;
(2) extensive-stage disease yang diobati dengan kemoterapi dengan angka respon
terapi inisial sebesar 60-70% dan angka respon terapi komplit sebesar 20-30%.
Angka median-survival time untuk limited-stage disease adalah 18 bulan dan
untuk extensive-stage disease adalah 9 bulan.
(Tim Editor, 2016)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi mencakup pemeriksaan sitologi dan histopatologi,
pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis tumor (mis. TTF-1 dan
lain-lain), dan pemeriksaan petanda molekuler, seperti mutasi EFGR, yang
dilakukan apabila fasilitasnya tersedia
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, seperti Hb, leukosit, trombosit, serta fungsi hati, dan
fungsi ginjal.
c. Pemeriksaan Pencitraan
1) Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien
dengan kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini,
lokasi lesi dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang
dan penanganan dapat ditentukan. Jika pada foto toraks ditemukan lesi yang
dicurigai sebagai keganasan, maka pemeriksaan CT scan toraks wajib
dilakukan untuk mengevaluasi lesi tersebut.
2) CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosa, menentukan stadium penyakit, dan menentukan segmen paru
yang terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar
adrenal untuk menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut. CT scan
kepala/MRI kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita mengeluh
nyeri kepala hebat untuk menilai kemungkinan adanya metastasis ke otak.
3) Pemeriksaan lainnya seperti USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium
IV, bone scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke tulang-tulang, bone
survey dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada, dan PET Scan dilakukan
untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
d. Pemeriksaan khusus
1) Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru.
Prosedur ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan
tumor intraluminal dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi
dan histopatologi, sehingga diagnosis dan stadium kanker paru dapat
ditentukan. Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang dapat
menilai paru hingga sebagian besar bronkus derajat ke-empat, dan kadang
hingga derajat ke-enam. Spesimen untuk menghasilkan pemeriksaan sitologi
dan histologi didapat melalui bilasan bronkus, sikatan bronkus dan biopsi
bronkus. Prosedur ini dapat memberikan hingga >90% diagnosa kanker paru
dengan tepat, terutama kanker paru dengan lesi pada regio sentral.
Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini yaitu hipertensi pulmoner berat,
instabilitas kardiovaskular, hipoksemia refrakter akibat pemberian oksigen
tambahan, perdarahan yang tidak dapat berhenti, dan hiperkapnia akut.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pneumotoraks dan perdarahan.
2) Bila tersedia, pemeriksaan Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan
untuk membantu menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus,
intrapulmoner juga untuk penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta
mendapatkan jaringan sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening
yang terlihat pada CT scan toraks maupun PET CT scan.
3) Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy/TTB) merupakan tindakan biopsi
paru transtorakal yang dapat dilakukan tanpa tuntunan radiologic (blinded
TTB) maupun dengan tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT scan toraks
(CT-guided TTB) untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker paru.
4) Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk pembesaran
kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan bila diperlukan.
e. Pemeriksaan lainnya
1) Pleuroscopy dilakukan untuk melihat masalah intrapleura dan menghasilkan
spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas pada cairan pleura
yang dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien kanker paru. Jika hasil
sitologi tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka penilaian ulang atau CT
scan toraks dianjurkan.
2) Mediastinoskopi dengan VATS kadang dilakukan untuk mendapatkan
spesimen, terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal, dan
torakotomi eksplorasi dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan
semua modalitas lainnya tidak ditemukan sel ganas.
9. Prognosis Kanker Paru
Prognosis kanker paru dikelompokkan berdasarkan stadiumnya dimana semakin
tinggi tingkatan kankernya maka angka 5 years survivalnya akan semakin rendah.
(American Cancer Society, 2016).
Stage 5 Years Survival
IA 49 %
IB 45 %
II A 30 %
II B 31 %
III A 14 %
IIIB 5%
IV 1%
American Cancer Society. Types of non-small cell lung cancer. [Diakses 10 November 2019,
16:2], Diambil dari: https://www.cancer.org/cancer/non-small-celllung-cancer/about/what-is-
non-small-cell-lung-cancer.html/
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Purnama, Dian E. 2014. Laporan Pendahuluan “Kanker Paru”. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta: B First.
Tim Editor. Kanker Paru: Sebuah Kajian Singkat. Ina J CHEST Crit and Emerg Med. 2016; 1
(3), [Diakses 10 November 2019, 16:23] Diambil dari: http://www.indonesiajournalchest.com/