Anda di halaman 1dari 7

NAMA : NELI AGUSTIN

NIM : 4338114201220037

LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN INTEGRITAS KULIT

A. Gangguan Integritas Kulit


1. Definisi Gangguan Integritas Kulit
Gangguan integritas kulit merujuk pada kerusakan atau perubahan pada kulit yang
mempengaruhi kemampuan kulit untuk melindungi tubuh dari lingkungan luar dan menjaga
keseimbangan cairan serta suhu tubuh. Gangguan ini dapat berupa luka, lecet, bengkak, ruam, infeksi,
atau lesi kulit lainnya. Gangguan integritas kulit terjadi akibat berbagai faktor seperti cedera, infeksi,
alergi, penyakit kulit, atau efek samping dari obat – obatan. Gangguan integritas kulit dapat
mempengaruhi kualitas hidup dan meningkatkan risiko infeksi dan komplikasi medis lainnya, oleh
karena itu perawatan kulit yang tepat sangat penting untuk mencegah atau mengatasi gangguan
integritas kulit.

2. Etiologi
Gangguan integritas kulit dapat memiliki berbagai etiologi, atau penyebab. Berikut adalah beberapa di
antaranya :
1) Trauma : Trauma dapat menyebabkan gangguan integritas kulit, seperti luka gores, luka
bakar, atau luka sayat.
2) Infeksi : Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat menyebabkan gangguan integritas kulit
seperti impetigo, herpes atau kandidiasis.
3) Gangguan Sirkulasi : Gangguan sirkulasi darah ke kulit, seperti pada kondisi diabetes, dapat
menyebabkan luka sulit sembuh.
4) Kekurangan Nutrisi : Kekurangan nutrisi tertentu, seperti protein, vitamin C, atau zat besi,
dapat menyebabkan kulit menjadi kering, pecah-pecah dan rentan terhadap kerusakan.
5) Radang : Radang kronis pada kulit, seperti dermititis atopik atau psoriasis, dapat
menyebabkan gangguan integritas kulit.
6) Gangguan Sistemik : Beberapa kondisi sistemik, seperti lupus, skleroderma, atau limfoma,
dapat menyebabkan gangguan integritas kulit
Faktor-faktor tersebut dapat berinteraksi dan saling mempengaruhi sehingga menyebabkan gangguan
integritas kulit. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifiksi penyebab utama dan memperlakukan
kondisi yang mendasarinya utuk membantu memulihkan kulit.

3. Patofisiologis
Terjadinya gangguan integritas kulit apabila ada trauma yang mengenai tubuh yang bisa disebabkan
oleh trauma pembedahan, sehingga menyebabkan luka pada kulit dan mengakibatkan terputusnya
kontinuitas jaringan. Hal ini merangsang keluarnya histamin dan prostaglandin, sehingga
menghambat penyembuhan luka, kuman dan prostaglandin, sehingga menghambat penyembuhan
luka, kuman akan lebih mudah masuk pada luka yang terbuka dan adanya peningkatan leukosit
sehingga terjadi infeksi pada luka. Karena adanya histamin dan prostaglandin luka jadi lama dalam
penyembuhan (Septianraha, 2016).
Fase Penyembuhan Luka menurut Suriadi (2015), dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Tahap Homeostatis
Fase pertama penyembuhan luka dimulai dengan penyempitan otonom pembuluh darah sebagai
respon terhadap cidera, spasme kemudian diikuti relaksasi otot pembuluh darah dan pelepasan.
platelet atau trombosit.
b. Tahap Inflamasi
Tahap kedua penyembuhan luka muncul dengan tanda eritema, pembengkakan, dan panas, sering
dikaitkan dengan nyeri, terdapat tanda seperti rubor, tumor, kolor, dolor. Tahap inflamasi berlangsung
selama 4 hari pasca cidera.
c. Tahap Poliferasi (Granulasi)
Tahap ini dimuali sekitar empat hari setelah cidera dan biasanya sampai hari ke 21 pada luka akut dan
bergantung ukuran luka. Hal ini ditandai dengan adanya jaringan merah berkrikil di dasar luka dan
melibatkan penggantian jaringan kulit dan jaringan subdermal pada luka dalam, serta kontraksi luka.
Fibroblast mengeluarkan kolagen untuk regenerasi. Defisit luka diisi dengan jaringan granulasi atau
jaringan parut. Jaringan berisi pembuluh darah baru, kolagen, dan fibroblast dengan tampilan granular
merah. Kreatinosit juga berperan dalam pembentukan lapisan luar pelindung atau stratum kroneum.
d. Tahap Maturasi (Pematangan)
Tahap ini berlangsung menurut umur, jenis luka, kedalaman, lokasi luka dan tahap inflamasi yang
dapat berlangsung selama 1-2 tahun. Remodelling berlangsung setelah luka tertutup pada bagian atas
dan jaringan parut mengisi luka yang kemudian di restrukturisasi.

4. Kondisi Klinis
Kondisi klinis yang memiliki risiko gangguan integrasi kulit adalah :
a. Imobilisasi
b. Gagal jantung kongestif
c. Gagal ginjal
d. Diabetes Melitus
e. Imunmodifesiensi (mis. AIDS)
f. Kateterisasi jantung

5. Tanda dan Gejala (Mayor dan Minor)


a. Tanda dan gejala mayor
1). Subjektif

• (Tidak tersedia)
2). Objektif
• Kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit
b. Tanda dan gejala minor
1). Subjektif

• (Tidak tersedia)
2). Objektif

• Nyeri
• Perdarahan
• Kemerahan
• Hematoma

6. Jenis Luka
Menurut Aziz Alimul (2008) luka terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Berdasarkan sifat kejadian
1. Intedonal traumas (luka disengaja)

• Luka terjadi karena proses terapi seperti operasi atau radiasi


• Luka terjadi karena kesalahan seperti fraktur karena kecelakaan lalu lintas
2. Luka tidak disengaja

• Luka tertutup : jika kulit tidak robek bisa juga disebabkan dengan luka memar yang terjadi
• Luka terbuka : jika kulit atau jaringan di bawahnya robek dan kelihatan seperti luka abrasio
(luka akibat gesekan), luka puncture (luka akibat tusukan), hautration (luka akibat alat
perawatan luka)
b. Menurut tingkat konstaminasi terhadap luka
1. Luka yang bersih (clean wounds) : yaitu luka terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan
dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genetal, dan urinary tidak terjadi.
2. Luka bersih kontaminasi (clean contamined wounds) : Merupakan luka pembedahan dimana
saluran respirasi, pencernaan, genetal, atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, terkontaminasi tidak
selalu terjadi.
3. Luka terkontaminasi (cotamined wounds) : Termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan
dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptic atau kontaminasi dari saluran cerna.
4. Luka kotor atau infeksi (dirty or infected wounds) : Yaitu terdapat mikroorganisme pada luka.

c. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

• Stadium I : Luka superficial, yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
• Stadium II : Luka partial tickhness, yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis dan bagian
atas dari epidermis
• Stadium III : Luka full tickhness, yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subcutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya.
• Stadium IV : Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi atau kerusaka yang jelas.

d. Berdasarkan penyembuhan luka


1. Luka akut
Luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
2. Luka Kronis
Luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan
endogen.

7. Proses Penyembuhan Luka


Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses peradangan”
dengan ditandai bengkak, kemerahan, nyeri, panas, dan kerusakan fungsional. Proses penyembuhan
mencakup beberapa fase, menurut (RSjamsuhudajat Dam Wim de Jong, 2004 hlm :66-67) fase-fase
tersebut adalah :
a. fase Homeostatis
fase ini berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh darah yang
terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan dan tubuh akan berusaha menghentikan dengan
vasokontriksi, pengerutan pembuluh ujung yang putus (reaksi) dan reaksi hemostastis terjadi karena
trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket dan bersama jala fibrin yang terbentuk,
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan
serotonim histamine yang meningkat pemeabilitas kapiler sehingga terjadi edukasi, penyebukan sel
radang, disertai vasodilasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala
klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa
hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor). Aktivitas seluler yang terjadi adalah
pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapetesiso) menuju penyembuhan luka
karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna dan
kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan
kotoran luka dan bakteri (fagositosis).

b. fase ploriferasi
Fase ini disebut juga dengan fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi
fibrolast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi kira-kira akhir minggu ketiga. Fibrolats
berasal dari sel mesenkim yang belum diferensiasi, menghasilkan ukopoliskarida, asam aminoglisim,
dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen berat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase
ini, serat-serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka
yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibrolast, menyebabkan
tarikan pada tepi luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya dalam proses penyudahan, kekutan
serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul.
Pada fase fibrolasi ini, luka dipenuhi sel radang, fibroflast, dan kolagen membentuk jaringan
berwarna kemerahanan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi,
epitel nyeri yang terdiri dari atas sel basal terlepas dari dasar pemindahan mengisi permukaan luka.
Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroflasia dengan permukaan jaringan granulasi juga
akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.

c. Fase Penyudahan
Fase penyudahan ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari atau penyerapan kembali
jaringan berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirnya, perumpamaan kembali
jaringan yang baru di bentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir jika
semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang abnormal
karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah
digerakan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal dari luka. Pada fase akhir ini dari permukaan luka
kulit mampu menahan regangan kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan. Permukaan luka tulang
(patah tulang) memerlukan waktu satu tahun atau lebih untuk memembentuk jaringan yang normal
secara histologi secara bentuk.

8. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka


Menurut Aziz Aimul(2008) proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh faktor, yaitu :

• Faskularisasi, mempengaruhi luka karena luka membutuhkan peredaran darah yang baik
untuk pertumbuhan atau perbaikan sel.
• Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka mengingat perbaikan sel membutuhkan
kadar protein yang cukup. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kekurangan kadar
hemoglobin dalam darah akan mengalami proses penyembuhan lebih lama.
• Usia, kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau kematangan usia
seseorang. Namun selanjutnya, proses penuaan dapat memperlambat proses penyembuhan
luka.
• Penyakit lain, mempengaruhi proses penyembuhan luka,. Adanya penyakit seperti diabetes
melitus dapat memperlambat proses penyembuhan luka.
• Nutrisi, Merupakan unsur utama dalam membantu perbaikan sel, terutama karen terdapat
kandungan gizi di dalamnya.
• Kegemukan, obat-obatan, merokok, dan stres, mempengaruhi proses penyembuhan luka.

9. Pemeriksaan Diagnostik

• Jumlah leukosit
• Hb
• Glukosa dan HbA Ic
• Kadar albumin dan protein
• Pemeriksaan mikrobiologi
• Radiologi
10. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit
4. Pemeriksaan fisik, contohnya seperti mengukur luka, kedalaman luka dan luas luka
5. Pemeriksaan penunjang

11. Diagnosa
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan faktor internal
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromoskuler

12. Intervensi

No. Tujuan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1. Integritas Luka bersih Diagnosa 1 Diagnosa 1
kulit pada dan utuh (Kerusakan kulit yang a. Untuk menunjukkan
area luka tanpa berhubungan dengan faktor keefektifan program
operasi inflamasi internal) : perawatan luka.
meningkat a. Observasi kondisi a. Untuk mengobati
kulit luka.
b. Lakukan medikasi b. Untuk memastikan
c. Ajarkan pada pasien kepatuhan.
tentang perawatan c. Untuk mempercepat
kulit dan medikasi penyembuhan klien.
d. Kolaborasi dengan
dokter pemberian
NaCl dengan kasa
steril

Diagnosa 2 Diagnosa 2
(Hambatan mobilitas fisik a. Menjaga tingkat
berhubungan dengan kemandirian
gangguan Neuromoskuler) : b. Mencegah
a. Identifikasi tingkat kontraktor otot dan
fungsional atrofi otot
b. Lakukan latihan ROM c. Mempertahankan
untuk sendi jika tidak sendi dan mencegah
merupakan deformitas
kontraindikasi d. Untuk membantu
c. Lakukan program rehabilitas defisit
olahraga muskuloskletal
d. Tempatkan sendi pada
posisi fungsional
e. Kolaborasi dengan
ahli fisioterapi
13. Implementasi
1. Inspeksi permukaan kulit dekat luka dan disekitar tempat luka
2. Observasi kondisi luka dan karakter darianase
3. Melakukan tindakan ROM ke pasien
4. Memberikan obat, membersihkan luka, dan mengganti balutan
5. Berkolaborasi dengan dokter

14. Evaluasi
1. Luka bersih dan utuh tanpa inflamasi, darinase atau maserasi
2. Tepi luka saling mendekat.

Anda mungkin juga menyukai