Anda di halaman 1dari 30

Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan

Chronic Kidney Desease (CKD) atau Gagal Ginjal Konik + Hipertensi


Dengan Hemodialisa

A. Konsep Chronic Kidney Desease (CKD) atau Gagal Ginjal Konik


1. Pengertian
Gagal ginjal kronis disebut juga sebagai Chronic Kidney Desease (CKD). Perbedaan
kata kronis disini dibanding dengan akut adalah kronologis waktu dan tingkat fisiologis
filtrasit. Berdasarkan Mc Clellan 2006 dijelaskan bahwa gagal ginjal kronis merupakan
kondisi penyakit pada ginjal yang persisten (keberlangsungan ≥ 3 bulan dengan: 1)
kerusakan ginjal, dan 2) Kerusakan glomerular filtration rate (GFR) dengan angka GFR ≤
60 ml/menit/ 1,73 m2 (Prabowo & Eka, 2014).
Pada keadaan gagal ginjal kronik ini, terjadi penurunan fungsi ginjal yang lambat
dengan tanda dan gejala yang minimal. Banyak pasien yang tidak menyadari timbulnya
keadaan tersebut sampai fungsi ginjal hanya tinggal 25% (Agoes, 2010). Gagal ginjal
kronik merupakan penyakit yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama sampai bertahun-
tahun serta tidak kunjung sembuh (Dharma, 2015).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang progesif dan
irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau azotemia
(Wijaya & Putri, 2013).
Jadi kesimpulannya, gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal tahap akhir yang terjadi
dalam kurun waktu lama dimana penurunan fungsi ginjal sampai 25% sehingga
menimbulkan beberapa gejala yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita.
2. Etiologi
Ada beberapa penyakit yang memengaruh I tubuh secara keseluruhan, yang dapat
memicu timbulnya PKG, antara lain:
a. Diabetes
Bila mengalami diabetes, berarti tubuh tidak bisa optimal dalam hal mengubah
makanan menjadi energy yang dibutuhkan sehingga kadar gula darah dapat meningkat.
Kondisi gula darah yang meningkat berkepanjangan dapat merusak pembuluh darah
ginjal. Bila sudah meningkat, dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: rasa haus
meningkat, penglihatan kabur, sering berkemih, beat badan menurun tanpa alasan yang
jelas, luka yang lama sembuh, merasa lapar dan lemah.
b. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
Tekanan darah merupakan tekanan yang ditimbulkan pleh darah yang mengalir dalam
pembuluh darah arteri. Tekanan yang tinggi ini bila berlangsung terus-menerus dapat
merusak atau mengganggu pembuluh-pembuluh darah kecil dalam ginjal yang lama
kelamaan akan mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Pada
umumnya, bagi orang dewasa atau berusia 18 tahun ke atas tekanan darah 140/90
mmHg atau lebih, dapat dikatakan sebagai keadaaan hipertensi, sedangkan bagi anda
penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik, tekanan darah 130/80 mmHg atau lebih
sudah dikatakan sebagai hipertensi. Dengan mengontrol tekanan darah akan membantu
memperlambat kerusakan ginjal. Untuk mengatasi masalah hipertensi, konsultasikan
dengan dokter anda.
c. Batu ginjal
Batu yang terbentuk diginjal terjadi akibat adanya proses presipitasi (kristalisasi bahan-
bahan yang terlarut) yang terkandung di dalam urine. Biasanya batu ini dapat berpindah
melalui ureter (saluran yang mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih) dan
dikeluarkan lewat urine bila berukuran kecil. Namun kadangkala, batu yang berukuran
terlalu besar tidak bisa keluar begitu saja lewat urine. Bila hal ini terjadi maka
menimbulkan sara sakit dan mungkin dapat menimbulkan obstruksi akibat
terhambatnya aliran urine keluar.
Batu ginjal dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infeksi, diet tertentu, obat-
obatan, dan kondisi tertentu akibat meningginya zat lain dalam urine, misalnya asam
urat. Gejala batu ginjal antara lain:
1) Rasa sakit pada bagian belakang atau sisi tubuh
2) Darah dalam urine
3) Muntah, demam, sering berkemih atau ingin berkemih
4) Rasa nyeri saat berkemih
Keluar/tidaknya batu ginjal dengan sendirinya, tergantung pada lokasi, besar, bentuk,
dan komposisi. Ukuran batu yang kecil dengan bentuk licin atau bulat, dapat keluar
dengan sendirinya. Namun, bila bentuknya bermacam-macam, misalnya, dengan tepi
yang tajam atau dengan ukuran yang terlalu besar, yang memenuhi seluruh bagian
ginjal, tentu memerlukan terapi tertentu guna mengeluarkannya. Bila batu ginjal
berpindah ke bagian pelvis ginjal, dapat menyumbat aliran urine dan ginjal pun dapat
bengkak sehingga mengganggu kerja gnjal.
d. Infeksi dan radang
Ainfeksi atau radang pada saluran kemih (ISK) dapat terjadi akibat adanya bakteri yang
masuk kesaluran kemih dan berkembangbiak. Saluran kemih terdiri dari kandung
kemih, uretra dan dua ureter, serta ginjal. Bakteri ini biasanya masuk melalui uretra dan
masuk ke kandung kemih. Kondisi ini dapat menyebabkan saluran kemih menjadi
merah, bengkak, dan rasa nyeri. Jika infeksi ini tidak diatasi dengan baik, bakteri dapat
memasuki ginjal sehingga menimbulkan jenis infeksi yang lebih serius, yaitu
pyelonefritis (peradangan pada ginjal yang dapat meluas mengenai unit penyaring dan
pembuluh darah) gejala ISK antara lain:

1) Keinginan berkemih, kadang urine hanya berbentuk sedikit atau menetes


2) Rasa seperti terbakar saat berkemih
3) Urine berwarna keruh atau bercampur darah
4) Bau urine sangat menyolok.
Bila infeksi ini sudah menyebar ke ginjal, dapat menyebabkan rasa sakit/ nyeri pada
punggung bagian bawah disertai dengan demam, mual, dan muntah.
e. Glomerulonefritis
Selain ISK, Glomerulonefritis yang tidak segera diatasi juga dapat mengganggu kerja
ginjal nantinya. Glomerulonefritis timbul akibat adanya peradangan yang merusak
bagian ginjal yang menyaring darah (glomerulus) sehingga glomerulurs ini tidak bisa
lagi menyaring zat-zat yang sudah tidak terpakai oleh tubuh dan cairan yang berlabih ke
dalam aliran darah untuk membentuk cairan urine.
Glomerulonefritis akut biasanya sering disebabkan oleh infeksi bakteri streptokokus
atau infeksi pada tenggorokan atau kulit. Glomerulonefritis yang ringan biasanya tanpa
gejala dan diagnosisnya ditegakkan melalui pemeriksaan darah dan urine di
laboratorium. Sementara yang sudah berat, dapat menimbulkan gejala fatigue (lelah),
mual, muntah, sesak napas, gangguan penglihatan, tekanan darah tinggi, bengkak
(terutama pada wajah, tangan, kaki dan pergelangan kaki), dan adanya darah/ protein
pada urine yang membuat warna urine menjadi kemerahan atau keruh.
f. Penyalahgunaan obat-obatan
Ada beberapa jenis obat-obatan yang dapat membahayakan kerja ginjal, yaitu:
1) Obat penghilang/ pereda rasa sakit. Ginjal dapat rusak bila anda mengkonsumsi obat
bebas ini dalam jumlah yang berlebih dalam jangka waktu lama, seperti aspirin,
asetaminofen, dan ibuprofen. Gunakan obat ini sesuai dengan anjuran dokter.
2) Antibiotika
3) Obat terlarang. Contoh obat jenis ini antara lain: heroin, kokain, ekstasi, bila
dikonsumsi secara berlebih dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, stroke, gagal
jantung dan bahkan kematian.
4) Alkohol.mengkonsumsi alcohol secara berlebihan dapat meningkatkan risiko
timbulnya gagal ginjal dan gagal fungsi hati (Mahdiana, 2010).
3. Klasifikasi
Ada atau tidaknya penyakit ginjal kronik ini dapat ditetapkan berdasarkan adanya
kerusakan ginjal atau tingkat fungsi ginjal, yaitu dengan mengukur laju filtrasi glomerulus
(Glumerular Filtration Rate/ GFR). Menurut Natinal Kidney Fondation Kidney Desease
Outcomes Quality Initiative (NKF-K/ DOQI), dapat dibagi menjadi (Mahdiana, 2010) :
a. Kerusakan ginjal dengan nilai GFR normal atau meningkat. Nilai GFR e” 90
mL/min/1,73 m2.
b. Kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai GFR 60-89 mL/min/1,73 m2.
c. Kerusakan ginjal sedang dengan penurunan nilai GFR 30-59 mL/min/1,73 m2.
d. Kerusakan ginjal berat dengan penurunan nilai GFR 15-29 mL/min/1,73 m2.
e. Gagal ginjal terminal (stadium akhir), dengan nilai GFR <15 mL/min/1,73 m2.
4. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala
pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-
kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu (Price dan Wilson,
2006).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat
(Corwin, 2009):
a. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
sebenarnya dibersihkan oleh ginjal Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat
dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
b. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan
cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerja sama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
c. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.
d. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat
status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi
eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak
napas.
e. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat
dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal
tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
mengakibatkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu juga metabolit
aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun.
f. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
5. Phatway

(NANDA NIC-NOC, 2013)


6. Manifestasi Klinis
Pada gagal ginjal kronik akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10 %
dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom
uremik, yaitu suatu kompleks gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi
metabolik nitrogen akibat gagal ginjal (Suhartono, 2009).
Manifestasi klinis sindrom uremik pada gagal ginjal kronis :
a. Biokimia
Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20 mEq/L), Azometemia (penurunan GFR
menyebabkan peningkatan BUN dan Kreatin), Hiperkalemia retensi Na,
Hipermagnesia, Hiperuresemia.
b. Saluran Cerna
Anoreksia mual, muntah, nafas bau amoniak, mulut kering, pendarahan mulut cerna,
diare, parotitis.
c. Perkemihan oliguria
Berlanjut menuju oliguri, lalu anuri. Nokturia BJ urin 1,010, proteinuri.
d. Metabolisme Protein
e. Sintesis abnormal, hiperglikmia, kebutuhan insulin menurun lemak peningkatan kadar
trigliserid.
f. Kardiovaskular
Hipertensi retinopati dan ensefalopati hipertensif, beban sirkulasi berlebih, edema,
gagal jantung kongestif, dan disritmia gangguan kalsium, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, hiperparatiroidisme, deposit garam kalsium pada sendi, pembuluh darah
jantung dan paru-paru, Konjungtivitis (urenia mata merah).
g. Pernafasan
Kussmaul, dispnea, edema paru, pnumonitis, kulit pucat, pruritis, kristal uremia, kulit
kering, dan memar.
h. Hematologik,
Anemia, hemolisis, kecenderungan pendarahan, infeksi.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah (Corwin,
2009):
a. Pada gagal ginjal progresif terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis
metabolik, azotemia dan uremia.
b. Gagal ginjal stadium 5 terjadi azotemia dan uremia berat. Asidosis memburuk, yang
secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan
c. Hipertensi, anemia, osteodiatrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan pruritus
(gatal).
d. Penurunan pembentukkan eritropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia
kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit ginjal
yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
e. Gagal jantung kongestif
f. Koma dan kematian tanpa pengobatan
8. Pemeriksaan Penunjang (Price & Wilson, 2006)
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal : Ureum kreatinin, Asam urat serum.
2) Identifikasi etiologi gagal ginjal : Analisis urin rutin, Mikrobiologi urin, Kimia
darah, Elektrolit, Imunodiagnosis.
3) Identifikasi perjalanan penyakit : Progresifitas penurunan fungsi ginjal, Ureum
kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:

Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 - 1,23 mL/detik/m2
b. Diagnostik
1) Etiologi CKD dan terminal : Foto polos abdomen, USG, Nefrotogram, Pielografi
retrograde, pielografi antegrade, Mictuating Cysto Urography (MCU).
2) Diagnosis pemburuk fungsi ginjal : RetRogram dan USG.
9. Penatalaksanaan
Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap, yakni tindakan
konservatif, dialisis atau transplatansi ginjal (Suharyanto & Madjid, 2009).
a. Tindakan Konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat
gangguan fungsi ginjal progresif (Suharyanto & Madjid, 2009).

1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan


a) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi
asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal
dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali
kelainan ini dan memperlambat terjadi gagal ginjal.
Pembatasan protein berdasarkan nilai GFR
GFR (ml/menit) Pembatasan protein (g)
10 40
5 25-30
3 atau kurang 20 20

b) Diet rendah kalium


Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan
kalium yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.
c) Diet rendah natrium
Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium yang
terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d) Pengaturan cairan
Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan,
edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi, dan gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk menentukan
banyaknya asupan caian adalah :

Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL)

Misalnya : Jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam adalah 400ml,
maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400 + 500 ml = 900ml (Suharyanto
& Madjid, 2009).
2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi
a) Hipertensi
Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisis, pemberian anti
hipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang
diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskular melalui ultrasi, Pemberian
diuretik : furosemid (lasix).
b) Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena,
yang akan memasukan K+ ke dalam sel atau dengan pemberian Kalsium Glukonat
10 %.
c) Anemia
Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin, yaitu rekombinan
eritropoeitin (r-EPO) (Eschbatch et al, 1987), selain dengan pemberian vitamin
dan asam folat, besi dan transfusi darah.
d) Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali dengan HCO 3- plasma turun
dibawah angka 15 mEq/l. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian
Na HCO3- (Natrium Bikarbonat) parenteral.
e) Pengobatan hiperuriesmia
Obat pilihan untuk mengobati hipeurismia pada penyakit ginjal lanjut adalah
pemberian alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat
sebagian asam urat total yang hasilkan tubuh.
b. Dialisis dan Transplantasi
Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada laki-laki
atau 4 mg/100 ml pada wanita, dan GFR kurang dari 4 ml/menit. Dialisis dapat
digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai
tersedia donor ginjal (Suharyanto & Madjid, 2009).
1) Dialysis
a) Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergency, sedangkan dialysis yang bisa
dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD (Continues
Ambulatory Peritonial Dialysis).
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang disebut dialyzer.
Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi
kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena
(fistula arteriovenosa) melalui pembedahan. Pada hemodialisa, darah penderita
mengalir melalui suatu selang yang dihubungkan ke fistula arteriovenosa dan
dipompa ke dalam dialyzer. Untuk mencegah pembekuan darah selama berada
dalam dialyzer maka diberikan heparin. Di dalam dialyzer, suatu selaput buatan
yang memiliki pori-pori memisahkan darah dari suatu cairan (dialisat) yang
memiliki komposisi kimia yang menyerupai cairan tubuh normal.
Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di
dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolic, dan zat-zat racun di dalam darah
disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat. Tetapi sel darah dan protein
yang besar tidak dapat menembus pori-pori selaput buatan ini. Darah yang telah
dicuci lalu dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Dialyzer memiliki ukuran dan
tingkat efisiensi yang berbeda-beda. Mesin yang lebih baru sangat efisien, darah
mengalir lebih cepat dan masa dialisa lebih pendek (2-3 jam), sedangkan mesin
yang lama memerlukan waktu 3-5 jam. Sebagian besar penderita gagal ginjal
kronis perlu menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu.
Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi Penyebab
Demam  Bakteri atau zat penyebab demam (pirogen) di dalam
darah
 Dialisat terlalu panas
Reaksi anafilaksis yg berakibat  Alergi terhadap zat di dalam mesin
fatal (anafilaksis)  Tekanan darah rendah
Tekanan darah rendah Terlalu banyak cairan yang dibuang
Gangguan irama jantung Kadar kalium dan zat lainnya yang abnormal dalam
darah
Emboli udara Udara memasuki darah di dalam mesin
Perdarahan usus, otak, mata atau Penggunaan heparin di dalam mesin untuk mencegah
perut pembekuan
2) Transplantasi ginjal

B. Konsep Hemodialisis
1. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis merupakan terapi untuk pasien gagal ginjal tahap akhir. Metode ini
menggantikan kerja yang biasanya dijalankan ginjal, yaitu pembersihan darah dari sisa
metabolisme, zat toksik, dan pengeluaran timbunan air dalam tubuh (Agoes, 2010)
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksik lainnya
melalui membran semi permeabel sebagai pemisah antara darah dan dialisat yang sengaja
dibuat dalam dializer (LeMone, Burke, & Bauldoff, 2016).
Hemodialisis merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal ginjal untuk
menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki ketidakseimbangan
elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan menggunakan sistem dialisis eksternal
dan internal (LeMone, Burke, & Bauldoff, 2016).
Jadi kesimpulannya, hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi ginjal untuk
proses pembersihan darah dari zat sisa-sisa metabolisme, toksik, dan timbunan elektrolit
lainnya di dalam tubuh.
2. Tujuan Hemodialisis
Tujuan dari terapi hemodialisis untuk pasien gagal ginjal kronik yaitu (Wijaya & Putri,
2013):
a. Membuang sisa produk metabolisme protein seperti : urea, kreatinin dan asam urat
b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan
bagian cairan
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh
3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi dilakukannya terapi hemodialisis adalah (Wijaya & Putri, 2013):
a. Pasien yang memerlukan hemodialisis adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara
sampai fungsi ginjalnya pulih ( laju filtrasi glomerulus < 5 ml).
b. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan terapi hemodialisis apabila terdapat
indikasi :
1) Hiperkalemia ( K+ darah 6 meq/l)
2) Asidosis Metabolik
3) Kegagalan terapi konservatif
4) Kadar ureum/ kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200 mg%, kreatinin serum > 6
mEq/l
5) Kelebihan cairan
6) Mual dan muntah hebat
c. Indikasi obat dan zat kimia
d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat. Sindrom hepatorenal dengan kriteria :
1) K+ pH darah < 7,10 asidosis
2) Oliguri/anuria > 5 hr
3) GFR < 5ml/menit/1,73 m2 pada GGK
4) Ureum darah > 200 mg/dl
4. Kontra Indikasi Hemodialisis
Selain indikasi hemodialisa juga kontraindikasi pada:
a. Hipertensi Berat ( TD > 200/ 100 mmHg )
b. Hipotensi ( TD<100 mmHg )
c. Adanya perdarahan hebat
d. Demam tinggi

5. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisis


Prosedur pelaksanaan untuk proses terapi hemodialisis sebagai berikut (Wijaya & Putri,
2013):
a. Tahap Persiapan
1) Mesin sudah siap pakai
2) Alat lengkap 1 set Hemodialisis
3) Obat-obatan
4) Administrasi (surat persetujuan HD)
b. Tahap pelaksanaan
1) Penjelasan pada klien dan keluarga
2) Timbang berat badan
3) Atur posisi, observasi TTV
4) Siapkan sirkulasi mesin
5) Persiapan tindakan steril pada daerah punksi
6) Lakukan penusukan vena (out let dan in let) dengan AV fistula lalu tutup dengan
kasa steril
7) Berikan bolus heparin (dosis awal 50-100 IU/kg BB)
8) Memulai hemodialisis
9) Pencatatan dokumentasi selama proses dialisis
c. Tahap penghentian
1) Siapkan alat
2) Ukur TTV
3) Lepaskan outlet dan inlet punksi
4) Ukur TTV
5) Timbang berat badan
6) Analisa keluhan saat dan sesudah HD
6. Prinsip Hemodialisis
Prinsip pelaksanaan dari terapi hemodialisis itu meliputi (LeMone, Burke, & Bauldoff,
2016) :
a. Difusi
Dihubungkan dengan pergeseran partikel-partikel dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah oleh tenaga yang di timbulkan oleh perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut di
kedua sisi membran dialisis, difusi menyebabkan pergeseran urea, kreatinin dan asam
urat dari kompartemen darah klien ke kompartemen dialisat.
b. Osmosis
Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semipermeabel dari daerah yang kadar
partikel-partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih tinggi, osmosis
bertanggung jawab atas pergeseran cairan dari klien terutama pada dialiser.
c. Ultrafiltrasi
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable akibat perbedaan
tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil
bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
Pendidikan bagi pasien hemodialisis sangat penting. Hal-hal yang penting dalam
program pendidikan bagi pasien hemodialisis mencakup (Suharyanto & Madjid, 2009) :
1) Alasan rasional dan tujuan terapi dialisis
2) Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dan dialisis
3) Efek samping obat dan pedoman kapan harus memberitahukan ke dokter mengenai
efek samping tersebut.
4) Perawatan akses vaskuler : pencegahan, pendeteksian, dan penatalaksanaan
komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler.
5) Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan, konsekuensi akibat kegagalan
dalam mematuhi batasan ini.
6) Pedoman pencegahan dan pelaksanaan berlebihan volume cairan
7) Strategi untuk pendektesian, penatalaksanaan dan pengurangangan gejala pruritus,
neuropati serta gejala-gejaa kainnya.
8) Penatalaksanaaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi (dialisis,
pembatasan diet, dan obat-obatan)
9) Strategi untuk menangani dan mengurangi kecemasan serta ketergantungan pasien
sendiri dan anggota keluarga mereka.
10) Pengaturan finansial untuk dialisis : strategi untuk mengindentifikasi dan
mendapatkan sumber-sumber finansial.
11) Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan anggota
keluarga.
7. Pathway Hemodialisis
8. Akses Pembuluh darah
Akses pembuluh darah dalam pelaksanaan hemodialisis dibagi sesuai fungsinya
(Suharyanto & Madjid, 2009) :
a. Kateter Subklavia / Jugularis dan Femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui
katerisasi subklavia untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukan ke
dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
b. Fistula (cimino shunt breschia)
Fistula yang telah permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada
lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis)
pembuluh arteri dengan vena secara side to side ( dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu untuk
menjadi “matang” sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberi
kesempatan agar fistula pulih dan segmen vena fistula berdilatasi dengan baik sehingga
dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukan ke dalam
pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dialiser.
Segmen arteri fistula digunakan untuk memasukan kembali (reinfus) darah yang sudah
terdialisis.
c. Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur
dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau tandur vena safena
dari pasien sendiri. Baisanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien tidak
cocok untuk dijadikan fistula.
9. Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi terapi dialisis dapat mencakup hal-hal sebagai berikut (Suharyanto & Madjid,
2009) :
a. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
b. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
d. Gangguan keseimbangan dialisat, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar
jika terdapat gejala uremia yang berat.
e. Kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang
ekstrasel.
f. Mual dan muntah.
g. Anemia dan sakit kepala
C. Konsep Dasar Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
World Health Organization (WHO) dan The International Society of Hypertension
(ISH) menetapkan bahwa hipertensi merupakan kondisi ketika tekanan darah (TD) sistolik
lebih besar dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolic lebih besar dari 90 mmHg. Nilai
ini merupakan hasil rerata minimal dua kali pengukuran setelah melakukan dua kali atau
lebih kontak dengan petugas kesehatan hipertensi usia dewasa telah diklasifikasikan dalam
Sixtth Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Preassure (INC VI) pada tahun 1997. Hal ini dapat dilihat pada tabel:
Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Optimal <120
Normal <130
Tinggi-normal 130-139
Hipertensi
Derajat 1 140-159
Derajat 2 160-179
Derajat 3 >180
(Yasmara dkk, 2016).
2. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
a. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui.
Namun, berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer,
seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Kurang lebih
90% penderita hipertensi tergolong Hipertensi primer sedangkan 10% nya tergolong
hipertensi sekunder.
b. Hipertensi sekunder
Jumlah Hipertensi sekunder hanya sekitar 5-10% dari kejadian hiertensi secara
keseluruhan. Hipertensi jenis ini merupakan dampak dari penyakit tertentu. Berbagai
kondisi yang bisa menyebabkan hipertensi antara lain penyempitan arteri renalis,
penyakit parenkim ginjal, hiperaldosteron maupun kehamilan. Selain itu obat-obatan
tertentu bisa juga pemicu jenis hipertensi sekunder.
Hipertensi primer maupun sekunder memiliki potensi untuk berkembang menjadi
hipertensi berat atau dengan pula sebagai krisis hipertensi. Penyebab hipertensi pada orang
dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-perubahan pada:
a) Elastisitas dinding aorta menurun
b) Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20
tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya.
d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
e) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
3. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis,
yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke
gangila simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui saraf simpatis ke gangila simpatis. Pada titik ini, neuron pregangilon
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembulu
darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembulu
darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut
terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi.
Konteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokontriktor pembulu darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensi II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cendrung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung
jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distesi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang
sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga
tekanan darah juga meningkat.
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis Hipertensi
Tanda dan gejala hipertensi dibedakan menjadi:
a. Tidak ada gejala: tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang
memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika arteri
tidak teratur.
b. Gejala yang lazim: sering dikatakan bahwa gejala yang lazim menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala
terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu:
1) Mengeluh sakit kepala, pusing
2) Lemas, kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual, muntah
6) Epitaksis
7) Kesadaran menurun
8) Tengkuk terasa pegal, dan lain-lain.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal,
pendarahan pada selaput bening (retina mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta
kelumpuhan.
6. Komplikasi Hipertensi
a. Retinopati hipertensi
b. Penyakit kardiovaskuler
c. Penyakit serebrovaskuler
d. Penyakit ginjal seperti nefrosklerosis ( Tagor, 2013)
7. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
a. Hemoglobin / hematocrit : mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor resiko seperti hipokoagulabilitas,
anemia.
b. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.
c. Glukosa: Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan
oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum: hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
e. Kalsium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan hipertensi.
f. Kadar nitrogen urea darah normal (normal = 5-25 mg/dL)2 atau meningkat > 20
mg/dL dan kadar kreatinin serum normal (normal = 0,5-1,5 mg/dL)2 atau >1,5 mg/dL
menunjukkan penyakit ginjal.
g. Kolesterol dan trigeliserida serum : peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus
untuk/adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiofaskuler)
h. Pemeriksaan tiroid : hipertiroidisme dapat mengakibatkan vasikonstriksi dan hipertensi.
i. Kadar aldosteron urin dan serum : untuk menguji aldosteronisme primer (penyebab).
j. Urinalisa : darah, protein dan glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya
diabetes.
k. VMA urin (metabolit katekolamin) : kenaikan dapat mengindikasikan adanya
feokomositoma (penyebab); VMA urin 24 jam dapat digunakan untuk pengkajian
feokromositoma bila hipertensi hilang timbul.
l. Asam urat: hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko terjadinya
hipertensi.
m. Steroid urin : kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme, feokromositoma atau
disfungsi ptuitari, sindrom Cushing’s; kadar renin dapat juga meningkat.
n. IVP : dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti penyakit parenkim ginjal,
batu ginjal dan ureter.
o. Foto dada : dapat menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub; deposit pada dan/
EKG atau takik aorta; perbesaran jantung.
p. CT scan : mengkaji tumor serebral, CSV, ensevalopati, atau feokromositoma.
q. EKG: dapat menunjukkan perbesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi.
Catatan : Luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung
hipertensi.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non Farmakologis.
a. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat menurunkan
tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan
kadar adosteron dalam plasma.
b. Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,
bersepeda atau berenang.
Penatalaksanaan Farmakologis
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau
pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
a. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
b. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal
c. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
d. Tidak menimbulakn intoleransi
e. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
f. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi seperti golongan
diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium, golongan penghambat
konversi rennin angitensin.
9. Komplikasi
Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata berupa perdarahan
retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan, gagal jantung, gagal ginjal,
pecahnya pembuluh darah otak.

D. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, pekerjaan, pendidikan dll.
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Sesak napas, kencing sedikit bahkan tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, kembung, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang : diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi
anafilaksis, renjatan kardiogenik.
2) Riwayat penyakit dahulu : riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, benigna
prostatic hyperplasia, prostatektomi.
3) Riwayat penyakit keluarga : adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus atau
hipertensi.
d. Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, napas cepat dan
dalam (kussmaul), dyspnea.
e. Body Systems :
1) Pernapasan (B 1 : Breathing)
Gejala : napas pendek, dispnea nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda ; takhipnea, dispnea, peningkatan frekuensi, batuk produktif dengan/tanpa
sputum, pernapasan cepat dan dalam, nyeri dada.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala : riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak napas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda : hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning kecenderungan perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran : disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolet sampai koma.
edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas ureum.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.
Gejala : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen
kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: perubahan warna urine (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan diare,
adanya edema anasarka (ascites).
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala : nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda : pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimosis pada kulit,
fraktur tulang, defosit fosfat kalsium, pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan manajemen
kesehatan karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama. Oleh karena
itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang, dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien.
Gejala : peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan
(malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia)
Penggunaan diuretik.
Tanda : Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Eliminasi urine :
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat sampai
tidak dapat kencing.
Gejala : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen
kembung.
Tanda: perubahan warna urine (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
Eliminasi alvi : diare atau konstipasi.
4) Pola tidur dan istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas sehingga menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal.
Gejala : kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise.
Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Gejala : kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati/mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem).
9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
Gejala : penurunan libido, amenorhea, infertilitas.

10) Pola mekanisme koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain-lain dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.
Gejala : faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan
Tanda : menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan
kepribadian.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal
kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL) 2 , kreatinin serum (normal:0,5-1,5 mg/dL;
45-132,5 µmol/L[unit SI]) 2 , natrium (normal: serum: 135-145 mmol/L; urine:
40-22- mEq/L24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L; 3-5,0 mmol/L[unit
SI]) 2 , meningkat.
b) Analisis gas darah arteri menunjukkan penurunan pH arteri (normal: 7,35-7,45) 2
dan kadar bikarbonat (normal: 24-28 mEq/L) 2.
c) Kadar hematokrit (normal: wanita= 36-46%, 0,36-0,46 [unit SI]; pria= 40-50%,
0,40-0,54 [unit SI]) 2 dan hemoglobin (normal: wanita+ 12-16 g/dL; pria = 13,5-
18 g/dL) 2 rendah; masa hidup sel darah merah berkurang.
d) Muncul defek trombositopenia dan trombosit ringan.
e) Sekresi aldosteron meningkat
f) Terjadi hiperglikemia dan hipertrigliseridemia
g) Penurunan kadar high density lipoprotein (HDL) (normal: 29-77 mg/dL).
h) Analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolic
i) Berat jenis urine (normal:1.0005-1,030) 2 tetap pada angka 1,010
j) Pasien mengalami proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukan
sedimentasi, leukosit, sel darah merah, dan Kristal.
2) Pencitraan
Radiografi KUB, urografi ekskretorik, nefrotomografi, scan ginjal, dan arteriografi
ginjal menunjukkan penurunan ukuran ginjal.
3) Prosedur diagnostik
a) Biopsy ginjal memungkinkan identifikasi histologist dari proses penyakit yang
mendasari.
b) EEG menunjukkan dugaan perubahan ensefalopati metabolic
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan
serta natrium.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual dan
muntah, pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut.
c. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan volume cairan, perubahan pigmentasi
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan curah jantung (beban jantung
yang meningkat)
e. Gangguan pertukaran gas b.d peningkatan beban jantung, tekanan vena pulmonalis,
edema paru.
f. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi, produksi sampah.
3. Intervensi Keperawatan
No. Tujuan Intervensi Rasional
Dx.
1 Tujuan: Setelah diberikan Mandiri : Mandiri :
1. Kaji TTV 1. Mengetahui keadaan umum
asuhan keperawatan selama
2. Kaji adanya edema 2. Menunjukan adanya tanda-tanda letargi cairan yang
1x24 jam diharapkan kelebihan 3. Kaji status cairan (balance cairan) 2. Menambah kerja dari jantung dan menuju edema pulmoner dan
4. Monitor BUN, kreatinin, asam urat
volume gagal jantung
cairan teratasi dengan (bila ada) 3. Ketentuan batas cairan jika terjai oliguria
kriteria hasil: 5. Batasi pemasukan cairan 4. Fungsi ginjal diketahui dan peningkatan BUN lebih dari 25 mg/dl
-Tidak ada edema
dan kreatinin lebih dari 1,5mg/dl
-BB dan TTV stabil
5. Pemasukan cairan yang berlebiha dapat mengakibat kan
-Elektrolit dalam batas normal
terjadinya penumpukan cairan.
2 Tujuan: Setelah diberikan Mandiri: Mandiri:
. 1. Kaji anoreksia, nausea dan muntah 1. Tanda dan gejala dari peningkatan azotemia.
asuhan keperawatan selama
2. Batasi protein 20-60 gram perhari, 2. Protein ditentukan dengan kegagalan ginjal dan tingkat BUN:
2x24 jam diharapkan nutrisi
intake karbohidrat 100 gram perhari karbohidrat untuk mencegah lemak untuk menghancurkan
pasien terpenuhi dengan kriteria
2000 kalori perhari keseluruhan katabolisme jaringan.
hasil: 3. Iritasi stomatistik meningkatkan nausea
intake.
a. -tidak ada mual, muntah. 4. Protein komplek mengandung seluruh asam amino
3. Hindari minum berkafein, juice
-mukosa mulut lembab.
-IMT normal. makanan panas/berbau
Kolaborasi:
4. Berikan intake ayam, ikan sebagai
Bertugas untuk mengurangi muntah dengan menambah asam gastrin
sumber protein.
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian obat anti
emetik (metociropmid)

3. Tujuan: Setelah diberikan Intervensi Mandiri: Rasional Mandiri:


1. Kaji gatal-gatal, pecah dalam kulit, 1. Gatal-gatal hasil dari kekeringan kulit kristalisasi urea pada kulit,
asuhan keperawatan selama 3x
kemerahan pada titik tekanan tekanan konstan pada kulit menunjukan penurunan pada jaringan
24 jam kerusakan integritas
2. Kaji mukosa oral adanya stomatitis
dan pecahan
kulit teratasi dengan
dan pernafasan bau amoni 2. Hasil dari peningkatan urea dan amonia dari pecahan bakteri dan
kriteria hasil:
3. Kaji apakah rambut mudah rusak
- Turgor kulit elastis. urea
-Tidak ada kemerahan pada dan kuku pucat, serta warna pada 3. Hasil dari retensi urine dan penurunan atau peningkatan Iritasi
kulit. kulit. kulit dapat disebabkan karena kuku.
-Pecah dan erosi kulit tidak ada 4. Ajari klien untuk menekan area 4. Karena menggaruk area yang gatal akan membuat luka pada kulit.
5. Bahan kapas dapat meningkatkan gatal-gatal
pada kulit akibat garukan yang gatal
5. Anjurkan klien untuk menghindari Kolaborasi:
pemakaian dari bahan kapas. Untuk menahan dingin sel,membentuk mikro organisme
Kolaborasi:
Pemberian obat anti biotik (ampicilin)
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A., Agoes, A., & Agoes, A. (2010). Penyakit di Usia Tua. Jakarta: EGC.

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revis 3. Jakarta : EGC

Dharma, P. S. (2015). Penyakit Ginjal; Deteksi Dini dan Pencegahan. Yogyakarta: CV


Solusi Distribusi.

Suhartono, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : CV. Trans info Media.

Nurarif, Nurul Huda. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC
Jilid 1. Yogyakarta: MediAction

Yasmara, Deni dkk. 2016. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah: Diagnosis


NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC hasil NOC. Jakarta: EGC

Price, S. A. & Wilson, L. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
6, volume 1 & 2. Jakarta : EGC.

Tagor GM. 2013. Buku ajaran Kardiologi. Editor Lily IS., Faisal B., Santosa KK.,
Poppy SR. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah,


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai