Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Gagal Ginjal

Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal


mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama
sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga
keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium
didalam darah atau produksi urin. Dalam dunia kedokteran dikenal 2
macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis
(Anonim, 2010).

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (PGGK) adalah suatu keadaan


menurunnya fungsi ginjal yang bersifat kronik, progresif dan menetap
berlangsung. Beberapa tahun pada keadaan ini ginjal kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan volume dan cairan tubuh dalam
keadaan asupan diet normal (Rindiastuti, 2006).

Penyakit Ginjal Akut (PGGA) adalah sindroma yang ditandai oleh


penurunan laju filtrasi glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan
jam-minggu) yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen,
seperti ureum dan kreatinin.

2.2 Etiologi Gagal Ginjal


Pada gagal ginjal akut, fungsi ginjal hilang dengan sangat cepat
dan dapat terjadi dari suatu luka tubuh yang bervariasi. Daftar dari
penyebab-penyebab ini seringkali dikatagorikan berdasarkan dimana luka
terjadi. Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius
yang diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak
pada kerusakan organ ginjal. Adapun beberapa penyakit yang sering kali
berdampak kerusakan ginjal diantaranya (Susanto) :
 Penyakit tekanan darah tinggi (Hypertension)
 Penyakit Diabetes Mellitus (Diabetes Mellitus)
 Adanya sumbatan pada saluran kemih (batu, tumor,
penyempitan/striktur)
 Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik
 Menderita penyakit kanker (cancer)
 Kelainan ginjal, dimana terjadi perkembangan banyak kista pada
organ ginjal itu sendiri (polycystic kidney disease)
 Rusaknya sel penyaring pada ginjal baik akibat peradangan oleh
infeksi atau dampak dari penyakit darah tinggi. Istilah kedokterannya
disebut sebagai glomerulonephritis.

Adapun penyakit lainnya yang juga dapat menyebabkan kegagalan


fungsi ginjal apabila tidak cepat ditangani antara lain adalah ; Kehilangan
carian banyak yang mendadak ( muntaber, perdarahan, luka bakar), serta
penyakit lainnya seperti penyakit Paru (TBC), Sifilis, Malaria, Hepatitis,
Preeklampsia, Obat-obatan dan Amiloidosis (Tim Vitahealth, 2008).
Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin
buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana
funngsinya (Tim Vitahealth, 2008).

2.3 Tanda dan Gejala Penyakit Gagal Ginjal


Tanda-tanda dari gagal ginjal sebenarnya tidak kelihatan secara
bersamaan. Dengan pemeriksaan laboratorium, dapat diketahui dengan
lebih cermat dan akurat apakah tanda-tanda itu mengarah pada
kemungkinan gagal ginjal. Beberapa tanda atau gejala gagal ginjal umum
yang perlu diketahui (Anonim, 2010):
 Kencing terasa kurang dibandingkan dengan kebiasaan sebelumnya.
 Kencing berubah warna, berbusa, atau sering bangun malam untuk
kencing.
 Sering bengkak di kaki, pergelangan, tangan, dan muka. Antara lain
karena ginjal tidak bisa membuang air yang berlebih.
 Lekas capai atau lemah, akibat kotoran tidak bisa dibuang oleh ginjal.
 Sesak napas, akibat air mengumpul di paru-paru. Keadaan ini sering
disalahartikan sebagai asma atau kegagalan jantung.
 Napas bau karena adanya kotoran yang mengumpul di rongga mulut.
 Rasa pegal di punggung.
 Gatal-gatal, utamanya di kaki.
 Kehilangan nafsu makan, mual, dan muntah

Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal lainnya yang


dialami penderita secara akut antara lain : nyeri pinggang hebat (kolik),
kencing sakit, demam, kencing sedikit, kencing merah /darah, sering
kencing. Kelainan Urin: Protein, Darah / Eritrosit, Sel Darah Putih /
Lekosit, Bakteri (Anonim, 2010). Sedangkan tanda dan gejala yang
mungkin timbul oleh adanya gagal ginjal kronik antara lain : Lemas, tidak
ada tenaga, nafsu makan, mual, muntah, bengkak, kencing berkurang,
gatal, sesak napas, pucat/anemi. Kelainan urin: Protein, Eritrosit, Lekosit.
Kelainan hasil pemeriksaan Lab. lain: Creatinine darah naik, Hb turun,
Urin: protein selalu positif (Anonim, 2010).

2.4 Perjalanan Klinis Gagal Ginjal


Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium:
a. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %).
Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada
tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan
pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas
normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea
Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan
beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau
dengan mengadakan test GFR yang teliti.
b. Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap
ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya
dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus
cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam,
gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat – obatan yang
bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan
secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap
yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang
berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas
normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda – beda, tergantung
dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum
mulai meningkat melebihi kadar normal. Insufiensi ginjal (faal ginjal
antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan
tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL
menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal
mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung
dan pencegahan pemberian obat – obatan yang bersifat menggnggu
faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat
dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap
ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN
baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi
BUN ini berbeda – beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit
yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang
dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada
gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % – 25 % . faal ginjal
jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah,
tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.
c. Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala
sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat
melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal yang
timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang., sesak nafas,
pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang
dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir
timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR
nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-
10 ml / menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar
BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala
yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya
menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula
menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus gijal,
kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan
sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

2.5 Patofisiologi Gagal Ginjal


2.5.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Terdapat dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk
menjelaskan gangguan fungsi pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang
tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit
namun dalam stdium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari
nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau
berubah strukturnya. Misalnya, lesi organikpada medulla akan merusak
susunan asotomik pada lengkung Henle dan Vasa rekta, pompa klorida pada
pars asendens lengkung Henle dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua
dikerjakan dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh,
yang berpendapat bahwa bila nefron serang penyakit, maka seluruh unitnya
akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia
akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga
keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis
nefron ynag utuh sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional
pada penyakit gagal ginjal kronik, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.

Untuk peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal kronik dapat diuraikan


dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit gagal ginjal kronik
terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal
untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron
yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif.

Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap


ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban
kerja ginjal. terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan
reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFr untuk seluruh massa
nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal.

Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan


keseimbangan cairan dan elektrolit hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat
rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban untuk terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi
sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus atau kesimbangan antara
peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak akan lagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses
konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada
makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin
rendah GFR ( yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar
perubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine
menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm ( yaitu
sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria
dan rekturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makanan normal
mengekskresi zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalu orang tersebut
tidak dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar
285 mOsm, maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan terdapat
kehilangan obligatorik 2 liter air untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285
mOsm/liter). Sebagai respons terhadap beban zat terlarut yang sama dan
keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan urine sampai 4
kali lipat konsentrsi plasma dan dengan demikian hanya akan mengekskresi
sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai akhirnya mencapai nol,
maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat terlarut secara tepat untuk
mampu mengkomodasikan penurunan fleksibilitas fungsi ginjal.

Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan


eksperimental. Bricker dan Fine (1969) memperlihatkan bahwa pasien
pielonitritis dan anjing- anjing yang ginjalnya rusak pada percobaan, nefron
yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan menjadi lebih aktif dari
keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal seorang yang normal
dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal
ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu
secara bersama-sama.

Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat
akan bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal kronik. Hal
ini mendukung hipotesis nefron yang utuh. Data eksperimental
memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah beban zat terlarut secara
progresif, maka kemampuan pemekatan urine dalam keadaan kekurangan air
atau kemampuan pengenceran urine dalam keadaan asupan air yang banyak
akan menghilang secara progresif. Kedua kurva mendekati berat jenis 1,010
sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285 mosm sehingga
terjadi berat jenis yang tetap.
Keadaan percobaan tersebut iatas ditimbulkan pada seorang normal
dengan memberikan manitol (suatu diuretic osmotik). Dalam keadaan ini
setiap nefron yang normal mengalami diuresis osmotik disertai kehilangan air
obligatorik. Ginjal kehilangan fleksibilitas untuk memekatkan maupun
mengencerkan urine dari osmolalitas plasma sebesar 285 mOsm.

Tercatat beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat progresif,
bahkan bial faktor pencetus cedera disingkirkan. Sebagai conto, pada anak-
anak dengan pielonefritis kronik yang disebabkan oleh refluks vesikouretral
dan infeksi traktus urinarius yang berulang akan timbul jaringan parut
pielonefritis yang menyerang tubulus dan interstisium, namun, bila refluks
tersebut dikoreksi secara bedah dan infeksi ginjal dihentikan dengan
antibiotik, gagal ginjal kronik tetap akan berlanjut. Observasi ini telah
memulai upaya penelitian utama baru-baru ini untuk mempelajari alasan
perkembangan penyakit ginjal dan cara untuk menghentikan atau
memperlambat perkembangan tersebut.

Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal kronik tampa
penyakit primer yang aktif adalah Hipotesis hiperfiltrasi. Menurut hiperfiltrasi
tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan aliran
plasma dan GFr serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus
(misalnya, tekanan kapiler glomerulus). Walaupun kenaikan SNGFR dapat
menyesuaikan diri dengan lari jangka pendek, namun tidak dapat
menyesuaikan dengan lari jangka panjang.

Sebagian besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari
model sisa ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua
pertiga dari ginjal yang lain rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan
mengalami gagal ginjal stadium akhir dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak
ada penyakit ginjal primer. Tikus itu mengalami proteinuria, dan biopsi ginjal
pada sisa glomerulus memperlihatkan glomerulosklerosis yang menyerupai
lesi pada banyak penyakit ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi ginjal dan
gagal ginjal kronik berdasarkan pada perubahan fungsi dari struktur yang
timbul ketika jumlah nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan
hipertensi sistemik dan peningkatan SNGFR pada sisa nefron yang utuh.
Peningkatan SNGFR sebagian besar dicapai melalui dilatasi ateriol aferen.
Pada saat yang bersamaan, arteriol eferen berkontraksi karena pelepasan
angiotensin II local. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal meningkat, karena
sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus.

Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan structural yang


bermakna. Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan
jumlah sel epitel visera, dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai
glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus
dan hipertrofi merupakan perubahan yang signifikan yang menyebabkan
cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif.
Penurunan densitas epiter visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan
hilangnya selektif terukur sehingga akan meningkatkan protein yang hilang
dalam urine. Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga
membantu akumulasi dari protein besar (misalnya, immunoglobulin M (IgM)
dalam subendotelial. Subendotelial ini menumpuk bersama prolefirasi matriks
mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler
akibat tertekan. Cedera sekunder lainya adalah pembentukan mikroaneurisma
akibat disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler
glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan protenuria dan
gagal ginjal kronik. Selain itu, rangkaian ini menyebabkan timbale balik
positif dari lengkung henle dengan percepatan proses yang destruktif,
sehingga semakin sedikit sisa nefron yang utuh. Perubahan struktur dan
fungsional akan menyebabkan cedera sekunder pada glomerulus.

2.5.2 Patofisiolgi Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal akut merupakan penyakit yang bersifat multifaktor
meliputi gangguan hemodinamik renal, obstruksi intratubular , gangguan sel
serta metabolik dan gangguan suseptibel nefron yang spesifik. Vasokonstriksi
renal diduga merupakan peranan utama terjadinya gagal ginjal akut (GGA).
Penelitian pada manusia dan hewan menunjukan bahwa penurunan laju filtrasi
glomerolus (LFG) terjadi sebagai akibat vasokonstriksi persisten yang terjadi
akibat peningkatan solut pada maskula densa serta mengaktifkan feedback
dari tubulus dan glomerolus. Terjadinya vasokonstriksi preglomerolus
persisten diduga sebagai penyebab utama gangguan LFG. Bahan yang
menyebabkan vasokonstriksi ginjal adalah angiotensin II, tromboksan A2,
leulotrienes C4, dan D4, endotelin-1, adenosin, endhotelium derived
prostaglandin H2, serta rangsangan saraf simpatis. Pada keadaan iskhemia
ginjal terjadi peningkatan kadar endotelin-1. Pemberian antibodi antiendotelin
atau agonis reseptor endotelin diduga dapat melindungi ginjal dari keadaan
iskhemia. Walaupun vasokonstriksi merupakan penyebab utama patofisiologi
gagal ginjal akut, namun pemberian vasodilator seperti dopamin, atrial
nitriuretik peptida tidak terbukti dapat dipaki sebagai pencegahan atau terapi
iskhemia pada gagal ginjal akut. Peningkatan solut di nefron bagian distal
terjadi akibat hilangnya polaritas dari tubulus proksimal dengan berpindahnya
posisi enzim Na-K ATPase serta gangguan ntegritas dari taut kedap (tight
junction).
Daftar Pustaka

Warianto, Chaidar. 2011. Gagal Ginjal, (Online)


(http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/GagalGinjal_ChaidarWarianto_20.pdf), diakses 04 Juni
2015)

Jevuska. Tidak ada Tahun. Penyakit Gagal Ginjal Akut, (Online)


(http://www.jevuska.com/2007/01/19/gagal-ginjal-akut/), diakses 04
Juni 2015)

dr. Ahmad Muhlisin. 2015. Gagal Ginjal Akut VS Gagal Ginjal Kronis, (Online)
(http://mediskus.com/penyakit/gagal-ginjal-akut-vs-gagal-ginjal-
kronis.html), diakses 04 Juni 2015)

Corwin, Elizabeth j. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Wikipedia. 2014. Gagal ginjal kronis, (Online)


(http://id.wikipedia.org/wiki/Gagal_ginjal_kronis), diakses pada 30
April 2015.

Anda mungkin juga menyukai