Anda di halaman 1dari 41

ANALISIS MASALAH

KEMATIAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA

Oleh :

Siti Rahma
K1A1 15 138

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka
Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa indikator yang berhubungan
dengan status kesehatan anak. Setiap tahun diperkirakan delapan juta bayi lahir
mati atau mening a1 pada bulan pertarna dari kehidupannya. Sebagian besar dari
kematian ini terjadi di negara berkembang. Dari tujuh juta bayi yang meninggal
setiap tahun, kira-kira dua pertiga meningga1 pada bulan pertama dari
kehidupannyg. Angka statistik yang mengejutkan ini meminta perhatian untuk
masalah kesehatan bayi baru lahir di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kematian bayi baru lahir disebabkan karena berbagai ha1 yang saling berkaitan
antara sebab medis, faktor sosial, dan kegagalan berbagai sistem yang banyak di-
pengaruhi oleh budaya. Dalam banyak hal, kesehatan bayi baru lahir berkaitan erat
dengan kesehatan ibu7. Pada dasamya, kematian ibu, janin, dan neonatal di negara
berkembang biasanya sering terjadi di rumah, pada saat persalinan, atau pada awal
masa neonatal, tanpa pertolongan dari tenaga kesehatant terlatih, keterlambatan ak-
ses untuk menerima perawatan yang berkualitas, dan sebagainya (Djaja dan
Soemantri, 2003).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, penyebab utama kematian
neonatal di Indonesia adalah karena asfiksia, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan
sepsis. Penyebab utama kematian neonatal ini erat kaitannya dengan kesehatan ibu
dan pemeriksaan kesehatan ibu yang diperoleh sebelum, selama dan setelah
melahirkan. Selain itu usia ibu mempengaruhi faktor biologis yang dapat
menyebabkan komplikasi selama masa kehamilan dan pada saat persalinan yang
pada gilirannya akan mempengaruhi peluang anak untuk bertahan hidup. Menurut
BAPENAS terdapat yang korelasi positif antara jumlah dan jarak kelahiran dengan
peluang terjadinya kematian, angka kematian neonatal akan turun seiring dengan
bertambahnya interval kelahiran. Semakin tinggi persentase ibu dengan
pemeriksaan kehamilan yang adekuat dan jumlah kelahiran ditolong oleh tenaga
kesehatan profesional maka makin rendah angka kematian bayi dan balita
(Noorhalimah, 2015)
Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) adalah
Angka yang menunjukkan banyaknya kematian bayi usia 0 tahun dari setiap 1000
kelahiran hidup pada tahun tertentu atau dapat dikatakan juga sebagai probabilitas
bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun (dinyatakan dengan per seribu
kelahiran hidup), selain itu berguna untk mencerminkan keadaan derajat kesehatan
di suatu masyarakat, karena bayi yang baru lahir sangat sensitif terhadap keadaan
lingkungan tempat orangtua si bayi tinggal dan sangat erat kaitannya dengan status
sosial orang tua si bayi. Kemajuan yang dicapai dalam bidang pencegahan dan
pemberantasan berbagai penyakit penyebab kematian akan tercermin secara jelas
dengan menurunnya tingkat AKB. Dengan demikian angka kematian bayi
merupakan tolok ukur yang sensitif dari semua upaya intervensi yang dilakukan
oleh pemerintah khususnya di bidang kesehatan terutama yang berhubungan
dengan bayi baru lahir perinatal dan neonatal (Dinkes Provinsi Jabar 2016). Angka
kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator sensitif untuk mengetahui
derajat kesehatan suatu negara bahkan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu
bangsa. Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator kesejahteraan suatu
bangsa yang mencerminkan tingkat masalah kesehatan masyarakat serta merupakan
indikator yang lazim digunakan sebagai indeks pembangunan ekonomi, indikator
kualitas hidup, dan komponen utama penentu angka harapan hidup suatu
masyarakat. Derajat kesehatan pada anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa,
sebab mereka sebagai generasi penerus memiliki kemampuan yang dapat
dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, World
Health Organization (WHO) menetapkan kematian anak menjadi target ke-4
Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan 2/3 kematian anak di
bawah usia 5 tahun antara tahun 1990-2015. Komponen penting dari kematian bayi
adalah kematian neonatal yang masih menjadi tantangan dan masalah di setiap
negara dan ancaman utama bagi pencapaian MDGs.
Angka Kematian Neonatal (AKN) adalah jumlah kematian bayi di bawah usia
28 hari per 1.000 kelahiran hidup pada periode tertentu. Kematian neonatal dibagi
menjadi kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. kematian neonatal
dini terjadi pada periode 7 hari pertama kehidupannya (masa perinatal) dan
kematian neonatal lanjut terjadi setelah 7 hari dan berakhir sampai 28 hari.
Anak Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang
paling hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 12 sampai 59 bulan. Masa ini
merupakan masa yang penting terhadap perkembangan kepandaian dan
pertumbuhan intelektual. Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa
ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.
Angka kematian Balita adalah Jumlah kematian anak berusia 0-4 tahun selama satu
tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada pertengahan tahun itu (termasuk
kematian bayi), Indikator ini terkait langsung dengan target kelangsungan hidup
anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan anak-anak
bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. Angka Kematian Balita
kerap dipakai untuk mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk. (Dinas
Kesehatan Provinsi Jabar, 2016)
B. Rumusan Masalah
1. Faktor faktor apa saja yang mengakibatkan kematian Neonatus, Bayi dan Balita?
2. Bagaimana dampak dari kematian Neonatus, Bayi dan Balita?
3. Bagaimana upaya Pencegahan kematian Neonatus, Bayi dan Balita?
4. Apa saja kebijakan dan program pencegahan kematian Neonatus, Bayi dan
Balita?
PEMBAHASAN

A. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kematian Neonatus, Bayi dan Balita


Menurut Departemen Kesehatan (2010) penyebab kematian neonatal yang
disebabkan oleh prematuritas serta BBLR adalah sebesar 34%, asfiksia 37%, sepsis
12%, hipotermi 7%, kelainan darah atau ikterus 6%, post matur 3%, dan kelainan
kongenital sebesar 1%.
Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal Dini (Early
Neonatal Death) Usia 0 Sampai 7 Hari dipengaruhi oleh faktor Status sosial
ekonomi, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor lingkungan sebagai determinan
jauh, faktor kondisi maternal ibu sebagai determinan antara, dan faktor dari bayi
sebagai determinan dekat (Budiati, 2016).
1. Determinan jauh
Determinan yang secara tidak langsung mempengaruhi kematian neonatal dini
adalah faktor sosial ekonomi keluarga, faktor pelayanan kesehatan dan faktor
lingkungan.
a. Faktor sosial ekonomi
Beberapa faktor yang termasuk faktor sosial ekonomi antara lain :
 Status Pekerjaan Ibu
Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan selain menjadi ibu rumah
tangga dalam kurun waktu kehamilan sampai persalinan. Pada ibu hamil
kebutuhan zat gizi berbeda karena zat-zat gizi yang dikonsumsi selain
untuk aktivitas atau kerja zat-zat gizi tersebut juga digunakan untuk
perkembangan janin yang ada dikandungannya. Semakin berat kegiatan
atau pekerjaan yang dilakukan semakin banyak juga energi yang
dibutuhkan
 Pendidikan Ibu
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang
lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat
dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin
mudah pula mereka menerima informasi. Pada akhirnya makin banyak
pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang memiliki
tingkat pendidikan rendah maka akan menghambat perkembangan sikap
seseorang terhadap penerimaan informasi. Pendidikan ibu merupakan
salah satu faktor penting dalam mengendalikan terjadinya kematian pada
neonatal. Ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung kurang
mengetahui manfaat melakukan pemeriksaan antenatal di tenaga
kesehatan profesional, kurang bisa menentukan siapa penolong
persalinannya, kurang mengetahui cara perawatan bayi baru lahir
dirumah.
 Pernikahan dini
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang
terlalu muda, yaitu usia < 20 tahun untuk perempuan, dan usia < 25 tahun
untuk pria. Berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa usia menikah ideal untuk
perempuan adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria. Penyebab
pernikahan dini di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
pendidikan rendah, kebutuhan ekonomi, kultur menikah muda,
pernikahan yang diatur, seks bebas pada remaja, dan pemahaman agama
Risiko persalinan yang akan terjadi pada kehamilan remaja pada umur
antara (14-19) tahun adalah Pre eklamsia, anemia, BBLR, premature,
penyakit menular seks (PMS), dan kematian bayi.
b. Faktor Pelayanan Kesehatan
 Riwayat Penggunaan KB
UU No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera menjelaskan bahwa definisi KB adalah
upaya meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan
ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga guna
mewujudkan keluarga yang sejahtera. Berdasarkan studi Lancet, keluarga
berencana bermanfaat baik untuk kesehatan ibu dan bayi, dimana
diperkirakan dapat menurunkan 32% kematian ibu dengan mencegah
kehamilan yang tidak diinginkan dan dapat menurunkan 10% kematian
bayi, dengan mengurangi jarak persalinan kurang dari 2 tahun .
 Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan
untuk ibu selama kehamilannya, yang dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan antenatal yang ditetapkan (Depkes, 2004). ANC
merupakan cara penting untuk memonitor dan mendukung kesehatan ibu
hamil normal dan mendeteksi ibu dengan kehamilan tidak normal. Ibu
hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan atau dokter sedini
mungkin semenjak dia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan ANC.
Wanita hamil yang tidak mendapatkan ANC yang tidak adekuat
mempunyai risiko mengalami kematian perinatal. ANC sangat penting
kerena akan mendapatkan pendidikan kesehatan tentang perilaku sehat
untuk mencegah kejadian bayi dengan berat bayi lahir rendah.
 Penolong persalinan
Dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dikenal berbagai jenis
tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat.
Jenis tenaga tersebut adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter umum,
bidan, perawat bidan. Selain itu masih ada penolong persalinan yang
berasal dari anggota keluarga dalam masyarakat terpencil. Namun
penolong persalinan seperti ini umumnya tidak tercatat dan sulit untuk
diidentifikasi.
 Jarak atau akses ke Fasilitas Kesehatan
Mempunyai tempat tinggal yang harus menempuh jarak >5 km dari
fasilitas kesehatan berisiko dua kali lipat lebih tinggi terhadap terjadinya
kematian neonatal (OR 2,1). Alasan mengapa NMR (Neonatal Mortality
Rate) tinggi yang diamati dalam penelitian ini adalah sistem pelayanan
kesehatan yang lemah, fasilitas kesehatan geografis tidak dapat diakses
dan tidak memadai, proporsi wanita yang melahirkan di fasilitas
kesehatan harus menempuh jarak >5 km dari fasilitas kesehatan terdekat
sebesar 56%. Hal ini sejalan dengan penelitian Gizaw et al (2014) yang
menyebutkan bahwa jarak ke fasilitas kesehatn >5km dalam analisis
multivariat 1,5 kali lebih berisiko terhadap kematian neonatal dini.
2. Determinan Antara
a. Faktor Kondisi Maternal
Beberapa kondisi maternal ibu yang dapat mempengaruhi kematian bayi
pada masa neonatal dini antara lain :
 Umur Ibu ketika melahirkan
Umur ibu ketika melahirkan adalah usia ibu ketika melahirkan, usia
dihitung dalam tahun berdasarkan ulang tahun terakhir.
 Paritas
Paritas adalah keadaan wanita berkaitan dengan jumlah anak yang
dilahirkan. Paritas 2-3 merupakan paritas yang aman ditinjau dari sudut
kematian maternal. Paritas merupakan jumlah persalinan yang dialami
oleh ibu. Paritas terdiri atas 3 kelompok yaitu 1) golongan primipara
adalah golongan ibu dengan 0-1 paritas, 2) golongan multipara adalah
golongan ibu dengan 2-6 paritas, dan 3) golongan grande multipara
adalah golongan ibu dengan paritas > 6. Kehamilan yang optimal adalah
kehamilan kedua sampai keempat. Kehamilan pertama dan setelah
kehamilan keempat mempunyai risiko yang tinggi.
 Umur Kehamilan
Umur kehamilan ibu umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari.
Umur kehamilan ibu adalah batas waktu ibu mengandung, yang dihitung
mulai dari hari pertama haid terakhir. Umur kehamilan normal adalah 40
minggu atau 280 hari atau 9 bulan 10 hari. Disebut matur atau cukup
bulan adalah rentang 37-42 minggu, bila kurang dari 37 minggu disebut
prematur atau kurang bulan, bila lebih dari 42 minggu disebut post-matur
atau serotinus.
 Jarak Antar Kelahiran
Jarak kehamilan adalah suatu pertimbangan untuk menentukan
kehamilan yang pertama dengan kehamilan berikutnya (Depkes RI,
2000). Sejumlah sumber mengatakan jarak ideal kehamilan sekurang -
kurangnya 2 tahun, proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu dengan
prioritas 1-3 anak dan jika dilihat menurut jarak kehamilan ternyata jarak
kurang dari 2 tahun menunjukkan proporsi kematian maternal lebih
banyak. Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu
mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa
kembali ke kondisi sebelumnya.
 Status Gizi Ibu
Intake gizi pada ibu hamil adalah suatu hal yang sangat penting dalam
masa kehamilan yang akan berpengaruh pada bayi yang dikandung,
karena ibu hamil disamping makan untuk dirinya sendiri juga untuk janin
yang ada dalam kandungan. Untuk penilainan status gizi ibu hamil
dilakukan pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Lingkar lengan atas
memberikan gambaran keadaan jaringan otot dan jaringan lemak bawah
kulit. Pengukuran lingkar lengan atas bertujuan untuk mengidentifikasi
apakah ibu hamil tersebut termasuk kategori kekurangan energi kronis
(KEK) atau tidak. Status gizi ibu yang buruk akan mengakibatkan berat
badan bayi lahir rendah yang akan berisiko pada kematian bayi.
Dikatakan KEK apabila pengukuran lingkar lengan atas ibu hamil <23,5
cm
 Komplikasi Kehamilan dan Persalinan
Komplikasi pada ibu dapat terjadi sebagai akibat langsung dari
kehamilan, ataupun karena faktor lain yang terkait dengan keadaan
kesehatan ibu. Komplikasi pada ibu selama kehamilan dan persalinan
mempengaruhi keadaan bayi yang dilahirkan
3. Determinan Dekat
a. Faktor Bayi
 Jenis Kelamin Bayi
Daya tahan bayi dapat dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, sehingga
dapat dikatakan bahwa daya tahan antara bayi laki-laki dan perempuan
berbeda. Risiko kematian pada bayi berjenis kelamin laki-laki lebih
tinggi dibandingkan dengan bayi berjenis kelamin perempuan (Utomo,
1988). Dalam penelitian Bashir et al (2013) menyebutkan faktor yang
mempengaruhi kematian neonatal adalah jenis kelamin bayi laki-laki,
hasil dalam regresi logistik berganda bahwa bayi laki-laki berisiko 1,8
mengalami kematian neonatal dibanding dengan bayi perempuan.
 Kelainan Kongenital
Kelainan bawaan (kelainan kongenital) adalah suatu kelainan pada
struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi
ketika dilahirkan. Kelainan bawaan yang terjadi dapat disebabkan faktor
genetik (mutasi gen tunggal, gangguan kromosom, multifaktorial) dan
non genetik (teratogen dan defisiensi mikronutrien)
 Asfiksia
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor -
faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi
lahir. Identifikasi pada bayi yang mengalami asfiksia dapat dilakukan
melalui penilaian APGAR skor pada satu dan lima menit kelahiran
dengan nilai APGAR <7. Pada umumnya, APGAR digunakan untuk
menilai derajat vitalitas bayi baru lahir, tetapi pada pelaksanaannya
cukup kompleks karena pada saat bersamaan penolong persalinan harus
menilai 5 parameter yaitu : denyut jantung, usaha bernafas, tonus otot,
gerakan dan warna kulit. Sedangkan parameter yang dinilai pada
penentuan skor APGAR pun sama meliputi pernafasan, warna kulit,
denyut jantung/frekuensi nadi, reaksi rangsangan dan tonus otot
 Berat Bayi Lahir
Berat bayi lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat
lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram). Menurut
Depkes RI (1996) bayi berat lahir rendah ialah bayi yang lahir dengan
berat lahir < 2500 gram, tanpa memperhatikan lamanya kehamilan
ibunya. Pada Kongres “European Perinatal Medicine” ke II di London
(1970) dibuat keseragaman definisi yaitu:
a. Bayi kurang bulan : bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37
minggu (259) hari.
b. Bayi cukup bulan : bayi dengan masa kehamilan mulai 37 minggu
sampai 42 minggu (259 hari-293 hari).
c. Bayi lebih bulan : bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu
atau lebih (294 hari atau lebih).
 Hipotermia
Hipotermia merupakan salah satu kondisi yang mempengaruhi keadaan
bayi akibat faktor lingkungan. Hipotermia adalah kondisi dimana suhu
tubuh bayi <360C atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Tanda -
tanda klinis hipotermia adalah
a. hipotermia sedang (suhu tubuh 320C - <360C), tanda - tandanya
antara lain : kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah,
tangisan lemah dan kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis
marmorata
b. Hipotermia berat (suhu tubuh < 320C), tanda - tandanya antara lain :
sama dengan hipotermia sedang, dan disertai dengan pernafasan
lambat tidak teratur, bunyi jantung lambat, terkadang disertai
hipoglikemi dan asidosisi metabolic
c. stadium lanjut hipotermia, tanda - tandanya antara lain muka, ujung
kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat,
kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung,
kaki dan tangan (sklerema)

Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa
neonates. Kurang baiknya penanganan bayi baru lahir yang lahir sehat akan
menyebabkan kelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup bahkan
kematian. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian, sehingga kematian
neonatal dapat dicegah. Pola penyebab utama kematian neonatal di Indonesia tidak
jauh berbeda dengan pola penyebab utama kematian neonatal di dunia, yaitu
prematuritas/ BBLR (27%), Asfiksia (23%), sepsis/ pneumonia (26%), tetanus
(7%), diare (3%), kelainan kongenital (7%).
Data dari SKRT 2001 menunjukkan bahwa berat bayi lahir rendah (BBLR)
merupakan salah satu faktor terpenting kematian neonatal. Penyumbang utama
kematian BBLR adalah prematuritas, infeksi, asfiksia lahir, hipotermia, dan
pemberian ASI yang kurang adekuat Angka kematian neonatal dipengaruhi oleh
berbagai faktor risiko seperti tingkat sosial ekonomi yang berhubungan dengan
kelahiran berat bayi lahir rendah, mutu pelayanan perinatal, usia ibu, pekerjaan,
paritas, status perokok ibu hamil, kelainan kehamilan, komplikasi persalinan, serta
kondisi bayi seperti prematuritas,, BBLR, asfiksia dan infeksi. Faktor medik yang
melatar belakangi kematian neonatal dan perinatal/neonatal dini adalah usia ibu <
20 tahun atu > 35 tahun, paritas > 4 orang dan jarak antar kehamilan < 2 tahun,
komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas merupakan penyebab langsung
kematian ibu, perinatal, dan neonatal seperti perdarahan pervaginam, infeksi
preeklamsia/eklamsia, komplikasi akibat partus lama, dan trauma persalinan.
Faktor - faktor yang secara tidak langsung menyebabkan kematian bayi,
berupa kurangnya kesadaran masyarakat bahwa melahirkan berisiko terhadap ibu
dan bayi. Selain itu, kurangnya perhatian keluarga (Ibu, suami, nenek) terhadap
keselamatan dan kesehatan bayi, kurangnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang
pentingya pemeriksaan kehamilan minimal empat kali selama kehamilan,
rendahnya akses ke fasilitas pelayanan kesehatan yang disebabkan jarak yang jauh,
dan tidak ada biaya. Faktor risiko selama kehamilan yang merupakan determinan
tidak langsung terhadap kondisi sosial ekonomi dan mempengaruhi karakteristik
serta status kesehatan ibu antara lain status sosial ekonomi keluarga, pendidikan
ibu, jenis pekerjaan ibu, status gizi, status ANC, umur ibu, paritas, jarak kehamilan,
tinggi badan, berat badan, dan komplikasi kehamilan. Faktor risiko yang terjadi
pada masa persalinan merupakan determinan langsung yang banyak berhubungan
dengan kondisi ibu menjelang persalinan dan pelayanan yang diberikan, antara lain
jarak ketempat pelayanan, penolong persalinan, letak janin, dan umur kehamilan.
Kondisi bayi baru lahir yang merupakan out come kehamilan yaitu BBLR, asfiksia,
infeksi, dan lahir dengan cacat.

B. Dampak Dari Kematian Neonatus, Bayi dan Balita


Hoelman dkk (2015) menyampaikan juga bahwa kegawatdaruratan yang dapat
terjadi pada kematian neonatal antara lain:
1. Hipoksia adalah kondisi di mana suplai oksigen tidak mencukupi untuk
kebutuhan energi jaringan sehingga saat lahir bayi mengalami kondisi aspiksia
neonatorum
2. Prolaps tali pusat merupakan sutu kondisi di mana tali pusat berada di bagian
bawah atau samping bagian presentasi saat dilakukan pemeriksaan dalam. Hal
ini dapat menyebabkan bradikardia, bayi mengalami hipoksia atau kematian;
3. Vasa previa adalah kejadian yang jarang terjadi, dengan pembuluh darah janin
berlokasi di atas lobang serviks
4. Distosia bahu yaitu: impak bahu anterior di belakang simpisis pubis yang
menghambat pelahiran bayi secara spontan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur tidak memiliki hubungan


signifikan dengan kejadian kematian bayi. Meskipun tidak terdapat hubungan
antara umur ibu dengan kejadian kematian bayi namun yang perlu diwaspadai bila
umur ibu hamil <20 tahun yang merupakan usia rentan karena masih pada tahap
masa reproduksi awal dan organ reproduksi belum tumbuh secara sempurna
sehingga dapat beresiko terjadi gangguan pertumbuhan janin saat dikandungan,
sedangkan pada usia lebih dari 35 tahun seorang ibu sudah mulai muncul
berbagai macam penyakit yang menurunkan kemampuan ibu untuk melakukan
proses persalinan normal karena usia maupun penyakit kronik yang dialaminya.
Demikian juga faktor pendidikan, dan paritas, Bayi yang dilahirkan dengan
BBLR akan mengalami hambatan petumbuhan dan perkembangan serta
kemunduran pada fungsi otak dan kehilangan masa golden period yang juga
berisiko tinggi mengalami kematian. Selain itu ibu dengan KEK yang
berkepanjangan akan mengalami anemia.
Terdapat keterkaitan hubungan antara ibu hamil dengan KEK, Anemia dan
kejadian BBLR. Ibu hamil dengan KEK mempunyai risiko 2 kali untuk melahirkan
bayi BBLR di bandingkan dengan yang tidak mengalami KEK. Demikian juga
ibu yang anemia saat hamil kemungkinan mempunyai resiko untuk melahirkan
bayi yang BBLR. Riwayat anemia ibu saat hamil menjadi hal yang perlu segera
diatasi agar status ibu pada saat pemeriksaan berikutnya ibu tidak lagi mengalami
anemia, sehingga memungkinkan anemia pada awal kehamilan dapat diatasi
dengan ditambah asupan nutrisi yang baik kepada ibu dan pada akhirnya status
kesehatan ibu yang baik dapat mencegah bayi yang dilahirkan dalam kondisi
BBLR. Selain itu ibu hamil dengan KEK yang kemudian mengalami anemia
tetapi telah diberikan makanan tambahan oleh bidan untuk meningkatkan status
gizinya dapat memberikan dampak yang baik terhadap nutrisi bayi yang
dikandungnya. Ibu hamil dengan anemia berpengaruh terhadap janin seperti:
keguguran, kematian dalam kandungan, persalinan kurang bulan/prematur,
meningkatkan kejadian BBLR, kelainan kongental, kematian perinatal karena
infeksi, dan intelegensia anak menjadi rendah.
Bayi yang mengalami asfiksia saat dilahirkan mempunyai risiko lebih
besar untuk terjadinya kematian dibandingkan dengan bayi yang tidak
mengalami asfiksia. Dalam hal kelainan kongenital, terdapat 31,9 % terjadi
pada kelompok kasus kematian bayi, bayi yang mengalami kelainan kongenital
mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan dengan
bayi yang tidak mengalami kelainan kongenital saat dilahirkan. Pada penelitian
sebelumnyamemperlihatkan bahwwa sebanyak 31,9 % bayi yang dilahirkan
mengalami kelainan kongenital pada kelompok kasus dengan jenis kelainan
bawaan berupa anensefalus, atresia ani, kelainan jantung, kelainan katup
jantung, dan kelainan pembuluh darah, serta bayi yang mengalami
frukturdistorsia bahu sehingga memungkinkan bayi yang dilahirkan tidak bisa
bertahan hidup. Kebanyakan dari jenis kelainan kongenintal ini menyebabkan
bayi meninggal dan sukar ditangani. Faktor penyebab langsung kelainan
kongenital seringkali sukar diketahui, sekitar 40% tidak diketahui dengan pasti
penyebabnya. Pertumbuhan janin atau fetus dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti: faktor genetika, kromosom, infeksi, faktor ibu, faktor mekanik dan
lingkungan, atau gabungan dari berbagai faktor tersebut secara bersama-sama
mempengaruhi kesehatan bayi .
Faktor kelahiran prematur juga menjadi faktor resiko terhadap kematian
bayi. Terdapat beberapa kasus bayi yang lahir prematur, dibarengi dengan BBLR
dan juga asfiksia serta adanya riwayat kelahiran prematur pada kehamilan
sebelumnya. Sehingga semakin banyak faktor risiko yang dipunyai maka
semakin mempertinggi risiko bayi mengalami kematian. Melahirkan prematur
juga banyak terjadi bila umur ibu <18 tahun atau >40 tahun, ibu mempunyai
tekanan darah tinggi, pertumbuhan janin yang lambat, retensi plasenta,
ketuban pecah dini/KPD, Infeksi rahim, kehamilan kembar. Selain itu penyakit
periodontal, riwayat persalinan prematur sebelumnya, serta ibu hamil dengan
KEK, paparan rokok yang tinggi dan sering minum minuman beralkohol dapat
mempercepat kelahiran prematur
Faktor resiko lain yang dapat mempengaruhi kejadian kematian bayi
adalah faktor komplikasi persalinanKomplikasi persalinan sering terjadi adalah
akibat dari keterlambatan penanganan persalinan, dan dianggap sebagai salah satu
penyebab terjadinya kematian ibu bersalin. Faktor-faktor yang diduga ikut
berhubungan dengan kejadian komplikasi tersebut antara lain usia, pendidikan,
status gizi dan status ekonomi ibu bersalin. Faktor lain yang merupakan faktor
risiko, tetapi dalam penelitian ini tidak menyebabkan kematian bayi adalah
pengetahuan ibu, jarak kehamilan, berat badan ibu, LILA ibu, riwayat penyakit
kronik ibu, perdarahan, hipertensi, penolong persalinan literasi ibu.

C. Upaya Mencegah Kematian Neonatus, Bayi dan Balita


Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi angka kematian pada neonatal
diantaranya adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan tingkat dasar di masyarakat, upaya pendayagunaan dan
intensifikasi posyandu untuk kegiatan KIA dasar dan keluarga berencana termasuk
dengan peningkatan ilmu dan keterampilan bidan-bidan di desa serta kerjasama
dengan cara melibatkan dukun bayi, keluarga, masyarakat (Depkes, 2010).
1. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
melalui pembelajaran diri, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka
dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber
daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan
publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes RI, 2010).
2. Safe Motherhood
Safe Motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar
kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan sehat dan aman serta
menghasilkan bayi yang sehat. Intervensi strategis dalam upaya safe motherhood
dinyatakan dalam empat pilar safe motherhood, yaitu :
 Keluarga berencana, yang memastikan bahwa setiap orang/pasangan
mempunyai akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan
waktu yang tepat untuk kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak.
Kehamilan yang masuk dalam kategori “4 terlalu” yaitu terlalu muda atau
terlalu tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil dan terlalu banyak anak.
 Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila
mungkin, dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta
ditangani secara memadai.
 Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan
mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan alat untuk memberikan
pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas
kepada ibu dan bayi.
 Pelayanan obstetri esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetrik untuk
risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya
3. Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED)
Puskesmas PONED adalah puskesmas yang memberikan pelayanan 24 jam
untuk penanganan obstetri neonatal emergensi dasar langsung dimana rujukan
kasus diharapkan dapat diatasi dengan baik, artinya tidak boleh ada kematian
karena keterlambatan dan kesalahan penanganan. Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) adalah pelayanan untuk menanggulangi kasus
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang terjadi pada ibu hamil, ibu bersalin
maupun ibu dalam masa nifas dengan komplikasi obstetri yang mengancam jiwa
ibu maupun janinnya. PONED merupakan upaya pemerintah dalam
menanggulangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di
Indonesia yang masih tinggi dibandingkan di negara - negara Asean lainnya.
Pelayanan obstetri emergensi dasar meliputi :
 Pemberian oksitosin parenteral
 Pemberian antibiotik parenteral
 Pemberian sedatif parenteral pada tindakan kuretase digital dan plasenta
manual
 Melakukan kuretase, plasenta manual, dan kompresi bimanual
 Partus dengan tindakan ekstraksi vacum, ekstraksi forcep
Pelayanan neonatal emergensi dasar meliputi :
 Resusitasi bayi asfiksia
 Pemberian antibiotik parenteral
 Pemberian anti konvulsan parenteral
 Pemberian Phenobarbital
 Kontrol suhu
4. Penanggulangan gizi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah suatu program yang meliputi pelayanan
dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi
kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan
komplikasi, bayi dan balita, remaja, dan lansia (Kemenkes RI, 2010) Kemitraan
bidan dan dukun adalah bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara
bidan dan dukun. Diharapkan seluruh pertolongan persalinan ditangani oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan dan keterampilan. Khusus
dalam pertolongan persalinan dengan tetap melibatkan dukun pada kegiatan
yang terbatas dan tidak membahayakan ibu dan bayinya (Kemenkes RI, 2010).
5. Hepatitis B 0 (HB 0)
HB 0 adalah pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi umur 0-7 hari
Pemberian vaksinasi hepatitis B berguna untuk mencegah virus hepatitis B yang
dapat menyerang dan merusak hati. Imunisasi bisa meningkatkan imunitas tubuh
dan menciptakan kekebalan terhadap penyakit tertentu dengan menggunakan
sejumlah kecil mikroorganisme yang dimatikan atau dilemahkan.Tujuan
imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi dengan cara memasukkan
vaksin ke dalam tubuh (Kemenkes RI, 2010).
6. Program Perencanaan Pertolongan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K)
P4K adalah program untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir
melalui kegiatan peningkatan akses dan kualitas pelayanan yang sekaligus
membangun potensi masyarakat khususnya kepedulian masyarakat untuk
persiapan dan tindakan dalam menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir
(Kemenkes RI, 2010). P4K merupakan suatu kegiatan yang difasilitasi oleh
bidan di desa dalam rangka peningkatan peran aktif suami, keluarga dan
masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman, selamat dan sehat.
Yang terpenting adalah persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil,
termasuk perencanaan penggunaan KB pasca persalinan dengan menggunakan
stiker sebagai media notifikasi sasaran dalam rangka meningkatkan cakupan dan
mutu pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir. (Depkes RI, 2009).

D. Kebijakan dan Program Pencegahan Kematian Neonatus, Bayi dan Balita


1. Program Pembangunan Nasional
Selama ini upaya penurunan angka kematian bayi dan balita merupakan salah
satu prioritas dalam pembangunan kesehatan. Dalam dokumen Propenas 2000–
2004, upaya-upaya ini termaksud dalam tiga program kesehatan nasional, yaitu
Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat;
Program Upaya Kesehatan; serta Program Perbaikan Gizi Masyarakat.
2. Strategi dan usaha
Untuk mendukung upaya penurunan kematian bayi dan balita antara lain adalah
meningkatkan kebersihan (hygiene) dan sanitasi di tingkat individu, keluarga,
dan masyarakat melalui penyediaan air bersih, meningkatkan perilaku hidup
sehat, serta kepedulian terhadap kelangsungan dan perkembangan dini anak;
pemberantasan penyakit menular, meningkatkan cakupan imunisasi dan,
meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi termasuk pelayanan kontrasepsi
dan ibu, menanggulangi gizi buruk, kurang energi kronik dan anemi, serta
promosi pemberian ASI ekslusif dan pemantauan pertumbuhan.
3. Jaring Pengaman Sosial
Bertambahnya penduduk miskin sebagai akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak
1998 telah membatasi akses dan kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan
ibu dan anak bagi golongan miskin. Selain program-program rutin pelayanan
kesehatan ibu dan anak, pemerintah telah meluncurkan program Jaring
Pengaman Sosial (JPS) bidang kesehatan, antara lain dengan pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan gratis bagi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan
bayi untuk keluarga miskin, serta bantuan pembangunan sarana kesehatan.
4. Peraturan perundangan
Dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
kesempatan anak Indonesia untuk hidup sehat, tumbuh, dan berkembang secara
optimal menjadi semakin terbuka. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa
setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental spiritual, dan sosial.
5. Program Nasional bagi Anak Indonesia
Merujuk pada kebijakan umum pembangunan kesehatan nasional, upaya
penurunan angka kematian bayi dan balita merupakan bagian penting dalam
Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang antara lain dijabarkan
dalam Visi Anak Indonesia 2015 untuk menuju anak Indonesia yang sehat.
Strategi nasional bagi upaya penurunan kematian bayi dan balita adalah
pemberdayaan keluarga, pemberdayan masyarakat, meningkatkan kerja sama
dan kordinasi lintas sektor, dan meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan
anak yang komprehensif dan berkualitas.
PENUTUP

A. Simpulan
Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan
Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa indikator yang
berhubungan dengan status kesehatan anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian neonatus, bayi dan balita
terdiri dari determinan jauh yaitu factor social ekonomi dan factor pelayanan
kesehatan, determinan antara yaitu factor kondisi maternal, dan determinan
dekat yaitu factor bayi itu sendiri.
Kegawatdaruratan yang dapat terjadi pada kematian neonatal, bayi dan
balita antara lain hipoksia, prolaps tali pusat, vasa previa dan distosia bahu.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka kematian
neonatus, bayi dan balita antara lain,promosi kesehatan, safe motherhood,
pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar (PONED), penanggulangan gizi
KIA, imunisasi HB0, dan pembentukan program perencanaan pertolongan
persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K).
Kebijakan dan program pencegahan kematian neonatus, bayi dan balita
terdiri dari beberapa strategi antara lain program pembangunan nasional, strategi
dan usaha, jaring pengaman social, peraturan perundangan, dan program
nasional bagi anak Indonesia.

B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat kami berikan untuk mengurangi masalah
kematian neonatus, bayi, dn balita antara lain :
1. Bagi dinas kesehatan dan instansi terkait diharapkan meningkatkan penyuluhan
kepada masyarakat tentang faktor - faktor risiko, penyebab kematian neonatus,
bayi, dn balita dan upaya pencegahan kematian neonatus, bayi, dn balita kepada
para ibu dan calon ibu serta keluarga untuk memberikan perhatian kepada ibu
hamil
2. Bagi masyarakat diharapkan agar tidak melakukan pernikahan dini usia <20
tahun, diharapkan ibu menjaga diri dari pekerjaan yang berat dan meningkatkan
dan menjaga asupan gizi ketika hamil serta memeriksakan dan
mengkonsultasikan kehamilan dengan rutin di fasilitas kesehatan terutama pada
ibu hamil dengan risiko tinggi supaya tidak terlambat dalam deteksi dini
mengenali komplikasi kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiati, I. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kematian Neonatal Dini


Usia 0 Sampai 7Hari. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2016. Profil Kesehatan. Bandung.

Hoelman, M. dkk. 2015. Panduan SDGs Untuk Pemerintah Daerah (Kota Dan
Kabupaten) Dan Pemangku Kepentingan Daerah. International NGO Forum on
Indonesian development.

Kementerian Kesehatan RI, 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun


2015-2019, Kemenkes RI.

Noorhalimah, 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengankematian Neonatal Di


Kabupaten Tapin Tinjauan Terhadap Pemeriksaan Kehamilan, Penolong
Persalinan Dan Karakteristik Ibu. Fakultas Kedokteran. Universitas Lambung
Mangkurat.
ANALISIS MASALAH
KEMATIAN IBU AKIBAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN

Oleh :

Siti Rahma
K1A1 15 138

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator kualitas pelayanan
kesehatan masyarakat dan keberhasilan pembangunan di suatu negara. Selain itu
AKI juga digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan Indeks
Pembangunan Manusia. World Health Organization (WHO) memiliki beberapa
istilah berbeda terkait dengan AKI. Istilah pertama adalah maternal death atau
kematian ibu, yang didefinisikan sebagai “kematian yang terjadi saat kehamilan,
atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan, tanpa memperhitungkan durasi dan
tempat kehamilan, yang disebabkan atau diperparah oleh kehamilan atau
pengelolaan kehamilan tersebut, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau
kebetulan” (WHO, 2004). Konsep maternal death ini berbeda dengan
konsep maternal mortality ratio, atau yang lebih dikenal sebagai Angka Kematian
Ibu (AKI), jika mengacu pada definisi Badan Pusat Statistik (BPS). Baik BPS
maupun WHO mendefinisikan maternal mortality ratio/AKI sebagai angka
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2004).
Angka kematian maternal (AKM) merupakan indikator yang mencerminkan
status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan
melahirkan. Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita di dunia meninggal sebagai
akibat komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan, sehingga
diperkirakan AKM di seluruh dunia sebesar 400 per 100.000 kelahiran hidup
(KH). Kematian maternal 98% terjadi di negara berkembang. Indonesia sebagai
negara berkembang, masih memiliki AKM cukup tinggi. Hasil SDKI 2002/2003
menunjukkan bahwa AKM di Indonesia sebesar 307 per 100.000 KH.
McCarthy dan Maine (1992) mengemukakan 3 faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian kematian maternal :
1. Determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang terjadi
dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas (komplikasi obstetri)
2. Determinan antara yaitu status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke
pelayanan kesehatan, perilaku perawatan kesehatan / penggunaan pelayanan
kesehatan dan faktor – faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga
3. Determinan jauh meliputi faktor sosio – kultural dan faktor ekonomi, seperti
status wanita dalam keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam
masyarakat dan status masyarakat.
Menurut laporan dari WHO, kematian ibu umumnya terjadi akibat
komplikasi saat, dan pasca kehamilan. Adapun jenis-jenis komplikasi yang
menyebabkan mayoritas kasus kematian ibu – sekitar 75% dari total kasus
kematian ibu adalah pendarahan, infeksi, tekanan darah tinggi saat kehamilan,
komplikasi persalinan, dan aborsi yang tidak aman (WHO, 2014). Untuk kasus
Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Pusat Kesehatan dan Informasi Kemenkes
(2014) penyebab utama kematian ibu dari tahun 2010-2013 adalah pendarahan
(30.3% pada tahun 2013) dan hipertensi (27.1% pada tahun 2013).
Meningkatkan kesehatan ibu adalah salah satu butir dari Tujuan
Pembangunan Abad Milenium/Mil/enium Development Goals (MDG) yang harus
dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun 2015, termasuk Indonesia.
Meningkatkan kesehatan ibu (selanjutnya disebut MDG 5) terdiri daridua target,
yaitu mengurangi angka kematian ibu (AKl) saat melahirkan (1990-2015) dan
akses terhadap pelayanan kesehatan standar hingga tahun 2015. Khusus untuk
Indonesia, tujuan/goal yang ditetapkan dalam MDG 5 ada tiga poin, meliputi
menurunkan AKI dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi
102 pada tahun 2015, meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
dari 40,7o/o (1990) menjadi 100% (2015), dan seluruh perempuan usia 15-49
tahun yang pernah menikah menggunakan alaUcara kontrasepsi (universal
access)
Hal ini sangat ironis, mengingat berbagai penyebab kematian ibu di atas
sebenarnya dapat dicegah, jika sang ibu mendapatkan perawatan medis yang
tepat. Kematian ibu menurut ICD–10 (The Tenth Revision of The International
Classification of Diseases) adalah kematian seorang wanita yang terjadi selama
masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak
tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang
berhubungan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan
oleh kecelakaan atau insidental (Saifudin, 1994; WHO, 1999; dan WHO, 2003).

B. Rumusan Masalah
1. Faktor-factor apa yang mengakibatkan kematian ibu akibat kehamilan dan
persalinan?
2. Bagaimana factor resiko dari kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan?
3. Bagaimana upaya mencegah dan mengurangi kematian ibu akibat kehamilan
dan persalinan?
PEMBAHASAN

A. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kematian Ibu Akibat Kehamilan dan


Persalinan
Menurut WHO, kurang lebih 80% kematian maternal merupakan akibat
langsung dari komplikasi langsung selama kehamilan, persalinan dan masa nifas
dan 20% kematian maternal terjadi akibat penyebab tidak langsung. Perdarahan,
terutama perdarahan post partum, dengan onset yang tiba – tiba dan tidak dapat
diprediksi sebelumnya, akan membahayakan nyawa ibu, terutama bila ibu tersebut
menderita anemia. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya
dengan negara lain adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia. Ke dalam perdarahan
dan infeksi sebagai penyebab kematian, tercakup pula kematian akibat abortus
terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 5% kematian ibu disebabkan oleh
penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi
kronis. Keadaan ibu pra – hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya.
Penyebab tidak langsung kematian maternal ini antara lain adalah anemia, kurang
energi kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu” (terlalu muda / tua, terlalu sering dan
terlalu banyak).
Depkes RI membagi faktor – faktor yang mempengaruhi kematian maternal
sebagai berikut :
1. Faktor medik
a. Faktor empat terlalu, yaitu :
- Usia ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20 tahun)
- Usia ibu pada waktu hamil terlalu tua (lebih dari 35 tahun)
- Jumlah anak terlalu banyak (lebih dari 4 orang)
- Jarak antar kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2 tahun)
b. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang merupakan penyebab
langsung kematian maternal, yaitu :
- Perdarahan pervaginam, khususnya pada kehamilan trimester ketiga,
persalinan dan pasca persalinan.
- Infeksi.
- Keracunan kehamilan.
- Komplikasi akibat partus lama.
- Trauma persalinan.
c. Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu
selama hamil, antara lain :
- Kekurangan gizi dan anemia.
- Bekerja (fisik) berat selama kehamilan.
2. Faktor non medik
Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu, dan menghambat upaya
penurunan kesakitan dan kematian maternal adalah :
- Kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal.
- Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan risiko tinggi.
- Ketidak – berdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam
pengambilan keputusan untuk dirujuk.
- Ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan
perawatan di rumah sakit.
3. Faktor pelayanan kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan
kesakitan dan kematian maternal antara lain berkaitan dengan cakupan
pelayanan KIA, yaitu :
- Belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok
berisiko.
- Masih rendahnya (kurang lebih 30%) cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan.
- Masih seringnya (70 – 80%) pertolongan persalinan yang dilakukan di
rumah, oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda – tanda bahaya.
Berbagai aspek manajemen yang belum menunjang antara lain adalah :
- Belum semua kabupaten memberikan prioritas yang memadai untuk
program KIA
- Kurangnya komunikasi dan koordinasi antara Dinkes Kabupaten, Rumah
Sakit Kabupaten dan Puskesmas dalam upaya kesehatan ibu.
- Belum mantapnya mekanisme rujukan dari Puskesmas ke Rumah Sakit
Kabupaten atau sebaliknya.
Berbagai keadaan yang berkaitan dengan ketrampilan pemberi pelayanan KIA
juga masih merupakan faktor penghambat, antara lain :
- Belum diterapkannya prosedur tetap penanganan kasus gawat darurat
kebidanan secara konsisten.
- Kurangnya pengalaman bidan di desa yang baru ditempatkan di
Puskesmas dan bidan praktik swasta untuk ikut aktif dalam jaringan sistem
rujukan saat ini.
- Terbatasnya ketrampilan dokter puskesmas dalam menangani
kegawatdaruratan
- kebidanan.
- Kurangnya upaya alih teknologi tepat (yang sesuai dengan permasalahan
setempat) dari dokter spesialis RS Kabupaten kepada dokter / bidan
Puskesmas (Fibriana, 2007).
Penyebab kematian ibu terbagi dua, pertama disebabkan oleh penyebab
langsung obstetri (direk) yaitu kematian yang diakibatkan langsung oleh kehamilan
dan persalinannya. Penyebab kedua adalah kematian yang disebabkan oleh
penyebab tidak langsung (indirek) yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang
disebabkan oleh penyakit dan bukan oleh kehamilan atau persalinannya. Penyebab
langsung kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh karena perdarahan, hipertensi
dalam kehamilan dan abortus. Sementara kematian akibat penyebab indirek sangat
signifikan proporsinya, yaitu sekitar 22%, hal ini memerlukan perhatian pemerintah
dalam hal pencegahan dan penanganannya. Penyebab kematian tersebut antara lain
terjadi pada ibu hamil yang mengalami penyakit malaria, TBC, anemia, penyakit
jantung, dan lain-lain. Penyakit tersebut dianggap dapat meningkatkan resiko
kesakitan dan kematian pada ibu hamil (Hoelman dkk, 2015).
Hoelman dkk (2015) menyatakan juga bahwa langkah-langkah dalam
penanganan komplikasi sering tidak terjadi, hal ini disebabkan karena
keterlambatan pada setiap langkah. Keterlambatan tersebut dapat disebabkan
karena:
1. Terlambat mengambil keputusan Keterlambatan di tingkat masyarakat dapat
terjadi karena
 Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan karena masalah
tradisi/kepercayaan dalam pengambilan keputusan di keluarga, dan
ketidakmampuan menyediakan biaya medis dan nonmedis
 Keluarga tidak paham tentang tanda bahaya yang mengancam jiwa
 Tenaga kesehatan terlambat melakukan pencegahan dan mengidentifikasi
komplikasi secara dini.
Hal ini dapat disebabkan oleh kompetensi tenaga kesehatan yang tidak
optimal, antara lain dalam melakukan asuhan persalinan normal (APN)
dan PPGDON (pertolongan pertama gawat darurat obstetri dan neonatal)
 Tenaga kesehatan tidak mampu melakukan advokasi pada pasien dan
keluarga tentang pentingnya merujuk tepat waktu untuk menyelamatkan
jiwa.
2. Terlambat mencapai rumah sakit rujukan dan rujukan yang tidak efektif yang
disebabkan antara lain
 Masalah geografis
 Kesediaan alat transportasi
 Stabilisasi pasien komplikasi tidak terjadi/tidak efektif karena ketrampilan
tenaga kesehatan yang kurang optimal dan obat/alat yang kurang lengkap
tersedia
 Memonitor pasien selama rujukan tidak dilakukan atau dilakukan namun
tidak ditindaklanjuti.
3. Terlambat mendapat pertolongan adekuat di RS rujukan, yang disebabkan
 Sistem administratif pelayanan kasus gawat darurat di RS tidak adekuat
 Tenaga kesehatan yang dibutuhkan tidak tersedia (seperti: SpOG, SpAn,
SpA, dan lain-lain)
 Tenaga kesehatan kurang terampil walaupun akses terhadap tenaga
tersedia
 Sarana dan prasarana tidak lengkap atau tidak tersedia, termasuk ruang
perawatan, ruang tindakan, peralatan dan obat
 Darah tidak segera tersedia
 Pasien tiba di rumah sakit dengan kondisi medis yang sulit diselamatkan
 Kurang jelasnya pengaturan penerimaan kasus darurat agar tidak terjadi
penolakan pasien atau agar pasien dialihkan ke RS lain secara efektif; dan
 Kurangnya informasi dimasyarakat tentang kemampuan sarana pelayanan
kesehatan yang dirujuk dalam penanganan kegawatdaruratan obstetri dan
bayi baru lahir, sehingga pelayanan adekuat tidak diperoleh.

B. Faktor Resiko yang Di Timbulkan Dari Kematian Ibu Akibat Kehamilan dan
Persalinan
Hoelman dkk (2015) menyebutkan bahwa kegawatdaruratan pada ibu bisa terjadi
selama kehamilan, persalinan maupun masa nifas yaitu
1. Hemoragi obstetrik mayor yaitu perkiraan kehilangan darah sebanyak lebih
dari 1000 ml atau kehilangan darah yang menyebabkan syok klinis pada wanita
2. Ruptur uteri yaitu: robekan yang terjadi akibat adanya laserasi dinding uterus
dan melebar sampai ke pembuluh darah hingga menyebabkan perdarahan
3. Eklamsia, edema dan spasme serebral, bekuan atau haemoragi di arteri kecil
mungkin merupakan penyebab eklamsi/kejang
4. Embolisme cairan amnion adalah kondisi di mana cairan amnion masuk ke
dalam sirkulasi maternal. Kondisi ini sangat jarang terjadi pada persalinan
namun sering terjadi saat kehamilan hingga 48 jam pascapersalinan dan
menyebabkan tingginya mortalitas pada maternal
5. Sindrom HELLP: suatu sindrom di mana terjadi hemolisis, peningkatan enzim
hati dan trombosit yang rendah, dapat terjadi selama akhir kehamilan, selama
atau sampai 48 jam kelahiran
6. Koagulasi Intravaskular Diseminata (DIC) merupakan kondisi yang terjadi
akibat sekunder dari pre eklamsi berat dan sindroma HELLP. Perdarahan tak
terkontrol dapat terjadi tanpa pembentukan bekuan darah
7. Inversi uteri akut adalah komplikasi persalinan yang jarang terjadi yaitu uterus
menjadi terbalik dan mengalami prolaps ke vagina yang terjadi secara
mendadak selama kala III persalinan. Inversi dapat menjadi penyebab kematian
maternal karena syok dan perdarahan
8. Syok, kolaps dapat terjadi karena kegagalan sirkulasi tubuh yang tidak mampu
menerima oksigen dan nutrisi serta mengekresikan zat sisa.
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal
1. Determinan dekat
 Komplikasi kehamilan
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko untuk
mengalami kematian maternal lebih besar bila dibandingkan dengan ibu
yang tidak mengalami komplikasi kehamilan, Adanya komplikasi pada
kehamilan, terutama perdarahan hebat yang terjadi secara tiba – tiba, akan
mengakibatkan ibu kehilangan banyak darah dan akan mengakibatkan
kematian maternal dalam waktu singkat. Hipertensi dalam kehamilan,
yang sering dijumpai yaitu preeklamsia dan eklamsia, apabila tidak segera
ditangani akan dapat mengakibatkan ibu kehilangan kesadaran yang
berlanjut pada terjadinya kegagalan pada jantung, gagal ginjal atau
perdarahan otak yang akan mengakibatkan kematian maternal.
 Komplikasi persalinan
Ibu yang mengalami komplikasi persalinan memiliki risiko untuk
mengalami kematian maternal lebih besar bila dibandingkan dengan ibu
yang tidak mengalami komplikasi persalinan. Adanya komplikasi
persalinan, terutama perdarahan postpartum, memberikan kontribusi 25%
untuk terjadinya kematian maternal. Perdarahan ini akan mengakibatkan
ibu kehilangan banyak darah, dan akan mengakibatkan kematian maternal
dalam waktu singkat. Preeklamsia ringan dapat dengan mudah berubah
menjadi preeklamsia berat dan keadaan ini akan mudah menjadi eklamsia
yang mengakibatkan kejang. Apabila keadaan ini terjadi pada proses
persalinan akan dapat mengakibatkan ibu kehilangan kesadaran, dan dapat
mengakibatkan kematian maternal. Partus lama atau persalinan tidak maju,
adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam sejak inpartu. Partus
lama dapat membahayakan jiwa ibu, karena pada partus lama risiko
terjadinya perdarahan postpartum akan meningkat dan bila penyebab
partus lama adalah akibat disproporsi kepala panggul, maka risiko
terjadinya ruptura uteri akan meningkat, dan hal ini akan mengakibatkan
kematian ibu dan juga janin dalam waktu singkat. Partus lama dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi jalan lahir. Infeksi ini dapat
membahayakan nyawa ibu karena dapat mengakibatkan sepsis.
 Komplikasi nifas
Ibu yang mengalami komplikasi nifas memiliki risiko untuk mengalami
kematian maternal lebih besar bila dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami komplikasi nifa. Adanya komplikasi pada masa nifas terutama
adanya infeksi dapat menyebabkan kematian maternal akibat menyebarnya
kuman ke dalam aliran darah (septikemia), yang dapat menimbulkan abses
pada organ – organ tubuh, seperti otak dan ginjal, sedangkan perdarahan
pada masa nifas dapat melanjut pada terjadinya kematian maternal
terutama bila ibu tidak segera mendapat perawatan awal untuk
mengendalikan perdarahan.
2. Determinan antara
 Riwayat Penyakit Ibu
Riwayat penyakit ibu didefinisikan sebagai penyakit yang sudah diderita
oleh ibu sebelum kehamilan atau persalinan atau penyakit yang timbul
selama kehamilan yang tidak berkaitan dengan penyebab obstetri
langsung, akan tetapi diperburuk oleh pengaruh fisiologik akibat
kehamilan sehingga keadaan ibu menjadi lebih buruk. Kematian maternal
akibat penyakit yang diderita ibu merupakan penyebab kematian maternal
tidak langsung (indirect obstetric death).
 Keterlambatan rujukan
Keterlambatan rujukan pada ibu yang mengalami komplikasi pada masa
kehamilan, persalinan dan nifas memberikan risiko lebih besar untuk
terjadinya kematian maternal bila dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami keterlambatan rujukan saat terjadi komplikasi. Keterlambatan
rujukan yang terjadi pada kasus – kasus kematian maternal meliputi
keterlambatan pertama, kedua dan ketiga. Ketiga jenis keterlambatan ini
akan memperburuk kondisi ibu akibat ibu tidak dapat memperoleh
penanganan yang adekuat sesuai dengan komplikasi yang ada, sehingga
kematian maternal menjadi tidak dapat dihindarkan.
Keterlambatan pertama merupakan keterlambatan dalam pengambilan
keputusan. Keterlambatan kedua merupakan keterlambatan mencapai
tempat rujukan, setelah pengambilan keputusan untuk merujuk ibu ke
tempat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap diambil. Keterlambatan
ketiga pada kasus kematian maternal terjadi akibat keterlambatan
penanganan kasus di tempat rujukan.
 Riwayat KB
Program KB memiliki peranan yang besar dalam mencegah kematian
maternal. Dengan memakai alat kontrasepsi, seorang ibu akan dapat
merencanakan kehamilan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari
terjadinya kehamilan pada umur tertentu (usia terlalu muda maupun usia
tua) dan dapat mengurangi jumlah kehamilan yang tidak diinginkan
sehingga mengurangi praktik pengguguran yang ilegal berikut kematian
maternal yang ditimbulkannya. Penggunaan alat kontrasepsi akan
mencegah keadaan ‘empat terlalu’ yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu
sering dan terlalu banyak yang merupakan faktor risiko terjadinya
kematian maternal. Apabila seorang ibu dalam masa reproduksinya tidak
menggunakan alat kontrasepsi, maka ia dihadapkan pada risiko untuk
terjadinya kehamilan beserta risiko untuk terjadinya komplikasi baik pada
masa kehamilan, persalinan maupun nifas, yang dapat melanjut menjadi
kematian maternal.

C. Upaya Mencegah dan Mengurangi Kematian Ibu Akibat Kehamilan dan


Persalinan
Sebagian besar kematian ibu harusnya dapat dicegah, karena sebagian besar
komplikasi kebidanan dapat ditangani.
Menurut Hoelman dkk (2015), ada tiga hal yang harus dipahami yaitu setiap
ibu hamil beresiko mengalami komplikasi yang akan mengancam jiwanya, karena
setiap kehamilan beresiko, maka ibu hamil harus mempunyai akses yang adekuat
saat komplikasi terjadi, dan sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa
persalinan dan dalam 24 jam pertama pasca persalinan. Periode yang sangat
singkat, sehingga akses terhadap pelayanan yang berkualitas perlu mendapatkan
prioritas agar mempunyai daya ungkit tinggi dalam menurunkan kematian ibu.
Hoelman dkk (2015) menyatakan bahwa pencegahan dan penanganan yang
dapat dilakukan antara lain:
a. Ibu segera mencari pertolongan ke tenaga kesehatan bila mengalami
komplikasi
b. Tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, seperti
penggunaan partograf untuk memantau kemajuan persalinan dan pelaksanaan
manajemen aktif kala III untuk pencegahan perdarahan
c. Tenaga kesehatan mampu melakukan deteksi dini komplikasi
d. Bila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan
pertama dan melakukan stabilisasi pasien sebelum rujukan
e. Proses rujukan efektif
f. Pelayanan di rumah sakit yang efektif dan tepat guna
Selain itu, beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah atau mengurangi
kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan, adalah :
1. Safe Motherhood Initiative dan Gerakan Sayang Ibu (GSI)
Konsep safe motherhood sendiri mencakup serangkaian upaya, praktik,
protokol, dan panduan pemberian pelayanan yang didesain untuk memastikan
perempuan menerima layanan ginekologis, layanan keluarga berencana, serta
layanan prenatal, delivery, dan postpartum yang berkualitas, dengan tujuan
untuk menjamin kondisi kesehatan sang ibu, janin, dan anak agar tetap optimal
pada saat kehamilan, persalinan, dan pasca-melahirkan (USAID, 2005).
Mengacu pada modul yang disusun oleh The Health Policy Project (2003),
konsep safe motherhood sendiri memiliki enam pilar utama, yaitu:
 Keluarga Berencana – Memastikan bahwa baik individu maupun pasangan
memiliki akses terhadap informasi, dan layanan keluarga berencana untuk
merencanakan waktu, jumlah, dan jarak kehamilan.
 Perawatan Antenatal – Menyediakan vitamin, imunisasi, dan memantau
faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan komplikasi kehamilan; serta
memastikan bahwa segala bentuk komplikasi dapat terdeteksi secara dini,
dan ditangani dengan baik.
 Perawatan Persalinan – Memastikan bahwa tenaga kesehatan yang terlibat
dalam proses persalinan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan alat-alat
kesehatan untuk mendukung persalinan yang aman; serta menjamin
ketersediaan perawatan darurat bagi perempuan yang membutuhkan,
terkait kasus-kasus kehamilan berisiko dan komplikasi kehamilan.
 Perawatan Postnatal – Memastikan bahwa perawatan pasca-persalinan
diberikan kepada ibu dan bayi, seperti bantuan terkait cara menyusui,
layanan keluarga berencana, serta mengamati tanda-tanda bahaya yang
terlihat pada ibu dan anak.
 Perawatan Post-aborsi – Mencegah terjadinya komplikasi, memastikan
bahwa komplikasi aborsi terdeteksi sejak dini dan ditangani dengan baik,
membahas tentang permasalahan kesehatan reproduksi lain yang dialami
oleh pasien, serta memberikan layanan keluarga berencana jika
dibutuhkan.
 Kontrol Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS – mendeteksi,
mencegah, dan mengendalikan penularan IMS, HIV dan AIDS kepada
bayi; menghitung risiko infeksi di masa yang akan datang; menyediakan
fasilitas konseling dan tes IMS, HIV dan AIDS untuk mendorong upaya
pencegahan; dan – jika memungkinkan – memperluas upaya kontrol pada
kasus-kasus transmisi IMS, HIV dan AIDS dari ibu ke bayinya.
The Safe Motherhood Initiative inilah yang kemudian digunakan sebagai
basis Program Gerakan Sayang Ibu, atau yang biasa disebut sebagai Program
GSI. Program Gerakan Sayang Ibu merupakan sebuah “gerakan” untuk
mengembangkan kualitas perempuan – utamanya melalui percepatan
penurunan angka kematian ibu – yang dilaksanakan bersama-sama oleh
pemerintah dan masyarakat.
Tujuan utama dari Program GSI adalah peningkatan kesadaran
masyarakat, yang kemudian berdampak pada keterlibatan mereka secara aktif
dalam program-program penurunan AKI; seperti menghimpun dana bantuan
persalinan melalui Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), pemetaan ibu hamil dan
penugasan donor darah pendamping, serta penyediaan ambulan desa. Berbeda
dengan The Safe Motherhood Initiative yang terkesan sangat struktural,
program GSI justru menekankan keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya-
upaya untuk menurunkan AKI.
2. PKBI dalam Konteks Penurunan AKI
Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan
Keluarga Berencana di Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) terlibat secara aktif dalam upaya penurunan AKI; khususnya melalui
poin pertama, kelima, dan terakhir dari The Safe Motherhood Initiative,
yaitu akses program keluarga berencana, perawatan pasca aborsi, dan kontrol
IMS, HIV dan AIDS. Sejak didirikan pada tahun 1957, PKBI percaya bahwa
keluarga merupakan pilar utama untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang bertanggung jawab –
baik dalam dimensi kelahiran, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan masa
depan. Nilai inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam Program Layanan
Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (Kespro)
PKBI.
Melalui Program Layanan KB dan Kespro, PKBI menyediakan pelayanan
kesehatan seksual dan reproduksi yang terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat (termasuk kelompok difabel dan kelompok marjinal lain). Salah
satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh PKBI dalam program tersebut
adalah program keluarga berencana – senada dengan poin pertama dari enam
pilar utama The Safe Motherhood Association. Selain program KB, PKBI juga
menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tidak diinginkan yang
komprehensif, sesuai dengan poin kelima dari enam pilar utama The Safe
Motherhood Association.
Terakhir, dalam rencana strategisnya, PKBI juga memiliki komitmen
untuk mengembangkan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan
AIDS. – sejalan dengan pilar terakhir The Safe Motherhood Initiative. Hingga
saat ini PKBI memiliki kantor di 26 Provinsi mencakup 249 Kabupaten/Kota di
Indonesia. PKBI akan terus berkomitmen untuk menyediakan layanan KB dan
Kespro yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, demi mendukung
penurunan Angka Kematian Ibu Indonesia
PENUTUP

A. Simpulan
Angka kematian maternal (AKM) merupakan indikator yang mencerminkan
status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan
melahirkan. Beberapa factor penyebab yang mempengaruhi kematian ibu akibat
kehamilan dan persalinan diklasifikasikan menjadi tiga bagian utamayaitu factor
medik, factor non-medik dan factor pelayanan kesehatan.
Adapun factor resiko kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan terdiri
dari determinan dekat yaitu komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, dan
komplikasinifas. Serta determinan antara terdiri dari riwayat penyakit ibu,
keterlambatan rujukan dan riwayat KB.
Upaya pencegahan kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan dapat
dilakukan dengan berbagai program kesehatan misalnya Safe Motherhood
Initiative dan Gerakan Sayang Ibu (GSI) dan PKBI dalam Konteks Penurunan
AKI.
B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat kami berikan untuk mengurangi masalah
Angka Kematian Maternal antara lain :
1. Peningkatan kualitas bidan baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan
sesuai dengan perkembangan zaman melalui pelatihan maupun workshop,
diantaranya pelatihan Midwifery Update (MU), Pelatihan Komunikasi
interpersonal dan konseling (KIPK), Pelatihan penanganan gawat darurat
kebidanan, Pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN), dll.
2. Pelayanan kesehatan dasar agar dapat meningkatkan kualitas standar pelayanan
KIA melalui penyeliaan fasilitatif.
3. Menggerakkan pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan derajat
kesehatan ibu dan anak, seperti program desa siaga, ambulans desa, kelompok
donor darah berjalan, Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K) dan alokasi dana lebih banyak digunakan untuk bidang
kesehatan.
4. Optimalisasi pendidikan kesehatan pada masyarakat tentang pentingnya
pemeriksaan kehamilan.
5. Pendampingan ibu hamil oleh kader kesehatan/masyarakat (peer to peer) untuk
menjamin kesehetan ibu selama hamil, melahirkan dan nifas.
DAFTAR PUSTAKA

Fibriana, A.I, 2007. Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Kematian Maternal


(Studi Kasus Di Kabupaten Cilacap). Tesis. Universitas Diponegoro

Hoelman, M. dkk. 2015. Panduan SDGs Untuk Pemerintah Daerah (Kota Dan
Kabupaten) Dan Pemangku Kepentingan Daerah. International NGO Forum on
Indonesian development.

Saifudin, A.B. 1997. Issues in Training for essential Maternal Healthcare in


Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 6 (3)

Saifudin, 1994. Kematian Maternal. Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka

WHO. 1999. Reduction of Maternal Mortality. A joint WHO/ UNFPA/ UNICEF/


World Bank Statement. Geneva: WHO

WHO. 2000. Making Pregnancy Safer A Health Sector for Reducing Maternal and
Perinatal Morbidity and Mortality. Geneva: WHO

WHO. 2003. Maternal Mortality in 2000. Department of Reproductive Health


and Research. Geneva: WHO
ANALISIS MASALAH
TIDAK TERLAKSANANYA AUDIT MATERNAL PERINATAL

Oleh :

Siti Rahma
K1A1 15 138

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Audit maternal perinatal adalah proses penelaahan sistematis terhadap kasus
kesakitan dan kematian ibu dan perinatal serta penatalaksanaannya, dengan
menggunakan berbagai informasi dan pengalaman dari suatu kelompok terdekat,
untuk mendapatkan masukan mengenai intervensi yang paling tepat dilakukan
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA disuatu wilayah. AMP
merupakan suatu kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan kematian ibu dan
perinatal dengan maksud mencegah kesakitan dan kematian di masa yang akan
datang,penelusuran ini memungkinkan tenaga kesehatan menentukan hubungan
faktor penyebab yg dapat dicegah dari kesakitan dan kematian yg terjadi
(Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2010).
Audit Maternal Perinatal (AMP) adalah suatu analisis yang sistematis
terhadap pelayanan kesehatan pada maternal dan perinatal, termasuk prosedur
yang digunakan dalam menentukan diagnose dan tindakan yang diberikan.
Program AMP merupakan salah satu bentuk implementasi dari program audit
klinis oleh Departemen Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang
didefinisikan sebagai suatu proses penelaahan berumah sakitama terhadap kasus
kematian dan kesakitan maternal dan perinatal serta penatalaksanaannya dengan
tujuan menentukan penyebab dan faktor yang terkait dengan kesakitan dan
kematian ibu dan perinatal (3 terlambat dan 4 terlalu). Pelaksanaan telaah
menggunakan berbagai informasi dari kelompok yang terkait untuk memperoleh
informasi tentang tindakan yang paling tepat untuk dilakukan dalam upaya
peningkatan kualitas pelayanan pada ibu dan perinatal dengan pendekatan
pemecahan masalah (Suwanti dkk., 2013)
Tujuan umum audit maternal perinatal adalah meningkatkan mutu
pelayanan KIA di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam rangka mempercepat
penurunan angka kematian ibu dan perinatal. Tujuan khusus audit maternal adalah
a. Menetukan intervensi dan pembinaan untuk masing-masing pihak yang di
perlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam
pembahasan kasus
b. Menerapkan pembahasan analitik mengenai kasus kebidanan dan perinatal
secara teratur dan berkesimnambungan, yang dilakukan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota, rumah sakit pemerintah atau swasta dan puskesmas, rumah
bnerumah sakitalin (RB), bidan praktek swasta atau BPS di wilayah
kabupaten/kota dan dilintas batas kabupaten/kota provinsi
c. Mengembangkan mekanisme koordinasi antara dinas kesehatan
kabupaten/kota, rumah sakit pemerintah/swasta, puskesmas, rumah sakit
berumah sakitalin dan BPS dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi terhadap intervensi yang disepakati.
AMP juga dapat berfungsi sebagai alat pemantauan dan evaluasi sistem
rujukan,agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik,maka diperlukan :
a. Pengisian rekam medis yg lengkap dan benar disemua tingkat pelayanan
kesehatan.
b. Pelacakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan puskesmas dengan cara
autopsi verbal,yaitu wawancara kepada keluarga atau orang lain yg
mengetahui riwayat penyakit atau gejala serta tindakan yg diperoleh sebelum
penderita meninggal,sehingga dapat diketahui perkiraan sebab kematian.
Kegiatan Audit Maternal-Perinatal yang dilakukan harus menerapkan prinsip
menghormati dan melindungi semua pihak yang terkait, baik individu maupun
institusi. Sebelum audit dilakukan, harus ditekankan kembali kepada pihak yang
terkait bahwa kegiatan ini tidak dapat digunakan untuk kepentingan hukum (bukti
dalam perumah sakitidangan) maupun untuk kepentingan lainnya selain hanya
untuk kajian terhadap kasus (Depkes, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tidak terlaksananya Audit Maternal
Perintal?
2. Bagaimana upaya mengurangi serta apa saja strategi mencegah tidak
terlaksananya Audit Maternal Perintal?
PEMBAHASAN

A. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Tidak Terlaksananya Audit Maternal


Perinatal
1. Faktor medik yg berpengaruh kepada kesakitan dan kematian ibu dan perinatal.
Faktor medik terumah sakitebut adalah faktor risiko kematian ibu dan
perinatal, antara lain:
 Usia ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20 thn) atau terlalu
tua (lebih dari 35 thn),
 Jumlah anak terlalu banyak (lebih dari 4 orang)
 Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun.
Beberapa komplikasi,kehamilan perumah sakitalinan dan nifas yg merupakan
penyebab langsung kesakitan dan kematian ibu dan anak :
 Perdarahan pervaginam,khususnya pd kehamilan trimester ketiga,perumah
sakitalinan dan pasca perumah sakitalinan.
 Infeksi
 Pre eklamsi/eklamsi
 Komplikasi akibat partus lama
 Trauma perumah sakitalinan.
Beberapa keadaan dan gangguan yang akan memperburuk derajat kesehatan
ibu selama hamil dan ikut berperan dalam kesakitan dan kematian ibu dan
perinatal,antara lain:
 Penyakit –penyakit kronis yg menyertai kehamilan.
 Kekurangan gizi dan anemia
 Bekerja (fisik) berat selama kehamilan yg akan berdampak pada
kehamilan yg kurang baik spt BBLR dan prematuritas.
 Kardiovaskuler.
2. Faktor non medik yg berpengaruh kepada kesakitan dan kematian ibu dan
perinatal,antara lain :
 Kurangnya kesadaran ibu,suami,dan keluarga untuk mendapatkan
pelayanan antenatal.
 Terbatasnya pengetahuan ibu,suami,dan keluarga tentang bahaya
kehamilan risiko tinggi.
 Ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil dalam pengambilan keputusan
untuk dirujuk.
 Ketidakmampuan sebagian ibu hamil ,suami dan keluarga untuk
membayar biaya tranport dan perawatan di rumah sakit.
 Sistem transportasi yg sulit.
3. Faktor pelayanan kesehatan yg berpengaruh kepada kesakitan dan kematian
ibu dan perinatal misalnya cakupan pelayanan KIA yg belum memadai :
 Belum terumah sakitedianya fasilitas kesehatan yg bermutu dan mudah
terjangkau.
 Belum mantapnya jangkauan pelyn kia dan penanganan kelompok risiko.
 Masih rendahnya ( sekitar 60 % ) cakupan pelyn perumah sakitalinan oleh
nakes.
 Masih adanya pertolongan perumah sakitalinan oleh dk yg tidak
mengetahui tanda-tanda bahaya.
 Belum mantapnya sistem pelyn gawat darurat obstetri neonatal di
puskesmas dan rumah sakitud.
 Belum meratanya pelyn gawat darurat bebas biaya bagi gakin ditingkat
pelyn dasar dan rujukan.
4. Aspek manajemen yg belum menunjang
 Belum semua kab/kota memberikan prioritas yg memadai untuk program
KIA
 Kurangnya komunikasi dan kordinasi antara dinkes,rumah sakit
UD/TNI/POLRI dan swasta ,puskesmas,RB,BPS dalam upaya kesehatan
ibu dan perinatal.
 Belum mantapnya mekanisme rujukan dari puskesmas,rumah sakit dan
BPS ke rumah sakit pemerintah/swasta/kab/kota atau sebaliknya.
5. Keterampilan pemberi pelayanan KIA masih rendah
 Belum diterapkannya prosedur tetap penanganan kasus gawat darurat
kebidanan dan perinatal secara konsisten
 Kurangnya pengalaman bides yg baru ditempatkan dalam mendeteksi dan
menangani ibu/bayi risiko tinggi.
 Belum terampilnya bidan di puskesmas dan bps untuk ikut aktif dalam
jaringan rujukan saat ini
 Terbatasnya keterampilan dokter puskesmas dalam menangani
kegawatdaruratan kebidanan dan perinatal .
 Kurangnya upaya alih teknologi tepat guna (yg sesuai dengan
permasalahan setempat) dari dokter spesialis rumah sakit kab/kota kepada
dokter/bidan puskesmas
 Belum mantapnya pengaturan penanganan kegawatdaruratan kebidanan
dan perinatal di rumah sakit

B. Upaya Mengurangi Serta Strategi Pencegahan Tidak Terlaksananya Audit


Maternal Perinatal
Dalam upaya pencegahan/mengurangi ketidakterlaksanaan AMP maka
dibentuk kebijaksanaan dan strategi AMP, antara lain:
1. UU no. 36 Th 2009 tentang kesehatan dan peraturan pemerintah No 32 th
1996,menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban untuk mematuhi standart profesi dan menghormati hak pasien.
2. Kebijakan Indonesia sehat sehubungan dengan audit maternal perinatal adalah:
 Peningkatan mutu pelyn KIA dilakukan secara terus menerus melalui
program jaga mutu di puskesmas,disamping upaya perluasan jangkauan
pelayanan.Upaya peningkatan dan pengendalian mutu antara lain dilakukan
dengan kegiatan AMP
 Peningkatan fungsi kab/kota sebagai unit efektif yg mampu memanfaatkan
semua potensi dan peluang yg ada untuk meningkatkan pelyn KIA di
seluruh wilayahnya.
 Peningkatan kesinambungan pelyn KIA ditingkat pelyn dasar (PKM dan
jajarannya) dan ditingkat rujukan primer(rumah sakit dan Kab/kota)
 Peningkatan kemampuan kab/kota dalam perencanaan program KIA dengan
memanfaatkan hasil kgt AMP mampu mengatasi masalah kesehatan
setempat.
 Peningkatan kemampuan manajerial dan teknis dari pengelola dan pelaksana
program KIA melalui kgt analisis manajemen dan pelatihan klinis.
3. Strategi yg diambil dalam menerapkan kegiatan AMP adalah :
 Semua kab/kota sebagai unit efektif dalam peningkatan pelyn program KIA
secara bertahap menerapkan kendali mutu,yang antara lain dilakukan
melalui AMP di wilayahnya ataupun diikutsertakan kab/kota lain.
 Dinas kesehatan kab/kota berfungsi sebagai kordinator fasilitator yg
bekerjasama dengan rumah sakit kab/kota dan melibatkan puskesmas dan
unit pelyn KIA swasta lainnya dalam upaya kendali mutu di wilayah
kab/kota
 Di tingkat kab/kota perlu dibentuk team AMP yg selalu mengadakan
pertemuan rutin untuk menyeleksi kasus,membahas dan membuat
rekomendasi tindak lanjut berdasarkan temuan dari kgt audit.
 Perencanaan program KIA dibuat dengan memanfaatkan hasil temuan kgt
audit,sehingga diharapkan berorientasi kepada pemecahan masalah setempat
 Pembinaan dilakukan oleh dinkes kab/kota berumah sakitama sama rumah
sakit kab/kota (untuk aspek teknis medis ) dilaksanakan langsung pada saat
audit atau acara rutin dalam bentuk yg disepakati oleh team AMP.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa
tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan dan menghormati hak pasien salah satunya dalam upaya
mencegah tidak terlaksananya audit maternal perinatal. Berdasarkan hal terumah
sakitebut, kebijaksanaan Indonesia Sehat 2010 dan strategi making pregnancy Safer
(MPS) sehubungan dengan audit maternal perinatal adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan mutu pelayanan KIA dilakukan secara terus menerus melalui
program jaga mutu puskesmas, di samping upaya perluasan jangkauan
pelayanan. Upaya peningkatan dan pengendalian mutu antara lain melalui
kegiatan audit perinatal.
2. Meningkatkan fungsi kabupaten/kota sebagai unit efektif yang mampu
memanfaatkan semua potensi dan peluang yang ada untuk meningkatkan
pelayanan KIA diseluruh wilayahnya
3. Peningkatan kesinambungan pelayanan KIA ditingkat pelayanan dasar
(puskesmas dan jajarannya )dan tingkat rujukan primer rumah sakit
kabupaten/kota
4. Peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis dari para
pengelola dan pelaksanaan program KIA melalui kegiatan analisis manajemen
dan pelatihan klinis
Strategi yang diambil dalam menerapkan AMP adalah :
a. Semua kabupaten/kota sebagai unit efektif dalam peningkatan pelayanan
program KIA secara bertahap menerapkan kendali mutu,yang antara lain
dilakukan melalui AMP diwilayahnya ataupun diikut sertakan kabupaten/kota
lain
b. Dinas kesehatan kabupaten atau kota berfungsi sebagai koordinator fasilitator
yang bekerja sama dengan rumah sakit kabupaten/kota dan melibatkan
puskesmas dan unit pelayanan KIA swasta lainnya dalam upaya kendali mutu
diwilayah kabupaten/kota
c. Ditingkat kabupaten/kota perlu dibentuk tim AMP ,yang selalu mengadakan
pertemuan rutin untuk menyeleksi kasus ,membahas dan membuat
rekomendasi tindak lanjut berdasarkan temuan dari kegiatan audit
(penghargaaan dan sanksi bagi pelaku)
d. Perencanaan program KIA dibuat dengan memanfaatkan hasiltemuan dari
kegiatan audit,sehingga diharapkan berorientasi kepada pemecahan masalah
setempat
e. Pembinaan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota ,berumah
sakitama-sama rumah sakit dilaksanakan langsung pada saat audit atau secara
rutin,dalam bentuk yang disepakati oleh tim AMP.
Langkah-langkah dan kegiatan audit AMP ditingkat kabupaten/kota sebagai
berikut:
1. Pembentukan tim AMP
2. Penyebarluasan informasi dan petunjuk teknis pelaksanaan AMP
3. Menyusun rencana kegiatan (POA) AMP
4. Orientasi pengelola program KIA dalam pelaksanaan AMP
5. Pelaksanaan kegiatan AMP
6. Penyusunan rencana tindak lanjut terhadap temuan dari kegiatan audit maternal
oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bekerjasama dengan rumah sakit
7. Pemantauan dan evaluasi
Rincian kegiatan AMP yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Tingkat kabupaten /kota
1. Menyampaikan informasi dan menyamakan presepsi dengan pihak terkait
mengenai pengertian dan pelaksanaan AMP dikabupaten/kota
2. Menyusun tim AMP dikabupaten atau kota ,yang susunannya disesuaikan
dengan situasi dan kondisi setempat.
3. Melaksanakan AMP secara berkala dan melibatkan Para kepala puskesmas
dan pelaksana pelayanan KIA dipuskesmas dan jajarannya, Dokter
spesialis kebidanan dan penyakit kandungan serta dokter spesialis anak
dokter ahli lain rumah sakit kabupaten/kota, Kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dan staf pengelola program terkait, Pihak lain yang terkait
,sesuai kebutuhan misalnya bidan praktik swasta petugas rekam medik
rumah sakit kabupaten/kota dan lain-lain.
4. Melaksanakan kegiatan AMP lintas batas kabupaten/kota/propinsi
5. Melaksanakan kegiatan tindak lanjut yang telah disepakati dalam
pertemuan tim AMP
6. Melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan audit serta tindak lanjutnya,
dan melaporkan hasil kegiatan ke dinas kesehatan propinsi untuk
memohon dukungan
7. Memanfaatkan hasil kegiatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan
pengelolaan program KIA,secara berkelanjutan
b. Tingkat puskesmas
1. Menyampaikan informasi kepada staf puskesmas terkait mengenai upaya
peningkatan kualitas pelayanan KIA melalui kegiatan AMP
2. Melakukan pencatatan atas kasus kesakitan dan kematian ibu serta
perinatal dan penanganan atau rujukan nya ,untuk kemudian dilaporkan
kedinas kesehatan kabupaten kota
3. Mengikuti pertemuan AMP dikabupaten/kota
4. Melakukan pelacakan sebab kematian ibu/perinatal (otopsi verbal )
selambat-lambatnya 7 hari setelah menerima laporan. Informasi ini harus
dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota selambat-lambatnya dalam
waktu 1 bulan . temuan otopsi verbal dibicarakan dalam pertemuan audit
dikabupaten /kota .
5. Mengikuti/melaksanakan kegiatan peningkatan kualitas pelayanan
KIA,sebagai tindak lanjut dari kegiatan audit
6. Membahas kasus pertemuan AMP di kabupaten/kota
7. Membahas hasil tindak lanjut AMP non medis dengan lintas sektor terkait.
c. Tingkat propinsi
1. Menyebarluaskan pedoman teknis AMP kepada seluruh kabupaten/kota
2. Menyamakan kerangka pikir dan menyusun rencana kegiatan
pengembangan kendali mutu pelayanan KIA melalui AMP berumah
sakitama kabupaten/kota yang akan difasilitasi secara intensif.
3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dikabupaten/kota
4. Memberikan dukungan teknis dan manajerial kepada kabupaten/kota
sesuai kebutuhan
5. Merintis kerjasama dengan sektor lain untuk kelancaran pelaksanaan
tindak lanjut temuan dari kegiatan audit yang berkaitan dengan sektor
diluar kesehatan
6. Memfasilitasi kegiatan AMP lintas batas kabupaten/kota/propinsi d.
Tingkat pusat Melakukan fasilitasi pelaksanaan AMP ,sebagai salah satu
bentuk upaya peningkatan mutu pelayanan KIA diwilayah kabupaten/kota
serta peningkatan kesinambungan pelayanan KIA ditingkat dasar dan
tingkat rujukan primer.
PENUTUP

A. Simpulan
Audit maternal perinatal(AMP) adalah proses penelaahan sistematis
terhadap kasus kesakitan dan kematian ibu dan perinatal serta
penatalaksanaannya, dengan menggunakan berbagai informasi dan pengalaman
dari suatu kelompok terdekat, untuk mendapatkan masukan mengenai intervensi
yang paling tepat dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA
disuatu wilayah
Faktor-faktor yang mempengarui tidak terlaksananya Audit Maternal
Peinatal antara lain factor medic, factor non-medik, pelayanan kesehatan yang
tidak memadai, aspek manajemen yg belum menunjang, keterampilan pemberian
pelayanan KIA yang rendah.
Upaya untuk mencegah tidak terlaksananya Audit Mayernal Perinatal adalah
dengan pembentukan kebijaksanaan dan strategi AMP dimana kegiatan AMP
lebih cenderung ke arah upaya pemecahan masalah dengan upaya peningkatan
kualitas pelayanan.

B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat kami berikan untuk mengurangi masalah
tidak terlaksananya Audit Maternal Perinatal antara lain :
1. Perlu dilakukan evaluasi dan tindakan yang lebih terencana lagi dalam Audit
Maternal Perinatal (AMP) agar upaya percepatan penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) dapat tercapai.
2. Perlu adanya kerjasama antar sektoral untuk upaya menurunkan angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi.
3. Sebaiknya dilakukan upaya peningkatan dan pengembangan standarisasi
mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas) dan
Rumah Sakit terutama dalam pelayanan KIA.
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, 2010. Pedoman Audit Maternal Perinatal (AMP).
Kementrerian Kesehatan Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Pedoman Audit Maternal Perinatal
(AMP).
Suwanti. E.Wahyuni. S., Rahayu. R.D., 2013. Pemahaman Bidan Tentang Audit
Maternal Perinatal Kaitannya Dengan Kepatuhan Bidan Dalam Pelaksanaan
Managemen Aktif Kala III Di Wilayah Kabupaten Kleten. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan. Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan
Kebidanan.

Anda mungkin juga menyukai