Anda di halaman 1dari 2

TUGAS KARSINOLOGI

SINDROM TAURA PADA UDANG


M. Rizky Muzakki (M0416027)

Sindrom Taura merupakan salah satu penyakit pada udang yang disebabkan oleh Taura
syndrome virus (TSV). Sindrom ini pertama kali dideskripsikan di Ekuador 1992 dan kembali
pada 1993 sebagai penyakit epidemik hyang menyebar dengan sangat luas. Virus ini dikenal
menyerang banyak spesies udang, seperti fase postlarval, juvenile, dan dewasa dari Penaeus
vannamei, P. setiferus, P. stylirostris, P. schmitti, dan Metapenaeus ensis (Overstreet et al.,
1997). Menurut Gulf States Marine Fisheries Commission (2004), klasifikasi virus TSV yaitu
sebagai berikut:
Group : Group IV ((+)ssRNA)
Ordo : Picornavirales
Famili : Dicistroviridae
Genus : Aparavirus
Species : Taura syndrome virus
TSV merupakan partikel virus tanpa selubung berukuran 32 nm dengan morfologi
icosahedral dan dengan berat jenis 1,338 g/ml. Genom dari virus ini merupakan genom single-
stranded positive-sense dengan 10.205 nukleotida. Kapsidnya terdiri atas 3 protein mayor dan
1 protein minor. Virus RNA seperti TSV memiliki kecenderungan tinggi akan mutasi spontan,
sehingga ia memiliki banyak varian. TSV dilaporkan tersebar di berbagai wilayah di Amerika
seperti Ekuador, Kolombia, Peru, dan Costa Rica. TSV juga menyebar hingga Asia, seperti
Taiwan, Thailand, Myanmar, China, Korea, dan Indonesia. Distribusi virus yang tinggi
disebabkan oleh persebaran stok terinfeksi untuk tujuan akuakultur (Lightner, 1996).
Pada lingkungan peternakan, sindrom Taura menyebabkan tingkat kematian tinggi pada
15-40 hari pertama. Infeksi dapat berlangsung secara akut (5-20 hari) hingga kronis (lebih dari
120 hari) pada kolam ataupun peternakan. TSV umumnya menginfeksi dan bereplikasi di
epitelium kutikuler dari eksoskeleton, foregut, hindgut, insang, organ limfoid, dan kelenjar
antennal. Transmisi TSV dapat berlangsung melalui transmisi horizontal (melalui kanibalisme
atau air yang terkontaminasi) maupun vertikal.Penyakit ini memiliki tiga fase: akut, transisi,
dan kronis. Setelah infeksi awal, fase akut akan berkembang. Gejala dapat terlihat 7 jam setelah
infeksi dan berlangsung selama 4-7 hari. Udang terinfeksi menunjukkan gejala anoreksia,
letargi, dan perilaku berenang tak menentu. Udang akan mengalami hipoksia dan berpindah
tempat ke permukaan kolam. Selain itu, terlihat pula kekusaman pada ekor dan kutikula.
Kadang-kadang ekor menjadi berwarna merah karena meningkatnya kromatofor merah. Pada
fase ini, mortalitas dapat meningkat hingga 95% dan kematian biasanya terjadi selama ecdysis.
Fase transisi biasanya terjadi selama beberapa hari saja. Pada fase ini, bercak kutikuler khas
pada fase akut perlahan menghilang dan sebagai gantinya akan terlihat bercak kutikuler
berwarna gelap dengan pola acak dan ireguler. Bercak-bercak ini merupakan akumulasi
hemosit yang terdapat pada titik-titik nekrosis. TSV biasanya dapat terlihat terakumulasi di sel
parenkimal perifer dari tubulus organ limfoid. Fase kronis terlihat 6 hari setelah infeksi dan
dapat berlangsung hingga setidaknya 12 months di bawah kondisi eksperimental. Secara
histologis, fase ini ditandai oleh ketiadaan luka akut dan adanya pembengkakan organ limfoid.
Diagnosis pada fase ini sangat sulit, karena tidak menunjukkan gejala luar maupun mortilitas.
Sementara, pembengkakan organ limfoid sendiri juga bukan karakteristik pasti fase ini, karena
dapat pula ditemukan pada penyakit viral udang lainnya. Udang dengan infeksi TSV kronis
tidak sekuat udang sehat, yang terlihat dari ketidakmampuannya menoleransi penurunan
salinitas sebaik udang sehat (The OIE Aquatic Animals Commission, 2016).
Hingga saat ini, belum ada perlakuan vaksinasi, kemoterapi, dan imunostimulasi yang
efektif untuk menangani sindrom Taura. Langkah preventif penyebaran TSV lebih lanjut
dilakukan dengan pengembangan biakan udang P. vannamei dan P. stylirostris yang resisten
terhadap TSV, yang juga telah tersedia secara komersial. TSV dapat ditularkan secara vertikal,
sehingga disinfeksi telur dan larva menjadi langkah manajemen yang baik dan
direkomendasikan karena potensinya dalam mengurangi kontaminasi TSV yang dibawa oleh
telur dan larva. Beberapa praktik kontrol dan manajemen penyakit secara umum juga telah
berhasil mengurangi penyebaran TSV, seperti aplikasi PCR untuk pre-screening telur atau
larva, pengosongan dan pengisian kembali seluruh area kultur dengan stok bebas TSV, dan
pengembangan stok udang yang bersifat specific pathogen free (SPF). Adopsi teknologi SPF
terbukti menjadi praktik kontrol paling sukses dalam menanggulangi infeksi TSV (The OIE
Aquatic Animals Commission, 2016).

DAFTAR PUSTAKA
Gulf States Marine Fisheries Commission. 2004. Taura syndrome virus fact sheet. Texas: Gulf
States Marine Fisheries Commission.
Overstreet, R.M., D.V. Lightner, K.W. Hasson, S. McIlwain, J.M. Lotz. 1997. Susceptibility
to Taura syndrome virus of some penaeid shrimp species native to the Gulf of Mexico
and the southeastern United States. Journal of Invertebrate Pathology. 69 (2): 165–176.
Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Disease
of Cultured Penaeid Shrimp. Baton Rouge: World Aquaculture Society.
The OIE Aquatic Animals Commission. 2016. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic
Animals. London: World Organisation for Animal Health

Anda mungkin juga menyukai