Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Pembimbing:
dr. Kemalasari, SpP

Disusun Oleh:
Andi Bagus Prayogo 2014730008
Bobzi Razvidi 2014730016
Ferza Farizky 2014730032
Ghina Hanifah Kh 2014730036
Karel Respati 2011730144
M. Luthfi Mandani 2014730064
Farkhan Reza Sulaeman 2014730029
Nadya Mujahidah C.R 2014730071
Nur Indah Sari 2014730077
Refidani Munawar 2014730082
Wijdani Sharfina 2014730097

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT ISLAM CEMPAKA PUTIH JAKARTA
2019
KASUS PASIEN

Identitas Pasien

• Nama : Ny. E
• Usia : 66 Tahun
• Alamat : Jl. Metro Jaya No19 RT 04/07
• Status : Menikah
• Pekerjaan : Pensiunan
• No. RM : 00-46-68-74
• Ruang : Marwah Atas

Anamnesis

KELUHAN UTAMA :

Sesak sejak 6 jam SMRS

KELUHAN TAMBAHAN :

• Batuk
• Demam
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Pasien mengeluhkan sesak sejak 6 jam SMRS. Sesak napas sudah


dirasakan sejak satu minggu belakangan dan makin dirasakan memberat dalam
beberapa hari terakhir. Sesak diperberat bila beraktifitas banyak dan sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca maupun posisi.

Sesak napas yang dirasakan pasien juga disertai dengan keluhan batuk.
Batuk berdahak, dengan warna dahak kekuningan, darah (-), batuk dirasakan sejak
2 minggu SMRS. Biasanya dahak berwarna putih dengan konsistensi cair, saat ini
dahak berubah warna menjadi putih kekuningan dan kental. Pasien juga
merasakan demam. Demam dirasakan naik turun dan hilang dengan obat penurun
panas.

Nafsu makan masih dalam batas normal dan dalam beberapa bulan
kebelakang tidak ada penurunan berat badan yang signifikan. BAK dan BAB
masih dalam batas normal. Pasien mengaku hal ini sudah pernah dirasakan, dan
keluhan ini yang kedua kalinya dalam satu tahun terakhir.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

• Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya


• Riwayat asma (-)
• Riwayat hipertensi (-)
• Riwayat DM (-)
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :

• Tidak ada yang menderita keluhan serupa di keluarga


• Riwayat hipertensi (-)
• Riwayat DM (-)
RIWAYAT PENGOBATAN :
 Pasien sudah mengkonsumsi minum obat penurun panas dan batuk yang
didapat di apotek, tetapi keluhan tidak membaik.
RIWAYAT ALERGI :
 Obat-obatan (-), Makanan (-)
RIWAYAT KEBIASAAN :
 Kebiasaan merokok disangkal, tetapi suami pasien merokok dirumah (1
bungkus/hari)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda Vital
BP : 110/70mmHg
HR : 90x/menit
RR : 20x/menit
T : 37.0oC
Antropometri
BB : 55 kg
TB : 150 cm
IMT : 20.8 (normal weight)

Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata


Mata : Reflek cahaya (+/+), pupil isokhor, sklera ikterik (-/-),
konjungtiva anemis (+/+)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), epistaksis (-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
Kesimpulan : Dalam Batas Normal (DBN)

Paru Jantung

Inspeksi : Pergerakan dinding dada Inspeksi :Ictus cordis tidak


simetris KA = KI, Retraksi dinding dada (-) terlihat
Palpasi : Vocal fremitus menurun Palpasi :Ictus cordis teraba
Perkusi : Sonor pada kedua lapang Perkusi Batas atas : ICS III linea
paru parasternalis dextra
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Batas kanan : ICS IV linea parasternalis
Ronkhi (-/-), wheezing(+/+) dextra
Batas kiri : ICS IV linea
midclavicularis sinistra
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II
regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, scar (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 13x/menit
Palpasi : Nyeri tekan dan defans muskular tidak dijumpai
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement tidak di jumpai
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen
 Ekstremitas
Akral hangat (-/-/-/-)
CRT < 2 dtk

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hb 9.5 11.7 – 15.5 g/dl

Leukosit 7.72 3.60 – 11.00 10^3/l

Hematokrit 27 35 - 47 %

Trombosit 173 150-440 10^3/l

Eritrosit 3.05 3.80 – 5.20 10^6/l

MCV 90 80-100 Fl

MCH 31 26-34 Pg

MCHC 35 32-36 g/dl


Hasil Nilai Rujukan Satuan

Kreatinin 2.0 < 1.4 mg/dL


Darah

Glukosa 141 3.5 – 5.0 mg/dL


Darah
Sewaktu

Resume

Ny. E, 66 tahun datang ke IGD RSIJCP dengan keluhan dyspneu sejak 6


jam SMRS. Dyspneu sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS, dan memberat
dalam beberapa hari terakhir dan diperberat bila beraktifitas. Dyspneu disertai
dengan keluhan batuk berdahak, dengan warna dahak kekuningan, darah (-), batuk
dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga merasakan febris. Febris dirasakan
naik turun dan hilang dengan obat penurun panas. Pasien mengaku hal ini sudah
pernah dirasakan, dan keluhan ini yang kedua kalinya dalam satu tahun terakhir.

Tanda Vital : BP, HR, T : 37.0oC, RR (normal).

PemFis : Vocal fremitus menurun, wheezing(+/+)

Pemeriksaan Penunjang : hb rendah (+), hematokrit turun (+),


kreatinin darah meningkat (+)

Daftar Masalah

 Dyspneu + batuk berdahak e.c PPOK eksaserbasi akut

 Febris + batuk berdahak e.c Bacterial Infection


Assessment

1. Sesak

S: Sesak sejak 6 jam SMRS, sesak sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS, dan
memberat dalam beberapa hari terakhir dan diperberat bila beraktifitas.

O: Tanda Vital : BP : 110/70, HR : 90x, RR 20x , T : 37.0oC.

A: Dyspneu e.c PPOK eksaserbasi akut

P: - O2 Via nasal kanul 2-3 liter

- Nebu Combivent /8 jam

- Metilprednisolone 8 mg 3x1

- Ranitidine inj 2x1

2. Batuk Berdahak + Febris

S: Keluhan sesak disertai batuk berdahak, dengan warna dahak kekuningan, darah
(-), batuk dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga merasakan febris. Febris
dirasakan naik turun dan hilang dengan obat penurun panas.

O: Tanda Vital : BP : 110/70, HR : 90x, RR 20x , T : 37.0oC.

A: Febris + batuk berdahak e.c Bacterial Infection

P: - Ceftriaxone 1 x 2gr IV

- Ambroxol tab 3x1 PO


TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat ditangani,
yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan
aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang
biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.

EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian
karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

• Pertambahan penduduk

• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an


menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

• Industrialisasi

• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

KLASIFIKASI

A.Bronkitis Kronik

Bronkitis Kronik adalah inflamasi kronik pada mukosal bronkial yang


menyebabkan gejala batuk kronik berdahak untuk 3 bulan pada setiap 2 tahun
berturut-turut.
B. Emfisema

Emfisema adalah penyakit kronis akibat kerusakan kantong udara atau alveolus
pada paru-paru.

FAKTOR RISIKO

1. Asap tembakau
Termasuk rokok, pipa, cerutu, pipa air dan jenis lain rokok di berbagai
negara
2. Populasi udara dalam ruangan
Bahan bakar biomassa untuk memasak dan memanaskan di tempat tinggal
yang berventilasi buruk, faktor resiko khususnya mempengaruhi wanita di
negara berkembang
3. Polusi udara luar ruangan
Juga berkontribusi terhadap beban total paru-paru dari partikel yang
dihirup, meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dari PPOK
4. Paparan pekerjaan
Termasuk debu organik dan non-organik, agen kimia dan uap, merupakan
faktor resiko yang kurang dihargai untuk PPOK
5. Faktor genetik
Seperti defisiensi dari alpha-1 antitrypsin (AATD)
6. Usia dan jenis kelamin
Penuaan dan wanita meningkatkan resiko PPOK
7. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru selama
gestasi dan anak-anak (BBLR, infeksi pernapasan, dll) memiliki potensi
untuk meningkatkan resiko individu terhadap PPOK
8. Status sosio ekonomi
Ada bukti kuat bahwa risiko pengembangan PPOK berbanding terbalik
dengan sosial ekonomi. Tidak jelas, namun apakah pola ini mencerminkan
paparan polutan udara dalam dan luar ruangan, crowding, nutrisi yang
buruk, infeksi atau faktor-faktor lain yang terkait dengan status sosial
ekonomi rendah
9. Asma dan hiperreaktifitas jalan napas
Asma mungkin menjadi faktor resiko untuk perkembangan dari
terbatasnya aliran udara dan PPOK
10. Infeksi
Riwayat infeksi pernapasan berat saat anak-anak telah dihubungkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernapasan pada
dewasa
PATOGENESIS

Peradangan saluran nafas yang diamati pada pasien PPOK muncul menjadi
respon modifikasi inflamasi normal saluran nafas terhadap iritan kronik sperti
asap rokok. Mekanisme yang memperjelas peradangan ini masih belum diketahui
tetapi mungkin, setidaknya sebagian ditentukan oleh genetic. Meskipun sebagian
pasien menjadi tanpa merokok, sifat respon inflamasi pada pasien juga masih
belum diketahui. Stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru mungkin
akan mengubah peradangan paru lebih lanjut. Bersamaa, mekanisme ini akan
mengarah ke karakteristik perubahan patologikal pada PPOK. Perdangan paru
akan bertahan setelah berhenti merokok melalui mekanisme yang belum
diketahui, meskipun autoantigen dan perturbation yang mungkin berperan.
Mekanisme yang sama mungkin terjadi pada penyakit kronik secara bersamaan.

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,


metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:

 Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke


perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama
 Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah
 Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
Stress Oksidatif. Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penting
yang memperkuat PPOK. Biomarker stress oksidatif (Misal, hydrogen peroksida,
8-isoprostane) akan meningkat dalam kondensat nafas ekspirasi. Stress oksidatif
juga meningkat ketika terjadi eksasebasi. Keduanya adalah oksidan yang
dihasilkan dari asap rokok dan inhalasi partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel
inflamasi aktif seperti makrofag dan neutrophil. Mungkin ada pengurangan anti
oksidan endogen pada PPOK sebagai hasil dari reduksi pada tingkat fakto
transkripsi Nrf2 yang meregulasi banyak gen antioksidan.

Imbalance Protease-antiprotease. Terdapat bukti yang meyakinkan untuk


ketidakseimbangan pada paru pasien PPOK antara protease yang merusak
komponen jaringan ikat dan antiprotease yang yang mengimbangi aksi ini.
Peningkatan level bebarapa protease, berasal sel inflamasi dan sel epitel, telah
diamati pada pasien PPOK. Terdapat peningkatan yang nyata bahwa protease
mungkin berinteraksi satu sama lainnya. Penghancuran yang dimediasi protease
dari elastin. Sebagian besar komponen jaringan ikat di parenkim paru dipercaya
merupakan ciri penting pada emfisema tetapi mungkin lebih sulit untuk
menentukan perubahan jalan napas.

Sel Inflamasi. PPOK dikarakteristikan dengan peningkatan jumlah makrofag


pada jalan napas perifer, parenkim paru dan pembuluh paru, bersamaan dengan
pengingkatan neutrophil aktif dan peningktan limfosit termasuk sel Tc1,
Th1,Th17, dan ILC3. Pada beberapa pasien mungkin terjadi peningkatan
eosinophil, sel Th2 dan ILC2 dimana terdapat tumpeng tindih dengan klinis asma.
Semua sel inflamasi ini, bersamaan dengan sel epithelial dan struktur sel lainnya
melepaskan mediator inflamasi multiple. Penelitian terbaru mengatakan bahwa
difisiensi IgA local dapat dihubungakan dengan translokasi bacterial, peradangan
saluran napas kecil dan perbaikan jalan napas.
Mediator Inflamasi. Berbagai maca mediator menunjukkan peningkatan pada
pasien PPOK yang menarik sel peradangan dari sirkulasi (chemotactic factor),
memperkuat proses inflamasi (proinflammatory cytokines), dan memicu
perubahan structural (growth factor).

Fibrosis peribronkiolar dan interstisial. Kekeruhan fibrosis peribronkiolar


dan interstisial telah dilaporkan pada pasien PPOK atau mereka perokok tanpa
gejala. Produksi berlebih growth factor mungkin dapat ditemukan pada perokok
atau mereka yang pernah mengalami peradangan saluran napas yang menderita
PPOK. Perdangan mungkin didahului perkembangan fibrosis atau cedera berulang
pada dinding jalan napas itu sendiri yang mungkin mengarah keproduksi berlebih
otot dan jaringan fibrosis. Hal ini mungkin merupakan factor yang berkontribusi
terhadap perkembangan pembatasan jalan napas dan akhirnya obliterasi dapat
didahului perkembangan emfisema.

Perbedaan pada peradangan PPOK dan Asma. Meskipun kedua PPOK dan
asma berhubngan dengan peradangan kronik jalan napas, terdapat perbedaan pada
sel inflamasi dan mediator yang terlibat pada kedua penyakit ini. Beberapa pasien
PPOK memiliki ciri yang konsisten dengan asma dan dan mungkin memiliki pola
inflamasi campuran dengan peningkatan eosinophil.

ALUR DIAGNOSIS

DIAGNOSIS

A. Anamnesis
- Riwayat merokok
- Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja atau lingkungan
- Riwayat penyakit dahulu : asma, alergi, sinusitis, polip hidung.
- riwayat keluarga dengan PPOK atau penyakit pernapasan kronil lainnya.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, infeksi saluran napas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
B. Pemeriksaan fisis
• Inspeksi
- lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah,
- sela iga melebar
• Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
- letak diafragma rendah,
- hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % .
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin

Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi Foto

toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada
emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

DIAGNOSIS BANDING PPOK

 Asma
 SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
 Pneumotoraks
 Gagal Jantung Kronik
 Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan
di Indonesia, karena diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.

Table 1 Perbedaan Asma, PPOK, SOPT


Asma PPOK SOPT
Timbul pada usia muda ++ - +
Sakit mendadak ++ - -
Riwayat merokok +/- +++ -
Riwayat atopi ++ + -
Sesak dan mengi berulang +++ + +
Batuk kronik berdahak + ++ +
Hipereaktifitas bronkus +++ + +/-
Reversibility obstruksi ++ - -
Variability harian ++ + -
Eosinophil sputum + - ?
Neutrophil sputum - + ?
Makrofag sputum + - ?

PENATALAKSANAAN

Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus
dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari
asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktiviti optimal

4. Meningkatkan kualiti hidup

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK


ditegakkan

2. Pengunaan obat - obatan

- Macam obat dan jenisnya

- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )


- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )

- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan

- Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat yang meningkatkan FEV1 dan / atau mengubah


variabel spirometri lainnya. Bronkodilator jugaa bertindak dengan mengubah
tonus otot polos jalan napas dan perbaikan dalam aliran ekspirasi dengan
pelebaran saluran udara dibandingkan perubahan pada elastisitas paru.
Bronkodilator cenderung mengurangi hiperinflasi dinamis saat istirahat dan
selama berolahraga dan meningkatkan kinerja olahraga. Tingkat perubahan ini,
terutama pada pasien dengan COPD parah dan sangat parah, tidak mudah untuk
diprediksi dari peningkatan FEV1 yang diukur saat istirahat.
Kurva dosis-respons bronkodilator (perubahan FEV1) relatif datar dengan semua
kelas bronkodilator. Meningkatkan dosis beta-agonis atau antikolinergik
berdasarkan urutan besarnya, terutama ketika diberikan oleh nebulizer, tampaknya
memberikan subjektif manfaat pada episode akut tetapi tidak selalu membantu
pada penyakit stabil. Obat-obatan bronkodilator pada PPOK paling sering
diberikan secara teratur untuk mencegah atau mengurangi gejala. Toksisitas juga
terkait dosis. Penggunaan bronkodilator kerja singkat secara teratur biasanya tidak
dianjurkan. Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat
tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator


juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,


terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

Kortikosteroid

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

Sebagian besar penelitian telah menemukan bahwa perawatan rutin dengan


ICS saja tidak mengubah penurunan FEV1 jangka panjang atau mortalitas pada
pasien dengan PPOK. Studi dan meta-analisis menilai efek perawatan reguler
dengan ICS pada mortalitas pada pasien dengan COPD belum. memberikan bukti
manfaat konklusif. Dalam uji coba TORCH, tren ke arah kematian yang lebih
tinggi diamati untuk pasien yang diobati dengan fluticasone propionate saja
dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo atau salmeterol plus
kombinasi fluticasone propionate. Namun, peningkatan mortalitas tidak diamati
pada COPD. pasien yang diobati dengan fluticasone furoate dalam Survival di
Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan Peningkatan Resiko Kardiovaskular
(SUMMIT).

Kortikosteroid dikombinasi dengan terapi bronkodilator jangka panjang.


Pada pasien dengan PPOK sedang dan sangat parah dan eksaserbasi,
kortikosteroid yang dikombinasikan dengan LABA lebih efektif daripada kedua
komponen itu sendiri dalam meningkatkan fungsi paru-paru, status kesehatan dan
mengurangi eksaserbasi.
Inhibitor Phosphodiesterase-4 (PDE4)

Tindakan utama inhibitor PDE4 adalah untuk mengurangi peradangan


dengan menghambat pemecahan AMP siklik intraseluler. Roflumilast adalah obat
oral sekali sehari tanpa obat bronkodilator langsung. Roflumilast mengurangi
eksaserbasi sedang dan berat yang diobati dengan kortikosteroid sistemik pada
pasien dengan bronkitis kronis, PPOK berat hingga sangat parah, dan riwayat
eksaserbasi. Efek pada fungsi paru-paru juga terlihat ketika roflumilast
ditambahkan ke bronkodilator kerja lama dan dalam pasien yang tidak
dikendalikan pada kombinasi LABA / ICS dosis tetap. Efek menguntungkan dari
roflumilast telah dilaporkan lebih besar pada pasien dengan riwayat rawat inap
sebelumnya untuk eksaserbasi akut. Belum ada penelitian yang secara langsung
membandingkan roflumilast dengan kortikosteroid inhalasi.

Inhibitor PDE4 memiliki efek yang lebih buruk daripada obat yang dihirup
untuk PPOK. Yang paling sering adalah diare, mual, nafsu makan berkurang,
penurunan berat badan, sakit perut, gangguan tidur, dan sakit kepala. Efek buruk
telah menyebabkan peningkatan tingkat penarikan dari uji klinis. Efek buruk
tampaknya terjadi lebih awal selama pengobatan, bersifat reversibel, dan
berkurang seiring waktu dengan pengobatan lanjutan. Dalam studi terkontrol,
penurunan berat badan rata-rata 2 kg yang tidak dapat dijelaskan telah terlihat dan
pemantauan berat selama pengobatan disarankan, selain menghindari pengobatan
roflumilast pada pasien dengan berat badan kurang. Roflumilast juga harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan depresi.

Antibiotik

Penggunaan antibiotik secara terus-menerus tidak berpengaruh pada


frekuensi eksaserbasi pada PPOK dan penelitian yang meneliti kemanjuran
chemoprophylaxis yang dilakukan pada bulan-bulan musim dingin selama periode
5 tahun menyimpulkan bahwa tidak ada manfaat. Lebih baru penelitian telah
menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara teratur dapat mengurangi laju
eksaserbasi.
Azitromisin (250 mg / hari atau 500 mg tiga kali per minggu) atau
eritromisin (500 mg dua kali per hari) selama satu tahun pada pasien yang rentan
terhadap eksaserbasi mengurangi risiko eksaserbasi dibandingkan dengan
perawatan biasa. Penggunaan azitromisin dikaitkan dengan peningkatan insidensi
resistensi bakteri dan gangguan pendengaran. Analisis pasca-hoc
menunjukkan manfaat yang lebih rendah pada perokok aktif. Tidak ada data
yang menunjukkan kemanjuran atau keamanan pengobatan azitromisin kronis
untuk mencegah eksaserbasi PPOK setelah satu tahun pengobatan. Terapi dengan
moxifloxacin (400 mg / hari selama 5 hari setiap 8 minggu) pada pasien dengan
bronkitis kronis dan seringnya eksaserbasi tidak memiliki efek yang
menguntungkan pada tingkat eksaserbasi secara keseluruhan.

Mucolytic (mucokinetics, mucoregulators) and antioxidant agents (NAC,


carbocysteine)

Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi,


perawatan rutin dengan mukolitik seperti karbosistein dan N-asetilsistein dapat
mengurangi eksaserbasi dan sedikit meningkatkan status kesehatan. Karena
heterogenitas populasi yang diteliti, dosis pengobatan dan pengobatan bersamaan,
saat ini data yang tersedia tidak memungkinkan satu pun. untuk mengidentifikasi
secara tepat target populasi potensial untuk agen antioksidan dalam PPOK.

Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan


kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen

- Mengurangi sesak

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal


- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi

- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan ulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea,
penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.


Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak


Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan
stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di
atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen

- Nasal kanul

- Sungkup venturi

- Sungkup rebreathing

- Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.

Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di
ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

- ventilasi mekanik dengan intubasi

- ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa
intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative
Pessure Ventilation (NPV).

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah


sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :

- Gagal napas yang pertama kali

- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki,
misalnya pneumonia

- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :

- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan


pergerakan
abdominal paradoksal

- Frekuensi napas > 35 permenit

- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)

- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)

- Henti napas

- Samnolen, gangguan kesadaran

- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)

- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,


barotrauma,
efusi pleura masif)

- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV


PENCEGAHAN

1. Mencegah terjadinya PPOK

• Hindari asap rokok

• Hindari polusi udara

• Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK

• Berhenti merokok

• Gunakan obat-obatan adekuat

• Mencegah eksaserbasi berulang

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
 Gagal napas kronik
 Gagal napas akur pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
 Jaga keseimbangan Po2 dan Pco2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis


 Sputum bertambah dan purulent
 Demam
 Kesadaran menurun
Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan


terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah.

Kor Pulmonal

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)., 2018. Global
Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.

Pedoman Diagnosa dan Penatalaksaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik oleh


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai