Seprti biasa, dia berjalan mengitari hari yang hampir saja senja.
Entah apa yang berusaha Dia
temukan.yang jelas,ini hampir menjadi rutinitasnya.hingga Dia hampir lupa, jika malam telah memanggilNya untuk kembali keperaduan. Sepertinya ada ketakutan tentang esok yang masih samar, ketakutan akan sejarah hidup yang mungkin saja berakhir bersama dengan hilangnya rona sunset, yang membuatnya tetap disitu hingga tepi terakhir dari tiap senja yang dilewtinya. Aku hendak bertanya, tentang waktu yang Dia lewati bersama senja, tapi,, setiap kali kekuatan ku muncul untuk bertanya, sepertinya Dia telah tersadar oleh panggilan malam. aku ingin sepertiNya, tapi aku sendiri tidak tau, adakah sesuatu yang membut aku kuat mengitari hari yang hampir senja… satu jawaban yang ku kira telah ku mengerti, ketika Dia katakan, “Sunset itu Indah ya…: dan aku juga katakan “Iya… memang indah”. Akhirnya ku paksakan menanti, menemani senja, berharap bisa merasakan yang Dia rasakan, berharap temukan yang ingin di temukanNya. Seakan ingin berkata, aku telah merasakan sebelum engkau rasakan, aku telah temukan sebelum engkau temukan. Dalam kesendirian, aku di kejutkanNya, sambil tersenyum dan berkata, “sudahlah,, seharusnya Sunset itu memang indah”. Seakan melihat kesia – siaan atas semua yang ku lakukan. Seorang Gadis kecil yang asik bermain dengan hempasan ombak tiba – tiba berbalik, dan tertawa kearahku. Seakan paham akan kata yang baru saja ku dengar… “ Ya TUHAN…” refleks mengantar ku bergerak memegang pergelangan gadis kecil itu. Hempasan ombak hampir saja menyeretnya. “ Terima kasih mas “… Aku perhatikan bibir mungil gadis kecil itu, tapi tak bergerak sama sekali. Hanya tarikan nafas begitu cepat yang aku saksikan. Seolah merasa ketakutan yang luar biasa. Sepasang tangan yang tertutup hingga pergelangan menyentuh bahu gadis kecil itu dengan lembut, seolah tak terasa oleh gadis kecil yang mungil itu. Sepasang mata bening dengan hiasan Alis tebal yang melengkung indah menatapku. Kaku, Gugup, Mimpi, atau apalah namanya. Aku tak bisa berkata apa – apa bahkan menjawabnya. Hingga kusaksikan Giginya yang Putih dan tersusun rapi ketika ia mengulang kata yang kukira dari bibir mungil gadis kecil itu... hambusan angin pantai dan hempasan ombak menyadarkan seolah menegurku... ” nikmatilah milikmu sendiri”. Lalu ia berbalik dan melangkah setelah ku membalas ucapan terimkasihnya. Sepertinya itu yang membuatnya lama berdiri dalam ke tak berdayaanku. Hanya helai kain yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya yang membuatku mengenalnya suatu saat. Begitu serasi dengan rona Sunset. Aku lalu mengitari waktu yang ku anggap terbuat untukku, atau juga ku buat sendidri. Entahlah,,,,, Terlarut dalam dekapan realitas semu, yang kuanggap ada, Terkagum dengan keindahan Sunset, yang sebentar lagi akan hilang dalam dekapan malam, Asik dengan nyanyian hempasan ombak yang hampir saja menelan kehidupan gadis kecil. Terbuai dengan desiran angin nakal, yang menyibakkan pelindung kesucian,,,,,, ”Ahhh... Bagai mana aku akan mencarinya... tanpa nama ia berbalik dan melangkah entah kemana”... Jerit ku. Jeritan pilu atas suatu pencarian diri yang hilang. Jerit kerinduan yang mempertemukan Hawa dan Adam... Jeritan Majnun yang terpisah dari Laila. Ku tilik dari tempat Kukunya tumbuh, hingga tak terlewat sampai tumit. Tumit yang kusaksika ketika ia berbalik meninggalkan ku. Tanah manakah yang mendapat kemuliaan, karena menjadi pijakan tapak Kakinya. Ku ikuti jejak itu, agar ku bisa memastikan bahwa tak ada duri yang mengganggu dan membuatnya sakit, agar ku bisa berterima kasih kepada tiap tanah yang rela jadi pijakannya, dan juga agar ku mendapat percikan Kemuliaan dari tiap tanah yang menjadi jejak Kakinya...Berharap jejak itu kan menuntunku ke arah yang kuinginkan, arah yang disana ku harapkan diriku berada. Hingga tak ku tahu lagi telah berapa senja yang kulewati, hingga ku tak peduli lagi dengan Sunset yang Dia katakan Indah. Dan akhirnya langkahku terhenti, karena tak kulihat lagi Jejak itu. Ku berusaha menyelinap ke balik rerumputan, agar ku bisa menyaksikan Jejak yang kuharap menuntunku ke arahnya... ” Ibu,,, ayah disini,, aku bersamanya,,, aku menemukannya,,, dia bersembunyi di balik poohon ini,,, lihat Bu,, kemarilah... ”. Suara itu sangat dekat denganku. Bahkan Pohon Yang dimaksudnya tepat di belakangku. Kulihat Gadis kecil itu melambai, seperti mengharapkan seseorang mendekatinya. Entah apa namanya,, hanya satu yang kurasakan, seperti mendapat kekuatan baru dalam keletihan. Jantungkupun begitu aktif, hingga detaknya seolah mebisikkan sesuatu. ”itu gadis kecil yang lebih paham darimu tentang Sunset”. Gadis kecil itu mengganti lambaiannya dengan menunjuk ke balik pohon ketika telah berada dalam gendongan Ibunya. ”Ayah memang disitu,, menanti kita, ketika kembali”... suara itu seperti tidak asing bagiku. Yaa... tidak salah lagi.. inilah pemilik kerudung yang serasi dengan rona Sunset. Tapi mana ayah dari gadis yang ada dalam gendongannya. Kenapa ia berjalan kearahku. Ku putari sekelilingku dengan pandangan. Tak ada orang lain selain kami. Kulayangkan pikiranku, mengingat kembali kejadian masa laluku. Tapi tak kudapatkan kejadian yang membuatku amnesia, hingga ku lupa dengan anak dan istriku... :-) Tapi kini Gadis kecil itu telah begitu dekat denganku, hingga kusaksikan dengan jelas. lengkungan Alis indah, menghiasi Mata bening perempuan yang menggendongnya. ” Ayahnya sudah dua tahun disini ” tatapannya jatuh ke samping ku disertai dengan linangan air mata. Tampak jelas, itu linangan air mata kerinduan, linangan Air yang karenanya seluruh mata air iri padanya, hanya karena ia lahir dari kerinduan yang memuncak, sementara Air yang lain, merindukan puncak. Tujuh jengkal dari tempatku berdiri, seonggok batu dikelilingi batu lain yang lebih kecil, bagai struktur Tata Surya. ” ia pergi ketika Belqis baru berumur 1 tahun”... anganku berputar mencari waktu yang ia sebutkan. Dan akhirnya kudapatkan ketika aku sedang asyk dengan tugas kuliah semsester pertengahan. Kuberusaha mengingat wajah rekan – rekan ku saat itu, tapi sampai sekarang mereka masih segar bugar, dan sibuk dengan kerjaan mereka masing – masing... ”sudahlah, mungkin ayah Belqis tidak ada hubungannya dengan saya”, Pikirku. Dalam angan ketak berdayaan ku, sesuatu hadir dlam diriku. Sebuah pertanyaan dan keheranan. Orang yang mendekap Belqis ini begitu belia untuk menjadi seorang Ibu. Tapi apa Sih yang tidak mungkin, bukankah Kemungkina itu selalu ada.. ? Dalam desiran angin sepoi-sepoi, terselip suara yang begitu lembut, hingga tak kurasakan sapuan angin yang bersamanya. ” Sejak Ayah dan Ibunya Pergi, Belqis Menganggapku sebgai Ibu”.. Inilah sosok mulia yang penuh kasih dan cinta yang tak terbatas pada ruang dan waktu, sosok impian para pengagum realitas abadi, sosok penyempurna sayap sayap patah lukisan kahlil gibran, semoga menatap qu dengan isyarat peleburan abadi dalam cawan kemuliaan... ? Sampai akhirnya Dia kutemukan lagi denga Tubuh yang telah bungkuk, Tapi masih terasenyum sambil berkata, Sunset itu Indah ya..... dan Aku tetap saja mengartikannya dengan pemahaman yang dangkal.. Ya... Memang indah. Namun senja itu aku tak menyaksikan Sunset yang dikatakannya indah..Hanya Wanita Beralis Tebal Dengan Mata Bening, Pemilik Kerudung Serona Sunset yang duduk disampingku sambil menatapku dengan senyuman yang membuat iri bidadari penghuni kayangan.. Karena aku memilihnya......SEMOGA...... ?