Anda di halaman 1dari 7

1

Indonesia sebagai negara berkembang telah memasuki fenomena industri


4.0. Sebuah fase dimana bangsa Indonesia dihadapkan beberapa komponen
modernisasi. Salah satu karakteristik yang menghiasi fenomena industri 4.0 adalah
penggabungan otomatisasi dengan teknologi cyber. Hal ini seakan menjadi
fatamorgana khususnya bagi masyarakat yang tidak menyadari bahwa pendidikan
dan wawasan jendela global sangat diperlukan dalam memilih, menganalisis, dan
mengevaluasi beberapa informasi terkini.

Sebagai bangsa yang diwajibkan perlunya memasuki dunia bangku


pendidikan, sudah seharusnya bangsa Indonesia menyadari pentingnya memiliki
integritas dan skill-skill atau kemampuan-kemampuan yang adaptif. Kesadaran
pentingnya memiliki integritas dan skill-skill khusus ternyata tidak hanya
memberikan keuntungan pribadi tetapi juga memunculkan kesejahteraan dan
kesadaran kolektif.

Sudah saatnya lembaga pendidikan layak dijuluki sebagai tenaga pendorong


garda terdepan dalam mencetak generasi emas. Akan tetapi, rencana tersebut telah
dihadapkan masalah kronologis yaitu degradasi moral dan mental. Degradasi moral
dan mental telah mendominasi terjadinya krisis integritas dalam mewujudkan
konsep atau skema diri. Selain krisis mental, kecemasan di dunia pendidikan juga
berpengaruh terhadap kesiapan dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Banyak
siswa yang mendapatkan nilai buruk dalam catatan rekam jejak pendidikan dalam
mata kuliah tertentu, seakan menjadi beban terbesar yang sulit untuk diselesaikan.

Siswa yang mengalami kecemasan akademik (academic anxiety) dalam


mata kuliah atau mata pelajaran tertentu, ternyata lebih menambah kekhawatiran
dirinya akan masa depan dan lebih sulit untuk berjuang menghasilkan nilai rata-rata
normal. Tekanan orang tua dan tenaga pendidik juga turut mempengaruhi kinerja
dalam menyelesaikan kecemasan akademik. Perlunya integritas dan efikasi diri
(self-efficacy) dapat berpartisipasi menurunkan tingkat kecemasan akademik dalam
memenuhi tantangan industri 4.0. Menurut data statistik Bappenas (McKinsey,
2019), kesadaran industri di ASEAN terhadap penerapan 4.0 mencapai 81 %. Data-
data revolusi industri 4.0 yang diolah secara statistik tersebut, ternyata berdampak
pada kesejahteraan psikologis.
2

Menurut (Purba, Marieta, Panggabean, Witasari, & Adiyanti, 2014, p. 9),


dalam kerangka pandang psikologi, kesejahteraan dimaknai lebih dari sekadar
hadirnya kepuasan hidup dan ketiadaan penderitaan, yang lazim dikenal sebagai
kesejahteraan subjektif, melainkan adalah perasaan sejahtera secara mendalam
karena seseorang mampu mengembangkan diri dan menjalankan perannya secara
penuh sebagai pribadi maupun sebagai warga negara sekaligus warga dunia.
Kesejahteraan ini ditandai oleh penerimaan diri atau rasa bermartabat, relasi positif
dengan pihak lain, memiliki akses yang cukup terhadap aneka sumber kehidupan,
memiliki otonomi, memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan mengalami
bertumbuh tanpa pernah putus sebagai pribadi.

Dalam perspektif psikologi, kesejahteraan tersebut akan kurang bernilai


harganya ketika tidak didasari akan pentingnya sebuah integritas diri. Fenomena
revolusi indutri 4.0 juga berpengaruh terhadap integritas diri bagi bangsa Indonesia
dalam dunia bangku pendidikan. Idealnya, para siswa dapat menjalani proses
pembelajaran (baik di kelas maupun ketika mereka belajar sendiri di rumah) dengan
rasa suka cita, menikmati semua aktivitas akademik yang mereka jalani. Namun
dalam kenyataanya, banyak siswa diam-diam mengembangkan kecemasan, takut
tidak bisa memenuhi tuntutan tugas akademik dan memperoleh nilai buruk.
Akibatnya, mereka tidak mampu menjalani proses belajar secara efektif
(Prawitasari, 2006, p. 75).

Malangnya, kondisi kecemasan yang dialami oleh para siswa tersebut


seringkali diperberat oleh sikap dan tindakan orang tua dan guru. Entah disadari
ataupun tidak, banyak orang tua dan juga guru memotivasi anak untuk belajar tetapi
dengan menggunakan ungkapan yang memicu kecemasan. Bagi kebanyakan siswa
yang memiliki rekam jejak jelek dalam prestasi akademik, cara pemberian motivasi
bernada menakuti, justru membuat mereka beralih minat ke bidang lain (pergaulan
sosial, olahraga, atau bahkan ke dalam aktivitas yang digolongkan sebagai nakal
(delinquent activities)) di mana mereka terbebas dari kecemasan (Prawitasari, 2006,
p. 76).

Ketika menghadapi tugas-tugas akademik yang harus dilaksanakan atau


diatasi (termasuk di dalamnya adalah mengerjakan tes atau ujian), terdapat beragam
3

reaksi afektif yang terjadi dalam diri para siswa. Sebagian siswa menunjukkan
reaksi afektif negatif dan sebagian yang lain bereaksi secara positif. Reaksi afektif
negatif dapat berupa kecemasan, kebosanan, dan sering kali diikuti kecenderungan
untuk menjauhi tugas akademik.

Menurut Eccles, Wiegfield, dan Schiefele (Santrock, 2007)


mengemukakan sejumlah variabel yang bisa menjadi sumber timbulnya kecemasan
pada siswa. Pertama, para siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi merupakan
akibat dari ekspetasi orang tua yang tidak realistis atau prestasi yang harus dicapai
anak. Kedua, banyak siswa mengalami peningkatan kecemasan saat mereka naik
kelas, karena menghadapi lebih banyak ulangan, perbandingan sosial, dan sejumlah
pengalaman gagal. Akar dari kecemasan akademik adalah kecakapan diri yang
rendah. Hasil penelitian Csikzentmilhalyi (Meece, 2008) menyimpulkan bahwa ada
tiga kategori respon afektif negatif yaitu kebosanan, kecemasan, dan flow. Flow
adalah keadaan seorang individu yang hanyut atau lebur sepenuhnya dalam
aktivitas yang dikerjakan, segenap perhatian tercurah pada aktivitas tersebut.

Hal-hal tersebut tentu mengganggu pribadi dalam fungsi adaptif era


revolusi industri 4.0 saat ini. Ditambah lagi sulitnya mencari sumber bacaan dan
minat baca orang Indonesia sangat rendah. Berdasarkan (Perpusnas, 2019), harga
buku di daerah yang relatif sulit dijangkau 4x lebih mahal dari daerah-daerah lain
dan hanya 42 % sekolah yang memiliki perpustakaan pada 2017. Menurut
(pendidikan, 2017), satu dari empat penduduk NTB tahun 2017 usia 15 tahun ke
atas tidak mempunyai ijazah. Satu dari delapan penduduk NTB tahun 2017 usia 15
tahun ke atas buta aksara, dan partisipasi anak usia dini (4-6 tahun) mengikuti
pendidikan hanya mencapai 44,93 %.

Berdasarkan analisis tersebut, ternyata terdapat faktor lain yaitu sulitnya


akses dan desentralisasi pembangunan yang tidak merata. Hal ini sungguh
menurunkan kesadaran mengenai revolusi industri. Menurut penelitian dari
www.youthmanual.com, usia 12-22 tahun (lahir pada tahun 1996-2006) disebut
sebagai Gen Z. Gen Z merupakan generasi yang optimis, termotivasi dan berhati-
hati. Tumbuh besar di era pasca-reformasi dan pesatnya perkembangan teknologi.
Keterbukaan informasi membuat Gen Z menjadi generasi yang lebih waspada,
4

sensitif, dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi. Terdapat 27 % Gen Z atau
sekitar 69 juta jiwa dari 261 juta penduduk (BPS, 2015). Kekhawatiran utama
mereka adalah karier masa depan, mandiri, mendapat pekerjaan yang layak, akses
dan sistem pendidikan, dan stabilitas finansial.

Kekhawatiran seperti itu, sudah dipastikan akan menimbulkan krisis


integritas dan kecemasan akademik. Siswa akan cenderung mengalami social
media addiction, yaitu fenomena dimana mereka merasa tertekan saat dilarang
menggunakan media sosial karena media sosial menjadi pelarian dari masalah
dunia nyata. Ketika hal itu terjadi, maka integritas dan efikasi diri menurun. Kata
integritas berarti setia pada prinsip moral dan keadaan utuh tak tergoyahkan. Orang
yang bertindak sesuai prinsip mosral dianggap sebagai orang berintegritas.
Integritas diri selalu berkaitan dengan self construal.

Penjelasan mengenai self construal yang dikemukakan (Kitayama &


Markus, 1991, pp. 98, 224-253), memberi pemahaman mengenai peran pesan
budaya terhadap diri individu. Lebih jauh lagi, konsep ini menjelaskan pengaruh
budaya terhadap konsep tentang diri. Orang negara maju (barat) meiliki SC (self
construal) independen dan orang timur memiliki SC (self construal) interdependen.
Berikut perbedaan keduanya disajikan dalam tabel,

Komponen SC Independen SC Interdependen


Definisi Terpisah dari konteks sosial Terhubung dengan konteks sosial
Struktur Membatasi, independen, stabil Fleksibel, berubah-ubah
Ciri Khas Internal, pribadi (kemampuan, Eksternal, publik (status, peran,
pemikiran, perasaan) hubungan)
Tugas Menjadi unik, Terlibat, menjadi sesuai,
mengekspresikan diri, menempati tempat yang tepat,
merealisasikan diri, menggunakan aksi tepat,
mempertimbangkan tujuan mempertimbangkan tujuan orang
sendiri, dan terus terang. lain, dan tidak terus terang.
Sumber : (Kitayama & Markus, 1991)
5

Penjelasan tersebut dipahami bahwa makna diri dikonseptualisasikan


sebagai bagian dari self schemata. Self schemata adalah generalisasi kognitif
mengenai diri, diturunkan dari pengalaman masa lalu, yang mengorganisasi dan
memandu pengolahan informasi terkait diri yang dikandung dalam pengalaman
sosial. Akan tetapi, bagi masyarakat Indonesia mereka sulit dikategorikan sebagai
independen atau interdependen. Masyarakat Indonesia berusaha menjaga harmoni
kelompok tetapi tetap ingin dirinya sukses dan merasa bertanggung jawab atas
susah senangnya diri sendiri. Mereka menghormati keputusan kelompok tetapi juga
merasa nyaman menjadi pribadi yang unik.

Tampaknya self construal relasional yang dominan di Indonesia. Mereka


melakukan hal itu tidak atas dasar pesan budaya yang mereka terima secara umum,
melainkan tergantung pada situasi di mana mereka berada. Diri orang indonesia
lebih bersifat situasional dan bergantung pada interaksi yang intensif pada tempat
dan kurun waktu tertentu. Kaitan ini dengan ranah pendidikan, orang indonesia
didorong untuk bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan prestasi yang baik.
Mereka didorong untuk belajar tepat waktu, namun mereka juga dinasehati untuk
menjaga hubungan baik dengan orang lain. Ada indikasi siswa mengalami
kebingungan akan konsep diri. Mereka mengaku kadang terpaksa melakukan
tindakan situasional berdasarkan konformitas positif atau negatif agar menjadi
adaptif.

Selain integritas, menurut (Bandura, 1997) mengungkapkan, bahwa


kecakapan diri atau efikasi diri memainkan peran yang sentral bagi timbulnya
kecemasan. Kecakapan diri adalah keyakinan tentang kapabilitas diri untuk bisa
mengatasi tugas yang dihadapi dan mampu mengembangkan situasi yang positif.
Kecakapan diri yang tinggi akan berdampak pada tereduksinya pikiran-pikiran yang
menyakitkan (intrusive aversive thoughts) terkait tugas yang dihadapi dan pada
gilirannya akan terjadi penurunan tingkan kecemasan.

Usaha-usaha yang dilakukan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 di


bidang pendidikan dalam kaitannya dengan integritas dan efikasi diri dalam
tinjauan psikologi adalah :
6

1. Sosialisasi nilai dan penerapannya perlu dilakukan secara mendasar dan


menyeluruh. Mendasar dalam arti dilakukan terhadap individu sejak usia
dini dengan cara pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan.
2. Pemberian tanda yang jelas untuk apa yang baik atau boleh dilakukan agar
tidak terjadi ilusi konformitas, misalnya, siswa yang berani adalah siwa
yang tidak mengerjakan PR.
3. Masyarakat Indonesia perlu memfasilitasi pemaknaan diri yang konstruktif
dan sejalan dengan cita-cita atau arah perkembangan Indonesia yang
diharapkan oleh masyarakat Indonesia.
4. Model pembelajaran yang membimbing, yaitu membangkitkan ketertarikan
intrinsik dan ekstrinsik siswa. Seperti tidak memberikan pengumuman siapa
saja yang mendapat nilai buruk dikelas, namun dengan pendekatan personal
akan lebih terjamin psikis dan kekuatan untuk memperbaiki.
5. Mengembangkan soft skill seperti, pemecahan masalah yang kompleks,
berpikir kritis, inovasi (kreativitas), manajemen sosial dan kecerdasan
emosional.
6. Mengembangkan sikap resilience, merupakan kemampuan individu untuk
tetap mampu bertahan, stabil, dan sehat secara psikologis setelah melewati
peristiwa-peristiwa yang traumatis.

Dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi revolusi industri 4.0 dalam


bidang pendidikan melalui pendekatan psikologis adalah dengan menyadari
pentingya integritas dan efikasi diri. Dengan begitu, kesejahteraan psikologis dapat
dicapai oleh setiap individu dan proses adaptif diri akan lebih optimal. Tidak hanya
masyarakat, peran pemerintah juga diperlukan.
7

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. 1997. Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York : WH.


Freeman

Kitayama, Markus, Tummala, dkk., 1990. Culture and self cognition. Unpublish

Markus, H. 1997. Self-Schemata and Processing Information about The Self.


Journal of personality and social psychology, 35 (2), 63-78. doi:
10.1037/0022-3514.35.2.63

Markus, H. & Wurf, E. 1987. The Dynamic Self-Concept : A Social Psychological


Perspectif. Annual. Review of psychology, 98, 224-253

Purba, Retno D., dkk. 2014. Integritas, Keberbedaan & Kesejahteraan Psikologis
: Kontribusi Psikologi dalam menjawab tantangan masa kini. Jakarta :
HIMPSI

Prawitasari, Johana E. 2012. Psikologi Terapan (melintas batas disiplin ilmu).


Yogyakarta : Erlangga

Santrock, J. W., dkk., 2007. Educational Psychology, Second Canadian Edition.


Toronto: McGraw-Hill Ryerson.

Sarwono, Sarlito W. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Schunk, D.H., Pintrich,. P. R., Meece, J.L. 2008. Motivation in Education,


Theory, Research, and Application. Third Edition. New Jersey : Pearson
education, Inc.

Anda mungkin juga menyukai