Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spondilitis merupakan inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi dan imunitas.
Spondilitis sendiri terbagi atas spondilitis yang penyebabnya tidak spesifik yaitu
Ankylosing Spondylitis dan yang penyebabnya spesifik yaitu Spondilitis
Tuberkulosa.
Ankylosing Spondylitis (AS) adalah suatu gangguan degeneratif yang
dapat menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal tulang belakang,
dihubungkan dengan genetik (antigen leukosit manusia / HLA). Proses pada
cervical, thoracal, dan lumbal dari tulang belakang mempengaruhi diskus
intervertebralis dan facet join. Angka kejadian AS mempengaruhi 0,1-1,0 % dari
populasi dunia. Penyakit ini paling umum pada orang Eropa utara dan paling
lazim banyak ditemukan di Afrika. Ankylosing spondylitis juga merupakan
penyakit rematik sistemik yang dapat menyebabkan peradangan sendi dan
organ-organ lain, seperti jantung, paru-paru, dan ginjal. Ankylosing spondylitis
paling umum pada pria usia muda.
Spondilitis Tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula
dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
pertama kali dideskripsikan oleh Pervical Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Kaoch pada tahun 1882, sehingga etiologi
untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang Belakang


Tulang belakang atau vertebra (columna vertebralis) adalah tulang tak beraturan
yang membentuk punggung yang mudah digerakkan dan merupakan pilar utama tubuh,
dan berfungsi menyangga cranium, gelang bahu, ekstremitas superior dan dinding
thoraks serta melalui gelang pinggul meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior. Di
dalam rongganya terletak medulla spinalis, radik nervi spinalis, dan lapisan penutup
meningen yang dilindungi oleh columna vertebralis. 1,4

Gambar 1. Anatomi columna vertebralis

Columna vertebralis terdiri dari 33 ruas tulang. Tiga bagian diatasnya terdiri dari
24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (vertebra servicalis), 12 tulang thorakal
(vertebra thorakalis) dan 5 tulang lumbal ( vertebra lumbalis), 5 diantranya begabung
membentuk bagian sacral (vertebra sacral), dan 4 tulang membentuk tulang ekor. 1,4

2
1. Vertebra servikal
Secara umum memiiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau procesus
spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek, kecuali tulang ke-2
dan & yang procesus spinosusnya pendek diberi nomor sesuai urutannya dari C1-C7 (C
dari cervikal), namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau
aksis. Setiap mamalia memiliki 7 tulang punggung leher, seberapapun panjang lehernya.
2. Vertebra thorakalis
Prosesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk. Vertebra thorakal
memiliki ruang lingkup yang sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk
thorak, beberapa gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai,
“tulang punggung dorsal” dalam konteks manusia. Bagian ini diberi nomor T1 hingga
T12.
3. Vertebra Lumbalis
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tetap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnnya. Bagian ini memungkinkan gerakan
fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
4. Os Sakral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan tidak
memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
5. Os Coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa celah.
Beberapa hewan memiliki tulang coccyx atau tulang ekor yang banyak, maka dari itu
disebut tulang punggung (kaudal berarti ekor).
Kolumna vertebralis tidak berbentuk lurus lagi tapi melengkung di beberapa
tempat, yaitu :
a) Lordosis servikalis, melengkung dari anterior di daerah servikal
b) Kifosis torakalis, melengkung ke dorsal di daerah thorakal
c) Lordosis Lumbalis, melengkung ke anterior di daerah lumbal
d) Kifosis sakralis, melengkung ke daerah sacral 4

Setiap ruas tulang belakang terdiri dari dua bagian yaitu bagian anterior yang
terdiri dari badan tulang (corpus vertebra), diskus intervertebralis (sebagai artikulasi),

3
dan ditopang oleh ligamentum longitudinale anterior dan posterior. Sedangkan bagian
posterior terdiri dari arcus vertebra. Arcus vertebra merupakan struktur terbesar kaena
fungsinya sebagai penyangga berat tubuh. Arcus vertebra dibentuk oleh dua “kaki” atau
pedikulus dan dua lamina ( berfungsi sebagai pelindung foramen vertebra) serta
didukung oleh penonjolan atau procecus yaitu procesus articularis , procesus transversus
(terletak pada kedua sisi korpus vertebrae, tempat melekatnya otot-otot punggung ), dan
procesus spinosus (bagian posterior yang diraba terasa sebagai tonjolan yang berfungsi
sebagai tempat melekatya otot-otot punggung.
Prosesus tersebut membentuk sebuah lubang yang disebut formaen vertebrale,
yang apabila tulang punggung disusun, foramen ini yang akann memebentuk saluran
tempat terbentuknya sum-sum tulang belakang (medula spinalis). Diantara dua tulang
punggung, dapat ditemui celah yang disebut formaen intervertebrale yang berfungsi
sebagai bantalan bila vertebra bergerak. Terdiri dari annulus fibrosus yaitu massa
fibroelastik yang membungkus nucleus pulposus (caian gel koloid yang mengandung
mukopolisakarida).4
Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus
ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan
columna vertebralis. Ciri fisiknya memungkinkan berfungsi sebagai peredam benturan
bila beban pada columna vertebralis mendadak bertambah, seperti bila seseorang
melompat dari tempat yang tinggi. Daya pegas ini berangsur-angsur menghilang dengan
bertambahnya usia. Discus intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1 dan 2
atau di dalam os sacrum atau os coccygeus. Setiap discus terdiri atas bagian pinggir,
anulus fibrosus, dan bagian tengah yaitu nucleus pulposus.
Anulus fibrosus terdiri atas jaringan fibrocartilago, di dalamnya serabut-serabut
kolagen tersusun dalam lamel-lamel yang kosentris. Berkas kolagen berjalan miring di
antara corpus vertebrae yang berdekatan, dan lamel-lamel yang lain berjalan dalam arah
sebaliknya. Serabut-serabut yang lebih perifer melekat dengan erat pada ligamentum
longitudinale anterius dan posterius columna vertebralis.
Nucleus fibrosus pada anak-anak dan remaja merupakan massa lonjong dari zat
gelatin yang banyak mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang
rawan. Biasanya berada dalam tekanan dan terletak sedikit ebih dekat ke pinggir
posterior daripada pinggir anterior discus. Permukaan atas dan bawah corpus vertebrae

4
yang berdekatan yang menempel pada discus diliputi oleh cartiloago hyalin yang tipis.
Sifat nucleus pulposus yang setengah cair memungkinkannya berubah bentuk dan
vertebrae dapat mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi
dan ekstensi columna vertebralis.

Peningkatan beban kompresi yang mendadak pada columna vertebralis


menyebabkan nucleus pulposus yang semi cair menjadi gepeng. Dorongan keluar dari
nucleus ini dapat ditahan oleh daya pegas anulus fibrosus disekelilingnya kadang-
kadang, dorongan keluar ini terlalu kuat bagi anulus, sehingga anulus menjadi robek
dan nucleus pulposus keluar dan menonjol kedalam canalis vertebralis, tempat nucleus
ini dapat menekan radix nervus spinalis, nervus spinalis, atau bahkan medula spinalis.
Dengan bertambahnya umur, kandungan air di dalam nucleus pulposus
berkurang dan digantikan oleh fibrocartilago, akibatnya anulus tidak lagi berada dalam
tekanan. Pada usia lanjut, discus ini tidak dapat lagi dibedakan antara nucleus dan
anulus.
Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun nucleus pulposusnya
adalah bangunan yang tidak peka nyeri. Bagian yang merupakan bagian peka nyeri
adalah ligamentum disekelilingnya yaitu, Lig. Longitudinale anterior, Lig.

5
Longitudinale posterior, dan Lig. Supraspinosum serta Corpus vertebra dan
periosteumnya juga Articulatio zygoapophyseal.

2.2 Spondylitis
Spondilitis merupakan inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan
oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi dan imunitas. Jika tulang terinfeksi, bagian
dalam tulang yang lunak (sumsum tulang) membengkak. Karena pembengkakan
jaringan ini maka akan menekan dinding sebelah luar tulang yang kaku, maka
pembuluh darah di dalam sumsum bisa tertekan, menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke tulang. Tanpa pasokan darah yang memadai,bagian dari tulang bisa mati.
Tulang yang biasanya terlindung dengan baik dari infeksi, bisa mengalami infeksi
melalui 3 cara:
 Aliran darah
 Penyebaran langsung
 Infeksi darijaringan lunak di dekatnya

2.2.1 Ankylosing Spondylitis (Non-Spesifik)


Ankylosing spondylitis berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ankylot (melengkung)
dan Spondylos (tulang belakang). Ankylosing Spondylitis (AS) adalah penyakit
inflamasi kronis yang terutama menyerang pada persendian kerangka aksial (spine,
sacroiliac joints) dan juga sendi perifer. Kondisi ini ditandai dengan kekakuan
progresif dari sekelompok sendi dan ligamen di tulang belakang, menyebabkan rasa
sakit kronis dan gangguan mobilitas tulang belakang. Jika parah, ankylosing spondylitis
juga dapat menyebabkan fusi (penggabungan) ligamen tulang belakang dengan
cakram/diskus antar vertebra

6
2.2.1.1 Etiologi
Masih belum diketahui secara pasti, namun di duga karena dipenaruhi oleh
faktor genetik, yaitu adanya HLA-B27. Dan penelitian baru-baru ini juga ditemukan
karena adanya gen-gen ARTS1 dan IL23R yang menyebabkan Ankyrosing
Spondylitis(AS) ini.

2.2.1.2 Epidemiologi
AS lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding pada perempuan dan dapat
mengenai semua kelompok umur, termasuk anak-anak, biasanya dimulai dari usia
remaja sampai 40 tahun. AS banyak terjadi pada orang-orang yang mempunyai gen
HLA-B27 dan dengan riwayat penyakit AS dalam keluarga.

2.2.1.3 Patofisiologi
Patologi utama dari Ankylosing spondylitis adalah proses peradangan kronis,
termasuk CD4, CD8, limfosit T dan makrofag. Sitokin, terutama tumor necrosis factor-
α (TNF-α) dan Transforming Group Factor-β (TGF-β), juga penting dalam proses
inflamasi dengan menyebabkan fibrosis dan pengerasan di tempat terjadinya
peradangan.

7
Faktor Genetik

(Memiliki antigen HLA – B27)

Biasanya meyerang tulang rawan dan fibrokartilago sendi pada

Tulang belakang serta ligament-ligamen paravertebral

Diskus intervertebralis juga terinvasi oleh

Jaringan vascular dan fibrosa Jaringan synovial disekitar

Sendi yang terkena

Timbul klasifikasi sendi-sendi


Meradang
Dan struktur artikular

Nyeri pinggang kronik


Klasifikasi yang terjadi pada jaringan lunak akan
dan kaku
Menjembatani antar tulang vertebra (sindesmofit)

2.2.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada AS dibagi menjadi :
1) Manifetasi Skeletal
 Low back pain
 Nyeri dada
 Nyeri tekan pada tempat tertentu
 Nyeri sendi lutut dan bahu

2) Manifestasi Ekstra sekeletal


 Mata
Uveitis anterior akut atau iridocyclitis merupakan manifistasi ekstra
skeletal yang sering dijumpai (20-30%). Permulaannya biasanya akut dan

8
unitateral akan tetapi yang terserang dapat bergantian. Mata tampak merah
dan terasa sakit disertai dengan adanya gangguan penglihatan, kadang-
kadang ditemukan fotopobia dan hiperlakrimasi.
 Jantung
Secara klinis biasanya tidak menunjukkan gejala. Manifestasinya adalah
ascending aortitis, gangguan katup aorta gangguan hantaran kardiomegali
dan perikarditis.
 Paru-paru
Terserangnya paru-paru pada penderita ankylosing spondyttis jarang terjadi
dan merupakan manifestasi lanjut penyakit. Manifestasinya dapat berupa:
fibrosis baru lobus atas yang progresif dan rata-rata terjadi pada yang telah
menderita selarna 20 tahun. Lesi tersebut akhirnya menjadi kista yang
merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan aspergilus.
Keluhan yang dapat timbul pada keadaan ini antara lain: batuk sesak nafas
dan kadang-kadang hemoptisis. Ventilasi paru-paru biasanya masih
terkompensasi dengan baik karena meningkatnya peran diafragma sebagai
kompensasi terhadap kekakuan yang terjadi pada dinding dada. Kapasitas
vital dan kapasitas paru total mungkin menurun sampai tingkat sedang
akibat terbatasnya pergerakan dinding dada. Walaupun demikian residual
volume dan function residual capacity biasanya meningkat.
 Sistem saraf
Komplikasi neurologis pada ankylosing spondylitis dapat terjadi akibat
fraktur,persendian vertebra yang tidak stabil, kompresi atau inflamasi.
Subluksasi persendian atlanto-aksial dan atlanto-osipital dapat terjadi akibat
inflamasi pada persendian tersebutsehingga tidak stabil. Kompresi termasuk
proses osifikasi pada ligamentum longitudinal posterior akan mengakibatkan
terjadinya mielopati kompresi lesi destruksi pada diskus intervertebra dan
stenosis spinal. Sindrom cauda equina merupakan komplikasi yang jarang
terjadi tetapi merupakan keadaan yang serius. Sindrom ini akan menyerang
saraf lumbosakral dengan gejala-gejala incontinentia urine et alvi yang
berjalan perlahan-lahan, impotensi, saddle anesthesia dan kadang-kadang
refleks tendon achiles menghilang. Gejala motorik biasanya jarang tirnbul

9
atau sangat ringan. Sindrom ini dapat ditegakkan dengan bantuan
pemeriksaan CT scan atau MRI. Apabila tidak ditemukan lesi kompresi,
maka perlu dipikirkan kemungkinan perlengketan pada selaput arachnoid.
 Ginjal
Nefropati (lgA) telah banyak dilaporkan sebagai komplikasi ankylosing
spondylitis. Keadaan ini khas ditandai oleh kadar IgA yang tinggi pada
93% kasus disertai dengan gagal ginjal 27%.

2.2.1.5 Penegakan Diagnosis


a) Anamnesis
Sangat penting untuk diketahui adanya Low back pain dan riwayat keluarga
dengan AS. Penilaian status neurologis yang sederhana dan mudah dapat
menggunakan skala Frankel, yaitu:
Frankel A : Defisit neurologi yang komplit.
Frankel B : Hanya terdapat fungsi sensorik pada distal cedera
Frankel C: Sebagian motorik nonfungsional pada distal cedera
Frankel D: Motorik fungsional pada distal cedera
Frankel E: Normal

b) Pemeriksaan Fisik
1. Sikap/postur tubuh
Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang.
Lordosis lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal. Apabila
vertebra cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta
menimbulkan rasa nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke depan
dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara penderita diminta berdiri tegak,
apabila terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada dinding.
2. Mobilitas tulang belakang
Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak.
Biasanya ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra
lumbal, yang dapat dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke
depan, ke samping dan ekstensi. Tes Schober atau modifikasinya, berguna

10
untuk mendeteksi keterbatasan gerak fleksi badan ke depan. Caranya:
penderita diminta untuk berdiri tegak pada prosesus spinosus lumbal V
diberi tanda (titik), kemudian l0 cm lurus di atasnya diberi tanda kedua.
Kemudian penderita diminta melakukan gerakan membungkuk (lutut tidak
boleh dibengkokkan). Pada orang normal jarak kedua titik tersebut akan
bertambah jauh, bila jarak kedua titik tersebut tidak mencapai 15 cm, hal
ini menandakan bahwa mobilitas tulang vertebra lumbal telah menurun
(pergerakan vertebra lumbal mulai terbatas). Di samping itu fleksi lateral
juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan
menimbulkan rasa sakit.

3. Ekspansi dada
Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai
pada kasus ankylosing spondylitis stadium dini dan jangan dianggap sebagai
stadium lanjut. Pada pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai normalnya
sangat bervariasi dan tergantung pada umur dan jenis kelamin. Sebagai
pedoman yang dipakai adalah : ekspansi dada kurang dari 5 cm pada
penderita muda disertai dengan nyeri pinggang yang dimulai secara
perlahan-lahan, harus dicurigai mengarah adanya ankylosing spondylitis.
Pengukuran ekspansi dada ini diukur dari inspirasi maksimal sesudah
melakukan ekspirasi maksimal.
4. Sacroilitis
Pada sacroilitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan tetapi
hal ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium lanjut
sering kali tanda-tanda ini tidak ditemukan. Pada stadium lanjut tidak
ditemukan nyeri tekan pada sendi sacroiliaca oleh karena telah terjadi
fibrosis atau bony ankylosis.

11
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan laju endap darah meningkat pada 75% kasus, tetapi
hubunganya dengan keaktifan penyakit kurag kuat. Serum C-Reactive Protein
(CRP) lebih baik digunakan sebagai petanda keaktifan peyakit. Peningkatan IgA
terkadang dapat ditemukan. Faktor rheumatoid dan ANA selalu negatif. Cairan
sendi memberikan gambaran sama pada proses inflamasi. Pada 15% kasus
ditemukan anemia normositik normositer ringan. Pemeriksaan HLA B27 dapat
digunakan sebagai pembantu diagnosis.
2. Radiologi
Kelainan radiologi yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi axial,
terutama pada sendi sakroiliaka, diskovertebral, apofisial, kostovertebra, dan
kostotransversal. Perubahan pada sendi SA bersifat bilateral dan simetrik,
dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkondral, diikuti erosi yang
memberikan gambaran mirip pinggir perangko pos. Kemudian, terjadi
penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan osilikasi.
Setelah beberapa tahun, terjadi ankilosis yang komplit. Beratnya proses
sakroilitis terdiri dari lima tingkatan berdasarkan radiologis yaitu tingkat 0

12
(normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2 (tingkat 1 ditambah
adanya sclerosis periarticuler, jembatan sebagai tulang atau pseudo widening),
tingkat 3 (tingkat 2 ditambah adanya erosi dan jembata tulang), serta tingkat 4
(ankilosis yang lengkap).
Gambaran squaring (segi empat sama sisi) akan terlihat pada kolumna vertebra
dan osifikasi bertahap lapisan superficial annulus fibrosus yang akan
mengakibatkan timbulnya jebatan diantara vertebra yang disebut sindesmofit.
Apabila jembatan ini sampai pada vertebra cervical, akan membentuk bamboo
spine.
Keterlibatan sendi panggul memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi
yang konsentris, ketidakteraturan subkondral, serta formasi osteofit pada sendi
luar permukaan sendi, baik pada acetabulum maupun femoral. Akhirnya terjadi
ankilosis tulang dan memperlihatkan penyempitan celah sendi dengan erosi.

Gambar A. Frontal lumbar radiograph shows typical syndesmophytes bridging the intervertebral
disc spaces (arrows). This gives the vertebral column a distinct “bamboo” appearance. 1

13
Gambar B. Lateral lumbar radiograph shows the delicate anterior syndesmophytes (arrows).
Note the squaring of the disc margins of the vertebral bodies 1

Gambar C. Lateral cervical radiograph shows complete ankylosis anteriorly as well as of the
facet joints posteriorly 1

Gambar D. Pelvic radiograph shows ankylosis of the sacroiliac joints in a symmetric manner,
typical of this disease.1

14
Gambar 4. Ankylosing Spondylitis, Marginal symmetric syndesmophytes

Gambra 5. Ankylosing Spondylitis Bilateral Symmetric Sacroiliac Joint Sclerosis And Erosions
3. Tes darah rutin
4. Tes HLA-BR27

15
2.2.1.5 Tatalaksana
a. Non medikamentosa:
- Mobilitas yang baik dan teratur (olahraga dan latihan)
Latihan fisik perlu dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi kelainan
berupa fleksi spinal yang progresif. Oleh karena itu otot-otot ekstensor spinal
harus diperkuat. Manuver lain yang perlu dilakukan adalah bernafas dalam dan
gerakan fleksi lumbal yang isometric. Posisi postur tubuh harus diperhatikan
setiap saat. Kursi dengan sandaran yang kerasn dianjurkan, tetapi diutamakan
lebih banyak berjalan daripada duduk. Berenang merupakan laitihan fisik terbaik
selama otot-otot masih boleh menahan dalam keadaan ekstensi. Penderita
dianjurkan setiap saat tegak seolah-olah tumit, bokong, pundak, bahu dan
belakang kepala selalu bersandar kedinding.
- Radioterapi
- Tindakan Pembedahan
Pembedahan mungkin dibutuhkan dalam beberapa kasus SA. Mekanisme yang
menyababkan terjadinya osifikasi ligamen dan sendi sehingga terjadi fusi pada
columna vertebrae belum dijelaskan secara rinci. Sebagai dampak dari fusi
kolumna vertebrae ini terjadi keterbatasan dalam gerakan dan elastisitas.
Menurunnya fleksibilitas dan mengakibatkan terjadinya berbagai kelainan pada
tulang belakang seperti fraktur dan dislokasi, atlanto-axial dan atlanto-occipital
subluxation, deformitas tulang belakang, stenosis tulang belakang, dan kelainan
panggul. Ketika komplikasi ini terjadi. Tindakan pembedahan mungkin dapat
dibutuhkan.
b. Medikamentosa
- OAINS
Obat yang biasa digunakan, yaitu: indometacyn, naproxen amaupun
ibuprofen. Dosis Indometacyn untuk dewasa yaitu 100-150 mg/hari dalam
dua atau tiga dosis. Sedangkan untuk anak-anak 1,5-3 mg/kg BB/ hari dalam
dua atau tiga dosis
- Sulfasaladzin
Mekanisme obat ini mengurangi gejala-gejala inflamasi dan ankylosing
spondylitis, dengan dosis untuk dewasa 2-3 gram/hari dibagi dalam dua atau

16
tiga dosis. Sedangkan uttuk anak-anak 40-60 mg/kg BB/hari diabgi dalam
duat atau tiga dosis. Efek sampingnya yaitu mual, muntah diare, dan timbul
reaksi hipersensitivitas. Kontraindikasi obat ini pada orang yang mempunyai
riwayat hipersensitivitas dan prophyria

2.2.1.7 Prognosis
Pada umunya prognosis untuk Ankylosing Spondylitis berlangsung baik
dengan pemberian obat anti inflamasi nonsteroid secara berkala. Cacat fisik parah
tidak umum di antara pasien dengan AS, namun masalah mobilitas terjadi pada sekitar
47% pasien. Cacat ini berkaitan dengan durasi penyakit, perifer arthritis, usia yang lebih
muda saat onset gejala, dan penyakit sistemik lainnya. Kematian dapat terjadi pada
penyakit yang sudah lama dan telah terjadi komplikasiyang parah pada manifestasi
ekstra artikular.

2.2.2 Spondylitis Tuberkulosis (Spesifik)


Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease of the spine adalah infeksi yang
kronik dan dekstruktif pada vertebra yang disebabkan oleh basil tuberkulosis yang
menyebar secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru paru.
Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Lesi
biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula pada 3 tempat, yaitu:
- Di dekat diskus intervertebrata atas atau bawah ( tipe marginal)
- Di tengah korpus ( tipe sentral )
- Di bagian anterior ( tipe anterior )

Gambar 4 Lokasi permulaan infeksi tuberkulosis pada vertebra

17
2.2.2.1 Etiologi
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lain pun dapat juga
menyebabkannya. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang
yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara
yang konvensional.

Gambar 2.1 M. Tuberculosis

Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh


secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.

2.2.2.3 Epidemiologi
Penyakit ini lebih banyak mengenai pria, dengan perbandingan pria dan wanita 1,5-2
:1, dan dapat menyerang semua umur baik orang dewasa bahkan anak-anak. Penyakit
Spondylitis tuberkulosis ini paling banyak ditemukan di Asia, Afrika, dan Amerika.

2.2.2.4 Patofisiologi
Spondilitis tuberculosis kebanyakan melibatkan vertebra thoracal. Ruang diskus
biasanya dapat bertahan lebih lama di bandingkan dengan infeksi pyogenik lainnya.
Abses Paraspinal merupakan hal yang sering muncul pada penyakit ini. Karakter infeksi
tuberkulosis ialah adanya destruksi tulang (osteolysis) vertebra yang progresifitasnya
berjalan lambat. Destruksi timbul dibagian anterior korpus vertebra disertai osteoporosis
regional. Proses perkijuan yang menyebar akan menghambat timbulnya pembentukan
tulang baru dan pada saat yang bersamaan akan menimbulkan segmen-segmen yang

18
avaskular membentuk sekuester , terutama pada vertebra daerah torakal. Secara
bertahap jaringan granulasi akan menembus korteks korpus vertebra yang sudah tipis
sehingga menimbulkan abses paravertebra yang meliputi beberapa korpus vertebra.
Selain itu proses infeksi dapat menyebar keatas dan kebawah melalui ligamentum
longitudinale anterior dan ligamentum longitudinale posterior. Diskus intervertebralis
yang avaskular, awalnya relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Tetapi kemudian
karena dehidrasi, diskus akan menyempit dan akhirnya akan timbul kerusakan akibat
penjalaran jaringan granulasi. Destruksi progresif pada bagian anterior menyebabkan
korpus bagian anterior kolaps , mengakibatkan kifosis yang progresif. Melalui
mekanisme reaksi hipersensitif lambat, vertebra mengalami destruksi dengan
membentuk nekrosis perkijuan. Nekrosis perkijuan ini mencegah pembentukan tulang
baru dan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga terbentuk sekuester
tuberkulosa yaitu serpihan tulang yang lepas dan nekrosis. Secara bertahap jaringan
granulasi menembus korteks vertebra membentuk abses paravertebra yang dapat
melewati beberapa segman vertebra, menyebar dibawah ligamentum longitudinale
anterior dan posterior mencari tempat paling rendah dengan tahanan yang paling lemah.
Lesi biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu :
a) Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal, yang sesuai
dengan tipe metafiseal pada tulang panjang
b) Ditengah korpus, disebut tipe sentral
c) Di bagian anterior korpus, disebut tipe anterior atau subperiosteal

Kumar membagi perjalanan penyakit ini ke dalam 5 stadium :


1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang,maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama
6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada
anak anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.

19
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi
23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan
korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10 % dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis
lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis maka
perlu di catat derajat kerusakan paraplegia yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak / aktivitas penderita serta hipestesia / anestesia
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang
sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang
kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari
jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosa paraplegia terjadi secara perlahan
dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler

20
vertebra. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai
paraplegia.

5. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif
di sebelah depan

2.2.2.5 Penegakan Diagnosa


Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi
lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti
bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua
tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital.
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.

21
Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan
menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha.
Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi
panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik.

Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif
tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan
pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi,
malnutrisi atau disertai penyakit lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan
bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang aktif)
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif.
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada
pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan
diagnosa banding.

22
f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Hasil cairan serebrospinal yang normal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan
memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
- Xantokrom, bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
- Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik
- Kandungan protein meningkat.
- Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat
mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
- Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan
menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap
kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan
sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan mencegah
timbulnya hal ini (Wadia 1973). Kandungan protein cairan serebrospinal dalam
kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.
- Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi
yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap
infeksi.
2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
- Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.
- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga
tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus
vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous.

23
- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
deformitas scoliosis (jarang)
- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih
besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar
terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall
vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal
gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada
kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum
menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan
kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang
mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat
penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh
karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran
abses).
3. Computed Tomography – Scan (CT scan)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga
yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti
pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.

24
GAMBAR 6. Early Osteomyelitis

25
GAMBAR 7. Pott’s Disease

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Manfaat MRI yaitu untuk:
 membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat
non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.
 Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat
konservatif atau operatif.

26
 Membantu menilai respon terapi.

Gambar 8. Spondylitis Tuberculous

27
Gambar 9.Spondylitis Tuberculous

28
5. Neddle biopsy / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal
mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan
pembacaan histologi yang baik untuk menegakkan diagnosa yang absolut.
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral
yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma,
lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

2.2.2.7 Komplikasi
1) Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (Pott’s paraplegia –
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (menigomyelitis – prognosa buruk). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi
dura dan corda spinalis.
2) Ruptur abses paravertebra
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun kedalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberculosis. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke
otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces
3) Pott’s paraplegia
Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medulla spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.
Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) diatas kanalis spinalis.

2.2.2.8 Diagnosis Banding


1. Infeksi pyogenik grade rendah (Brucellosis)
Membedakan dengan penyakit pott adalah pada penyakit ini tidak terdapat
kalsifikasi paravertebral mass dan gibbus . Karakter yang ada pada brucellosis
adalah tidak terdapat kifosis dan prediksi lokasi brucellosis terdapat pada lumbar
bawah . Selain itu progresifitas penyakit spondilitis tuberkulosa cenderung

29
lambat dan kronis. Pada penyakit infeksi pyogenik terjadi sklerosis aktif dan
osteoporosis yang tampak tidak senyata pada spondilitis tuberkulosis. Dilain hal
dari segi pemeriksaan laboratorium, peningkatan laju endap darah lebih tinggi
pada spondilitis tuberkulosa dibanding spondilitis brucellosis.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma).
Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra
tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk
yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermann’s disease
Mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya
penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian
anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

2.2.2.9 Tatalaksana
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :

A. Terapi Konservatif
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi
pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu
bentuk penegakkan diagnostik.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan
untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi

30
ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau
terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan
selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi
tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah
kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang
kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan
ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan
menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami
resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat
antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
 Isoniazid (INH)
- Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
- Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
- Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
- Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien
berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara
relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
 Rifampin (RMP)
- Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari
basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
- Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah
(seperti pada nekrosis perkijuan).
- Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.

31
- Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
- Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
 Pyrazinamide (PZA)
- Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang
bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam
lesi perkijuan.
- Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
- Efek samping :
1. Hepatotoksik dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah
bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam
urat.
- Dosis : 15-30mg/kg/hari
 Ethambutol (EMB)
- Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi
buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central
scotoma.
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15-25 mg/kg/hari
 Streptomycin (STM)
- Bersifat bakterisidal

32
- Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis


masih kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami
spinal block disamping mengurangi oedema jaringan (Ogawa et.al 1987).
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

3. Istirahat tirah baring (resting)


Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan
bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan
operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung
3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis
tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.

33
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah
lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body
jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul.
Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi
di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami
paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit
fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari
60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan
oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan
dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus
menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

B. Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya
kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di
tempat tidur selama 3-6 minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi
obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan

34
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan
segmen tulang belakang yang terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsy
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan
operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi
operasi menjadi:
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan
bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga
terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan
terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau
terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang
besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat
juga disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi,
hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik
selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan
pemberikan terapi konservatif)

35
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme
atau kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui
pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di
anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan
anterolateral dan sebaliknya. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan
pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur
yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa
tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah
direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6
minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan
pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang
mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang
ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya
stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi
spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus
vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi,
dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya

36
menggunakan spinal bracing. Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih
dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal
dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi.
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu.
Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan
jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya
bersifat soliter. Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi
sebagai prosedur utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi
lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur
penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi
hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar
atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi
anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.

2.2.2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia
dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis
serta terapi yang diberikan. Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami
penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi ( < 5 % ) .
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis
secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis
atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Defisit
neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa
operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.

37
BAB III
KESIMPULAN

Walaupun insidensi spondilitis secara umum di dunia telah berkurang


pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi
pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif,
penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum
dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi mungkin dapat tertunda.
Pada spondilitis tuberkulosa kemoterapi yang tepat dengan obat anti
tuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan
dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara
agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik
antara pasien, keluarga dan tim kesehatan. Sedangkan pada Ankylosing Spondylitis
prognosisnya berlangsung baik dengan pemberian obat anti inflamasi nonsteroid
secara berkala. Cacat fisik parah tidak umum di antara pasien dengan AS, namun
masalah mobilitas terjadi pada sekitar 47% pasien, berkaitan dengan durasi penyakit,
perifer arthritis, usia yang lebih muda saat onset gejala, dan penyakit sistemik lainnya.
Kematian dapat terjadi pada penyakit yang sudah lama dan telah terjadi
komplikasiyang parah pada manifestasi ekstra artikular.

38

Anda mungkin juga menyukai