Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus


kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses
siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.

Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan


kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tetapi
bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal
itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia.

Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,
sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus
menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Untuk itulah
masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang. Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa
Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti
mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut.
Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut
misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata
sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang
baik”. (K. Bertens, 2001)

Euthanasia dalam Kamus Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai


“kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama pada kasus penyakit yang
penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Sedangkan dalam Kamus Kedokteran
Dorland euthanasi mengandung dua pengertian, yaitu:

1. Suatu kematian yang mudah dan tanpa rasa sakit.

2. Pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang


yang menderita dan tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan,
secara hati-hati dan disengaja

2. JENIS- JENIS EUTHANASIA

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti


adalah:

a. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang
dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan
perundangan.
b. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya
menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau
menunda operasi.
c. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan).
Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia diajukan berbagai
pendapat sebagai berikut:
1. Voluntary euthanasia

Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani


yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh
keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.

2. Involuntary euthanasia

Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya
seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk
mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.

3. Assisted suicide

Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
4. Tindakan langsung menginduksi kematian

Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang
bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan,
tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
(Billy: 2008)

3. DILEMA ETIS

Disini Euthanasia tampil sebagai sebuah kasus yang menarik sekaligus


dilematis. Disatu sisi Euthanasia dipandang sebagai suatu jalan keluar, namun disisi
lain Euthanasia dipandang sebagai pencabutan atas hak hidup seseorang.

4. EUTHANASIA DI BEBERAPA NEGARA

A. Belanda

Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang


mengizinkan euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam


majalah Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di
Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.

Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak


harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar
50 pertanyaan.

B. Negara bagian Australia


Northern Territory , menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang
mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini
tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang
disebut “ Right of the terminally ill bill ” (UU tentang hak pasien terminal).
Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997
ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

C. Republik Ceko

Di Republik Ceko euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan


pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan
dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia
dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut
dihapus dari rancangan tersebut.

5. EUTHANASIA DI NEGARA INDONESIA

Indonesia sendiri belum terdapat payung hukum yang mengatur secara


khusus perihal euthanasia. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
dan kode etik kedokteran tidak mengatur perihal euthanasia. Sebagaimana sedikit
diulas diatas, kajian normatif euthanasia akan kembali seputar sejauh mana
keterlibatan dokter dalam rumusan tindak pidana terutama pasal 344 KUHP.

Bahkan apabila dokter melakukan Euthanasia tanpa berhati-hati, maka


dapat dihubungkan pula secara tidak langsung dengan pasal 338, 340, 345 maupun
359 KUHP dan melanggar pasal pasal 7 huruf a, c, dan d Kode etik kedokteran.

6. BEBERAPA ASPEK YANG MENGATUR EUTHANASIA DI


INDONESIA

A. Aspek Hukum
Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif
tanpa perintah, beberapa pasal yang berhubungan dengan euthanasia adalah :

 Pasal 338 KUHP: “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima
belas tahun”.
 Pasal 340 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
 Pasal 359 KUHP: “Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun.

Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan


kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :

 Pasal 345 KUHP: ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain
untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan
daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
 Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306
(2).
 Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
 Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai
berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan
sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin
dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” .
 Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran
No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh
Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia.Dalam pandangan hukum,
euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan.
 Para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan
dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

B. Aspek Hak Azazi

Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek
hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan
euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari
segala penderitaan yang hebat. Euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39
tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal
340, Pasal 344, dan Pasal 359.

C. Aspek Ilmu Pengetahuan

Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan


medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan
sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping
tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya
keuangan.

D. Aspek Agama

Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.

Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak
boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan
melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur
seseorang.

Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan


bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan
putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana
mati pada seseorang yang segar bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan
tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan
pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur,
sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain.

Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya.


Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia
tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai
upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama
memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga
terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang
perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan
ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun,
prinsip itu juga diakomodasi.

Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau
jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun
wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)

7. SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA


Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan
kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya,
meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh
adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer
dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan
euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-
Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu,
antara lain:
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang
sakit dan tidak dapat diobati misalnya kanker.
b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan
tinggal menunggu kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya
hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
d. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah
dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang
dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia
aktif”. Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena
memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan
amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena
dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah. (Fadli:
2000)
BAB III

PENUTUP

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang. Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan
bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan
kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan.

Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang


berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan
Makalah

ASPEK HUKUM EUTHANASIA

DI

SUSUN OLEH:

1. RIZKI AMALIA
2. SITI KHAIRANI
3. JOHAN TANIZAR

FAKULTAS KESEHATAN MASAYARAKAT

UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH

BANDA ACEH

2018

Anda mungkin juga menyukai