PENDAHULUAN
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,
sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus
menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Untuk itulah
masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang. Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa
Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti
mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut.
Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut
misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata
sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang
baik”. (K. Bertens, 2001)
a. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang
dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan
perundangan.
b. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya
menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau
menunda operasi.
c. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan).
Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia diajukan berbagai
pendapat sebagai berikut:
1. Voluntary euthanasia
2. Involuntary euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya
seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk
mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
3. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
4. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang
bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan,
tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
(Billy: 2008)
3. DILEMA ETIS
A. Belanda
C. Republik Ceko
A. Aspek Hukum
Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif
tanpa perintah, beberapa pasal yang berhubungan dengan euthanasia adalah :
Pasal 338 KUHP: “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima
belas tahun”.
Pasal 340 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
Pasal 359 KUHP: “Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun.
Pasal 345 KUHP: ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain
untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan
daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306
(2).
Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai
berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan
sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin
dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” .
Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran
No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh
Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia.Dalam pandangan hukum,
euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan.
Para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan
dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek
hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan
euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari
segala penderitaan yang hebat. Euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39
tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal
340, Pasal 344, dan Pasal 359.
D. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak
boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan
melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur
seseorang.
Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau
jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun
wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)
PENUTUP
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang. Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan
bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan
kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan.
DI
SUSUN OLEH:
1. RIZKI AMALIA
2. SITI KHAIRANI
3. JOHAN TANIZAR
BANDA ACEH
2018