Anda di halaman 1dari 7

Kesehatan reproduksi remaja, ASPEK

GENDER DAN HAK ASASI


MANUSIA
Oleh Nafsiah Mboi, DSA, MPH.
ANGGOTA KOMITE HAK -HAK ANAK PBB

Disiapkan dan dipaparkan di Temu Tahunan Jaringan Epidemilogy Nasional (JEN) VII,
27 November 1998, Denpasar Bali

ABSTRAK

Kesehatan reproduksi adalah bagian yang tak terpisahkan dari tumbuh kembang dan
kesejahteraan seorang remaja secara fisik, mental dan sosial - dan merupakan salah satu
faktor yang sangat penting untuk "menjebatani" proses perkembangan dari masa anak-
anak dengan ciri-ciri "ketergantungan" menuju ke masa dewasa dengan ciri
"kemandirian dan kemampuan mengambil keputusan yang bertanggungjawab bagi diri
dan masya-rakat sekitarnya". Kesehatan reproduksi merupakan bagian integral dari
kesehatan secara umum, tetapi yang secara historis tidak/kurang diangkat ke permukaan
antara lain disebabkan berbagai faktor "taboo" dan hambatan sosiokultur - dengan akibat
terpaparnya remaja terhadap risiko gangguan kesehatan reproduksi yang sebagian besar
bisa dicegah.

Dalam makalah dibahas salah satu aspek sosio kultural yang sangat mempengaruhi cara
berpikir, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan, yaitu aspek gender. Gender
mempengaruhi kesehatan pada umumnya kesehatan reproduksi remaja pada khususnya
karena gender berpengaruh pada peri laku hidup termasuk perilaku seksual dan perilaku
"mencari kesehatan" health seeking behavior) seseorang. Gender juga sangat menentukan
bagaimana hubungan antarremaja (baik sesama maupun berlainan je nis) dan bagaimana
orang lain memperlakukan remaja laki-laki dan perempuan (secara berbeda).Gender
bahkan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan, perlakuan salah dan
eksploitasi (seksual). Kerawanan berbasiskan gender (gender based vulnerability) dialami
oleh remaja laki-laki maupun perempuan, tetapi dalam cara yang berbeda.

Dalam makalah juga dikemukan pendekatan hak untuk mencapai hidup sehat (the rights
approach to health) dengan mengacu kepada Universal Declaration on Human Right,
konvensi hak-hak anak yang telah diratifikasi dengan Keppres RI No. 36 tahun 1990
serta kesepakatan-kesepakatan inter-national lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai
dasar dalam upaya peningkatan mutu kebijakan maupun program pelayanan secara
nasional yang peka - gender, berorientasi pada dan bersahabat dengan remaja, dengan
keterlibatan aktif remaja dalam bidang preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Kerjasama berbagai pihak: para remaja sendiri, orang tua, masyarakat, para petugas
kesehatan, pemerintah, media massa, dll. Dibutuhkan untuk men capai derajat kesehatan
optimal yang merupakan hak setiap remaja dan yang menjadi faktor penentu bagi masa
depan bangsa dan negara.

PENDAHULUAN

Masa remaja (usia 10- 19 tahun) seharusnya merupakan masa penuh harapan dan janji
hidup. Masa itu bisa merupakan papan loncatan, yang menghasilkan orang-orang dewasa
muda yang percaya diri. Diperlengkapi dengan pengetahuan yang dibutuh kannya untuk
menciptakan masa depan yang gemilang bagi dirinya dan masyarakatnya. Namun
sebaliknya, dalam perkembangan menuju kedewasaan berbagai gangguan bisa muncul,
termasuk gangguan yang dapat dicegah. Sayangnya, terutama dalam bidang kesehatan,
mereka baru muncul kembali sebagai masalah, yaitu bila remaja perempuan hamil, dan
remaja laki-laki yang berisiko tinggi untuk kecelakaan, kekerasan dan penyalahgunaan
NAZA, (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif) baru mendapat perhatian kalau mereka
melanggar peraturan. Untuk menyamakan persepsi, disampaikan dulu beberapa
pengertian dan "definisi" yang sebagaian besar bersumber pada kesepakatan International
Conference on Population And Development. (ICPD) - Cairo (1994).

Kesehatan reproduksi: adalah keadaan sejahtera secara utuh (complete well - being)
fisik, mental dan sosial, yang berkaitan dengan reproduksi. Kesehatan reproduksi
adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesehatan umum seseorang dan berkatian sangat
erat dengan pengetahuan, sikap dan perilaku menyangkut alat-alat reproduksi dan
fungsi-fungsinya serta gangguan-gangguan yang mungkin timbul antara lain: kehamilan
yang tidak diinginkan, abortus, penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS, dll.

Kesehatan reproduksi adalah bagian yang tak terpisahkan dari tumbuh kembang dan
kesejahteraan seorang remaja secara fisik, meneal dan sosial, - dan merupakan salah satu
faktor yang sangat penting untuk "menjembatani " menuju ke masa dewasa dengan ciri:
"kemandirian dan kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab bagi diri
dan masyarakat sekitarnya". Kesehatan reproduksi merupakan bagian integral dari
kesehatan secara umum, tetapi secara historis tidak/kurang diangkat ke permukaan antara
lain disebabkan oleh berbagai faktor "taboo" dan hambatan sosio kultural - dengan akibat
terpaparnya remaja terhadap risiko gangguan kesehatan reproduksi yang sebagian besar
bisa dicegah.

Gangguan dalam kesehatan reproduksi semasa remaja dapat pula menimbulkan


masalah-masalah lain dalam jangka panjang, bahkan dapat mempengaruhi seluruh hidup
selanjutnya seperti masalah ekonomi, sosial, kemampuan "mencintai" dan "menerima
cinta " secara tulus, kemampuan jadi orang tua yang baik dll. Anak-anak korban
kekerasan seksual, mempunyai kecenderungan mulai hubungan seks pada usia yang lebih
muda, lebih sering jadi pecandu narkotik, alkohol dan zat adiktif (NAZA) lainnya, dan
jarang sekali mau memakai kontrasepsi.

Kesehatan seksual merupakan pendekatan yang positif terhadap seksualitas manusia,


yaitu integrasi aspek-aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial manusia sebagai
makhluk seksual, yang secara positif memperkaya dan meningkatkan "kualitas "
keperibadian, komunikasi dan cinta. Oleh karena itu, tujuan pelayanan kesehatan seksual
seyogianya adalah peningkatan kualitas hidup dan hubungan antarmanusia, dan bukan
hanya konseling dan pelayanan yang berkaitan dengan prokreasi (melanjutkan keturunan)
dan penya kit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual.

GENDER DAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Kerawanan seorang laki-laki dan perempuan dalam kesehatan reproduksi dipengaruhi


oleh 2 hal:

1. Faktor biologis yang ditetapkan oleh chromosom. Misalnya: fisiologi dan bentuk
biologis alat-alat reproduksi remaja perempuan menyebabkan lebih mudah
ketularan PMS (penyakti menular seksual) dibandingkan dengan anak laki-laki.
PMS pada perempuan seringkali tanpa gejala, sehingga dirinya tidak sadar bahwa
harus mencari pengobatan, hal ini menyebabkan perempuan lebih rentan
terhadap penyakit HIV bila melakukan hubungan seks yang tak terlindungi
(tanpa kondom). Bagi seseorang faktor biologis adalah faktor yang "given", dan
sama saja dimanapun ia berada, ia tetap laki-laki atau perempuan, dengan
kerawanan biologis yang sama, dimanapun ia berada. Cara mengurangi
kerawanan tersebut adalah dengan pencegahan secara fisik seperti abstinensia,
pakai kondom, dll.
2. Gender --- faktor sosial budaya dengan norma-norma dan "aturan main" yang
sangat mempengaruhi cara berpikir, sikap dan perilaku perempuan dan laki-laki.
Gender mempengaruhi kesehatan pada umumnya, kesehatan reproduksi remaja
pada khususnya, karena gender berpengaruh pada perilaku hidup termasuk
perilaku seksual dan perilaku "mencari kesehatan " (health seeking behavior)
seseorang. Gender juga sangat menentukan begaimana hubungan antarremaja
(baik sesama mapun berlainan jenis kelamin), dan bagaimana orang lain
memperlakukan remaja laki-laki dan perempuan (secara berbeda). Oleh karena itu
dia merupakan faktor sosial budaya, maka dia berlainan dari satu komunitas ke
komunitas lain. Cara mengurangi kerawanan karena gender adalah dengan
mempengaruhi "budaya" hidup secara pribadi maupun "budaya" lingkungan
hidup sosialnya!. Bila hanya salah satu, maka hasilnya tidak efektif.

Contoh stereotip gender antara lain:

Dalam satu komunitas tertentu, anak perempuan "baik-baik" tidak perlu sekolah tinggi-
tinggi, harus penurut/tidak boleh membantah atau melawan kehendak orang tua dan
suami, tidak boleh bicara/tanya tentang hubungan seks dan seksualitas, harus tetap
perawan sebelum menikah dll. Sebaliknya anak laki-laki harus agresif, "jantan" dalam
arti bisa "menggagahi"/menaklukkan sebanyak mungkin anak perempuan sebelum
menikah dll. Akibat? Hubungan seks yang "sebenarnya" di luar kemauan anak
perempuan, kehamilan yang tak diinginkan, penularan PMS, HIV/AIDS, dll.

Gender bahkan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan, perlakuan


salah dan eksploitasi (seksual). Kerawanan berbasiskan gender (gender based
vulnerability) dialami oleh remaja laki-laki maupun perempuan, tetapi dengan cara yang
berbeda. Ketimpangan "kekuasaan" yang menjadi ciri khas hubungan gender. Seringkali
menempatkan perempuan dalam posisi "lebih rendah" dari laki-laki. Dari penelitian-
penelitian tentang gender dan kesehatan jelas, bahwa norma-norma yang ditetapkan oleh
masyarakat lebih sering "merugikan" bagi perempuan, dan membuatnya rawan terhadap
perlakuan diskri- minatif, kekerasan dan eksploitasi. Di Uganda dan Malawi, remaja usia
15-19 tahunan, infeksi HIV pada anak perempuan 6 (enam) kali lebih banyak dari pada
anak laki-laki seusianya. (Hiese 1994: Sexual Health, CMA 1995).

Di lain pihak, gender juga bisa menyebabkan perilaku risiko tinggi pada remaja laki-laki
yang dapat menjerumuskannya dalam berbagai keadaan yang merugikan dirinya dan
kesehatannya. Karena kesehatan reproduksi melibatkan laki-laki dan perempuan, maka
pada akhirnya mereka bisa saling menularkan penyakit dan harus bertanggung jawab bila
hubungan mereka menghasilkan kehamilan. Contoh lain: Mesir 1997: survei 7000
perempuan yang sudah menikah usia 15-49 tahun 35% pernah dipukul oleh suami: 70%
karena menolak hubungan seks, 7,3 % sedang hamil.

Dari 70% responden (perempuan) menyatakan perlakuan itu "wajar" (justified) karena
istri berlaku "tidak pantas" (!) yaitu: 64% karena istri bicara dengan laki-laki lain atau
tidak urus anak, 51% karena belanja makanan (untuk keluarga) melebihi "jatah", 27%
karena makanan hangus, 86% karena menolak hubungan seksual (alasan sakit, capai, dll.)

Penelitian ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh gender dan sosialisasinya,


sehingga perempuan menganggap dia sendirilah yang bersalah, bukan suaminya kalau dia
dipukul (sexual health). Hal ini menyebabkan berbagai kekerasan domestik termasuk
kekerasan seksual yang berbasiskan gender (gender based violence) sulit sekali dihapus.

KESEHATAN SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Dalam kesehatan masyarakat modern, berlaku paradigma: kesehatan adalah hak setiap
manusia, yang merupakan bagian dan harkat martabatnya sebagai manusia.

Hak kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive dan sexual rights), mencakup hak-
hak tertentu ... yang telah diakui dalam perilaku peraturan perundang-undangan nasional,
dokumen-dokumen international hak-hak asasi manusia (international human right
document) maupun dokumen-dokumen "konsensus" dari pertemuan- pertemuan PBB
seperti hasil ICPD Cairo dan Fourth World Conference on Women (FWCW) Beijing.
Hak-hak ini berdasarkan pengakuan terhadap hak-hak asasi (basic right) dari setiap
orang dan pasangan untuk secara bebas dan bertanggung jawab mengambil keputusan
tentang jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak-anak mereka dan memiliki informasi
dan kemampuan untuk melaksanakan keputusan tersebut, serta hak untuk mencapai
derajat kesehatan seksual dan reproduksi yang setinggi-tingginya.

Konsep tentang kesehatan dan hak asasi manusia (HAM) dapat ditemukan dalam
beberapa instrumen PBB tentang HAM (International Human Right Instruments) antara
lain: Universal Declaration of Human Right, 1948 (ps 3 & 5) the International Covenant
on Civil and Political Rights (ps 7, 9, & 26), convention on Elimination of all Forms of
Discrimination againts Women, 1979 dan Convention on the Right of Child, 1989
(Konvensi Hak- Hak Anak ). Di samping itu, berbagai konferensi PBB sejak tahun 1993
lebih menegaskan lagi konsep-konsep tentang kesehatan dan HAM, termasuk kesehatan
reproduksi dan HAM antara lain: Vienna Declaration (1993) ICPD Cairo (1994) FWCW
Beijing (1995). Dalam world Congress againts Commercial Sexual exploitation of
Children di Stockholm (1996), 120 negara menandatangani dan sepakat untuk
melaksanakan Declaration & Agenda for Action.

Dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA), yang telah diratifikasi oleh negara republik
Indonesia dengan Keppres RI no 36 Tahun 1990, yang dimaksud "anak" adalah setiap
orang di bawah 18 tahun, dengan demikian (sebagian besar) remaja (suia 10 - 19 tahun)
termasuk "anak" menurut definisi KHA. Dengan meratifikasi KHA, maka "negara"
Republik Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan semua
ketentuan dalam KHA tersebut, dan berjanji untuk secara berkala melaporkan
pelaksanaannya kepada komite Hak-Hak Anak PBB. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
dan tanggung jawab kita sebagai bangsa (Pemerintah & masyarakat madani) untuk secara
konsisten dan berkelanjutan menghormati, memajukan dan membela hak-hak Anak yang
tercantum dalam KHA - Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia yang melekat pada harkat
martabat anak sebagai Manusia.

KHA memakai pendekatan yang komprehensif , sehingga semua hak (Anak) tersebut
merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahpisahkan dan saling terkait (indivisible and
interrelated), dengan 4 prinsip dasar sebagai berikut:

 ps 2: Non discrimination
 ps 3: Best interest of the Child (Kepentingan terbaik anak)
 ps 6: Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
 ps 12: Hak untuk berpartisipasi dan dihargai pendapatnya.

Dalam kenyataan, para remaja seringkali dilanggar hak-haknya, misalnya mereka


didiskriminasikan - karena mereka "belum cukup umur" (diskriminasi atas dasar usia =
"age - discrimination") maka dianggap tidak "berhak" mendapat (bahkan tidak pantas
untuk meminta) informasi yang benar dan tepat mengenai seks dan sekualitas.
Pelanggaran hak remaja ini dapat menyebabkan kematian remaja misalnya: kehamilan di
luar nikah yang secara nekad diselesaikan dengan abortus, infeksi HIV dengan kematian
karena AIDS, dlll. Sebelum meninggal secara kejam anak remaja tersebut juga sering
dikucilkan, serta mengalami berbagai perlakuan diskriminatif dan tidak adil lainnya.

Lebih sering lagi, anak dilanggar haknya untuk berpartisipasi dan didengar /dihargai
pendapatnya, walaupun hal-hal itu menyangkut hidupnya dan kepentingan terbaik
remaja.

Pengalaman dengan tegas menunjukan, bahwa hak dan kesehatan reproduksi merupakan
fenomena yang kompleks, di mana faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, sains, budaya,
dan hak asasi manusia semua berperan dan saling terkait. Konvensi Hak-Hak anak,
secara gamblang menyatakan hak anak untuk mendapat perlindungan terhadap
kemiskinan (ps 27), terhadap segala bentuk kekerasan, penelantaran, eksploitasi dan
kekerasan seksual (ps 34 dan ps 19 khusus dalam lingkungan keluarga), eksploitasi
ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan kesehatan, moral, fisik dan mental (ps 32),
penyalahgunaan obat terlarang (ps 33), yang merupukan kondisi-kondisi yang
menempatkan anak remaja dalam situasi risiko tinggi untuk mengalami
masalah/gangguan dalam kesehatan reproduksinya seperti kehamilan, PMS termasuk
HIV/AIDS dll.

Di Zimbabwe (1997) dari 549 murid sekolah, 30 % melaporkan pernah mengalami


perlakuan salah seksual (sexsual abused) - hanya 18% pernah memberitahukan pada
orang lain. (sexual Health).

KHA juga menegaskan kewajiban negara untuk menjamin hak anak untuk mendapat
pendidikan (ps 28-29), informasi (ps17) dan pelayanan kesehatan yang memadai (ps 24),
yang kesemuanya dapat memampukan remaja untuk mengambil keputusan berdasarkan
informasi yang benar dan tepat. Se hingga dapat melindungi dirinya dan orang lain
terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, PMS dan HIV/AIDS, bahkan mampu
menjalani hidup bermartabat penuh harga diri, bila mengalami kesulitan seperti hamil di
luar pernikahan, menjalani hidup dengan AIDS dll.

Universal Declaration on Human Right. Kovensi Hak-Hak Anak serta kesepakatan-


kesepakatan international lainnya, dengan demikian dapat dimanfaatkan sebagai dasar
upaya penigkatan mutu kebijakan maupun program pelayanan secara nasional yang peka
- gender, berorientasi pada dan bersahabat dengan remaja, dengan keterlibatan aktif
remaja dalam bidang preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif. Kerja sama
berbagai pihak: para remaja sediri, orang tua, masyarakat, para petugas kesehatan, yang
merupakan hak setiap remaja yang menjadi faktor penentu bagi masa depan bangsa dan
negara.

REKOMENDASI

1. Pendidikan formal bagi anak-anak laki laki dan perempuan sedapat mungkin
sampai usia 18 tahun. Namun demikian lebih penting lagi adalah mutu
pendidikan di sekolah, yang mampu menghasilkan orang-orang muda ber-
budaya, bertanggung jawab, dan mampu melindungi diri dan orang lain terhadap
gangguan kesehatan reproduksi yang mungkin timbul.
2. Pendidikan kesehatan reproduksi, hak anak & gender untuk setiap remaja laki-
laki dan perempuan, serta orang-orang dewasa yang hidup/bekerja dengan para
remaja seperti: orang tua, petugas kesehatan, guru, polisi, tokoh masyarakat,
pemuka agama dll.)
3. Capacity building untuk sarana pelayanan informasi dan kesehatan remaja,
pemerintah dan masyarakatagar mereka mampu memberi layanan yang
profesional, bersahabat, (youth - friendly), peka - gender dan menghormati HAM
(hak Anak/Remaja sebagai Manusia).
4. Tinjauan peraturan perundang- undangan antara lain:.
o ratifikasi KHA dengan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
o Atau: UU perlindungan anak dan "enforcementnya"
o Kriminalisasi pedofilia
5. Penelitian terapan antara lain:
o pendidikan kesehatan reproduksi yang efektif dan peka budaya
(culturally sensitive)
o hubungan laki-laki dan perempuan yang harmonis, serasi, setara?
o kebutuhan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi untuk pria?
o penelitian tentang: perilaku risiko tinggi, kekerasan seksual, eksploitasi
seksual/pelacuran anak/remaja: apa, siapa pelakunya, mengapa/motivasi
apa, bagaimana mencegah dan melindungi anak remaja ?
o metoda terbaik untuk pelatihan dan motivasi orang-orang yang
bertanggung jawab untuk pelaksanaan undang-undang ("Law enforcement
people").

Anda mungkin juga menyukai