Anda di halaman 1dari 25

OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI

“Tugas Mata Kuliah Alat Kesehatan dan Spesialite Obat”

Dibuat Oleh :

Sekarayu Tisnawati 2019000079

Selvi Erlita Romdon 2019000080

Ultri Fikria Camila 2019000091

Winda Melfariana 2019000098

Vanya Azahra Risadani 2019000092

Yeni Yuningsih 2019000100

Megawati 2019000116

PROGAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling banyak diderita di Indonesia. Penyakit ini
terjadi karena adanya peningkatan tekanan darah. Apabila tidak ditangani dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh lainnya seperti stroke (terjadi pada otak dan menyebabkan kematian yang
cukup tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi kerusakan pembuluh darah jantung), dan
hipertrofi ventrikel kiri (terjadi pada otot jantung). Hipertensi juga dapat menyebabkan penyakit
gagal ginjal, penyakit pembuluh lain dan penyakit lainnya (1).

Hipertensi adalah penyakit yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah secara
menetap (2). Umumnya, seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan darah berada di
atas 140/90 mmHg. Hipertensi dibedakan menjadi dua macam, yakni hipertensi primer (esensial)
dan hipertensi sekunder. Hipertensi dipicu oleh beberapa faktor risiko, seperti faktor genetik,
obesitas, kelebihan asupan natrium, dislipidemia, kurangnya aktivitas fisik, dan defisiensi vitamin
D (3). Prevalensi hipertensi yang terdiagnosis dokter di Indonesia mencapai 25,8%. Tingkat
prevalensi hipertensi diketahui meningkat seiring dengan peningkatan usia dan prevalensi
tersebut cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah atau
masyarakat yang tidak bekerja (4).

Munculnya masalah kesehatan tidak hanya disebabkan oleh kelalaian individu, namun dapat
pula disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat sebagai akibat dari kurangnya informasi yang
benar mengenai suatu penyakit (5). Rendahnya pengetahuan tenaga kesehatan, pasien, dan
masyarakat tentang hipertensi merupakan penyebab utama tidak terkontrolnya tekanan darah,
terutama pada pasien hipertensi di Asia (6). Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai upaya
perbaikan kesehatan bukan sekadar memperbaiki kerusakan atau kelainan fisik, tetapi melibatkan
kompleksitas kebutuhan, motivasi, dan prioritas individu yang dapat dilakukan melalui
komunikasi intrapersonal yang melibatkan jiwa, kemauan, kesadaran, dan pikiran (7). Masih
kurangnya informasi mengenai perbaikan pola makan bagi penderita hipertensi juga membuat
pengetahuan masyarakat tentang perbaikan pola makan masih rendah.
Komunikasi serta pemberian informasi merupakan pengalihan suatu pesan/informasi dari
sumber ke penerima yang disampaikan dengan sebaik-baiknya agar dapat dipahami dengan baik.
Komunikasi dan informasi kesehatan diperlukan, terutama untuk menyampaikan pesan dan
pengambilan keputusan yang dapat berpengaruh pada pengelolaan kesehatan dengan cara
memberikan informasi, menciptakan kesadaran, mengubah sikap, dan memberikan motivasi
kepada masyarakat untuk menjalankan pola hidup sehat. Pemberian informasi kesehatan
diharapkan dapat mencegah dan mengurangi angka kejadian suatu penyakit dan sebagai sarana
promosi kesehatan (5).

Dibuatnya makalah ini dengan tujuan untuk memberikan informasi terkait obat-obat hipertensi
serta mekanisme kerjanya agar dapat dipahami serta diharapkan dapat mengurangi prevalensi
penyakit hipertensi karena mengetahui obat-obat yang dibutuhkan beserta dengan golongannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi (7)
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri secara persisten.
Seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan atau tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan berulang. JNC 8
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa sebagai berikut

Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Tahap 1 hipertensi 140-159 Atau 90-99
Tahap 2 hipertensi ≥160 Atau ≥100

B. Patofisiologi (7)
Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yang
spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui
penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari
10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal
kronik atau renovaskuler. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder
antara lain feokromasitoma, sindrom Cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteron
primer, kehamilan, destruktif sleep apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat yang
dapat meningkatkan tekanan darah adalah kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi
Non Steroid), amfetamin, sibutramin, siklosporin, takrolimus, eritropoietin, dan
venlafaksin.
Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer:
1. Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon
natriuretik atau hiperinsulinemia.
2. Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut syaraf otonom, volume plasma, dan
konstriksi arteriol.
3. Defisiensi senyawa sintesis lokal vasodilator pada endotelium vaskuler, misalnya
prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida atau terjadinya peningkatan produksi
senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II dan endotelin I.
4. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang menghambat
transpor intraseluler, menghasilkan peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan
darah.
5. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskuler, fungsi otot
halus dan peningkatan resistensi vaskuler perifer.

C. Gejala Klinis (7)


Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak disertai gejala.
Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu penyakit. Penderita
feokromasitoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal, berkeringat, takikardia,
palpitasi, dan hipotensi ortostati. Penderita hipertensi sekunder pada sindrom Cushing
dapat terjadi peningkatan berat badan, poliuria, edema, menstruasi irregular, jerawat atau
kelelahan otot.
1. Faktor risiko
a. Merokok
b. Obesitas (BMI ≥30)
c. Immobilitas
d. Dislipidemia
e. Diabetes mellitus
f. Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
g. Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
h. Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55 tahun atau
perempuan < 65 tahun)
2. Kerusakan organ target penderita hipertensi
Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan diagnosis
sebelumnya yang bertujuan membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah ada
kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti:
1. Penyakit jantung (angina, gagal jantung, PTCA, bypass)
2. Stroke
3. Nefropati
4. Retinopati
5. Penyakit arteri perifer

D. Diagnosis (9)
Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang
harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritme
diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension 2014
E. Tatalaksana Hipertensi
Non Farmakologis (10)
Menjalani pola hidup sehat terbukti dapat menurunkan tekanan darah dan dapat
menurunkan risiko pemasalah kardiovaskular. Pasien hipertensi derajat 1 tanpa resiko
kardiovaskular, strategi hidup sehat merupakan tatalaksana awal dan dilakukan
setidaknya 4-6 bulan. Bila selama waktu tekanan darah tujuan tidak tercapai maka
dilanjutkan terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
1. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak
asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat penurunan tekanan
darah.
2. Mengurangi asupan garam. Diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi
dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari.
3. Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari,
minimal 3 hari/ minggu, dapat membantu dalam penurunan tekanan darah. Terhadap
pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus
tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam
aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
4. Mengurangi konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria
atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan
demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam
penurunan tekanan darah.
5. Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung
dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.
Terapi farmakologi (10)
Terapi hipertensi dimulai bila pasien hipertensi derajat 1 tidak mengalami penurunan
tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien hipertensi
derajat ≥ 3. Beberapa prinsip dasar terapi farmokologi yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping yaitu:
1. Bila memungkinkan berikan obat dosis tunggal
2. Beri obat generic bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3. Pasien usia lanjut harus memperhatikan faktor komorbid
4. Jangan kombinasikan ACEI dan ARB
5. Berikan edukasi secara menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur

Tatalaksana hipertensi berdasarkan JNC 8


F. Obat-obat Antihipertensi
1. Antihipertensi lini pertama(8)
a. Diuretik
Mekanisme kerja: meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler yang menyebabkan terjadinya
penurunan curah jantung dan tekanan darah, beberapa diuretik juga menurunkan
resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.
1) Diuretik Tiazida
Mekanisme kerja: menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus
distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.
Kontra indikasi: Pasien dengan GFR rendah (klirens kreatinin < 30ml/min).
Efek samping: hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia,
hiperglikemia, hiperlipidemia, hipokalsiuria, dan disfungsi seksual.
Interaksi obat: NSAID dan fenitoin dapat menurunkan efektivitas diuretik
tiazida, diuretik tiazida dapat mempermudah terjadinya aritmia oleh digitalis dan
meningkatkan risiko efek samping kuinidin, pemberian kortikosteroid, agonis
beta-2 dan amfoterisin B memperkuat efek hipokalemia, mengurangi klirens
litium sehingga meningkatkan risiko toksisitas litium.
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Klortalidon 6,25-25 1
Hidroklorotiazid
12,5-50 1
(HCT)
Indapamide 1,25-2,5 1
Metolazone 0,5 1

2) Diuretik Hemat Kalium


Mekanisme kerja: mengurangi atau menghambat pertukaran Na-K pada tubulus
distal ginjal yang menyebabkan diuresis ringan dengan hilangnya ion-ion
natrium
Kontra indikasi: pasien dengan penyakit ginjal kronis (klirens kreatinin <30
ml/min)
Efek samping: hyperkalemia
Interaksi obat: pemberian NSAID, ACEI, ARB, beta blocker, suplemen kalium
dengan diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, mengurangi
klirens litium sehingga meningkatkan risiko toksisitas litium
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Triamteren 50-100 1
Triamteren/HCT 37,5-75/25-50 2/1

3) Antagonis Aldosteron
Mekanisme kerja: menghambat secara kompetitif kerja aldosteron yang
menginduksi reabsorbsi ion natrium dan sekresi ion kalium pada tubulus distal
ginjal.
Kontra indikasi: pasien dengan penyakit ginjal kronis (klirens kreatinin <30
ml/min), ibu hamil dan menyusui, hiponatremia, hyperkalemia, anuria.
Efek samping: hyperkalemia, ginekomastia, diare, lethargy.
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Eplerenone 50-100 1 atau 2
Spironolakton 25-50 1
Spironolakton/HCT 25-50/25-50 1

4) Diuretik Jerat Henle


Mekanisme kerja: bekerja di jerat henle assenden bagian epitel tebal dengan
menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit
Kontra indikasi: pasien dengan gangguan fungsi ginjal
Efek samping: hipokalemia, hiperkalsiuria, hipokalsemia
Interaksi obat: diuretik jerat henle dapat mempermudah terjadinya aritmia oleh
digitalis dan meningkatkan risiko efek samping kuinidin, pemberian
kortikosteroid, agonis beta-2 dan amfoterisin B memperkuat efek hipokalemia,
mengurangi klirens litium sehingga meningkatkan risiko toksisitas litium
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Bumetamide 0,5-4 2
Furosemide 20-80 2
Torsemide 5 1

b. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)(8)


1) Mekanisme kerja: menghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE),
yaitu suatu enzim yang dapat menguraikan angiotensin I menjadi angiotensin
II yang merupakan senyawa vasokonstriktor (menghambat pengubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II), menghambat degradasi bradikinin dan
menstimulasi sintesis senyawa vasodilator lainnya termasuk PGE2 dan
prostasiklin.
2) Kontra indikasi: perempuan hamil, pasien dengan sejarah angioedema.
3) Efek samping: hipotensi, batuk kering, angioedema atau edema
angioneurotik, fetotoksik atau teratogenik, hiperkalemia, rash, gagal ginjal
akut, proteinuria.
4) Interaksi obat: aspirin/NSAID dapat menurunkan efek antihipertensi ACEI
biasanya melalui hambatan sintesis prostaglandin akibat ACEI, ACEI dapat
meningkatkan kadar litium, kombinasi antara ACEI dan ARB dapat
memperkuat efek antihipertensi yang disebabkan karena karena kedua
golongan obat ini bekerja pada sistem RAA, kombinasi antara ACEI dan
diuretik menghasilkan efek sinergis
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Benazepril 10-40 1 atau 2
Captopril 12,5-150 2 atau 3
Enalapril 5-40 1 atau 2
Fosinopril 10-40 1
Lisinopril 10-40 1
Moexipril 7,5-30 1 atau 2
Perindopril 4-16 1
Quinapril 10-80 1 atau 2
Ramipril 2,5-10 1 atau 2
Trandolapril 1-4 1

c. ARB (Angiotensin Receptor Blocker)(8)


1) Mekanisme kerja: menghambat reseptor angiotensin II (AT1)
2) Kontra indikasi: perempuan hamil
3) Efek samping: hipotensi, hiperkalemia, fetotoksik atau teratogenik
4) Interaksi obat: ARB dapat meningkatkan kadar litium, jus anggur dapat
meningkatkan efek antihipertensi ARB
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Azilsartan 40-80 1
Candesartan 8-32 1 atau 2
Eprosartan 600-800 1 atau 2
Irbesartan 150-300 1
Losartan 50-100 1 atau 2
Olmesartan 20-40 1
Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1

d. Beta Bloker(8)
1) Mekanisme kerja: menghambat reseptor beta-1 yang menyebabkan
penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokardium sehingga
menurunkan curah jantung, hambatan sekresi renin di sel-sel
jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II,
efek sentral yang mempengaruhi aktivitas syaraf simpatis, perubahana pada
sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenegrik perifer dan
peningkatan biosintesis prostasiklin
2) Kontra indikasi: penderita asma (ß-blocker nonselektif), pasien pasca infark
miokard (ß-blocker dengan aktifitas simpatomimetik intrinsic), pasien
dengan AV-block dan bradikardia (ß-blocker kardioselektif).
3) Efek samping: bronkospasme, gangguan fungsi seksual, dapat menutupi
gejala hipoglikemia, bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA,
menurunkan kekuatan kontraksi miokardium.
4) Interaksi obat: kombinasi antara beta blocker dan diuretik dapat
menghasilkan efek adisi dibandingkan monoterapi dengan menggunakan
salah satu saja. Beta blocker menghambat peningkatan kadar renin dalam
plasma yang disebabkan oleh diuretik dan diuretik mengurangi retensi
natrium dan air yang disebabkan oleh beta blocker
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Kardioselektif
Atenolol 25-100 1
Betaxolol 5-20 1
Bisoprolol 2,5-10 1
Metoprolol tartrate 100-400 2
Metoprolol succinate
50-200 1
extended-release
Nonselektif
Nadolol 40-120 1
Propranolol 160-480 2
Propanolol long-acting 80-320 1
Timolol 10-40 1
Aktivitas simpatomimetik intrinsik
Acebutolol 200-800 2
Carteolol 2,5-10 1
Penbutolol 10-40 1
Pindolol 10-60 2
Campuran α dan ß-blocker
Carvedilol 12,5-50 2
Carvedilol phosphate 20-80 1
Labetolol 200-800 2
Kardioselektif dan vasodilator
Nebivolol 5-20 1

e. CCB (Calcium Channel Blocker)(8)


1) Mekanisme kerja: menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokardium yang menyebabkan relaksasi arteriol dan
penurunan resistensi perifer
2) Kontra indikasi: pasien hipersensitif terhadap dihidropiridin (dihidropiridin),
pasien dengan blok AV atau blok SA (diltiazem), ibu hamil dan menyusui
3) Efek samping: nifedipin dapat menyebabkan hipotensi, iskemia miokard atau
serebral, edema perifer, verapamil dapat menyebabkan bradiaritmia,
gangguan konduksi, konstipasi, retensi urin, refluks esofagus, semua CCB
dapat menyebabkan hiperplasia gusi
4) Interaksi obat: kombinasi antara CCB dan ACEI dapat menghasilkan efek
sinergis
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Dihidropiridin
Amlodipine 2,5-10 1
Felodipine 5-20 1
Isradipine 5-10 2
Isradipine SR 5-20 1
Nicardipine sustained-
60-120 2
release
Nifedipine long-acting 30-90 1
Nisoldipine 10-40 1
Nondihidropiridin
Diltiazem sustained-release 180-360 1
Verapamil sustained-
180-360 1
release

2. Antihipertensi lini kedua(8)


a) Alfa 1 Blocker
1) Mekanisme kerja: menghambat reseptor alfa 1 yang menghambat
katekolamin pada sel otot polos vaskuler perifer yang menyebabkan efek
vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer,
venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya
menurunkan curah jantung
2) Efek samping: hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal
(fenomena dosis pertama), sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung
tersumbat, mual
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Doxazosin 1-8 1
Prazosin 2-20 2 atau 3
Terazosin 1-20 1 atau 2

b) Alfa 2 – Agonis Sentral (Adrenolitik Sentral)


1) Mekanisme kerja: menstimulasi reseptor alfa 2 adrenergik di otak, yang
mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotorik dan meningkatkan
tonus vagal, stimulasi reseptor alfa 2 presinaptik secara perifer
menyebabkan penurunan tonus simpatetik sehingga terjadi penurunan
denyut jantung, curah jantung, resitensi perifier total, aktivitas renin plasma
dan refleks baroreseptor
2) Efek samping: sedasi, mulut kering, pusing, hipotensi postural, sakit kepala,
depresi, gangguan tidur, impotensi, kecemasan, pemglihatan kabur, hidung
tersumbat
3) Interaksi obat: pemberian metildopa bersama preparat besi dapat
mengurangi absorbsi metildopa sampai 70% tetapi sekaligus mengurangi
eliminasi dan menyebabkan akumulasi metabolit sulfat, diuretik dapat
meningkatkan efek hipotensif metildopa, antidepresan trisiklik dan amin
simpatomimetik dapat mengurangi efek hipotensif metildopa
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Clonidine 0,1-0,8 2
Clonidine patch 0,1-0,3 1x/minggu
Methyldopa 250-1000 2

c) Inhibitor Adrenergik (Penghambat Syaraf Adrenergik)


1) Mekanisme kerja: reserpin mengosongkan norepinefrin dari syaraf akhir
simpatik dan menghambat transpor norepinefrin ke dalam granul
penyimpanan yang menyebabkan penurunan tonus simpatetik dan penurunan
resistensi perifer dan tekanan darah, guanetidin dan guanadrel
mengosongkan norepinefrin dari terminal syaraf simpatetik postganglionik
dan menghambat pelepasan norepinefrin terhadap respon stimulasi syaraf
simpatetik yang menyebabkan penurunan curah jantung dan resistensi
vaskuler perifer
2) Efek samping: reserpin menyebabkan diare, bradikardia, depresi, hidung
tersumbat, hiperasiditas lambung, eksaserbasi ulkus peptikum, hipotensi
ortostatik, muntah, guanetidin dan guanadrel menyebabkan disfungsi ereksi,
hipotensi ortostatik, diare
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Reserpine 0,05-0,25 1

d) Vasodilator
1) Mekanisme kerja: menyebabkan relaksasi otot polos arteriol, aktivasi refleks
baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari pusat vasomotorik,
meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin
2) Efek samping: hidralazin menyebabkan mual, hipotensi, takikardia, palpitasi,
dermatitis, demam, neuropati perifer, hepatitis, sakit kepala vaskuler,
minoksidil menyebabkan retensi air dan natrium dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif, hipertrikosis reversibel pada wajah, tangan, punggung,
dada, efusi perikardial, perubahan nonspesifik gelombang T pada EKG
Nama obat Dosis (mg/hari) Frekuensi perhari
Minoxidil 10-40 1 atau 2
Hidralazin 20-100 2 atau 4

G. Peran Apoteker dalam Penanganan Hipertensi


1. ASSESMEN(11)
Penyusunan Data Base Informasi
Dikumpulkan dan digunakan sebagai database yang spesifik untuk pasien tertentu
untuk mencegah, mendeteksi, memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan
untuk membuat rekomendasi terapi obat. Database yang dikumpulkan:
Demografi : Nama, alamat, kelamin, tanggal lahir, pekerjaan, agama
Riwayat medis : Berat dan tinggi badan, masalah medis akut dan kronis, vital sign,
gejala, alergi, masalah medis terdahulu, hasil laboratorium
Terapi obat : Obat-obat yang di resepkan Obat-obat bebas Obat-obat yang
digunakan sebelum di rawat Kepatuhan dengan terapi obat Alergi
Asessmen pengertian tentang terapi obat
Sosial :diet, olahraga, merokok atau tidak, minum alkohol, atau
pencandu obat

Menentukan adanya masalah yang berkaitan dengan obat (DRP) (11)

Database pasien harus dinilai untuk melihat adanya masalah yang berkaitan dengan
obat seperti :

a. Adanya obat-obat tanpa indikasi


b. Adanya kondisi medis tetapi tidak ada obat yang diresepkan
c. Pilihan obat tidak cocok untuk kondisi medis tertentu. Pilihan obat antihipertensi
harus disesuaikan apakah hipertensi tanpa komplikasi atau ada indikasi khusus
d. Dosis, bentuk sediaan, jadwal minum obat, rute pemberian atau metoda
pemberian kurang cocok. Diuretik 1x/hari harus diminum pagi hari. Obat
antihipertensi dan jadwal minum obat harus mempertimbangkan sirkadian ritme.
Obat yang dipilih haruslah mempunyai efikasi disaat tekanan darah tinggi di pagi
hari untuk mencegah kejadian kardiovaskular.
e. Duplikasi terapeutik dan polifarmasi. Pasien dengan hipertensi sering berobat ke
beberapa poli seperti poli ginjal dan poli kardio. Kedua poli sering meresepkan
obat yang sama dengan dosis yang sama atau berbeda atau dengan nama paten
yang berbeda, atau satu golongan, atau obat antihipertensi dari golongan yang
berbeda. Intervensi perlu dilakukan untuk mencegah reaksi hipotensi.
f. Pasien alergi dengan obat yang diresepkan. Harus dilihat apakah pasien dapat
metoleransi reaksi efek samping atau obat harus diganti. Misalnya batuk yang
disebabkan oleh pemberian ACEI atau edema perifer dengan antagonis kalsium
golongan dihidropiridin
g. Adanya interaksi: obat-obat, obat-penyakit, obat-nutrien, obat-tes laboratorium
yang potensial dan aktual dan bermakna secara klinis.
h. Pasien kurang mengerti terapi obat
i. Pasien gagal mematuhi regimen obat

Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian(11)

Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian melibatkan identifikasi kebutuhan pasien


yang berhubungan dengan obat, dan memecahkan masalah terapi obat melalui proses
yang terorganisir dan diproritaskan berdasarkan kondisi medis pasien dari segi resiko
dan keparahan. Rencana kefarmasian dapat berupa:

a. Menentukan tujuan dari terapi untuk penyakit hipertensi tujuan dari terapi adalah:
1) Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi dengan membantu
pasien mematuhi regimen obatnya untuk memelihara tekanan darah < 140/90
mmHg atau < 130/80 mmHg untuk pasien hipertensi dengan diabetes dan
gangguan ginjal.
2) Pasien mengerti pentingnya adherence dengan terapi obatnya
b. Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat
c. Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan intervensi
d. Mencegah masalah terapi obat

Dalam rencana pelayanan kefarmasian, apoteker memberikan saran tentang pemilihan


obat, penggantian atau obat alternatif, perubahan dosis, regimen obat (jadwal, rute, dan
lama pemberian).

Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan hipertensi:

a. Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi tahap 1


hipertensi (TDS 140-159 mmHg) dan tahap 2 hipertensi (TDS ≥ 160 mmHg)
b. Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan kerusakan target
organ atau dengan faktor resiko kardiovaskular lainnya bila TDS > 140 mmHg atau
TDD ≥ 90 mmHg.
c. Bila appropriate, sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi. Pilihan awal
untuk dewasa tanpa indikasi khusus:
1) Diuretik golongan tiazid (untuk kebanyakan pasien)
2) Penghambat beta
3) Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)
4) Antagonis kalsium (long-acting)
5) Penyekat reseptor angiotensin
6) Rekomendasikan terapi kombinasi apabila cuma ada respon parsial dengan
standar dosis monoterapi. Kombinasi yang efektif melibatkan diuretik tiazid
atau antagonis kalsium dengan ACEI, ARB atau penyekat beta.
7) Untuk isolated systolic hypertension pada pasien-pasien dengan TDS>160
mmHg terapi awal dengan diuretik tiazid
d. Sarankan terapi dislipidemi dengan statin untuk semua pasien dengan hipertensi
dan 3 atau lebih faktor resiko kardiovaskular, atau pada pasien dengan penyakit
aterosklerosis atau penyakit arteri perifer
e. Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang bermakna (dengan obat,
nutrien, dll)
2. IMPLEMENTASI

Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan rencana pelayanan kefarmasian yang


sudah disusun. Kegiatan ini berupa menghubungi dokter untuk meklarifikasi atau
memodifikasi resep, memulai terapi obat, memberi edukasi kepada pasien atau
keluarganya, dll. Apoteker bekerja sama dengan pasien untuk memaksimalkan
pengertian dan keterlibatan pasien dalam rencana kefarmasian, yakinkan monitoring
terapi obat (misalnya tekanan darah, evaluasi hasil lab dll) dimengerti oleh pasien, dan
pasien mengerti menggunakan semua obat dan peralatan. Apoteker mencatat tahap-
tahap yang diambil untuk mengimplementasikan rencana kefarmasian termasuk
parameter baseline monitoring, dan hambatan-hambatan apa yang perlu diperbaiki.

3. MONITORING (11)

Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :

a. Tekanan darah
Monitoring tekanan darah. Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan
standar untuk pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di
evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan
terapi. Kebanyakan pasien target tekanan darah < 140/90 mmHg, dan pada pasien
diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik < 130/80 mmHg.
b. Monitoring kerusakan target organ
Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak Pasien hipertensi
harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-tanda dan gejala adanya
penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi,
pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah
sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan
seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan
serebrovaskular.
Monitor obat antihipertensi sesuai kelasnya

c. Monitoring interaksi obat dan efek samping obat(11)


Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat harus di nilai
secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah memulai
obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek samping mungkin
memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain.
4. Monitoring Kepatuhan/ Medication Adherence dan Konseling ke Pasien(11)
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang dinginkan. Strategi konseling
untuk meningkatkan adherence terapi obat antihipertensi adalah sebagai berikut :
a. Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya
b. Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya
c. Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien menjelaskan
masalahnya
d. Bicarakan keluhan pasien tentang terapi
e. Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa meminum obatnya
Edukasi ke Pasien
Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan hipertensi (11):
1. Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan
2. Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri
3. Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)
4. Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol
5. Pentingnya kontrol teratur
6. Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan menyembuhkannya
7. Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan
8. Efek samping obat dan penanganannya
BAB III
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa terapi pada pasien hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu terapi non-
farmakologi dan farmakologi. Terapi non-farmakologi dapat dilakukan dengan memodifikasi
gaya hidup seperti penurunan berat badan, adopsi pola makan DASH, diet rendah sodium,
olahraga teratur, dan berhenti merokok. Terapi farmakologi terbagi menjadi dua, yaitu lini
pertama yang terdiri dari diuretik, angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin
receptor blocker (ARB), calcium channel blocker (CCB), dan ß-blocker serta lini kedua yang
terdiri dari α1-blocker, α2 agonist central, inhibitor adrenergic, dan vasodilator.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudarsono EKR, et al. Peningkatan Pengetahuan Tentang Hipertensi Guna Perbaikan Tekanan
Darah pada Anak Muda di Dusun Japanan, Margodadim Sayegan, Sleman, Yogyakarta. dalam
Jurnal Pengabdian Masyarakat. Vol 3 (1). 2017
2. Dipiro, J., dkk. 2011. Pharmacotherapy: Pathophysiologic Approach.
3. Dharmeizar. 2012. “Hipertensi” dalam Medicinus. Volume 25
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar
5. Rahmadiana, M. 2012. “ Komunikasi Kesehata: Sebuah Tinjauan” dalam Jurnal Psikogenesis
Volume 1 (1). Hlm. 88-94
6. Park, J.B., Kario, K., dan Wang, J.G. 2015. “Systolic Hypertension: an Increasing Clinical
Challenge in Asia” dalam Hypertension Research. Volume 38 (4). Hlm. 227–236. Diakses
melalui https://doi.org/10.1038/hr.2014.169.
7. Arianto. 2013. “Komunikasi Kesehatan” dalam Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 3 (2). Hlm. 1–
13.
8. Sukandar EY, Andrajati R, Sigit JI, Adnyana IK, Setiadi AAP, Kusnandar. ISO
Farmakoterapi Buku I. 2013. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. h. 113-125.
9. The Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014
10. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular. Pedoman tatalaksana hipertendi pada penyakit
kardiovaskular. Edisi Pertama. Jakarta :2015
11. Farmalkes.kemkes.go.id pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi. Diakses Kamis 24
September 2019 pukul 10.49
12. Badan Pengawas Obat dan Makanan. IONI Informatorium Obat Nasional Indonesia. 2014.
Jakarta
13. Ikatan Apoteker Indonesia. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 51. 2017. Jakarta :
ISFI Penerbitan
14. MIMS Drug Reference Concise Prescribing Information edisi 131. 2015. Jakarta : PT Medidata
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai