Anda di halaman 1dari 6

Permasalahan JKN pada saat ini

A. KASUS 1

 Permasalahan :

Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


(BPJS) Kesehatan. Beberapa persoalan yang akan penulis sampaikan pada
kesempatan ini yaitu persoalan yang berkaitan dengan kepesertaan, biaya operasional,
dan pelayanan. Pertama, dalam hal kepesertaan, penulis menemukan setidaknya
sampai saat ini terdapat dua wujud fisik kartu yang berbeda, yakni kartu yang
didominasi logo dan tulisan BPJS Kesehatan serta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dan kartu yang didominasi tulisan Kartu Indonesia Sehat, disertai logo dan tulisan
BPJS Kesehatan dengan ukuran yang lebih kecil. "Dualisme" kartu kepesertaan BPJS
Kesehatan bisa memunculkan diskriminasi pelayanan. Pemegang Kartu Indonesia
Sehat (KIS) pasti adalah warga miskin yang iuran kepesertaannya dibayar oleh
pemerintah (penerima bantuan iuran/PBI) yang dialokasikan dalam APBN. Seperti
diketahui KIS, merupakan salah satu dari tiga "kartu sakti" yang dijanjikan Joko
Widodo (Jokowi) diberikan kepada rakyat miskin saat kampanye Pilpres 2014. KIS
diluncurkan saat program pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dengan nama
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada era pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah diintegrasikan ke BPJS Kesehatan dan diberi nama baru
sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih berlaku. Tak heran bila saat ini
masih dijumpai warga miskin yang berobat menggunakan KIS, kartu BPJS
Kesehatan, bahkan mungkin kartu Jamkesmas.

 Solusi :

Kalau selama ini kita masih menjumpai perlakuan diskriminatif terhadap


peserta BPJS Kesehatan dengan pasien asuransi swasta, apalagi pasien yang
membayar tunai, belakangan ini muncul juga diskriminasi terhadap peserta BPJS
Kesehatan yang membayar iuran secara mandiri dan PBI. Oleh karena itu, kita
mengusulkan agar BPJS Kesehatan hanya menerbitkan satu jenis kartu untuk
pesertanya, baik yang mandiri maupun PBI.

B. KASUS 2

 Permasalahan :

Kasus ini berkaitan dengan masalah pelayanan. Berdasarkan data yang sering di
temui di tempat penyedia jasa pelayanan kesehatan, masalah pelayanan adalah
masalah yang paling banyak dikeluhkan peserta maupun penyedia jasa pelayanan
kesehatan. Dari sisi pasien, sering kali terdengar keluhan bahwa mereka mendapat
pelayanan yang kurang menyenangkan, bila dibanding sesama pasien yang membayar
tunai atau menjadi peserta asuransi swasta. Pemeriksaan dilakukan terburu-buru dan
diobati seadanya. Tak jarang, pasien masih harus mengeluarkan sejumlah uang karena
obat tertentu tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan. Dari sisi pelayan kesehatan,
khususnya dokter, terdengar keluhan imbal jasa yang sangat minim, tak sebanding
dengan tenaga dan keahlian mereka. Sedangkan dari penyedia fasiltas kesehatan,
khususnya rumah sakit, hingga kini masih saja ada laporan tentang pembayaran klaim
yang tak tepat waktu.

 Solusi :

Untuk mengatasi persoalan tersebut, disarankan kepada BPJS Kesehatan untuk


melakukan perbaikan sejumlah peraturan, memperbaiki pelayanan kepada pasien dan
lebih menghargai dokter. Bahkan, kalau memang besaran iuran yang berlaku saat ini
dinilai kurang memadai dan harus ditingkatkan, hendaknya disampaikan kepada
pemerintah dan DPR. Bila kenaikan iuran dianggap tindakan tidak populer,
pemerintah bisa mengalokasikan lebih banyak dana ke BPJS Kesehatan, termasuk
menambah jumlah PBI, sejalan dengan peningkatan signifikan anggaran kesehatan
pada belanja APBN.

C. KASUS 3
 Permasalahan :
Citra yang buruk tersebut membuat target dari Jaminan Kesehatan Nasional-
Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) agar seluruh penduduk Indonesia dapat terlindungi
jaminan kesehatan atau Universal Health Coverage (UHC) masih jauh panggang dari
api.Per 31 Desember 2017, jumlah kepesertaan JKN-KIS baru mencapai 187,98 juta
orang, atau 73 persen dari target 2019 sebanyak 257,5 juta orang. Dengan demikian,
masih ada 69,52 juta orang yang harus masuk hingga 2019.Bagaimana strategi BPJS
Kesehatan pada 2018 di tengah persoalan defisit anggaran?Bila mengacu dari paparan
direksi BPJS Kesehatan di awal 2018, upaya yang akan dilakukan BPJS Kesehatan
tidak banyak berubah seperti tahun-tahun sebelumnya. BPJS Kesehatan masih fokus
memberikan sosialisasi kepada warga, dan mendorong para stakeholder untuk aktif
dalam mengoptimalkan pelaksanaan program JKN-KIS. Dalam kepesertaan JKN-
KIS, sedikitnya ada 10 kelompok yang terdaftar di BPJS Kesehatan, seperti penerima
bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggung jawab APBN dan APBD. Lalu, Pekerja
Penerima Upah (PPU) PNS, Polri, BUMN, BUMD, dan TNI. Kemudian ada lagi PPU
Swasta, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pekerja Mandiri dan Bukan Pekerja.
Namun dari 10 kelompok itu, BPJS Kesehatan lebih fokus menambah PPU Swasta
dan PBPU. Hal ini dikarenakan, data kelompok selain PPU Swasta dan PBPU sudah
teridentifikasi oleh kementerian dan lembaga (KL) yang bersangkutan. Dengan kata
lain, BPJS Kesehatan hanya tinggal menunggu atau menerima data saja. Dalam
mendorong kepesertaan PPU Swasta dan PBPU tersebut, BPJS Kesehatan melakukan
pendekatan atau cara yang berbeda. Untuk PPU Swasta, BPJS Kesehatan akan
mendorong kegiatan canvassing kepada badan usaha. Kegiatan dari canvassing antara
lain menyisir lokasi usaha secara terencana, menginformasikan hak dan kewajiban
badan usaha, mendata tenaga kerja, serta meminta komitmen pelaksanaan kewajiban
pendaftaran atau pelaporan data secara lengkap dan benar. Apabila kewajiban itu tidak
dijalankan badan usaha dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka BPJS
Kesehatan akan memproses badan usaha bersangkutan itu ke dalam pengawasan dan
pemeriksaan kepatuhan. “Ini penting dilakukan [canvassing]. Saat ini baru 201.000
perusahaan yang terdaftar. Masih banyak yang belum, padahal targetnya itu selesai
tahun lalu,” kata Andayani Budi Lestari, Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta
BPJS Kesehatan kepada Tirto.Selain canvassing,

 Solusi :
Untuk mengatasi persoalan tersebut BPJS juga harus menggandeng
pemerintah daerah dan BPJS Ketenagakerjaan guna mensinkronkan data badan usaha
yang ada. Tentunya ini tidak gampang, dan memakan waktu yang cukup lama.Khusus
untuk PBPU atau Pekerja Mandiri, BPJS akan fokus dalam mempermudah cara
pendaftaran dan pembayaran, misalnya, dengan membuat aplikasi mobile JKN,
membuka call center, termasuk membuka layanan JKN di pusat perbelanjaan. Selain
itu, BPJS Kesehatan juga menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi guna
mewajibkan para mahasiswanya untuk terdaftar dalam program JKN-KIS. Tentunya,
apabila mahasiswa terdaftar, maka keluarganya pun otomatis juga bisa ikut terdaftar.
BPJS Kesehatan juga mengingatkan agar pemda dan kementerian/lembaga yang
terkait juga aktif dalam mendukung pelaksanaan program JKN-KIS. Apalagi,
instruksi itu sudah tertuang dalam Inpres No. 8/2017 tentang Optimalisasi
Pelaksanaan Program JKN.

D. KASUS 4

 Permasalahan :
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyoroti kondisi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Misbakhun mengusulkan
pembentukan panitia khusus (pansus) Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN). Pansus ini
bertujuan untuk mencari solusi atas defisit BPJS Kesehatan. Misbakhun mengatakan,
JKN dan BPJS Kesehatan sebagai realisasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
harus ditata ulang. Menurutnya, untuk mendesain ulang JKN harus ada upaya
mengurai persoalan yang selama ini terjadi. Misbakhun menduga ada data yang tak
valid tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Skema siapa yang
berhak menerima PBI, sebut dia, juga menjadi masalah dan harus dicari solusinya
agar tak muncul ketidakadilan. Menurut dia, data valid peserta BPJS Kesehatan
sangat penting untuk menentukan besaran alokasi uang negara bagi JKN. Dengan data
valid, katanya, maka biaya yang harus dikeluarkan BPJS Kesehatan setiap bulan pun
bisa diestimasi. “Ini sangat mendasar, bagaimana negara menjalankan fungsinya
dalam bekerja melayani rakyatnya untuk mewujudkan negara kesejahteraan melalui
kesehatan,” terangnya. Berangkat dari hal-hal tersebut, Misbakhun menyatakan,
sebaiknya persoalan menyangkut BPJS Kesehatan diurai melalui Pansus JKN
bentukan DPR. Alasannya, persoalan BPJS Kesehatan bukan hanya masalah
keuangan.
 Solusi :
Untuk mengatasi masalah tersebut menurut saya kita mulai memikirkan perlu
adanya Pansus JKN. Karena apa, pemikiran besar bagaimana desain ulang harus kita
pikirkan, hanya pansus yang bisa membongkar semua masalah ini.

E. KASUS 5

 Permasalahan :
Peserta JKN per 1 Januari 2019 mencapai 215,78 juta jiwa atau sekitar 81 persen dari
total penduduk Indonesia. Kedua, akses terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
mengalami peningkatan. Bahkan, JKN telah menjamin seluruh jenis penyakit yang secara
medis dibutuhkan. Ketiga, untuk mendapatkan jaminan, besaran iuran relatif sangat murah.
Untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (orang miskin dan tidak mampu, iuran dibayar penuh
pemerintah dan mencapai 45 persen dari seluruh peserta), iuran untuk kelas 3 adalah
Rp25.500. Besaran iuran yang belum sesuai perhitungan aktuaria (hanya sekitar 47
persennya) dianggap merupakan kesalahan penetapan pemerintah. Beberapa pihak
menyebutkan, hal tersebut merupakan penyebab utama defisit BPJS Kesehatan. Sejak
pertama kali diimplementasikan, defisit BPJS mencapai Rp 16,5 triliun. Namun, jika
solusinya hanya menaikkan iuran BPJS, tidak akan serta-merta menghapus defisit yang
ternyata lebih bersifat strukturalMembedah defisit struktural
Untuk mempertahankan keberlanjutannya, diberikan suntikan dana, baik dari BPJS maupun
pemerintah. Sampai akhir 2017, disuntikkan kontribusi dana Rp 1,071 triliun, hibah Rp 8,503
triliun, sumbangan pemerintah Rp 3,600 triliun, dan dana talangan BPJS Rp 3,082 triliun.
Namun, posisi aset neto Dana Jaminan Sosial Kesehatan pada akhir 2017 tetap negatif Rp
23,052 triliun dengan kondisi rasio solvabilitas hanya 4,96 persen, dan likuiditas 4,91 persen.
Dalam hal laporan keuangan, BPJS melanggar prinsip kehati-hatian, termasuk pelanggaran
Pasal 50 UU SJSN yang berbunyi “Badan penyelenggara jaminan sosial wajib membentuk
cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum”.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 Pasal 37, yaitu cadangan teknis
setidaknya 15 hari klaim, rata-rata klaim selama 180 hari. Atau DJS harus dipertahankan
paling sedikit pada rasio klaim 90 persen, sementara jumlah klaim pada 2016 mencapai
110,80 persen dan 2017 menjadi 131,43 persen. Jika dicari penyebab defisit struktural,
terdapat beberapa dampak akumulatif. Pertama, kurangnya dana akibat kebijakan populis
pemerintah dan kurang hati-hati. Tarif pelayanan kesehatan bermasalah yang disusun tanpa
berlandaskan standar pelayanan.Berbagai obat dan alat kesehatan berbiaya tinggi dibayar free
for service dan inefisiensi alokatif akibat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dibayar
sangat rendah dan kapitasi di puskesmas tidak efektif meningkatkan mutu.Kedua, tata kelola
menyimpang dan sarat konflik kepentingan. Pengawasan terhadap BPJS dan penyelenggaraan
JKN terbatas pada monitoring dan evaluasi. Belum terdapat fungsi auditor dan penyidik
pelanggaran jaminan sosial. Dalam kegiatan operasionalnya, BPJS Kesehatan belum berperan
sebagai pembeli aktif. Pada level kementerian, terdapat berbagai pendelegasian dari peraturan
pelaksanaan UU JSN yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan timbulnya
birokratisasi JKN.
 Solusi :
Untuk mengatasi masalah tersebut masyarakat Indonesia harus bisa berbudaya
gotong royong kesehatan dengan jangka panjang. Hal itu diperparah dengan
adanya pemahaman keliru terhadap adverse selection.BPJS tidak memiliki
informasi yang sesungguhnya tentang peserta BPJS, bahkan terdapat
kecenderungan ketidakberdayaan terhadap penegakan kepatuhan peserta. Di lain
pihak, masyarakat memiliki harapan tak terbatas, tetapi disiplin pembayaran iuran
rendah. Sanksi yang diterapkan tidak efektif mencegah pseudo adverse selection
atau ketidaksungguhan peserta dalam membayar iuran dalam kerangka
kegotongroyongan. Banyak peserta BPJS yang tidak menggiur lagi jika tidak
merasakan manfaat langsung iurannya,jadi diperlukan adanya sanksi yang efektif
agar peserta dapat membayar iuran dengan disiplin.
DAPUS

Abdul Wahab, S., 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke implementasi


Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.

Agustino, Leo, 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik, CV. Alfabeta, Bandung

Andrew, L. Friedman, Miles, Samantha,.2006, Stakeholders Theory and Practice, Oxford


University Press.

Anda mungkin juga menyukai