Anda di halaman 1dari 66

TUGAS KLASIFIKASI, KODEFIKASI PENYAKIT DAN

MASALAH TERKAIT SISTEM REPRODUKSI DAN GENETIKA


(KKPMT 4)

Dosen:
Demiawan Rachmatta Putro Mudiono, S.ST., M.Kes

Oleh :
Yunia Vera Sugesti (G41170069 / A)
Bilqis Almar’atus Sholeha (G41170439 / A)
Fitriani (G41170447 / A)
Detty Artin Meirina (G41170560 / A)
Dewi Lujeg Indarti (G41170657 / B)
Regita Kusumaning Putri (G41171029 / B)
Atika Yuliandari (G41171685 / C)

PROGRAM STUDI D IV REKAM MEDIK


JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................Error! Bookmark not defined.
LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 4
2.1. N00 Acute Nephritic Syndrome .................................................................................... 4
2.2. N01 Rapidly Progressive Nephritic Syndrome ............................................................. 4
2.3. N02 Reccurent and Presistent Haematuria .................................................................... 5
2.4. N03 Chronic Nephritic Syndrome ............................................................................... 10
2.5. N04 Nephrotic Syndrome............................................................................................ 10
2.6. N05 Unspecified Nephritic Syndrome ........................................................................ 11
2.7. N06 Isolated Proteinuria with Specified Morphological Lesion ................................. 17
2.8. N07 Hereditary Nephropathy, NEC ............................................................................ 20
2.9 N08* Glomerular Disorder in Disease Classiefied Elswhere...................................... 20
2.10. N08.0* Glomerular Disorder in Infectious and Parasitic Disenses Classified ........ 23
2.11. N08.1* Glomerular Disorder in Neoplastic Disease ............................................... 25
2.12. Waldernstrom Macroglobulinaemia ........................................................................ 31
2.13. N08.2* Glomerular Disorder in Blood Disease and Diseorder Involving the ......... 36
2.14. Disseminated Intravascular Coagulation [Defibrination Syndrome] ...................... 40
2.15. Henoch(-Schönlein) Purpura ................................................................................... 44
2.16. Haemolytic-Uraemic Syndrome .............................................................................. 48
2.17. Sickle-Cell Disorders .............................................................................................. 53
2.18. N08.3* Glomerular Disorder in Diabetes Mellitus ................................................. 55
2.19. N08.4* Glomerular Disorder in Other Endocrine, Nutrional and Metabolic .......... 57
2.20. N08.5* Glomerular Disorder in Systemic Connective Tissue Disorders ................ 59
2.21. N08.8* Glomerular Disorder in Other Disease Classiefied Elswhere..................... 61
KESIMPULAN ........................................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 63

2
LATAR BELAKANG

Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam
mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai
pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam lingkungan
dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital
ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan
reabsorbsi jumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang
tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air diekresikan keluar tubuh dengan urin
melalui system pengumpul urin.
Peran lain pada ginjal yaitu :

1. Membersihkan darah dari racun, zat sisa, dan kelebihan cairan


2. Menjaga keseimbangan garam dan mineral dalam darah
3. Membantu mengatur tekanan darah
4. Menghasilkan eritropoietin yang berfungsi untuk membuat sel darah merah
5. Menghasilkan senyawa aktif vitamin D yang dibutuhkan untuk menjaga
kesehatan tulang

Ketika ginjal mengalami kerusakan, produk-produk limbah dan cairan dapat


menumpuk dalam tubuh, menimbulkan beberapa masalah seperti pembengkakan di
pergelangan kaki, muntah, kelemahan, kurang tidur, dan sesak nafas.

Penyakit ginjal dapat dipicu oleh berbagai masalah kesehatan lainnya, misalnya
hipertensi dan diabetes. Artinya orang yang memiliki penyakit tersebut berisiko
tinggi untuk mengalami penyakit ginjal. Jika hal tersebut tidak ditangani dengan
tepat makan akan menyebabkan infeksi ginjal, batu ginjal, gagal ginjal, kista dan
kanker. Penyakit ginjal awal biasanya tidak memiliki gejala atau tanda-tanda, maka
dari itu penting untuk dilakukannya pemeriksaan pada ginjal jika memiliki risiko
utama seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, atau riwayat keluarga yang
memiliki gagal ginjal.

3
PEMBAHASAN

2.1. N00 Acute Nephritic Syndrome


2.1.1. Definisi
Neprhitic syndrome adalah sebuah sindrom klinis yang didefinisikan dengan
hubungan sebab akibat dari penyakit hematuria, proteinuria, hipertensi arteri
serta gagal ginjal. Neprhitic syndrome disebabkan oleh kerusakan pada
glomerulus yang ditandai dengan inflamasi pada glomerulus. Presentasi
klinis nephritic syndrome termasuk acute nephritic syndrome, syndrome of
rapidly progressive glomerulonephritis, syndrome hematuria makroskopic
berulang, dan chronic glomerulonephritis syndrome (Niaudet, 2008).

2.1.2. Etiologi
Acute nephritic syndrome dapat terjadi secara mendadak yang disertai
demam, sakit kepala, sakit perut, edema perifer, penambahan berat badan,
dan asthenia (Niaudet, 2008).

2.1.3. Patologi
Korelasi patologis dari acute nephritic syndrome adalah glomerulonephritis
poliferatif. Pada awalnya disebabkan oleh adanya neutrofil dan monosit
serta kemudian terjadi peningkatan sel glomerulus residen, yaitu sel
endothelial dan sel mesangical. peradangan ini mungkin melibatkan
sebagian besar glomeruli (difusi poliferatif glomerulonefritis) atau mungkin
kurang luas (glomerulonefritis poliferatif lokal) (Niaudet, 2008).

2.2.N01 Rapidly Progressive Nephritic Syndrome


2.2.1. Definisi
Rapidly progressive nephritic syndrome didefinisikan oleh hilangnya fungsi
ginjal dengan cepat (Greenhall & Salama, 2015). Selain itu juga dapat
didefinisikan sebagai penyakit radang ginjal yang ditandai dengan
kerusakan pada glomeruli ginjal secara cepat yang sering menyebabkan
penyakit ginjal stadium akhir. Ditandai oleh subacute nephritic syndrome
dengan penurunan fungsi ginjal. Pasien sering mengalami hematuria

4
makroskopis dengan sel darah merah dan proteinuria berat dengan nephritic
syndrome dan edema. Korelasi patologis dari rapidly progressive nephritic
syndrome adalah glomerulonephritis crescentic, dimana proliferasi kapiler
ekstra melibatkan sebagian besar glomerulus (Niaudet, 2008).

2.2.2. Etiologi
Selain RPGN primer, RPGN sekunder dapat terjadi sehubungan dengan
proses infeksi termasuk glomerulonefritis poststreptococcal, endocarditis
infektif, sepsis visceral tersembunyi, infeksi hepatitis B dengan vasculitis
dan atau cryoglobulinemia atau sekunder dari penyakit sistemik, lupus
erythematosus sistemik, Henoch-Schonin purpura, vasculitis necrotic
sistemik, campuran IgG essential dan cryoglobulinemia (Parmar & Bashir,
2019).

2.2.3. Patofisiologi
Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) adalah salah satu sindrom
klinis yang dihasilkan dari glomerulonefritis. Kebanyakan kasus RPGN,
diagnosis histopatologis adalah necrotizing crescentic glomerulonephritis
(NCGN). Pola linier menunjukkan penyakit dasar anti glomerular, termasuk
penyakit pembentukan imun in situ kompleks berdasarkan kriteria
consensus chapel hill (2012). Pewarnaan granular terlihat pada penyakit
kompleks imun yang bersirkulasi seperti systemic lupus erythematosus dan
IgA vasculitis. Sebagian besar kasus dengan pola kekurangan kekebalan
adalah glomerulonefritis yang disebabkan oleh antineutrophil cytoplasmic
autoantibody (ANCA) yang terkait dengan vaskulitis (Arimura et al., 2016).

2.3. N02 Reccurent and Presistent Haematuria


2.3.1. Definisi
Hematuria atau ditemukannya darah dalam urine merupakan suatu gejala
yang penting dalam bidang urologi. Seorang yang menderita hematuria
harus diperiksa selengkapnya untuk mengusahakan agar penyebab dan
lokalisasi pendaharan diketahui.

5
Secara klinik hematuria dibagi menjadi 2 golongan yaitu hematuria
makroskopik (makrohematuria) dan hematuria mikroskopik
(mikrohematuria). Hematuria makroskopik adalah kencing bercampur darah
dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Makrohematuria sudah dapat
terjadi apabila terdapat 1 cc darah dalam 1 liter urine. Mikrohematuria
adalah hematuria yang hanya dapat dikenal dengan menggunakan
mikroskop. Apabila dengan pembesaran 500 kali pada sedimen urine dapat
ditemukan lebih dari sepuluh erythrocyt maka akan memberikan test
benzidin positif.

2.3.2. Perkiraan Asal Hematuria


Dengan pemeriksaan tiga gelas secara kasar dapat diperkirakan asal dari
hematuria.. Cara : sewaktu miksi dipisahkan urine menjadi porsi I, II dan
III. Apabila darah ditemukan pada porsi I kemungkinan besar darah berasal
dari urethra, apabila ditemukan pada porsi I dan II pendarahan dari vesika
urinaria. Apabila ditemukan pada ke-tiga porsi kemungkinan darah berasal
dari ginjal, pendaharan dari ginjal sering menyebabkan diketemukannya
silinder erithrocyt.

2.3.3. Etiologi
Secara sederhana penyebab hematuria dapat dibagi menjadi :
1. Hematuria yang berasal dari daerah galns penis praeputium, urethra
prostat dan vesika. Hematuria yang berasal dari daerah ini merupakan
kurang lebih 90% dari semua hematuria. Hematuria di daerah ini dapat
disebabkan oleh :
a. Balano Posthitis
b. Urethritis
c. Cystin (terutama hemorrhagi)
d. Prostatitis
e. Pembesaran prostat jinak, carcinoma prostat
f. Tumor vesica urinarius dan batu
g. Trauma

6
2. Hematuria yang berasal dari ureter. Biasanya terjadi hanya pada satu sisi
ureter yang paling sering penyebabnya adalah batu (sangat jarang) dapat
juga disebabkan oleh tumor atau trauma.
3. Hematuria yang berasal dari pyelum yang paling sering disebabkan oleh
batu radang, tumor, kelainan pembuluh darah fornix (jarang) atau
trauma.
4. Hematuria yang berasal dari ginjal yang khas ditemukannya silinder
eritrosit pada sediment. Penyebabnya hematuria ini didapat oleh :
a. Trauma
b. Tumor seperti Grawitz dan pada anak-anak tumor Wilms. Pada
tumor Grawitz 60% memberikan gejala hematuria disamping rasa
nyeri dan terba tumor.
c. Kelainan kongenital : - Polycystic kidney memberikan hematuria
pada 28-40% kasus. – Kista ginjal soliter bisa juga memberikan
hematuria. – Hydronephrosis kadang dapat menimbulkan
hematuria.
5. Hematuria yang disebabkan oleh penyakit parenchyn ginjal :
a. Glomerulonefritis akut biasanya seminggu dengan macrohematuria
kemudian disusul dengan mikrohematuria.
b. Glomerulonefritis kronis biasanya mikrohematuria.
c. Pyelonefritis akut : Biasanya suatu mikrohematuria apa bila terjadi
makrohematuria kemungkinan nekrosis papil.
d. Pyelonefritis kronis : Biasanya terjadi mikrohematuria kadang-
kadang muncul mikrohematuria.
e. Nefritis interstitialis akut : Biasanya ditemukan mikro hematuria.
6. Hematuria yang disebabkan oleh kelainan metabolisme atau penyakit
lain yang juga mengenai ginjal misalnya pada :
a. Amyloidosis
b. Kummelstiel – Wilson
c. TBC ginjal (15% dari kasus)
d. Purpura Henoch Schonlein
e. Purpura trombositopeni

7
f. LE yang mengenai ginjal
g. Endokarditis bakteri sub aku.
7. Hematuria yang disebabkan oleh gangguan vaskularisasi ginjal
a. Emboil arteri renalis atau cabangnya.
b. Thrombose vena renalis.
c. Hypertensi.
d. Orthostasis, setelah bekerja fisik berat, pada keadaan shock atau
decompensasio cordis.
8. Hematuria yang disebabkan oleh gangguan masa pembekuan atau
pendarahan : Hemofili, thrombocytopeni, thrombopati, dosis
anticoagulansia yang berlebihan, setelah pengobatan dengan
Butazolidin.
9. Hematuria esensial (idiopatik) yaitu hematuria yang tidak dapat
ditemukan sebabnya meskipun sudah dicari dengan cara diagnostik yang
ada.

2.3.4. Pengelolaan Penderita Hematuria


Mengingat hematuria merupakan gejala yang penting dan serius dapat
disebabkan oleh kelainan dari ginjal sampai praeputium, maka pada setiap
penderita dengan hematuria haruslah diperiksa secara intensif dan
sistematis. Tergantung pada fasilitas yang tersedia maka sistemik
pemeriksaan terhadap penderita hematuria dapat disusun sistemik yang
lazim biasanya ialah seorang penderita hematuria harus diperiksa sebagai
berikut :
1. Anamnesis
a. Ditanyakan mengenai sifat hematuria apakah makro atau mikro
atau bergumpal.
b. Apakah baru pertama kali atau sudah sering, hilang timbul.
c. Apakah disertai denga nyeri.
d. Apakah disertai dengan tanda-tanda infeksi seperti panas,
menggigil.
e. Apakah pernah kencing batu.
f. Apakah ada trauma.

8
g. Apakah menggunakan obat-obat secara berlebihan dan dalam
jangka waktu yang lama.
h. Kemunduran gizi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Meraba adanya pembesaran ginjal dengan palpasi bimanual.
b. Meraba daerah suprasymphisis.
c. Inpeksi pada genitalia externa terutama di daerah meatus dan
praeputium.
d. Pemeriksaan tocher rektal terutama untuk mengevaluasi prostat dan
palapasi bimanual di daerah prostat dan vesika.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan urine lengkap, kultur + test resistensi, cytology urine
pemeriksaan basil tahan asam.
b. Pemeriksaan darah Hb Leuco Differensial, laju endap darah, test
mekanisme pembekuan dan masa pendarahan.
c. Pemeriksaan “tumor markers”.
d. Pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos dan pyelografi intravena. Dengan indikasi
tegas:
a. Pemeriksaan retrograde pyelografi (sekaligus endoskopi).
b. Pemeriksaan arteriografi renal.
c. Cystografi.
d. Ultrasonografi.
5. Pemeriksaan Endoskopi
Berguna untuk: melihat adanya kelainan-kelainan di dalam urethra,
prostat, vesika dan menentukan pendarahan dari traktus urinarius
bagian atas (upper urinary tract) dan dari sisi mana; bila ada indikasi
dapat sekaligus dilakukan sondage ureter untuk membuat pyelografi
retrograd. Pada waktu mengerjakan endoskopi sebaiknya penderita
diberikan narkose umum agar tidak kesakitan dan apabila pada

9
pemeriksaan endoskopi ditemukan kelainan seperti tumor atau batu
dapat sekaligus dilakukan biopsy atau litotripsi.
6. Biopsi Ginjal
Apabila ada indikasi yang kuat yang menunjukkan hematuria berasal
dari parenchym ginjal perlu diadakan biopsy untuk konfirmasi kelainan
secara patologi anatomik.

2.4.N03 Chronic Nephritic Syndrome


2.4.1. Definisi
Biasanya merupakan hasil dari inflamasi glomerulus dan berhubungan
dengan penurunan fungsi ginjal, proteinuria non-nefrotik, hematuria dengan
sel darah merah gips, hipertensi dan edema. Mode umum dari presentasi,
diwakili oleh post-streptokokus akut GN, adalah oliguria, urine berwarna
cola, pertambahan berat badan, edema, dan hipertensi selama beberapa hari.
Perbedaan antara sindrom nefrotik dan nefritik biasanya lurus meneruskan.
Namun, beberapa penyakit glomerular terutama MPGN dapat hadir sebagai
nefrotik atau nefritik.

2.4.2. Etiologi
Penyebab umum nephritic syndrome :
a. Post-streptococcal GN
b. Infective endocarditis
c. Shunt nephritis
d. IgA nephropathy
e. Lupus Nephritis
f. Goodpasture’s
i. Vasculitis

2.5.N04 Nephrotic Syndrome


2.5.1. Definisi
Biasanya merupakan hasil dari inflamasi glomerulus dan berhubungan
dengan penurunan fungsi ginjal, proteinuria non-nefrotik, hematuria dengan

10
sel darah merah gips, hipertensi dan edema. Mode umum dari presentasi,
diwakili oleh post-streptokokus akut GN, adalah oliguria, urine berwarna
cola, pertambahan berat badan, edema, dan hipertensi selama beberapa hari.
Perbedaan antara sindrom nefrotik dan nefritik biasanya lurus meneruskan.
Namun, beberapa penyakit glomerular terutama MPGN dapat hadir sebagai
nefrotik atau nefritik.

2.5.2. Etiologi
Penyebab umum nephritic syndrome :
a. Post-streptococcal GN
b. Infective endocarditis
c. Shunt nephritis
d. IgA nephropathy
e. Lupus Nephritis
f. Goodpasture’s
g. Vasculitis

2.6. N05 Unspecified Nephritic Syndrome


2.6.1. Glomerulonefritis
2.6.1.1. Definisi
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami
proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses
imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk
grup yang besar dari dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari
bermacam-macam agen infeksi. Pada glomerulonefritis pasca
infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh
adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi
lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks
imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran
basalis glomerulus.

2.6.1.2. Patogenesis

11
Mekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada
GNAPS sampai sekarang belum diketahui, meskipun telah diduga
terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman streptokokus yang
berhubungan dalam terjadinya GNAPS.

2.6.1.3. Etiologi
Sekitar 75% GNAPS timbul setelah infeksi saluran pernapasan
bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49,
55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit. Infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.

Streptokokus sebagai penyebab GNAPS pertama kali dikemukakan


oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan bukti timbulnya GNA setelah
infeksi saluran nafas, kuman Streptokokus beta hemolyticus
golongan A dari isolasi dan meningkatnya titer anti-streptolisin
pada serum penderita. Protein M spesifik pada Streptokokus beta
hemolitikus grup A diperkirakan merupakan tipe nefritogenik.
Protein M tipe 1, 2, 4 dan 12 berhubungan dengan infeksi saluran
nafas atas sedangkan tipe 47, 49, dan 55 berhubungan dengan
infeksi kulit.

Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi


mempengaruhi terjadinya GNAPS. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
1. Bakteri: Streptokokus grup C, Meningococcocus,
Streptoccocus viridans, Gonococcus, Leptospira,
Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella
typhi, dll 2
2. Virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus,
influenza, parotitis epidemika
3. Parasit: Malaria dan toksoplasma

12
2.6.1.4. Patofisiologi
Bakteri streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada ginjal,
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen
khusus yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal
spesifik. Pada GNAPS terbentuk kompleks antigen-antibodi
didalam darah yang bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran
basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi
dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN)
dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim
lisosom juga merusak endotel dan membran basalis glomerulus
(IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran
kapiler gromelurus menyebabkan protein dan eritrosit dapat keluar
ke dalam urin sehingga terjadi proteinuria dan hematuria.
Kompleks komplemen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai
nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk
granular dan berbungkahbungkah pada mikroskop
imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

2.6.1.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis GNAPS dapat bermacam-macam. Kadang-kadang
gejala ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat.
Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan
hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi, kadangkadang disertai edema
ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.
Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal
jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju

13
filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi
edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan
pada retensi air dan natrium.

2.6.1.6. Pemeriksaan Penunjang


 Urinalisis dan serum
Urinalisis menunjukkan adanya hematuria makroskopik
ditemukan hampir pada 50% penderita, proteinuria (+1 sampai
+4), kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik,
leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin
(+), silinder lekosit (+) dan lainlain. Kadang-kadang kadar
ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal
ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia.
 Histopatologi
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat
titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak
hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat disebut
glomerulonefritis difusa. Tampak proliferasi sel endotel
glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler
dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat
pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus
dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan
tampak membrana basalis menebal tidak teratur

2.6.1.7. Prognosis
Sebagian besar pasien akan sembuh, diuresis akan menjadi normal
kembali pada hari ke 7-10 disertai dengan menghilangnya edem
dan tekanan darah menjadi normal kembali secara bertahap. Fungsi
ginjal membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu
3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8
minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.

2.6.2. Nefritis interstisial akut (NIA)


2.6.2.1. Definisi

14
Nefritis interstisial akut dapat bermaniefstasi menjadi gagal ginjal
akut, dan pada biopsi ginjal memperlihatkan peradangan infiltrat
akut pada interstisial ginjal disertai dengan edema interstisial,
biasanya berhubungan dengan kemunduran dari fungsi ginjal.

2.6.2.2. Etiologi
Seperti yang terlihat pada tabel 1, penyebab utama NIA dapat
dibagi atas yang berhubungan dengan obat, infeksi, idiopatik dan
yang berhubungan dengan sarkoidosis dan penyakit sistemik
lainnya. Lesi tubulointerstisial yang biasanya berhubungan dengan
glomerulonefritis biasanya tidak termasuk dalam NIA. Berdasarkan
etiologi tersebut, NIA yang disebabkan oleh obat merupakan
penyebab tersering, yaitu sekitar 2/3 kasus, infeksi 15%, idiopatik
10% dan TINU (Tubulointerstisial nefritis uveitis) sekitar 4%,
sisanya merupakan gangguan akibat penyakit sistemik.

2.6.2.3. Patologi dan Patofisiologi


Karakteristik peradangan sel infiltrat NIA dapat difus atau patchy.
Edema interstisial merupakan temuan yang khas, dimana
glomerulus dan pembuluh darah normal. Infiltrat interstisial
sebagian berisi limfosit (sel T CD4+ merupakan tipe tersering),
makrofag, eosinofil, dan sel plasma. Granuloma interstisial dapat
terjadi pada beberapa kasus NIA yang diiunduksi obat, tetapi
kemungkinan adanya sarkoidosis, tuberculosis dan beberapa infeksi
lain harus tetap dipertimbangkan jika ditemukan granuloma.

15
Gambar 4. Infiltrasi sel-sel radang di ruang interstisial pada NIA
yang diinduksi oleh obat

NIA yang diinduksi oleh obat biasanya melibatkan imunitas yang


dimediasi sel, Meskipun pada biopsi ginjal terkadang tidak
ditemukan adanya deposit imun. Hipotesis ini diperkuat dengan
adanya fakta bahawa infiltrat interstisial biasanya berisi sel-T dan
terkadang terdapat granuloma. Meskipun demikian, penurunan
antibody anti TBM atau kompleks imun dapat diperhatikan dari
biopsi ginjal. berdasarkan hal tersebut, maka sistem imun yang
dimediasi antibody bisa saja berperan dalam menyebabkan nefritis
interstisial ini.

Gambar 5. Mekanisme terjadinya NIA yang diinduksi oleh obat. (a)


Obat berikatan dengan komponen TBM normal dan berfungsi
sebagai hapten. (b) Obat meniru sautu antigen yang sesacara
normal ada di TBM atau di interstisial dan menginduksi respon
imun yang juga bisa secara langsung melawan antigen ini. (c) Obat
berikatan pada TBM dan berlaku seolah-olah antigen yang
terperangkap. (d) Obat dapat menyebabkan terbentuknya antibody
dan menjadi deposit pada interstisial sebagai kompleks imun dalam
sirkulasi.

Hasil studi imunofluoresens negatif pada sebagian pasien, meski


deposit granular maupun linear dari IgG atau komplemen
sepanjang TBM dapat diamati. Jarangnya ditemukan deposit linear

16
homogeny IgG sepanjang TBM menunjukkan antibodi yang secara
langsung melawan antigen TBM, sebagai penyakit anti-TBM,
tetapi dapat juga diterangkan pada berbagai kasus sebagai AIN
yang diinduksi obat. Elektromikroskopi tidak menunjukkan adanya
kelainan. Pada beberapa pasien dengan AIN yang diunduksi oleh
NSAID juga dapat disertai dengan sindrom nefrotik, dapat
ditemukan penghapusan difus dari kaki podosit. Perubahan fibrosis
dapat dilihat 7-10 hari dari proses peradangan dan secara progresisf
menjadi fibrosis interstisial yang disertai dengan atrofi tubular
kecuali jika secara cepat diberikan pengobatan steroid.

2.7.N06 Isolated Proteinuria with Specified Morphological Lesion


2.7.1. Definisi
Proteinuria adalah suatu kondisi dimana urin mengandung jumlah protein
abnormal. Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang
melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam. Proteinuria
dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mg/hari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.

Protein dapat ditemukan di dalam urin anak sehat.Diperkirakan bervariasi,


tetapi batas atas ekskresi protein normal yang pantas pada anak sehat adalah
150 mg/24 jam.Kirakira separuh dari protein ini berasal dari plasma,
albumin merupakan fraksi yang paling besar kurang dari 30 mg/24jam.
Protein urin normal sisanya adalah protein Tamm-Horsfall, suatu
mukoprotein yang diproduksi dalam tubulus distalis dan belum diketahui
fungsinya.

Proteinuria tidak bergejala yang menetap didefinisikan sebagai proteinuria


pada anak yang tampak sehat dan kejadiannya tanpa hematuria serta
menetap selama 3 bulan. Prevalensinya pada anak usia sekolah mungkin
sekitar 6%. Besarnya proteinuria biasanya kurang dari 2.000 mg/24 jam;
proteinuria ini tidak pernah disertai dengan edema. Penyebabnya mencakup
proteinuri postural, glomerulonefritis membranosa dan glomerulonefritis

17
membranoproliferatif, pielonefritis, nefritis herediter, anomali
perkembangan, dan proteinuria benigna.

2.7.2. Patofisiologi
Ginjal merupakan organ yang berfungsi menjaga homeostasis. Unit
fungsional utama ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus dan
tubulus. Glomeruli merupakan jaringan kapiler yaitu arteriol aferen dan
arteriol eferen dan dikelilingi oleh membran capsula bowman.
Terdapat 3 mekanisme terjadinya proteinuria, yaitu :
1. Adanya kerusakan dinding kapiler glomeruli yang menyebabkan
protein plasma dengan berat molekul besar lolos dan melampaui
kemampuan reabsorbsi tubulus sehingga terjadi proteinuria. Kerusakan
kapiler glomeruli ini dapat disebabkan oleh peningkatan ukuran atau
jumlah pori atau perubahan muatan listrik dinding glomerulus.
2. Adanya kelainan atau kerusakan tubulus yang menyebabkan gangguan
kemampuan reabsorbsitubulus proksimal sehingga terjadi proteinuria
dengan berat molekul kecil.
Peningkatan produksi protein normal dan abnormal yang melampaui
kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal.

2.7.3. Etiologi
Menurut (Rubenstein, 2007a:223) proteinuria dapat disebabkan oleh faktor-
faktor sebagai berikut:
1. Penyakit glomelurus: glomerulonefritis, glomeruloskerosis (diabetik
dan hipertensi). Deposit amiloid glomerulus.
2. Penyakit tubulus (akibat gangguan reabsorpsi atau protein yang
disaring); nefritis interstisialis kronis, fase poliurik pada nekrosis
tubulus akut, sindrom fanconi, toksin tubulus (aminoglikosid, timah,
kadmium).
3. Penyakit non-ginjal: demam, olahraga berat, gagal jantung, proteinuria
ortostatik, suatu keadaan yang tidak berbahaya pada 2% remaja dimana
terjadi proteinuria dalam posisi tegak namun tidak saat berbaring.
4. Penyakit saluraan kemih: infeksi, tumor, kalkuli.

18
5. Peningkatan produksi protein yang bisa disaring; rantai panjang
imunoglobulin (protein Bence Jones) pada mieloma, mioglobinuria,
hemoglobinuria.
6. Trombosis vena renalis adalah sebab sekaligus akibat dari proteinuria.

2.7.4. Patologi

Menurut (Bawazier, 2009e:957) indikator perburukan fungsi ginjal


merupakan manifestasi dari penyakit ginjal. Dikatakan patologis bila protein
dalam urin lebih dari 150 mg / 24 jam atau 200 mg / 24 jam. 3 macam
proteinuria patologis:
a. Proteinuria glomerulus
Bentuk ini hampir disemua penyakit ginjal, dimana albumin protein
yang dominan pada urin (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein
dengan berat molekul rendah ditemukan hanya dalam jumlah
sedikit (Bawazier, 2009f:957).

Ada 2 faktor utama sebagai penyebab filtrasi glomerulus meningkat


yaitu ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang dipengaruhi oleh
glomerulus pada sejumlah kapasitas tubulus yang berlebihan
menyebabkan proteinuria. Dan faktor kedua yaitu peningkatan tekanan
kapiler glomerulus menyebabkan gangguan hemodinamik. Filtrasi
menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang
meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik dinding
kapiler glomerulus. Akibat terjadinya kebocoran pada glomerulus yang
berhubungan dengan kenaikan permeabilitas membran basal
glomerulus terhadap protein akan menyebabkan timbulnya proteinuria.
Contoh dari proteinuria glomerulus, mikroalbuminuria (jumlah 30-300
mg/hari), normal: tidak lebih dari 30 mg/hari, merupakan marker
penurunan faal ginjal LFG dan penyakit kardiovaskular sistemik.
proteinuria klinis, jumlahnya 1-5 mg/hari (Bawazier, 2009g:957).

b. Proteinuria tubular

19
Ditemukannya protein berat molekul rendah antara 100-150 mg/hari
terdiri atas β-2 mikroglobulin. Disebabkan karena renal tubular
asidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis dan
akibat cangkok ginjal (Bawazier, 2009h:958).

c. Overflow proteinuria
Ekskresi protein dengan berat molekul < 40000 Dalton → Light Chain
Imunoglobulin, protein ini disebut dengan protein Bences Jones.
Terjadi karena kelainan filtrasi dari glomerulus dan kemampuan
reabsorbsi tubulus proksimal (Bawazier, 2009i:958).

2.8.N07 Hereditary Nephropathy, NEC


2.8.1. Definisi
2.8.2. Etiologi
Hiperglikemia adalah faktor utama penyebab nef- ropati. Disamping itu
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya nefropati antara
lain hipertensi, genetik, dan kebiasaan merokok juga ber- kontribusi.
Hipertensi adalah faktor yang penting ka- rena dapat mempercepat onset
mikroalbuminuria dan sebagai riwayat keluarga dapat meningkatkan risiko.

2.9 N08* Glomerular Disorder in Disease Classiefied Elswhere


2.9.1. Definisi

Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia. Uremia adalah suatu
keadaan dimana urea dan limbah nitrogen lainnya beredar dalam darah yang
merupakan komplikasi akibat tidak dilakukannya dialisis atau transplantasi
ginjal (Nursalam,2006).

Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (Smeltzer dan Bare,
1997 dalam Suharyanto dan Madjid, 2009). GGK adalah kerusakan ginjal

20
yang terjadi selama atau lebih 3 bulan dengan LFG kurang dari 60
ml/menit/1,73 m2 (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2011).

2.9.2. Etiologi
Secara garis besar, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
mengelompokkan. Etiologi gagal ginjal sebagai berikut :

Sedangkan, etiologi dari penyakit GGK sangat bervariasi seperti pada tabel
berikut :

21
2.9.3. Patofisiologi
Patofisiologi GGK diawali dengan adanya PGK yang bersifat
progresif. Patofisiologinya diawali dengan adanya etiologi yang
mendasarinya, tetapi dalam proses selanjutnya perkembangan yang terjadi
kurang lebih sama (Suwitra, 2009).

Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk


menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang tradisional
mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit, namun
dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian-bagian spesifik dari nefron
yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau
berubah strukturnya. Misalnya, lesi organik pada medula akan merusak
susunan anatomik pada lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida
pada pars ascendens lengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran
balik pemekat dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikenal dengan
nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat
bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur,
namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan
terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan
cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang
utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada
penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan air dan elektrolit tubuh saat LFG sangat menurun.

Urutan peristiwa dalam patofisiologi GGK dapat diuraikan dari segi


hipotesis nefron yang utuh. Meskipun PGK terus berlanjut, namun jumlah
zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan
homeostasis tidak berubah, meskipun jumlah nefron yang bertugas
melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi
penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan
filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron

22
meskipun LFG untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun
di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat
fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa
nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefron tinggi sehingga keseimbangan glomerulus atau tubulus
(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses
ekskresi maupun pada proses zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit
perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan
tersebut, karena makin rendah LFG (yang berarti makin sedikit nefron yang
ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya
kemampuan memekatkan atau mengencerkan urin menyebabkan berat jenis
urin menyebabkan nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia
(Sherwood, 2002).

2.10. N08.0* Glomerular Disorder in Infectious and Parasitic Disenses


Classified
Elswhere
2.10.1. Definisi
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi
dan inflamasi di glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu proses inflamasi
di glomeruli yang merupakan reaksi antigen-antibodi terhadap infeksi
bakteri atau virus tertentu. Infeksi yang paling sering terjadi adalah
setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A tipe
nefritogenik.

2.10.2. Epidemiologi

23
Sekitar 75% GNAPS timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian
atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A
tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus
ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska
streptokokus berkisar 10-15%.

Streptokokus sebagai penyebab GNAPS pertama kali dikemukakan oleh


Lohlein pada tahun 1907 dengan bukti timbulnya GNA setelah infeksi
saluran nafas, kuman Streptokokus beta hemolyticus golongan A dari
isolasi dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Protein M spesifik pada Streptokokus beta hemolitikus grup A
diperkirakan merupakan tipe nefritogenik. Protein M tipe 1, 2, 4 dan 12
berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas sedangkan tipe 47, 49,
dan 55 berhubungan dengan infeksi kulit.

Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi


mempengaruhi terjadinya GNAPS. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan
karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya :
1. Bakteri: Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus
viridans, Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma pneumoniae,
Staphylococcus albus, Salmonella typhi, dll
2. Virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika
3. Parasit: Malaria dan toksoplasma

2.10.3. Patofisiologi
Bakteri streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada ginjal, terdapat
suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Pada GNAPS
terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah yang bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis

24
terperangkap dalam membran basalis.4, 7, 9 Selanjutnya komplemen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis
dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis
glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan eritrosit dapat keluar ke dalam urin sehingga
terjadi proteinuria dan hematuria. Kompleks komplemen antigen-
antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada
mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-
bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya
glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

2.11. N08.1* Glomerular Disorder in Neoplastic Disease


2.11.1. Multiple Myeloma
2.11.1.1. Definisi
Multiple Myeloma (MM) adalah keganasan sel plasma yang
termasuk golongan Malignant Small Round Cell Tumor yang
ditandai oleh ekspansi immunoglobulin monoklonal dan
akumulasi abnormal sel plasma di dalam kompartemen sum-
sum tulang. (Norahmawati & K, 2014)

MM adalah tumor ganas pratama (primer) sumsum tulang


(SST) yang ditandai dengan pertumbuhan dan proliferasi
abnormal sel plasma disertai hasil (produksi) imunoglobulin
monoklonal. MM yang juga dikenal sebagai penyakit tumor
sel plasma atau Kahler's disease.

2.11.1.2. Etiologi
Penyebab (etiologi) MM tidak diketahui secara jelas.
Frekuensi kejadian kasus baru diperkirakan sekitar 5–
7/100.000 orang/tahun. Di Amerika Serikat tahun 2008

25
didiagnosis sekitar 19.920 kasus baru. MM ditemukan lebih
banyak di rumpun bangsa (ras) Afrikan-Amerikan
dibandingkan dengan Kaukasian, laki laki, usia 65 tahun.
Namun akhir-akhir ini, ditemukan pada usia rerata lebih
muda 57,5 tahun (Cina), dan Indonesia di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada usia rerata 52 tahun
(15–72 tahun). MM merupakan penyebab keganasan (kanker)
hematologis terbanyak kedua (10%) setelah Lymfoma Non
Hodgkin, sekitar 1% dari semua jenis keganasan dan sekitar
2% penyebab kematian di semua kanker. (T. Wongso, Dewi
LS, 2015)

Etiologi MM tidak diketahui secara jelas, tetapi diduga


berhubungan dengan kromosom tidak wajar (abnormal),
virus, ras Afrikan-Amerikan, lakilaki, usia tua, rangsangan
imun kronik dan faktor berkebahayaan (risiko): pajanan
pancaran (radiasi), pajanan akibat pekerjaan (occupational
exposure).

2.11.1.3. Patogenesis
Timbul dan perjalanan penyakit (patogenesis) MM diawali
adanya hasilan (produksi) sel plasma yang tidak terkendali
(uncontrol) yang berdampak di produksi imunoglobulin
monoclonal (protein M, protein myeloma atau paraprotein)
nirfungsi (nonfungsional) yang berlebihan serta, merangsang
hasilan (stimulasi produksi) IL-6 yang berperan dalam
kegiatan (aktivitas) sel penyerap tulang (osteoklas)
menghasilkan "jejas tulang terurai (bone lytic lesions)"
sebagai penanda (hallmark) MM dengan penampakan
(manifestasi) nyeri tulang sehingga sering disalahartikan
dengan kanker tulang (bone cancer). Protein M ditemukan
dalam bentuk IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE dan/atau keluar
kemih protein (BenceJones proteinuria) yang terdiri dari

26
Kappa(k) dan lambda (l), dan dapat ditemukan secara
bersamaan dalam tubuh dengan perbandingan (proporsi) yang
berbeda. Di antara jenis (tipe) Ig yang tersering ditemukan
adalah IgG (60–70%) dan IgA (20%). Flaming cells (plasma
flame cell) merupakan pengubahsuaian (modifikasi) sel
plasma seperti yang digambarkan pertama kali oleh Undritz
dengan gambaran tepi/pinggir sitoplasma yang umbaiumbai
seperti nyala api (fiery fringers) berwarna merah hingga
lembayung. Sel ini secara sederhana (klasik) berhubungan
dengan multiple myeloma IgA. Namun penelitian lain
membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara flaming cells
dengan IgA buatan (sintetik). Hal ini diperkuat berdasarkan
laporan kasus flaming cells MM tipe IgG di Jepang oleh
Miyoshi dkk (2004). Gejala klinik beragam bergantung
banyaknya alat tubuh (organ) yang terlibat. Dikenal empat (4)
yang disingkat "KGKdT/CRAB" yang terdiri dari C: kalsium
/ calcium (meninggi / elevated), R: gagal / kekurangan fungsi
ginjal (renal failure / insufficiency), A: anemia dan B: tulang
(bone). Bakuan (standar) diagnosis MM ditetapkan bila
ditemukan paling sedikit (minimal) satu patokan utama
(kriteria mayor) dan satu patokan kecil (kriteria minor) atau
tiga kriteria minor.

27
Multiple myeloma umumnya tanpa gejala (asimptomatis) di
masa penyakit (stadium) awal, sehingga sering terdiagnosis
secara kebetulan (insidentil) saat seorang pasien/penderita
menjalani pemeriksaan kegiatan biasanya (rutin) untuk jenis
penyakit yang lain (berbeda). Keluhan baru muncul ketika
penderita dalam stadium lanjut, sehingga penderita sering
tidak terdiagnosis (under diagnostic) atau terlambat
didiagnosis. May Yujie dkk (2007) menyatakan bahwa:
"lebih dari 80% penderita MM di Cina ditemukan pertama
kali dalam masa penyakit (stadium) III Durie-Salmon".
Penampakan (manifestasi) gejala klinik MM terjadi akibat
periapan (proliferasi) dan pengelompokan/akumulasi sel
plasma berlebihan dalam sumsum tulang dan proses patologis
yang terjadi akibat produksi protein M (IgG, IgA, IgD, IgE)
berlebihan dan/atau Bence-Jones proteinuria (k dan l) atau
pesusun (komponen) protein M yang dicirikan dengan M-
spike di SPE atau UPE. Dominasi sel plasma tersebut
berdampak pada penekanan produksi semua tipe sel darah
menyebabkan anemia, trombositopenia dan leukopenia
sehingga mudah terserang tularan (infeksi) kambuhan
(rekuren). Di sisi lain pertumbuhan sel myeloma akan

28
merusak susunan wajar (struktur normal) tulang baik secara
langsung melalui persawatan menyerbuk (mekanisme invasif)
oleh pertumbuhan plasmositoma atau melalui pengaktifan
(mekanisme aktivasi) osteoklast menghasilkan jejas tulang
melarut (bone lytic lesion) yang bertanda khas penyakit
(patognomonik) untuk MM. Gejala klinik tersering berupa
nyeri tulang (70%),10 hiperkalsemia, gejala kelikatan
meninggi (hiperviskositas) yang muncul ketika kepekatan
(konsentrasi) protein sangat tinggi dalam darah yang ditandai
dengan napas pendek, pusing dan nyeri dada. Pengukuran
immunoglobulin monoklonal dalam sirkulasi merupakan
standard untuk diagnosis, prognosis dan manajemen multiple
myeloma.

2.11.1.4. Penetapan Stadium Multiple Myeloma


Diagnosis dan peringkat (staging) MM sangat diperlukan
sehubungan dengan prognosis dan rencana terapi yang tepat
guna (efektif). Hingga saat ini kriteria Durie-Salmon yang
telah dikenal sejak tahun 1975 masih efektif dan digunakan
secara luas. MM dibagi atas tiga (3) masa penyakit/stadium
(I,II dan III) atas dasar empat (4) pengukuran masing-masing:
(1) Kadar M-protein, (2) Jumlah lytic bone lesion, (3) Hb dan
(4) Serum kalsium. Masing-masing stadium lebih lanjut
dibagi dalam golongan (kategori) A dan B berdasarkan hasil
menilai (evaluasi) fungsi ginjal. Disamping itu, dikenal pula
kriteria diagnosis dan staging baru yang lebih sederhana:
International Staging System (ISS) (dipublikasikan oleh
International Myeloma Working group pada tahun 2003) atas
dasar penilaian 2 hasil tes yakni b2-Mikroglobulin (b2-M)
dan Albumin.2,7 Gabungan (kombinasi) dari kedua kriteria
tersebut akan memberikan kekuatan prognostik terbaik
khususnya dalam kasus yang bertumpang-tindih

29
(overlapping) antara ragaman golongan (variasi kategori) dan
stadium MM.

2.11.1.5. Pengobatan Multiple Myeloma


Bakuan pengobatan (standar terapi) multiple myeloma
menggunakan pengobatan kimiawi (kemoterapi) atau terapi
antikanker dengan kombinasi melphalan dan prednisone
(MP). Biasanya obat diberikan setiap 3–4 minggu selama 6–9
bulan atau lebih. MP dapat memberikan pengurangan
(reduksi) kadar protein M sampai 50%. Terapi lainnya berupa
terapi terkait gejala (simptomatik) seperti: pemberian cairan
darah (transfusi) untuk anemia berat, pemisahan plasma
(plasmapharesis), allopurinol untuk menurunkan asam urat.
Prognosis penyakit bergantung seberapa cepat pertumbuhan

30
tumor, keparahan (progresivitas) penyakit, tanggapan
(respon) terhadap terapi dan keadaan umum pasien.
Prognosis MM dikategorikan jelek bila : Hb < 8,5 g/dL,
hiperkalsemia, jejas tulang melarut parah (advanced lytic
bone lesions), produksi rata-rata Ig tinggi (IgG > 7 g/dL; IgA
> 5 g/dL, Bence-Jones protein > 12 g/24 jam), fungsi ginjal
tidak normal, pedoman periapan (indeks proliferasi) sel
plasma tinggi, konsentrasi albumin serum rendah (< 3 g/dL),
konsentrasi b2-Mikroglobulin tinggi (> 6 mg/dL), CRP tinggi
dan perusakan (delesi) kromosom 13q.

2.12. Waldernstrom Macroglobulinaemia


2.12.2.1. Definisi
Penyakit Waldenstrom Makroglobulinemia adalah kelainan
limfoproliferatif sel B yang tidak umum, ditandai dengan
infiltrasi sumsum tulang oleh sel limfoplasmasitoid dan
adanya produksi IgM monoklonal.

2.12.2.2. Etiologi
Penyakit Waldenstrom pertama kali ditemukan pada tahun
1944 dari 2 pasien dengan perdarahan mulut dan hidung,
limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia berat,
trombositopenia, LED cepat, peningkatan viskositas serum,
peningkatan kadar globulin dengan berat molekul tinggi,
kadar fibrinogen rendah palsu, dominasi sel limfoid dalam
sumsum tulang, dan radiografi tulang normal (Fonseca, 2003;
Gertz, 2005; Singhal, 2004). Pada tahun 2008 sesuai definisi
dari WHO dan Revised European American Classification of
Lymphoid Neoplasms (REAL) penyakit Waldenstrom disebut
sebagai Limfoma Limfoplasmasitik (LLP) (Fonseca, 2003;
Singhal, 2004; Treon, 2006; Harris, 1999; Harris, 1994).

31
Penyakit Waldenstrom merupakan penyakit yang jarang. Di
Amerika Serikat pada tahun 2004 seperti yang dilaporkan
oleh Treon dkk, penyakit ini diperkirakan hanya 2% dari
semua keganasan hematologi (Treon, 2004). Menurut laporan
Gertz tahun 2005, angka kejadian penyakit ini di AS yaitu 3,4
per 1 juta penduduk pada pria dan 1,7 per 1 juta penduduk
pada wanita, dengan median usia 63 tahun. Angka kejadian
meningkat menjadi 36,3 per 1 juta penduduk pada umur lebih
dari 75 tahun (Gertz, 2005). Kasus lebih sering terjadi pada
ras Kaukasian daripada Afrika-Amerika (Fonseca, 2003;
Gertz, 2005). Angka kejadian di Indonesia belum didapatkan.

Penyebab penyakit Waldenstrom belum diketahui. Faktor


lingkungan mungkin berperan, misalnya infeksi virus
hepatitis C (HCV), paparan radiasi atau bahan kimia.
Penelitian Treon dkk pada tahun 2006 menemukan dugaan
penyakit Waldenstrom disebabkan oleh faktor genetik karena
diketahui ada hubungan keluarga tingkat pertama antara
pasien penyakit Waldenstrom dengan pasien penyakit
Waldenstrom lain, kelainan limfosit B seperti limfoma
nonHodgkin, mieloma, leukemia limfositik kronik (LLK),
leukemia limfositik akut (LLA), monoclonal gammopathy of
undetermined significance (MGUS), dan penyakit Hodgkin
(Treon, 2009)

2.12.2.3. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit Waldenstrom terjadi melalui 2 peran
penting, yaitu infiltrasi sel limfoplasmasitoid di berbagai
organ dan peningkatan kadar protein monoklonal IgM.
Infiltrasi terutama di sumsum tulang, limpa, dan kelenjar
getah bening, serta dapat menginfiltrasi hati, paru, saluran
cerna, ginjal, kulit, mata, dan sistem saraf pusat (SSP).
Infiltrasi sel limfoplasmasitoid dan peningkatan kadar protein

32
monoklonal IgM menyebabkan timbul sejumlah tanda dan
gejala klinis (Porce, 2006). Infiltrasi sel limfoplasmasitoid di
berbagai organ menyebabkan gejala konstitusional, yaitu
demam hilang timbul, keringat malam hari, lemah, anoreksia,
dan berat badan turun. Infiltrasi sel limfoplasmasitoid di hati,
limpa, dan kelenjar getah bening menyebabkan hepatomegali,
splenomegali, dan limfadenopati. Infiltrasi di paru
menyebabkan gejala batuk, nyeri dada dan sesak nafas, di
saluran cerna menyebabkan diare, malabsorbsi, perdarahan
usus, dan obstruksi usus, di kulit menyebabkan nodul kulit, di
mata menyebabkan kelumpuhan saraf mata, dan di SSP
menyebabkan kelainan SSP berupa sindroma Bing-Neel yang
ditandai dengan bingung, hilang ingatan, disorientasi, dan
disfungsi motorik. Infiltrasi sel limfoplasmasitoid juga bisa
terjadi di ginjal (Fonseca, 2003; Gertz, 2005; Dimopoulos,
2005).

Peningkatan kadar monoklonal IgM dapat menyebabkan 4


macam manifestasi klinis, yaitu gejala berkaitan dengan
sindroma hiperviskositas, krioglobulinemia, aktivitas
autoantibodi, dan deposit IgM di jaringan. Gejala utama
sindroma hiperviskositas yaitu perdarahan gusi dan hidung,
gangguan penglihatan, serta kelainan neurologis. Selain itu,
sindroma hiperviskositas juga dapat menyebabkan
perdarahan saluran cerna, perdarahan pasca operasi, tuli,
sinkop, ataksia, diplopia, perdarahan serebral, kejang, dan
gagal jantung (Fonseca, 2003; Gertz, 2005). Gejala biasanya
terjadi pada kadar IgM ≥ 3 g/dl atau viskositas serum > 4
centipoises (cp). Penurunan sedikit saja dari kadar protein
IgM dapat secara dramatis menurunkan viskositas dan
menyebabkan perbaikan gejala.

33
Manifestasi klinis krioglobulinemia yaitu Fenomena
Raynaud, akrosianosis, dan nekrosis pada bagian tubuh yang
sering terpapar dingin seperti ujung hidung, telinga, serta jari
tangan dan kaki. Keadaan ini dapat diatasi dengan
plasmaferesis atau plasma exchange. Aktivitas autoantibodi
monoklonal IgM terhadap Myelin Associated Glycoprotein
(MAG) menimbulkan gejala neuropati khas yang sifatnya
simetris, distal ekstremitas, mempengaruhi fungsi sensorik
berupa parestesi atau nyeri tumpul, serta fungsi motorik
seperti ataksia, atropi otot lengan, dan gaya berjalan
abnormal. Aktivitas autoantibodi monoklonal IgM terhadap
Fc dari IgG menimbulkan gejala purpura, artralgia, lemas,
neuropati perifer, gangguan fungsi hati dan gangguan ginjal
berupa glomerulonefritis krioglobulinemia. Aktivitas
autoantibodi monoklonal IgM terhadap antigen spesifik
eritrosit menyebabkan terjadi anemia hemolitik kronis.
Deposit monoklonal IgM di membran basalis kulit
menyebabkan timbul bula dan papul, di usus menyebabkan
diare, malabsorbsi, dan perdarahan gastrointestinal, serta di
ginjal mengakibatkan proteinuria ringan. Deposit
imunoglobulin rantai ringan di jantung, paru, ginjal, hati, dan
saraf perifer/otonom menyebabkan timbulnya gejala lemas,
penurunan berat badan, edema, hepatomegali, makroglossi,
dan disfungsi organ terkait (Fonseca, 2003; Treon, 2009).

2.12.2.4. Pemeriksaan Waldenstrom Makroglobulinemia


Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit Waldenstrom
terdiri dari pemeriksaan hematologi dan imunologi.
Pemeriksaan hematologi untuk diagnosis penyakit
Waldenstrom terdiri dari pemeriksaan darah perifer dan
pemeriksaan sediaan aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan
darah perifer yaitu kadar hemoglobin, laju endap darah
(LED), gambaran darah tepi, dan viskositas serum (Treon,

34
2009). Kadar hemoglobin bervariasi, tetapi nilai rerata pada
pasien penyakit Waldenstrom adalah 10 g/dl (Fonseca, 2003;
Gertz, 2005; Dimopoulos; 2005). Jumlah leukosit dan
trombosit umumnya berada dalam rentang nilai normal. LED
cepat karena kadar protein monoklonal IgM yang tinggi
dalam serum. Molekul IgM diketahui bermuatan positif, bila
ada dalam jumlah banyak maka molekul tersebut akan
mengikat eritrosit secara elektrostatik sehingga terbentuk
rouleaux dan mempercepat LED (Fonseca, 2003; Treon,
2009). Gambaran darah tepi umumnya memperlihatkan
eritrosit normositik normokrom, adanya formasi rouleaux,
dan ditemukan sel limfoplasmasitoid (Fonseca, 2003; Gertz,
2005; Treon, 2009, Dimopoulos, 2005). Viskositas serum
diperiksa untuk menentukan adanya hiperviskositas (Treon,
2004).

Pada sediaan aspirasi sumsum tulang dapat ditemukan 3 tipe


sel yaitu limfosit kecil, sel limfoplasmasitoid dan sedikit sel
plasma matur. Sel mast biasa ditemukan bersama agregat
tumor dan dihubungkan dengan patogenesis (Fonseca, 2003;
Singhal, 2004, Treon, 2004). Selain itu, sekitar 40-80%
pasien penyakit Waldenstrom mengalami proteinuria rantai
ringan yang disebut protein Bence Jones, tapi kadar melebihi
1 g/24 jam hanya terjadi pada 3% kasus (Fonseca, 2003;
Treon, 2004; Treon, 2009). Pada pemeriksaan imunologi
diperiksa kadar IgM, krioglobulin, serta elektroforesis dan
imunofiksasi protein (Treon, 2009). Kadar protein IgM,
monoklonal serum bervariasi, tapi umumnya antara 1,5-4,5
g/dL (Gertz, 2005; Treon, 2009). Krioglobulin positif sangat
menunjang diagnosis penyakit Waldenstrom. Pada
pemeriksaan elektroforesis protein serum dapat terlihat
adanya ’M spike’, yaitu peningkatan monoklonal protein
dengan mobilitas beta ke gamma. Dengan imunofiksasi dapat

35
diketahui adanya protein IgM monoklonal (Fonseca, 2003;
Singhal, 2004). Kriteria diagnosis penyakit Waldenstrom
berdasarkan Second International Workshop on
Waldenstrom’s Macroglobulinemia tahun 2002 yaitu protein
monoklonal IgM pada berbagai konsentrasi, infiltrasi
sumsum tulang oleh limfosit kecil, sel limfoplasmasitoid dan
sel plasma, gambaran intertrabekular sumsum tulang, dan
profil imunofenotip sIgM+, CD5±, CD10-, CD19+, CD20+,
CD22+, CD23-, CD25+, CD27+, FMC7+, CD103, CD138-.
Gambaran intertrabekular sumsum tulang dan profil
imunofenotip hanya bersifat menunjang, (Singhal, 2004,
Dimopoulos, 2005, Vijay, 2007), sehingga diagnosis penyakit
Waldenstrom dapat ditegakkan dari adanya protein
monoklonal IgM pada berbagai konsentrasi dan infiltrasi
sumsum tulang oleh limfosit kecil, sel limfoplasmasitoid dan
sel plasma. (Purnamasari, Wirawan, & Kunci, 2015)

2.13. N08.2* Glomerular Disorder in Blood Disease and Diseorder Involving


the
Immune Mechanism
2.13.1. Cryoglobuminemia
2.13.1.1. Definisi
Cryoglobulinemia adalah entitas yang berbeda ditandai
dengan adanya cryoglobulin dalam serum. Cryoglobulin
adalah imunoglobulin yang mengendap secara in vitro pada
suhu di bawah tubuh normal suhu (, 37 ° C) dan larut kembali
setelah dihangatkan kembali. Cryoglobulinemia
dikategorikan ke dalam dua subkelompok utama: tipe I, yang
terlihat secara eksklusif dalam klonal penyakit hematologi,
dan tipe II / III, yang disebut cryoglobulinemia campuran dan
terlihat pada infeksi virus hepatitis C dan penyakit sistemik
seperti sel-B keganasan hematologi dan gangguan jaringan
ikat.

36
2.13.1.2. Etiologi
Istilah "cryoglobulin" diciptakan pada tahun 1947, dan pada
saat itu, cryoglobulin ditemukan sebagai globulin yang
muncul dalam berbagai penyakit. Cryoglobulinemia mungkin
tanpa gejala dan tanpa kerusakan organ akhir juga kadang-
kadang ditemukan sebagai insidental temuan laboratorium.
Istilah vaskulitis cryoglobulinemia sering digunakan untuk
membedakan keberadaan asimtomatik dari cryoglobulin
cryoglobulin yang menyebabkan kerusakan organ akhir
dengan mempercepat pembuluh darah ukuran kecil hingga
sedang.

2.13.1.3. Klasifikasi Cryoglobulinaemia


Klasifikasi cryoglobulinemia didasarkan pada suatu sistem
yang dikembangkan lebih dari 40 tahun yang lalu. Ini
memiliki keunggulan karena berkorelasi dengan patogenisitas
dan manifestasi klinis, yang berbeda di antara ketiga
jenisnya. Pada cryoglobulinemia tipe I, yang cryoglobulin
adalah imunoglobulin monoklonal (Ig), biasanya dari isotipe
IgG atau IgM dan jarang IgA atau rantai cahaya
imunoglobulin gratis. Tipe I cryoglobulinemia berkembang
di pengaturan gammopathies monoklonal yang mensekresi
protein. Gammopathy monoklonal dengan signifikansi yang
belum ditentukan (MGUS) terlihat pada; 40% pasien, dan
60% sisanya memiliki keganasan terbuka dari garis sel B
(misalnya, multiple myeloma [MM], Waldenstrom
macroglobulinemia [WM], atau limfositik kronis leukemia
[CLL]). Level krioglobulin tipe I tidak berbeda di antara
pasien dengan MGUS dan mereka dengan keganasan sel-B
Oleh karena itu, karakteristik kualitatif dari cryoglobulin
memainkan peran yang lebih besar dalam patogenesis
penyakit daripada cryoglobulin beban

37
Pada tipe II cryoglobulinemia, cryoglobulin tersusun dari
campuran IgM monoklonal dengan aktivitas faktor
rheumatoid (RF) dan IgG poliklonal. Ini biasanya terkait
dengan hepatitis C infeksi virus (HCV) hingga 90% dari
pasien. Ada variasi geografis, dan tingkat infeksi HCV yang
lebih tinggi terlihat di wilayah Mediterania. Penyebab lain
dari cryoglobulinemia tipe II termasuk infeksi lain (terutama
HIV dan virus hepatitis B) [HBV]), penyakit jaringan ikat
(CTD), dan gangguan limfoproliferatif. Sekitar 10% pasien
tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi (disebut
cryoglobulinemia esensial esensial campuran).

Tipe III ditandai dengan IgM poliklonal dengan aktivitas RF


dan IgG poliklonal. Jenis ini terlihat pada CTD atau sekunder
infeksi (terutama HCV). Secara keseluruhan, cryoglobulin
dalam campuran cryoglobulinemia dihasilkan dari proses
limfoproliferatif sel-B dalam pengaturan aktivasi kekebalan
persisten yang dipicu oleh infeksi kronis, penyakit autoimun,
atau penyebab yang tidak diketahui.

2.13.1.4. Patogenesis
Proses cryoprec presipitasi tidak sepenuhnya dipahami dan
mungkin berbeda antara tipe I dan tipe II / III. Dalam tipe I,
the komponen monoklonal mengalami kristalisasi dan
agregasi, yang tergantung pada suhu dan konsentrasi.
Meskipun definisi cryoglobulin adalah presipitasi pada suhu
dingin, proses ini dapat terjadi pada suhu kamar pada
cryoglobulin tinggi konsentrasi. Ini mungkin menjelaskan
mengapa ekstremitas distal (suhu lebih rendah) dan ginjal
(peningkatan konsentrasi sebagai hasil ultrafiltrasi) adalah
situs utama patologi. Dalam tipe II / III cryoglobulinemia,
cryoprec presipitasi terjadi dalam pengaturan pembentukan

38
kompleks imun antara IgG poliklonal dan IgM dengan
Aktivitas RF dan fiksasi komplemen. Cryoprec presipitasi
tidak bisa diinduksi oleh komponen IgM atau IgG secara
terpisah dan membutuhkan molekul IgG antigen-aviditas
spesifik. Ini menggarisbawahi sifat unik dari cryoglobulin
dan menjelaskan tingginya insiden HCV sebagai
penyebabnya.

2.13.1.5. Diagnosis dan Evaluasi Laboratorium


Diagnosis cryoglobulinemia didasarkan pada tipikal klinis
manifestasi di hadapan cryoglobulin dalam serum. Hasil
palsu dapat terjadi sebagai akibat dari penanganan sampel
yang tidak tepat. Sampel harus ditransfer dan disentrifugasi
pada suhu 37 ° C untuk menghindari presipitasi sebelum
ekstraksi serum. Dalam tipe I, presipitasi pada 1 hingga 4 ° C
biasanya terjadi dalam beberapa jam; Sampel harus disimpan
selama 7 hari karena presipitasi dapat ditunda dalam jenis
campuran. Jika tesnya negatif untuk cryoglobulin dan indeks
kecurigaan tetap tinggi, itu tepat untuk mengulang tes setelah
menghubungi laboratorium untuk memastikan bahwa sampel
telah ditangani dengan tepat. Setidaknya 5 mL sampel harus
diperoleh untuk meningkatkan hasil diagnostik karena tingkat
jejak cryoglobulin bisa bermakna secara klinis.

Ketika cryoglobulin terdeteksi, pengukuran cryocrit (yaitu,


volume relatif dari endapan sebagai persentase dari total
serum volume) harus dilaporkan jika memungkinkan. Level
cryocrit lebih tinggi di tipe I dan terendah di tipe III12 (bisa
lebih dari 50% di tipe I dan biasanya kurang dari 5% pada
tipe II / III). Korelasi antara cryocrit dan manifestasi penyakit
buruk, 13,14 meskipun cryocrit lebih tinggi dilaporkan
meningkatkan kemungkinan penyakit simtomatik cryocrit
adalah prognostik dalam beberapa penelitian. Secara

39
keseluruhan, penggunaan cryocrit harus disediakan untuk
diagnosis karena ada korelasi yang buruk antara cryocrit dan
respon terhadap pengobatan.
Setelah cryoprec presipitasi, endapan dingin endapan dan
endapan dilarutkan dalam larutan hangat; elektroforesis dan
imunoterapi adalah kemudian dilakukan untuk mengetik
cryoglobulin. Perbaikan kekebalan mungkin tidak layak jika
konsentrasi cryoglobulin rendah. Studi RF dan pelengkap
(C3, C4, CH50) adalah bagian dari evaluasi. RF meningkat
dan komplemen (terutama C4) menurun pada tipe campuran
tetapi bisa juga abnormal pada tipe I. kelainan serologis telah
menyebabkan misdiagnosis rheumatoid vaskulitis karena
kegagalan untuk mempertimbangkan cryoglobulinemia. Ini
parameter tidak berkorelasi baik dengan aktivitas penyakit
tetapi dapat digunakan untuk memantau respons terhadap
terapi. (Muchtar, Magen, & Gertz, 2017)

2.14. Disseminated Intravascular Coagulation [Defibrination Syndrome]


2.14.1.1. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom patologiklinis
yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai
dengan aktivasi sistemik jalur menuju dan mengatur
koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi bekuan fibrin
yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan
konsumsi
trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan
klinis perdarahan. Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan
kronik. Keduanya memiliki etiologi dan manifestasi klinis
yang berbeda. (Lubis, Handayani, Gatot, & Sitepu, 2009)

2.14.1.2. Etiologi

40
Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan
akut atau kronis. DIC pun dapat merupakan akibat dari
kelainan tunggal atau multipel.
A. DIC akut :
DIC akut berkembang ketika sejumlah besar
prokoagulan (faktor jaringan) memasuki sirkulasi pada
jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga
beberapa hari), sangat besar kemampuan tubuh untuk
mengisi faktor koagulasi dan predisposisi pasien
terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada
endotoksemia, trauma jaringan luas, wanita hamil
dengan komplikasi pre-eklampsi, atau terlepasnya
jaringan plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita
dengan hipotensi atau syok oleh berbagai sebab
(misalnya pada tindakan operasi, stroke luas, atau
serangan jantung.
 Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif,
ricketsia), virus (HIV, varicella, CMV, hepatitis,
virus dengue), fungal (histoplasma), parasit
(malaria)
 Keganasan : Hematologi (AML), Metastase (mucin
secreting
adenocarcinoma)
 Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.
 Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular,
Penyakit hati, Acute hepatic failure, luka bakar.
B. DIC kronik:
Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang
terlibat lebih kecil, sehingga stimulasi lebih kurang kuat
dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh untuk
mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan
trombosit. DIC kronik biasanya berkembang secara

41
perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan dengan manifestasi klinik lebih bersifat
trombotik. DIC kronik sring terjadi pada penyakit kanker
(sindroma trousseau), aneurisme aorta, dan penyakit
inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker,
faktor resiko yang penting adalah usia lanjut, laki-laki,
kanker lanjut dan nekrosis pada tumor. Kebanyakan DIC
kronik terjadi pada penderita kanker jenis
adenokarsinoma paru, payudara, prostat atau kolorektal.
 Keganasan : rumor solid, lekemi,
 Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta
 Hematologi : sindrom mieloproliferatif
 Vaskular : rematoid artritis, penyakit raynaud
 Cardiovascular - infark miokard
 Inflamasi : ulcerative colitis, penyakit crohn,
sarcoidosis

2.14.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya :
 Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)
 Depresi prokoagulan
 Defek Fibrinolisis

Pembentukan fibrin secara sistemik terjadi akibat


peningkatan pembentukan trombin, bersamaan dengan
mekanisme supresi antikoagulan fisiologis dan destruksi
fibrin yang terlambat, pada akhirnya dapat menyebabkan
gangguan fibrinolisis. Hampir semua respon inflamasi
sistemik , gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada DIC
dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi. Mediator yang
terlibat dalam aktivasi koagulasi terutama interleukin 6 (IL-
6). Tumor necrosis factor (TNF) secara tidak langsung
mempengaruhi pengaktifan koagulasi karena efeknya pada

42
IL-6 dan merupakan mediator yang penting dalam disregulasi
jalur antikoagulan fisiologis dan defek fibrinolisis. Ada 3
proses yang terlibat dalam terjadinya DIC, yaitu sebagai
berikut :

 Pembentukan Trombin
Pembentukan trombin sistemik pada binatang
percobaan dengan DIC menunjukkan bahwa secara
eksklusif, proses ini diperantarai oleh jalur ekstrinsik
yang melibatkan faktor jaringan (TF) dan faktor VIIa.
Trombin di dalam sirkulasi memecah fibrinogen
menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang
agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII,
serta melepas aktivator plasminogen yang membentuk
plasmin. Plasmin memecah fibrin membentuk produk
degradasi fibrin dan selanjutnya menginaktivasi faktor
V dan VIII. Aktivitas trombin yang berlebihan
mengakibatkan berkurangnya fibrinogen,
trombositopenia, faktor-faktor koagulasi, dan
fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus.
 Defek pada Inhibitor Koagulan
Antikoagulan fisiologis terdiri atas antithombin III,
protein C, dan tissue factor– pathway inhibitor (TFPI).
Kadar antitrombin III dalam plasma menurun akibat
koagulasi berkelanjutan, degradasi oleh elastase yang
dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi, dan
gangguan sintesis antitrombin III. Gangguan pada
sistem protein C dapat mengganggu regulasi aktivitas
koagulasi. Penurunan aktivitas protein C disebabkan
oleh gabungan gangguan sintesis protein, penurunan
aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai
sitokin, dan kurangnya kadar fraksi bebas protein S
(kofaktor penting protein C). Protein C diubah

43
menjadi protease aktif oleh trombin setelah terikat
pada trombomodulin. Tissue factor yang merupakan
pencetus DIC dihambat oleh tissue factor-pathway
inhibitor (TFPI).
 Defek Fibrinolitik
Penelitian pada binatang percobaan dengan DIC
mengindikasikan bahwa sistem fibrinolitik sebagian
besar tertekan pada saat aktivasi koagulasi maksimal.
Inhibisi ini disebabkan oleh peningkatan kadar
plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) yang
menetap. Penelitian klinis menunjukkan bahwa supresi
fibrinolisis diperantarai oleh PAI-1 dan walaupun ada
beberapa aktivitas fibrinolitik dalam respon terhadap
pembentukan fibrin, tingkat aktivitas ini terlalu rendah
untuk mengimbangi deposisi fibrin sistemik

2.14.1.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain :
 Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik
 Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang
ringan sampai koma, Perdarahan Intrakranial
 Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya
pembuluh darah perifer
 Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat
mengakibatkan gagal napas yang dapat menyebabkan
kematian.
 Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia
 Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria,
Metrorrhagia, Perdarahan uterus

2.15. Henoch(-Schönlein) Purpura


2.15.1. Definisi
Henoch-Schonlein Purpura (HSP) atau disebut juga sebagai
purpura anafilaktoid adalah penyakit sistemik berupa
vaskulitis pembuluh darah kecil yang terutama menyerang
anak-anak. Vaskulitis sendiri didefinisikan sebagai suatu

44
inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah, yang
mengakibatkan rusaknya dinding pembuluh darah sehingga
menyebabkan terjadinya proses hemoragik dan atau iskemia.
HSP merupakan suatu kelainan berupa leukositoklastik
vaskulitis (LcV) yang merupakan suatu proses imunologi dan
inflamasi yang sangat kompleks. Pada kondisi ini terdapat
interaksi antara leukosit dan sel endotel pembuluh darah yang
menyebabkan terjadinya LcV. Penyakit ini ditandai oleh lesi
kulit spesifik berupa purpura nontrombositopenik, artritis,
nyeri perut dan perdarahan saluran cerna, serta dapat pula
disertai nefritis. Kelainan ini dapat mengenai semua usia, tetapi
sebagian besar terjadi pada anak usia antara 2 – 11 tahun, lebih
sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan dengan perbandingan 1,5 : 1. Insidens kelainan ini
rata-rata 14 per 100.000 populasi. (Prameswari, Indramaya, &
Sandhika, 2012)

2.15.2. Etiologi
Purpura Henoch-Schönlein disebut juga sebagai purpura
anafilaktoid. Istilah ini diambil dari nama dua orang dokter
yang berasal dari Jerman. Pada tahun 1837, Johan Schönlein
menggunakan istilah peliosis rheumatica untuk
menggambarkan beberapa kasus dengan gejala klinis nyeri
sendi dan purpura. Pada tahun 1874, Henoch murid Schönlein
menjumpai kasus serupa, namun disertai dengan gejala nefritis,
kolik abdomen, dan melena. Etiologi terjadinya PHS sampai
saat ini masih belum diketahui, tetapi dilaporkan PHS sering
terjadi setelah infeksi saluran napas atas. Lebih dari sepertiga
kasus PHS menunjukkan kultur tenggorokan positif terhadap
Streptococcus b haemolyticus grup A, disertai peningkatan titer
anti streptolisin O.

45
Beberapa kasus PHS juga terjadi setelah pasien terinfeksi
dengan Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumonia,
Helicobacter pylori, Campylobacter jejuni, Shigella sp,
Epstein Barr virus, Yersinia, virus hepatitis A,B dan C,
varicella, measles, rubella, adenovirus, CMV, dan Parvovirus
B19. PHS dapat juga timbul setelah vaksinasi tifoid, campak,
dan kolera. Pencetus lain adalah gigitan serangga, toksin
kimiawi, dan obatobatan seperti penisilin, eritromisin, dan
antikonvulsan.

2.15.3. Patologi
Penyakit ini merupakan vaskulitis pembuluh darah kecil yang
diperantarai oleh IgA sebagai respons terhadap antigen asing
atau endogen sehingga terbentuk deposit kompleks IgA pada
pembuluh darah kecil yaitu venula, kapiler, dan arteriol. Ig A
makromolekular dan Ig A kompleks imun ini akan mengendap
sehingga mengaktivasi sistim komplemen melalui jalur
alternatif. Deposit kompleks imun dan aktivasi komplemen
mengakibatkan terjadinya inflamasi pada pembuluh darah kecil
di kulit, ginjal, sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura di
kulit, nefritis, dan artritis. Pada pasien PHS terdapat kelainan
yang melibatkan IgA, antara lain peningkatan kadar IgA di
dalam serum, agregat makromolekuler yang mengandung Ig A,
Ig A kompleks imun, Ig A faktor rematoid, Ig A kompleks
fibronektin, Ig A antikardiolipin antibodi, IgA antineutrophil
cytoplasmic antibodies dan IgA antiendothelial cell antibodies.

2.15.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis PHS bervariasi dari erupsi kulit berupa
petekie minimal sampai melibatkan gangguan sistemik yang
berat. Kelainan kulit dimulai dengan terbentuknya ruam
makula eritematosa yang berkembang menjadi purpura dalam
waktu singkat. Lesi kulit ini penting dalam mendiagnosis PHS

46
karena terdapat pada 100% kasus PHS. Purpura terutama
terdapat pada kulit bokong dan ekstremitas bawah tetapi dapat
juga ditemukan pada lengan, muka, dan seluruh tubuh. Purpura
PHS ini menonjol di atas permukaan kulit sehingga dapat
diraba dan kadang disertai rasa gatal yang minimal.

Gejala sendi terjadi pada 60–84% pasien PHS berupa artralgia


atau artritis yang mengenai satu atau beberapa sendi. Tempat
predileksi yang paling sering adalah pergelangan kaki dan lutut
namun kadangkadang sendi ekstremitas atas dapat pula
terkena. Gejala gastrointestinal ditemukan pada 35–85% kasus
PHS dan sering kali merupakan gejala awal dari penyakit ini.
Gejala yang melibatkan gastrointestinal bervariasi dari mual,
muntah, nyeri perut hingga perdarahan. Intususepsi ileoileal,
perforasi usus serta pankreatitis merupakan komplikasi berat
yang dapat memperlihatkan adanya edem, erosi hingga
perdarahan lambung dan duodenum.

Manifestasi kelainan ginjal dapat terjadi pada 20– 50% pasien


dengan PHS. Gejala yang tersering adalah hematuria
mikroskopik dengan atau tanpa proteinuria sampai
glomerulonefritis progresif yang dapat menimbulkan gagal
ginjal. Beberapa peneliti menemukan bahwa kelainan ginjal
lebih sering terjadi pada pasien yang mempunyai kelainan
gastrointestinal. Kurang lebih 5% pasien dengan nefritis dapat
berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir.

Keterlibatan sistem saraf pusat terjadi pada 2–8% pasien,


mulai dari nyeri kepala, kejang, perdarahan intrakranial,
hemiparesis, dan gejala neurologis fokal. Perdarahan paru dan
pleural jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang fatal.
Manifestasi yang jarang lainnya dari PHS adalah miokarditis,
hepatomegali, pankreatitis dan kolesistitis.

47
2.15.5. Diagnosis
Diagnosis PHS dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
saja yaitu dengan ditemukannya purpura yang dapat diraba
terutama di bokong dan ekstremitas bawah, dengan salah satu
gejala berikut yaitu nyeri perut disertai atau tanpa perdarahan
saluran cerna, artritis, hematuria atau nefritis.
American College of Rheumatology (ACR) membuat 4 kriteria
untuk mendiagnosis PHS,9 sebagai berikut:
 purpura yang teraba
 umur < 20 tahun saat awitan penyakit
 bowel angina (nyeri perut difus atau didiagnosis iskemi
usus disertai diare berdarah)
 hasil biopsi membuktikan granulosit pada dinding
pembuluh darah arteriol atau venula.
Diagnosis PHS dapat ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4
kriteria di atas dengan sensitivitas 87,1 % dan spesifisitas
87,7%. (Tendean & Siregar, 2016).

2.16. Haemolytic-Uraemic Syndrome


2.16.1 Diagnosis
Sindrom hemolitik uremik (SHU) merupakan sindrom klinik
yang ditandai dengan trias gejala: Anemia hemolitik
mikroangiopati, trombositopenia dan gagal ginjal, kadang-
kadang disertai gejala demarn dan gangguan neurologik (gejala
pentad).

Hemolytic uremic syndrome (HUS)merupakan suatu sindrom


klinis yang ditandai oleh gagal ginjal progresif disertai anemia
hemolitik mikroangiopati dan trombositopenia,
sepertithrombotic thrombocytopenic purpura (TTP). HUS
adalah bagian dari thrombotic microangiopathy yaitu penyakit
oklusi pembuluh darah kecil yang ditandai adanya agregasi

48
plateletin trarenal atausistemik, trombositopenia, dan injuri
mekanis pada eritrosit.

2.16.2. Etiologi
Pada TTP terjadi agregasi platelet pada mikrovaskuler sistemik
sehingga mengakibatkan iskemia pada otak dan organ lainnya.
Sementara pada HUS thrombus yang terdiri dari platelet dan
fibrin terutama menyumbat sirkulasi pada ginjal. TTP pertama
kali dijelaskan oleh Moschcowitz pada tahun 1924, sedangkan
HUS oleh Gasser dkk. Pada tahun 1955. Sampai tahun 1980-an
kedua penyakit ini tetap misterius.

Pada tahun 1985, Karmali dkk. menemukan hubungan antara


HUS dengan infeksi usus oleh Escheri- chia coli yang
menghasilkan verositotoksin atau shiga toxins (Stx). Secara
klinis TTP ditandai oleh pentad: trombositopenia, anemi
hemolitik mikroangiopati, kelainan neurologis, gagal ginjal
dan demam. Sementara pada HUS, gagal ginjal yang berat
merupakan gambaran klinis yang menonjol. Namun
perbedaan klinis antara TTP dan HUS tidak selalu dapat
dibedakan dengan jelas.

Terdapat dua bentuk presentasi yang khas pada HUS yaitu:


1) bentuk yang dikaitkan dengan diare /HUS (D+), biasanya
timbul secara akut setelah diare yang berdarah dan disertai
gagal ginjal. 2) bentuk yang tidak dikaitkan dengan
diare/bentuk sporadik dan idiopatik/ HUS (D-), biasanya
onsetnya insidius, sering tanpa penyakit prodromal
sebelumnya, disertai hipertensi berat dan gagal ginjal yang
ireversibel. Bentuk ini biasanya dijumpai pada orang
dewasa, mungkin terjadi postpar- tum dan kadang-kadang
mengenai lebih dari satu anggota keluarga. Perbedaan

49
diantara kedua presentasi HUS ini penting karena perjalanan
klinis dan progno- sisnya berbeda.

Sindrom uraemik hemolitik diklasifikasikan sebagai


pascainfeksi, dimediasi komplemen, yang mungkin turun
temurun dan / atau autoimun, atau terkait dengan kondisi lain
yang ada bersama seperti kehamilan, infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), transplantasi (sumsum tulang
dan organ padat), keganasan, penyakit autoimun, obat-obatan,
hipertensi maligna dan lainnya yang tidak biasa asosiasi,
beberapa di antaranya adalah turun temurun. Ada juga
beberapa tingkat tumpang tindih antar etiologi; misalnya, HUS
yang berhubungan dengan kehamilan dan HUS pasca
transplantasi mungkin terkait dengan mutasi komplemen.
Pasien dengan HUS, terlepas dari etiologi, hadir dengan pucat,
tanda dan gejala gagal ginjal, kemungkinan ikterus dan / atau
perdarahan dan purpura. (Crawford, 2017).

2.16.3. Patogenesis
Injuri sel endotel vaskuler merupakan patogenesis sentral
pada semua bentuk HUS, namun terdapat semakin
banyak bukti adanya injuri sel tubulus renalis pada HUS
(D+). Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan
aktivasi sel endotel yaitu antibodi antiendotelial, komplek
imun, lipopolisakarida, toksin, komplemen, dan obat-obatan.
Terjadi ekspresi tissue factor dan tissue-plasminogen
activator-inhibitor. Demikian pula terjadi sintesis dan
sekresi faktor von Willebrand dalam jumlah yang banyak,
sehingga timbul agregasi platelet melalui ikatan pada integrin
aiiibb3 pada permukaan platelet dan ikatan pada matrik
endothelial. Efek aktivasi sel endotel tadi menimbulkan
lima perubahan penting meliputi hilangnya integritas
vaskuler, ekspresi molekul adhesi-leukosit, produksi

50
sitokin, upregulasi molekul HLA, dan terjadi perubahan
fenotip dari keadaan antikoagulan menjadi keadaan
prokoagulan.

Shiga toxin-producing Escherichia coli (STEC) merupakan


penyebab utama kolitis hemoragik dan penyebab sebagian
besar kasus HUS. STEC toxins juga disebut Shiga-like toxins
karena serupa Shiga toxin (Stx) yaitu exotoxin yang dihasilkan
Shigella dysenteriae type 1. Pada manusia strain STEC
menghasilkan Stx 1 , Stx2, and variants (Stx2c, Stx2e).
STEC berkoloni pada mukosa kolon, kemudian menempel
pada vili mukosa dan melepaskan Stx. Tidak jelas apakah
Stx dilepaskan hanya sekali atau berkali kali ataupun secara
kontinyu, karena Stx ini tidak dapat dideteksi dalam
serum. Inflamasi pada kolon mengakibatkan terjadinya
absorpsi Stx dan lipopolisakarida dari saluran cerna secara
sistemik.

2.16.4. Diagnosis Laboratorium


HUS didefinisikan sebagai kejadian simultan dari hemolisis,
trombositopenia, dan ginjal akut kegagalan. Investigasi
laboratorium awal diperlukan untuk membuat diagnosis HUS
harus mencakup pemeriksaan hematologis, biokimiawi dan
mikrobiologis untuk deteksi anemia hemolitik,
trombositopenia, gagal ginjal, dan infeksi EHEC. Kelainan
biokimia mungkin terkait dengan kehilangan protein usus dan
ginjal dan elektrolit, serta kasih sayang ekstra-ginjal hati dan
pankreas. Urinalisis akan terungkap cedera glomerulus dengan
gips, hematuria dan proteinuria. Biakan darah biasanya negatif,
kecuali untuk kasus HUS terkait S. pneumoniae invasif.

Diagnosis HUS ditegakkan berdasarkan ditemukannya


triad anemia hemolitik mikroangiopati (coomb test negatif),

51
trombositopenia, dan gagal ginjal akut. HUS harus
dipertimbangkan dan dieksklusi pada semua kasus gagal
ginjal akut, khususnya yang dikaitkan dengan diare dan atau
hipertensi berat. Diagnosis infeksi E coli O157:H7 melalui
kultur feses dengan media sorbitol-MacConkey agar dan
menemukan antigen O157:H7. Juga dapat dideteksi
antibodi terhadap lipopolisakarida O157 dari sera pasien
fase konvalesen walau pemakaiannya terbatas pada penyakit
akut dan tidak tersedia secara luas. Tes deteksi cepat E. coli
O157:H7 dan shiga-like toxins pada feses sedang
dikembangkan.

2.16.5. Penanganan
Identifikasi infeksi dan diagnosis HUS secara dini sangat
penting. Belum ada konsensus yang jelas menyangkut
pemberian antibiotika pada infeksi E. coli dan belum jelas
apakah pemberian antibiotik diawal penyakit bermanfaat
atau bahkan mungkin meningkatkan risiko terjadinya HUS.
Suatu meta-anali- sis terakhir, tidak menemukan peningkatan
risiko HUS setelah pemberian antibiotik pada enteritis akibat
E. coli O157:H7. Studi in vitro dan pada binatang coba,
memperlihatkan waktu dan lama pemberian serta kelas
antibiotik yang diberikan berkaitan dengan risiko
terjadinya HUS. Beberapa studi menunjukkan, terapi
antibiotik di awal onset enteritis memberikan efek protektif.
Terapi antibotik sangat bermanfaat pada enteritis akibat
Camphylobacter jejuni, traveler’s diarrhea oleh
enterotoxigenic E. coli, dan shigelosis. Berdasarkan kelas
antibiotik, trimethropim- sulfamethoxazole dan golongan -
laktam dikaitkan den- gan peningkatan risiko HUS.

Di awal penyakit, obat antimotilitas merupakan


kontraindikasi oleh karena dapat meningkatkan risiko HUS.

52
Terapi utama adalah bersifat suportif meliputi
keseimbangan cairan dan elektrolit, kontrol hipertensi,
dukungan nutrisi, dan bila diperlukan terapi pengganti
ginjal. Harus dilakukan monitoring kemungkinan
terjadinya komplikasi seperti kolitis iskemik, gangguan
fungsi miokard, dan pankreatitis. Bukti akan manfaat
plasma exchange ataupun infus plasma masih sedikit.
Plasma exchange digunakan pada kasus dengan
komplikasi. Terapi spesifik dengan resin pengikat tok- sin
dan vaksin toksoid sedang dalam penelitian. Di masa depan,
tindakan pencegahan dan kebijakan kesehatan masyarakat
yang baik merupakan hal yang terpenting. (Taralan
Tambunan, Partini P. Trihono, 2009).

2.17. Sickle-Cell Disorders


2.17.1 Definisi
Penyakit sel sabit (sickle cell disease) adalah suatu penyakit
keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang
berbentuk sabit dan anemia hemolitik kronik. Pada penyakit
sel sabit, sel darah merah memiliki hemoglobin (protein
pengangkut oksigen) yang bentuknya abnormal, sehingga
mengurangi jumlah oksigen di dalam sel dan menyebabkan
bentuk sel menjadi seperti sabit. Sel yang berbentuk sabit
menyumbat dan merusak pembuluh darah terkecil dalam
limpa, ginjal, otak, tulang, organ lainnya dan menyebabkan
berkurangnya pasokan oksigen ke organ tersebut (Sitekno,
2009).

Penyakit sel sabit atau sickle cell disease/SCD merupakan


kelainan darah hemoglobinopati perubahan asam amino ke-6
rantai globin β yang menyebabkan perubahan bentuk sel darah
merah menjadi seperti sabit, disebut HbS. Penyakit sel sabit
dibedakan menjadi penyakit sel sabit heterozigot dan penyakit

53
sel sabit homozigot. Pada penyakit sel sabit heterozigot,
hemoglobin pasien tidak hanya HbS, ada bentuk Hb lain,
seperti HbC, HbD, HbE, ataupun β-thalasemia. Pada penyakit
sel sabit homozigot hanya terdapat satu kelainan hemoglobin,
yaitu HbS. Kelainan homozigot lebih parah bila dibandingkan
dengan heterozigot. (Pustaka, 2018).

2.17.2. Patofisiologi
Beberapa mekanisme berkontribusi dalam patofisiologi dari
SCD. Secara garis besar ditemukan dua kondisi yang berperan
penting yaitu penyumbatan pembuluh darah (vasooklusi)
beserta disfungsi endotel yang disebabkannya dan kondisi
hemolisis intravaskular yang berhubungan dengan rendahnya
bioavailabilitas nitric oxide (NO) dan arginine, peningkatan
aktivitas arginase, produksi superoksida, stres oksidatif.

2.17.3. Etiologi
Proses polimerisasi pada HbS yang telah terdeoksigenasi
adalah
dasar mekanisme abnormalitas dari membran eritrosit sehingga
membentuk eritrosit sickle, yang dapat menimbulkan berbagai
komplikasi termasuk kondisi iskemia, yang terjadi melalui
beberapa proses. Peranan HbS sebagai hemoglobin abnormal
berkontribusi dalam hal peningkatan permeabilitas membran
eritrosit yang kaitannya dengan kebocoran membran, produksi
fosfolipid abnormal yang menyebabkan adhesi eritrosit pada
endotel, peningkatan densitas membran eritrosit sehingga
membuat membran kehilangan elastisitas dan mudah pecah,
serta peningkatan viskositas sehingga menambah kekentalan
yang mengakibatkan gangguan dari aliran darah. (Harisa, ., &
Dahlan, 2017).

2.17.4. Patologi

54
Perubahan asam amino ke-6 pada rantai globin β dari asam
glutamat menjadi valin memberikan perubahan sangat besar
terhadap morfologi sel darah merah dan interaksi hemoglobin
dalam sel darah mera tersebut. Perubahan asam amino tersebut
menyebabkan HbS cenderung berikatan dengan HbS lain
membentuk rantai spiral ketika mengalami deoksigenasi,
sehingga secara keseluruhan bentuk sel darah merah tidak lagi
bikonkaf, tapi menyerupai sabit. Seluruh proses tadi
dinamakan polimerasi, akan meningkatkan
kekentalan/viskositas darah yang kemudian dapat
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kecil. Pada tahap
awal penyakit, sel darah merah yang mengalami polimerasi
masih dapat kembali ke bentuk semula jika mengalami
oksigenasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses
polimerasi, yaitu: oksigen, konsentrasi HbS darah, suhu,
hemoglobin lain selain HbS, dan infeksi. Pada pasien yang
masih banyak mempunyai sel darah merah reversibel, sel darah
tersebut cenderung menempel ke sel endotelium. Hal tersebut
berkaitan dengan vaso-occlusive crisis pada penderita anemia
sel sabit.

2.18. N08.3* Glomerular Disorder in Diabetes Mellitus


2.18.1 Definisi
Ada beberapa jenis Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe I,
Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan
Diabetes Mellitus Tipe Lainnya. Jenis Diabetes Mellitus yang paling
banyak diderita adalah Diabetes Mellitus Tipe 2. Diabetes Mellitus Tipe
2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gulah darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Depkes,
2005). Diabetes Mellitus biasa disebut dengan the silent killer karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain

55
gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal,
impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi
paruparu, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak
jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi anggota
tubuh karena terjadi pembusukan (Depkes,2005).

2.18.2. Etiologi
Diabetes mellitus ini disebabkan oleh :
1. kurangnya aktivitas fisik
2. tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak
3. seorang perorok aktif
4. seseorang dengan berat badan berlebih / obesitas
5. seseorang dengan riwayat penyakit hipertensi
6. produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang
mengalami stress

2.18.3. Patologi
Adanya pengaruh indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini
disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi
karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan factor risiko dari
obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau
Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan
translokasi transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan
terjadinya resistensi insulinpada jaringan otot dan adipose (Teixeria-
Lemos dkk,2011).

Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah


menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan
insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan
berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang
masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai
lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa
menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes,2010).

56
2.19. N08.4* Glomerular Disorder in Other Endocrine, Nutrional and
Metabolic
Disease
2.19.1. Definisi
A. Endocrine and Metabolic
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan
yang biasanya di eliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh
akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa
(Suharyanto & Madjid, 2009). Gagal ginjal adalah suatu kondisi
dimana fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga tidak mampu
lagi untuk melakukan filtrasi sisa metabolisme tubuh dan menjaga
keseimbangan cairan elektrolit seperti sodium dan kalium di dalam
darah atau urin. Penyakit ini terus berkembang secara perlahan
hingga fungsi ginjal semakin memburuk sampai ginjal kehilangan
fungsinya (Price & Wilson, 2006).

B. Endocrine
Sistem endokrin adalah sistem kelenjar yang bekerja pada tubuh
manusia yang hasil sekresinya langsung ke dalam darah tanpa
melewati duktus atau saluran dan dari sekresi tersebut adalah
hormon. Sistem endokrin sangat berpengaruh pada banyak proses
kehidupan yang melibatkan reproduksi, pertumbuhan, kekebalan
tubuh, dan menjaga keseimbangan fungsi internal tubuh. Kelenjar
dari sistem endokrin meliputi hipofisis, pineal, tiroid, paratiroid,
timus, pankreas, adrenal, dan ovarium atau testis.

C. Metabolic
Sindrome Metabolic merupakan suatu kumpulan faktor risiko yang
terdiri atas obesitas, hipertensi, hiperglikemia puasa dan dislipidemia
yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya T2DM dan

57
penyakit kardiovaskuler.Reaven mengemukakan tentang the role of
insulin resistance in human disease yang meliputi tiga topik utama
yaitu (i) adanya sejumlah tanda-tanda dan gejala sehingga muncul
sindroma yang disebut sindroma X.

D. Nutritional
Pasien pengidap ginjal kronik (PGK) dengan HD (Hemodialisis)
mengalami risiko tinggi dari gangguan nutrisi. Masalah pada PGK
stadium 5 yang menjalani hemodialisis (PGK 5-HD) ialah tingginya
angka malnutrisi.5 Pasien PGK 5-HD harus mendapat asupan
makanan yang cukup agar tetap dalam status gizi yang baik. Gizi
yang kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya
kematian pada pasien PGK 5-HD. Asupan protein diberikan 1,2
gr/KgBB/ hari dengan 50 % terdiri atas protein dengan nilai biologis
yang tinggi.

E. Amyloidosis
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti
glomerolunefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik,
obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksin, dan penyakit
sistemik, seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus, eritematosus,
poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Bayhakki, 2013).
Amiloidosis adalah primer (tanpa bukti penyakit sebelumnya atau
hidup berdampingan) pada 132 kasus (kelompok 1) dan dikaitkan
dengan multiple myeloma pada 61 (kelompok 2). Amiloidosis
sekunder muncul pada 19 kasus (terkait dengan artritis reumatoid
atau osteomielitis pada dua pertiganya).

F. Fabry(-anderson)
Gangguan penyimpanan lipid kromosom X yang disebabkan oleh
defisiensi lisosomal α-galaktosidase A. Manifestasi klinis penyakit
Anderson-Fabry termasuk rasa sakit luar biasa pada ekstremitas
(acroparaesthesia), ektasia pembuluh kulit, korneal pembuluh darah

58
dan opacity lenticular, penyakit kardiovaskular, stroke dan gagal
ginjal, hanya gagal ginjal yang sering menjadi penyebab kematian.

G. Lecithin cholesterol acyltransferase deficiency


(LCAT) mewakili sekelompok kelainan genetik yang langka
metabolisme HDL yang telah menjadi subjek dari sejumlah besar
studi klinis, biokimia, dan genetik.

2.19.2. Etiologi
H. Endocrine
Sistem Endokrin adalah sistem yang terdiri dari kelenjar endokrin
buntu atau tanpa saluran yang tersebar pada bagian tubuh
(Sherwood, 2010). Kelenjar endokrin ini melaksanakan fungisnya
dari dalam tubuh dengan cara memproduksi hormon yang hasil
sekresinya langsung ke dalam darah tanpa melalui saluran.

I. Metabolic
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti.
Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom
Metabolik adalah resistensi insulin Patofisiologi SM masih menjadi
kontroversi, namun hipotesis yang paling banyak diterima adalah
resistensi insulin. Obesitas merupakan komponen utama kejadian
SM, namun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti.

2.20. N08.5* Glomerular Disorder in Systemic Connective Tissue Disorders


2.20.1. Goodpasture syndrome
Sindrom Goodpasture adalah penyakit parah yang disebabkan oleh
pembentukan antibodi pada membran basal glomerulus dan alveolus
dengan konsekuensi kerusakan fungsi ginjal dan paru.[1]

2.20.2. Microscopic polyangiitis


Mikrosangiitis mikroskopik (MPA) adalah penyakit autoimun idiopatik
yang ditandai oleh vaskulitis sistemik. Penyakit ini secara dominan
mempengaruhi pembuluh darah kaliber kecil dan berhubungan dengan

59
keberadaan autoantibodi sitoplasmik sitoplasmik amino-neutrofil
(ANCA). Asosiasi dengan ANCA awalnya mendefinisikan kelompok
ANCA terkait vasculiti-des, terdiri dari granulomatosis dengan
polyangiitis (IPK, sebelumnya dikenal sebagai Wegener
granulomatosis), polyangiitis mikroskopis (MPA) dan granulomatosis
eosinofilik dengan polyangiitis (EGPA, sebelumnya dikenal sebagai
sindrom Churg-Strauss).[2]

2.20.3. Systemic lupus erythematosus


Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah sindrom yang tidak cukup
didefinisikan. Etiologi dan patogenesis sebagian besar masih belum
diketahui. SLE adalah sindrom mani yang menantang ahli imunologi,
ahli biologi, genetika, dan dokter untuk menyelesaikan sifatnya. Sindrom
ini ditandai oleh beberapa, manifestasi etiologis yang tidak terkait. Tanpa
diduga, mereka tampaknya terjadi pada kelompok yang terkait secara
stokastik berbeda, walaupun cacat gen tunggal dapat mempromosikan
spektrum gejala / kriteria yang lebih kecil yang khas untuk SLE.[3]

2.20.4. Thrombotic thrombocytopenic purpura


Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) is a rare, life-threatening
disease characterized by microvascular platelet deposition and thrombus
formation with resulting microangiopathic hemolytic anemia (MAHA),
thrombocytopenia is often accompanied by fever, renal failure, and
neurological deficits. [4]

2.20.5. Wegener granulomatosis


Granulomatosis dengan poliangiitis (GPA) adalah suatu bentuk vaskulitis
sistemik dengan peradangan granulomatosa nekrosis pada saluran
pernapasan bagian atas dan bawah dan ginjal. Wegener's granulomatosis
(WG) adalah penyakit radang granulomatosa sistemik yang tidak
diketahui asalnya. Ini terjadi pada segala usia, dengan insidensi puncak
pada dekade ketiga dan keempat.[5]

60
2.21. N08.8* Glomerular Disorder in Other Disease Classiefied Elswhere
Glomerular disorders in subacute bacterial endocarditis

61
KESIMPULAN

Pada ICD 10 Volume 1 blok N00-N08 membahas mengenai “GLOMERULAR


DISEASE”. Sebelum kode N00 terdapat kategori subdivisi karakter keempat yang
mengklasifikasikan perubahan morfologi dan digunakan dengan kategori kode N00-
N07.

Penyakit-penyakit yang terkode dalam blok kode N00-N08, yaitu acute nephritic
syndrome, rapidly progressive nephritic syndrome, recurrent and persistent
haematuria, chronic nephritic syndrome, nephrotic syndrome, unspecified nephritic
syndrome, isolated proteinuria with specified morphological lesion, hereditary
nephropathy not elsewhere classified, dan glomerular disorder in disease classified
elsewhere. Pada kode N08 terbagi lagi menjadi kode-kode asterisk, yaitu N08.0*
(Glomerular disorders in infectious and parasitic diseases classified elsewhere),
N08.1* (Glomerular disorders in neoplastic diseases), N08.2* (Glomerular disorders
in blood diseases and disorders involving the immune mechanism), N08.3*
(Glomerular disorders in diabetes mellitus), N08.4* (Glomerular disorders in other
endocrine, nutritional and metabolic diseases), N08.5* (Glomerular disorders in
systemic connective tissue disorders), N08.8* (Glomerular disorders in other
diseases classified elsewhere).

62
DAFTAR PUSTAKA

A. Greco et al., “Microscopic Polyangiitis : Advances in diagnostic and therapeutic


approaches . Autoimmunity Reviews Microscopic polyangiitis : Advances in
diagnostic and therapeutic approaches,” Autoimmun. Rev., vol. 14, no. 9, pp. 837–
844, 2015.

Arimura, Y., Muso, E., Fujimoto, S., Hasegawa, M., Kaname, S., Usui, J., … Matsuo,
S. (2016). Evidence-based clinical practice guidelines for rapidly progressive
glomerulonephritis 2014. Clinical and Experimental Nephrology, 20, 322–341.
https://doi.org/10.1007/s10157-015-1218-8

Bawazier L A. Proteinuria. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk, Editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam; 2009. hlm. 956-61.

Bergstein J M. Keadaan-keadaan yang terutama disertai dengan proteinuria. Dalam:


Arvin, B K, Editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Vol. 3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2012. hlm. 1826-27

Bergstein J M. Proteinuria nonpatologis. Dalam: Arvin, B K, Editor. Nelson Ilmu


Kesehatan Anak, Edisi 15, Vol. 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012. hlm.
1826- 27.

Crawford, D. (2017). Haemolytic uraemic syndrome. Nursing Children and Young


People, 29(3), 26. https://doi.org/10.7748/ncyp.29.3.26.s24

Eknoyan G. Tubulointerstitial Nephropathies. In: Goldman In: Goldman L, Ausiello D,


eds. Cecil Texbook of Medicine. 22 Cecil Texbook of Medicine. 22th edition.,
London, Saunders Company, 2004; 1036–1045.

Gauthier B,Edelmann CM, Barnett HL. Clinical acute glomerulonephritis. Dalam:


Nephrology and urology for the pediatrician. Edisi ke-1. Boston: Little Brown &
Co, 1982. h. 109-22.

Greenhall, G. H., & Salama, A. D. (2015). What Is New In The Management of Rapidly
Progressive Glomerulonephritis. Clinical Kidney Journal, 8,2, 143–150.

63
https://doi.org/10.1093/ckj/sfv008

Harisa, N. H., . P., & Dahlan, P. (2017). Patofisiologi Stroke Iskemia Pada Anak
Dengan Sickle Cell Disease. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 2(1), 279.
https://doi.org/10.21460/bikdw.v2i1.39

J. Stojkovikj, S. Zejnel, B. Gerasimovska, V. Gerasimovska, and D. Stojkovic,


“Goodpasture Syndrome Diagnosed One Year And A Half after the Appearance of
the First Symptoms ( Case Report ),” vol. 4, no. 4, pp. 683–687, 2019.

Kodner CM, Kudrimoti A. Diagnosis and Management of Acute Interstitial Nephritis.


Am Fam Phys 2003; 67: 2527–34 Nephritis. Am Fam Phys 2003; 67: 2527–34

Lubis, H. S., Handayani, S., Gatot, D., & Sitepu, ricky rivalino. (2009). Penanganan
koagulasi intravaskular diseminta akut dan kronik. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, 1–17.

M. E. Hospital and G. A. Lee, “Wegener ’ s granulomatosis,” vol. 87, no. 4, pp. 4–7,
2019.

Muchtar, E., Magen, H., & Gertz, M. A. (2017). How I treat cryoglobulinemia. Blood,
129(3), 289–298. https://doi.org/10.1182/blood-2016-09-719773

Niaudet, P. (2008). Comprehensive Pediatric Nephrology (D. F. Geary & F. Schaefer,


eds.). Retrieved from https://doi.org/10.1016/B978-0-323-04883-5.50017-9

Norahmawati, E., & K, I. D. (2014). Laporan Kasus : Multiple Myeloma Non


Sekretorik Case Report : Non Secretory Multiple Myeloma. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, 28(2), 159–162.

O. P. Rekvig, “Systemic Lupus Erythematosus : Definitions , Contexts , Conflicts ,


Enigmas,” pp. 1–34, 2019.

Orr, P., Shank, B. C., Hickson, S., & Cooke, J. (2018). Clinical Management of
Glomerular Diseases. Nursing Clinics of North America, 53(4), 551–567.
https://doi.org/10.1016/j.cnur.2018.07.006

Parmar, M. S., & Bashir, K. (2019). Crescentric Glomerulonephritis. Retrieved from


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430727/

64
Prameswari, R., Indramaya, D., & Sandhika, W. (2012). Imunopatogenesis
Leukositoklastik Vaskulitis pada Henoch-Schonlein Purpura (The
Immunopathogenesis of Leukocytoclastic Vasculitis in Henoch-Schonlein Purpura
). Berk Ilmu Kesehat Kulit Dan Kelamin J, 24(3), 185–91.

Purnamasari, E., Wirawan, R., & Kunci, K. (2015). Penyakit Waldenstrom


Makroglobulinemia Waldenstrom ’ s Macroglobulinemia. 23(1), 56–66.

Pustaka, T. (2018). Patient – controlled Analgesia untuk Nyeri Akut pada Sickle Cell
Vaso – occlusive Crisis. 45(3), 197–200.Simposium Nasional.pdf. (n.d.).

Riskawa,hilmi dan Dedi Rahmadi. 2010. “Glomerulonefiritis pada Anak”. Bandung:


Universitas Padjajaran.

Sekarwana HN. Rekomendasi mutahir tatalaksana glomerulonefritis akut pasca


streptokokus. Dalam: Aditiawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi R, penyunting.
Buku naskah lengkap simposium nefrologi VIII dan simposium kardiologi V.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Palembang, 2001. h. 141-62.

S. Iqbal, S. Z. A. Zaidi, I. H. Motabi, N. F. Alshehry, and M. S. Alghamdi, “Thrombotic


thrombocytopenic purpura - analysis of clinical features , laboratory
characteristics and therapeutic outcome of 24 patients treated at a Tertiary Care
Center in Saudi Arabia,” vol. 32, no. 6, pp. 1494–1499, 2019.

Taralan Tambunan, Partini P. Trihono, S. 0. P. (2009). Hemolytic Uremic Syndrome in


the Diwsion of Pediatric Faculty of Medicine University of Indonesi. 29(2).

Tendean, S., & Siregar, S. P. (2016). Purpura Henoch-Schönlein. Sari Pediatri, 7(1), 45.
https://doi.org/10.14238/sp7.1.2005.45-9Travis LB, Kalia. Acute nephritic
syndrome. Dalam: Poslethwaite RJ, penyunting. Clinical pediatric nephrology.
Edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. h. 201-9.

Toga A.S. dan Sumanto Wijaya. 2010. “Nefropati pada Pasien Diabetes Mellitus”.
Dalam jurnal Damianus Journal of Medicine,9. Hal.31.

Travis LB. Acute post infections glomerulonephritis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman
JIE, Axelrod S, penyunting. Pediatrics. Edisi ke-18. Connecticut: Appleton &
Lange, 1987. h. 1169-71.

65
T. Wongso, Dewi LS, Z. L. (2015). Clinical Pathology and Majalah Patologi Klinik
Indonesia dan Laboratorium Medik. Jurnal Indonesia, 21(3), 261–265. Retrieved
from http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-IJCPML-12-3-08.pdf

Widiana IGR. Penyakit Tubulointerstisial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I
edisi IV., Jakarta, Pusat Penerbitan Dalam, jilid I edisi IV., Jakarta, Pusat
Penerbitan Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006; 569–
571 5. A.Brent Alper Jr, MD. MPH, Medicine from WebMD Article Last Updates;
Jun10, 2008

66

Anda mungkin juga menyukai