Anda di halaman 1dari 7

PRINSIP-PRINSIP MERAIH KEMENANGAN DAN PERTOLONGAN ALLAH

Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa satu-satunya dien (tatanan hidup) yang sempurna,
syumul dan diridhoi-Nya adalah Islam, yang diperuntukkan bagi makhluk ciptaan-Nya.
Syari’at yang termaktub didalamnya merupakan suatu aturan yang lengkap yang teramat
dibutuhkan manusia dalam mengemban hidupnya di dunia. Tujuannya tak lepas demi
kebaikan dan kebahagiaan manusia itu sendiri, baik ketika di dunia maupun di akhirat
kelak. Oleh sebab itu pentingnya menjalankan syari’at Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara menjadi suatu kepentingan yang mendasar agar tujuan
syari’at tersebut dapat terwujud.
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan petunjuk Allah Ta’ala, disanalah dasar syari’at
diletakkan. Petunjuk yang berisi berbagai hukum Allah Ta’ala itu merupakan hukum
terbaik dan yang paling adil di dunia, serta yang paling cocok penerapannya untuk umat
manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Syari’at Tuhanmu telah sempurna, dan seluruh syari’at Tuhanmu benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merubah syari’at Tuhanmu yang benar dan adil itu. Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.”(QS. al-An’am, 6: 115)

Dan firman-Nya,
Artinya, “Perintah dan larangan ini adalah syari’at-Ku yang benar. Wahai manusia, ikutilah
syari’at-Ku ini. Janganlah kalian mengikuti tatanan-tatanan hidup yang lain, karena
tatanan-tatanan hidup yang lain itu pasti akan menjauhkan kalian dari syari’at-Nya.
Demikianlah Tuhan mengajarkan syari’at-Nya kepada kalian supaya kalian taat kepada
Allah dan bertauhid.” (QS. al-An’am, 6: 153)
Dua ayat ini menjadi ketetapan dan pembatas mutlak bagi orang-orang beriman untuk
hanya mengikuti syari’at Allah Ta’ala dan haram baginya untuk mengambil dan mengikuti
selainnya. Allah Ta’ala lebih menekankan pada firman-Nya,

‫ا إإنن وياتإبتعوون إإلِ ال ا‬


‫ظان ووإإنن تهنم إإلِ وينختر ت و‬
‫صون‬ ‫ك وعنن وسإبيإل ا إ‬
‫ضللو و‬ ‫ووإإنن تتإطنع أونكوثور ومنن إفيِ النر إ‬
‫ض تي إ‬
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS.al-An’am [6]: 116)

Artinya, “Wahai Muhammad, jika kamu menuruti kemauan sebagian besar manusia di
muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari agama Allah karena sebagian
besar manusia hanya mengikuti angan-angan yang dibisikkan oleh hawa nafsu mereka,
dan mereka hanyalah mengikuti slogan-slogan kosong.“ (QS. al-An’am, 6:116)
Dan kepada manusia yang enggan dan sombong dalam menerapkan syari’at Islam, Allah
Ta’ala mempertanyakan hal tersebut,
Artinya, “Wahai Muhammad, apakah orang-orang yang menolak syari’at Allah
menginginkan kamu menerapkan hukum jahiliyah bagi mereka? Siapakah yang hukumnya
lebih baik daripada syari’at Allah bagi kaum yang beriman?“ (QS. al-Ma’idah, 5: 50)

Sebaliknya, Allah Ta’ala juga menjanjikan bahwa apabila syari’at tersebut dijalankan
manusia, maka yang akan muncul adalah keberkahan dan rahmat-Nya seperti yang
difirmankan-Nya,
Artinya, “Al-Qur’an ini adalah sebuah kitab yang sangat besar barakahnya yang Kami
turunkan kepada manusia. Wahai manusia, ikutilah al-Qur’an ini dan taatilah supaya
kalian mendapat rahmat.” (QS. al-An’am, 6: 155)

Perkara penting yang harus diingat, bahwa keberkahan dari syari’at Islam, tidak hanya
mencakup dan berbatas hanya terhadap orang-orang beriman semata, namun juga
menyeluruh untuk makhluk yang telah diciptakan-Nya. Imam Syafi’i rahimahullah
mengatakan, “Tidak ada satupun permasalahan yang menimpa salah-satu pemeluk
agama Allah Ta’ala, kecuali di dalam kitab-Nya terdapat dalil yang menjelaskan petunjuk
dalam permasalahan tersebut.” Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “…Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu untuk kamu jelaskan secara rinci.
Al-Qur’an itu menjadi petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.”
(QS. an-Nahl, 16:89)

Dan firman-Nya pula,


Artinya, “Alif Laam Raa. Wahai Muhammad, telah Kami turunkan sebuah kitab kepada
kamu, agar kamu dapat mengeluarkan manusia dari kekafiran kepada Islam dengan izin
Tuhan mereka ke jalan Tuhan Yang Maha perkasa lagi Maha terpuji.” (QS. Ibrahim, 14:1)

Pentingnya Penerapan Syari’at Islam

Dalam rotasi kehidupan yang dijalani umat Islam saat ini, betapa sungguh dapat
disaksikan bahwa semakin banyak yang menyangsikan efektifitas dari diberlakukannya
syari’at Islam. Penentangan yang lumrah datang tentu dari umat di luar Islam yang merasa
khawatir akan ‘terzhalimi’ oleh syari’at tersebut, namun penentangan yang keras
dilakukan justru timbul dari tubuh umat Islam sendiri yang lebih berkiblat kepada akal dan
hawa-nafsu semata.
Ini tentu saja menyebabkan persoalan yang ada tidak kunjung selesai, bahkan bisa
memunculkan persoalan baru karena solusi yang dicari bukan kembali kepada kitabullah,
melainkan mengambil konsep kaum liberal dan sekuler yang membatasi kedudukan
agama hanya cocok diterapkan dalam kisaran rumah-tangga dan kaifiyat beribadah di
masjid semata. Sementara Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Wahai Muhammad, hendaklah kamu mengadili perkara kaum Yahudi dan
Nasrani dengan syari’at yang Allah turunkan dalam al-Qur’an. Janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya kamu tidak terpedaya
oleh mereka, sehingga kamu meninggalkan sebagian syari’at yang Allah turunkan
kepadamu. Jika mereka meninggalkan sebagian syari’at itu, ketahuilah bahwa Allah
berkehendak menimpakan adzab kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Sebagian
besar manusia itu benar-benar durhaka kepada Allah.” (QS. al-Ma’idah, 5:49)

Sebagaimana umat-umat terdahulu yang banyak bermaksiat kepada Allah Ta’ala, mereka
yang menolak syari’at, baik secara halus maupun dengan terang-terangan, juga
mengatakan perkataan yang serupa seperti yang Allah Ta’ala beritahukan dalam firman-
Nya,
Artinya, “Wahai orang beriman, bila orang-orang kafir kamu ajak, “Ikutilah ajaran yang
telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya. “Orang-orang kafir menjawab, “Kami telah
mengikuti tradisi yang kami warisi dari nenek-moyang kami.” Sekalipun tradisi nenek-
moyang mereka itu dari setan yang mengajak manusia menuju adzab neraka Sa’ir.” (QS.
Luqman, 31:21)

Mengapa harus dengan syari’at Islam? Inilah pertanyaan yang senantiasa meliputi benak
dan pikiran orang-orang kafir, atau orang-orang liberal dan sekuler. Jawabnya ialah karena
hanya dengan syari’at Islam yang sempurnalah, yang mampu menjawab segala
pemasalahan dunia (solusi globalisasi), dan tidak terdapat pada tatanan hidup selainnya.
Inilah tujuan syari’at (maqoshidus syari’at), yang diturunkan Allah Ta’ala untuk memelihara
lima perkara, yaitu:
1. Memelihara akidah (hifdzud dien) atau memelihara tauhidullah.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Wahai Muhammad, perangilah kaum musyrik sampai tidak ada lagi
kemusyrikan dan penyembahan berhala di Makkah, dan orang-orang Makkah
mengikuti Islam semata-mata karena Allah. Jika kaum musyrik tidak mau berhenti dari
perbuatan syirik mereka, maka Allah Maha mengetahui apa saja yang mereka lakukan.”
(QS. al-Anfal, 8:39)

Tauhid Lailahaillallah tidak akan tegak kecuali dengan hilang dan lenyapnya kesyirikan,
dan tidak akan hilang syirik dan kesyirikan hanya dengan dakwah dan melaksanakan
ibadah mahdhah semata, melainkan harus disempurnakan dengan jihad fisabilillah
sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, beliau memulai dengan dakwah di
Makkah dan melanjutkannya dengan jihad di Madinah.
2. Memelihara keselamatan hidup (hifzun nafsi),

Allah Ta’ala berfirman,


Artinya, “Orang-orang yang mencari-cari alasan dalam meminta izin untuk tidak ikut
berjihad guna membela Islam adalah dari kalangan Arab Badui dan orang-orang yang
mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu senang tinggal di rumah. Orang-orang
kafir di kalangan mereka itu akan mendapatkan adzab yang amat pedih di akhirat.” (QS.
at-Taubah, 9:90).

Berpangku-tangan dan tenggelam dalam kenikmatan hidup dunia sehingga


menyebabkan terlalu cinta dunia dan terlalu takut dengan kematian akan
menghancurkan seluruh potensi kemuliaan yang Allah berikan kepada umat manusia.
Maka semangat yang jitu berlandaskan tauhid yang kuat dan kokoh, berjihad
menegakkan syaria’t, merupakan asas dan pondasi terpeliharanya jiwa dari segala
tindakan bejat yang merusak jiwa seperti mengkonsumsi makanan dan minuman yang
diharamkan syari’at dan melakukan tindakan kriminal yang dilakukan oleh sebagian
manusia tehadap sebagian lainnya, baik rakyat terhadap rakyat, atau penguasa
terhadap rakyatnya.

3. Memelihara kesehatan akal dan mental (hifzul aqli),

Allah Ta’ala berfirman,

Artinya, “Wahai Muhammad, katakanlah kepada kaum musyrik Quraisy, “Kemarilah


kalian. Aku akan membacakan kepada kalian apa-apa yang Tuhan haramkan bagi
kalian. Yang diharamkan adalah menyekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Kalian
diwajibkan untuk berbuat baik kepada ibu-bapak. Kalian diharamkan membunuh
anak-anak kalian karena takut melarat, Allah lah yang memberi rezeki kepada kalian
dan anak-anak kalian. Kalian diharamkan mendekati zina, baik terang-terangan
maupun sembunyi-sembunyi. Kalian diharamkan membunuh jiwa yang Allah telah
haramkan membunuhnya, kecuali ada alasan yang benar. Demikianlah Allah
mengajarkan syari’at-Nya kepada kalian supaya kalian mau berpikir.” (QS. al-An’am,
6:151)

Dan firman-Nya,

Artinya, “Wahai orang-orang yang berakal sehat, pelaksanaan qishash, hukuman


setimpal dalam kasus pembunuhan menjamin keselamatan hidup kalian, agar kalian
selamat dari bahaya pembunuhan.” (QS. al-Baqarah, 2:179)
4. Memelihara kesucian keturunan (hifzun nasli),
Firman-Nya,

Artinya, “Janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sungguh perbuatan zina itu
merupakan perbuatan yang kotor dan perilaku hidup yang sangat buruk.” (QS. al-Isra’,
17:32)

5. Memelihara hak kebendaan, baik milik pribadi maupun masyarakat (hifzul mal).

Allah Ta’ala berfirman,


Artinya, “Wahai kaum mukmin, potonglah tangan-tangan laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri sebagai hukuman atas perbuatan mereka. Hukuman itu
sebagai pelajaran dari Allah bagi orang lain. Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana
dalam menentukan hukuman.” (QS. al-Ma’idah, 5:38)
Lalu bagi mereka yang menolak hukum Allah Ta’ala untuk diterapkan di setiap lini
kehidupan karena didasari keengganan dan kebencian, atau menganggap ada hukum
lain yang lebih ‘positif’ dari syari’at-Nya, maka Allah Ta’ala terhadap orang yang
demikian telah memberitahukan ancaman-ancaman-Nya; sebagai orang yang kafir,
zalim, fasik dan murtad. Allah berfirman,
Artinya, “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir…. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim… Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Ma’idah,
5:44, 45, 47)

Wajib disadari bahwa menegakkan dan melaksanakan syari’at Islam merupakan salah-
satu upaya setiap pribadi umat Islam dalam bersyukur kepada Allah Ta’ala terhadap
segala kenikmatan dan limpahan rezeki-Nya yang tiada pernah putus. Dan bentuk
kenikmatan yang hampir-hampir dilupakan umat Islam di Indonesia adalah kenikmatan
berupa kemerdekaan dari rongrongan bangsa penjajah yang ingin menguasai khazanah
alam yang kaya dan berlimpah-ruah rezekinya (gema ripah loh jinawi) ini.
Tidaklah cukup pernyataan syukur tersebut hanya termaktub pada teks UUD 1945
alinea ke-tiga yang rutinnya dibaca secara tekstual saja di tiap peringatan 17 Agustusan
semata, namun yang amat penting adalah pembuktiannya secara riil sehingga tujuan
kemerdekaan yang hakiki dapat terwujud sempurna sesuai garis-garis besar haluan-
Nya (GBHN). Bukankah pula telah jelas tertulis tentang pengakuan umat Islam
Indonesia bahwa kemerdekaan yang diperoleh adalah; Atas berkat rahmat Tuhan Yang
Maha esa…Maka setelah lewat masa 67 tahun hidup dalam kemerdekaan,
mengapakah keterpurukan semakin menjadi-jadi, khususnya bagi kemerdekaan umat
Islam dalam usahanya menjalankan kehidupan bersyari’at.
Berjuang menegakkan syari’at Islam merupakan fardhu ‘ain bagi setiap mu’min dalam
segala situasi dan kondisi. Islam sebagai satu harakah atau gerakan, menuntut umatnya
agar senantiasa aktif berdakwah menyebarkan ajarannya karena tidak akan pernah
mencapai tujuannya jika umatnya memahami Islam hanya sebagai satu akidah dan
syari’at saja. Islam sebagai satu akidah bermakna ialah mengimaninya bahwa Islam
adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang tidak terdapat pada agama selainnya.
Hanya Islamlah yang ajarannya paling tinggi, terpuji dan mulia, sementara ajaran
selainnya adalah rendah, hina, dan tercela. Sehingga dengan mengimaninya,
memahami, dan mengamalkan ajarannya akan mendapat ketenangan, kebahagiaan
dan keselamatan dunia dan akhirat.
Islam diyakini sebagai satu syari’at maksudnya ialah mengimani dan memahami bahwa
syari’atnya (peraturan dan perundang-undangannya) saja yang paling adil dan beradab,
serta bersifat universalmeliputi alam semesta. Adapun hukum selainnya adalah batil,
diskriminatif, dan tidak adil. Jika akidah dan syari’at ini diamalkan, maka akan tersebar
akhlak yang mulia ditengah kehidupan manusia yang kini semakin jauh dari peradaban
Islami.
Melalui akidah yang lurus dan syari’at yang dilaksanakan, maka akan terwujud umat
Islam yang benar-benar menjadikan Allah azza wa jalla sebagai satu-satunya tujuan
hidup (Allahu gaayatuna), rasulullah sebagai teladan dan panutan (ar-Rasul
qudwatuna), al-Qur’an sebagai undang-undang hidup (al-Qur’anu dusturuna), dan mati
syahid adalah setinggi-tinggi cita-cita (al-mautu fie sabilillahi asmai amaanina). Dan
untuk jalan kemuliaan tersebutlah–Rasulullah saw diutus. Beliau saw bersabda,

‫ت إل توتمَموم وموكاَإروم الونخولإق‬


‫إإانوماَ تبإعنث ت‬.
Artinya, “Sesungguhnya hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.
Bukhari)

Untuk meraih semua inilah, Islam menjadi wajib diamalkan sebagai sebuah gerakan
aktif yang tidak mengenal lemah dan lelah karena Allah Ta’ala mengingatkan bahwa,
Artinya, “Wahai kaum mukmin, janganlah kalian merasa hina dan jangan bersedih.
Derajat kalian lebih tinggi daripada orang-orang kafir, jika kalian benar-benar beriman
kepada Muhammad.” (QS. Ali ‘Imran, 3:139)

Dan juga firman-Nya,


Artinya, “Wahai kaum mukmin, janganlah kalian lemah semangat dalam mengejar
kaum kafir. Jika kalian merasakan sakit, mereka pun merasakan sakit seperti kalian.
Kalian mengharapkan pahala dari Allah, sedangkan orang-orang kafir sama sekali tidak
mengharapkan pahala dari Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana dalam
menetapkan syari’at perang.” (QS. an-Nisa’, 4:104)

Anda mungkin juga menyukai