Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“Perspektif dan Isu Penggunaan Lahan”

Dibuat Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tata Guna Lahan dan
Pengembangan Lahan

Dosen Pengampu:

Puji Astuti S.T, M.T

Dibuat Oleh :

Ananda Dwi Putra (183410907)

Kelas III-B

Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota

Fakultas Teknik

Universitas Islam Riau

Tahun 2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya ini dengan judul
“Perspektif dan Isu Penggunaan Lahan” makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Tata Guna Lahan dan Pengembangan Lahan, yang diampu oleh
dosen ibu Puji Astuti, ST, MT.

Terima kasih kepada semua sumber, buku Perencanaan Penggunaan Lahan,


referensi rujukan, Jurnal dan sebagainya yang telah membantu saya untuk
penyelesaian makalah ini meskipun sangat jauh dari kata sempurna.

Saya menyadari bahwasanya makalah ini sangat banyak terdapat


kekurangan didalamnya karena pengetahuan dan pengalaman saya yang masih
minim. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kepada pembaca agar selalu
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Pekanbaru, Desember 2019


Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan adalah keseluruhan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi
manusia menjalani kehidupannya (Rahayu, 2007). Lahan adalah tanah yang sudah
ada peruntukkannnya dan umumnya ada pemiliknya, baik perorangan atau
lembaga (Budiono, 2008). Berdasarkan pada dua pengertian tersebut, maka dapat
diartikan bahwa lahan merupakan bagian dari ruang merupakan unsur penting
dalam kehidupan manusia sebagai ruang maupun sumber daya, karena sebagian
besar kehidupan manusia tergantung pada lahan yang dapat dipakai sebagai
sumber penghidupan, yaitu dengan mencari nafkah melalui usaha tertentu selain
sebagai pemukiman.
Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia
terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Faktor yang menyebabkan perubahan
penggunaan lahan adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk, sedangakan
luas lahannya tetap. Pertambahan penduduk dan perkembangan tuntutan hidup
akan menyebabkan kebutuhan ruang sebagai wadah semakin meningkat.
Perubahan fungsi lahan ini merupakan suatu transformasi dalam pengalokasian
sumber daya lahan dari satu penggunaan/fungsi kepada penggunanaan lainnya
dikarenakan adanya faktor internal maupun eksternal.
Dalam Undang – Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat (1) dan (2) : “Tanah
adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi pula tubuh bumi dan
air beserta ruang angkasa yang ada di atasnya sebatas diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut.”.
Sesuai dengan dasar yang diletakkan oleh hukum pertanahan nasional
(UUPA) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang – Undang Pokok Agraria,
maka semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Adanya ketentuan dasar
tersebut, antara lain berarti bahwa hak atas tanah apapun termasuk hak milik yang
ada pada seseorang atau badan hukum tidak dibenarkan apabila tanahnya
digunakan atau tidak digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi
(individunya).
Persoalan perubahan ekosistem lahan telah lama disuarakan dan diingatkan
oleh banyak pihak dari berbagai negara di dunia. Menyikapi hal tersebut Indonesia
telah menerapkan peraturan pengelolaannya untuk berbagai sektor. Salah satu
persoalan ekosistem lahan adalah lahan terlantar atau lahan terlantar. Lahan
terlantar dapat berarti kawasan yang telah mengalami perubahan fungsinya yaitu
dari alami menjadi lahan rusak. Makna lain dari lahan terlantar yaitu areal yang
pernah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian tetapi selanjutnya tidak dikelola.
Lahan terlantar dapat pula berarti sebagai areal yang belum pernah dimanfaatkan
tetapi berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan produktif untuk pertanian,
kehutanan, peternakan dan perikanan.
Pasal 27 Undang – Undang Pokok Agraria menyebutkan, tanah ditelantarkan
kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan dari hak nya. Penjelasan singkat ini, sulit dijadikan pedoman melakukan
penertiban tanah terlantar.Kata sengaja dalam Pasal 27 perlu penjelasan lebih
lanjut. Tanah terlantar dapat terjadi pada tanah yang di haki secara perseorangan,
secara bersama–sama maupun oleh badanhukum. Tidak adanya kriteria yang jelas
mengenai tanah terlantar, menyebabkan ketentuan tanah terlantar belum / tidak
dapat diterapkan. Idealnya, pemerintah harus mengadakan pembaharuan hukum
mengenai pengaturan tanah terlantar, atau melakukan inventarisasi tanah terlantar
sehingga Undang-Undang Pokok Agraria dapat diterapkan

1.2 Rumusan Masalah


Perspektif dan Isu Pengunaan Lahan yang terdiri dari :

1. Perspektif tentang lahan


2. Nilai Lahan
3. Isu Penggunaan Lahan
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulis ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Tata Guna Lahan dan Pengembangan Lahan, dan
agar apa yang saya kerjakan ini bisa bermanfaat bagi saya pribadi dan bermanfaat
bagi para pembaca yang melihat makalah saya ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan dan Nilai Lahan

2.1.1 Pengertian Lahan


Lahan adalah permukaan bumi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas dan
merupakan sumber daya alam yang terbatas, dimana pemanfaatannya memerlukan
penataan, penyediaan, dan peruntukan secara berencana untuk maksud-maksud
penggunaan bagi kesejahteraan masyarakat (Sugandhy, 1998:16). Sedangkan
menurut Cooke (1983:33), lahan merupakan keseluruhan kemampuan muka
daratan beserta segala gejala di bawah permukaannya yang bersangkut paut dengan
pemanfaatannya bagi manusia.
Pengertian lahan/tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah
permukaan bumi yang dalam penggunaannya termasuk bagian tubuh bumi yang
dibawahnya dan bagian ruang diatasnya sesuai dengan tujuan penggunaannya.
(Boedi Harsono dalam Soemadi, H, 1999:5). Pengertian tersebut menunjukan
bahwa lahan merupakan suatu bentang alam sebagai modal utama kegiatan,
sebagai tempat dimana seluruh makhluk hidup berada dan melangsungkan
kehidupannya dengan memanfaatkan lahan itu sendiri. Sedangkan pemanfaatan
lahan adalah suatu usaha memanfaatkan lahan dari waktu ke waktu untuk
memperoleh hasil (Soetarno, 2003:18).
Lahan adalah keseluruhan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi
manusia menjalani kehidupannya (Rahayu, 2007). Lahan adalah tanah yang sudah
ada peruntukkannnya dan umumnya ada pemiliknya, baik perorangan atau
lembaga (Budiono, 2008). Berdasarkan pada dua pengertian tersebut, maka dapat
diartikan bahwa lahan merupakan bagian dari ruang merupakan unsur penting
dalam kehidupan manusia sebagai ruang maupun sumber daya, karena sebagian
besar kehidupan manusia tergantung pada lahan yang dapat dipakai sebagai
sumber penghidupan, yaitu dengan mencari nafkah melalui usaha tertentu selain
sebagai pemukiman.
2.1.2 Nilai Lahan
Menurut Yunus (2000 dalam Karina Mayasari, Surjono dan Septiana
Hariyani, 2009) memberi artian tentang nilai lahan atau land value, ialah
pengukuran nilai lahan yang didasarkan kepada kemampuan lahan secara
ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonomis. Nilai
lahan adalah perwujudan dari kemampuan lahan yang berhubungan dengan
pemanfaatan penggunaan lahan. Nilai lahan ini merupakan pendapat/opini
masyarakat terhadap harga suatu barang, oleh karena itu pendapat setiap orang
tentang nilai suatu barang dapat berbeda-beda.
Menurut Fahirah (2010) mendefinisikan nilai pasar yaitu berupa perkiraan
jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli
atau hasil penukaran suatu aset, antara pembeli yang berminat membeli dengan
penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang
penawarannya dilakukan secara layak, di mana kedua pihak saling mengetahui,
bertindak hati-hati dan tanpa paksaan.
Lahan atau “Land” dalam bahasa inggris perlu didefenisikan dengan jelas.
Menurut Platt (2014) beberapa kemungkinan perspektif (sudut pandang) yang
memberi pengertian terhadap lahan :
1. Lahan sebagai materi fisik permukaan bumi yang terdiri dari elemen seperti
tanah (soil) dan batuan.
2. Pengertian Lahan selain materi fisik juga melingkupi flora dan fauna. Lahan
dilihat sebagai sumber daya yang hidup yang bisa dieksploitasi seperti
pembalakan hutan atau dilestarikan seperti cagar alam.
3. Lahan sebagai lokasi atau tapak pengembangan (site development) berbagai
fungsi, seperti pertanian, perdagangan, dan perumahan. Lahan dalam
pengertian ini yang umumnya menjadi objek perencanaan tata guna lahan.
4. Lahan sebagai asset model. Lahan dalam pengertian ini dilihat sebagai asset
ekonomi yang memiliki nilai yang bisa dimanfaatkan untuk kegunaan tertentu
atau dibiarkan menjadi alat spekulasi.
5. Lahan sebagai milik bersama atau kepemilikan public. Lahan dimiliki
bersama oleh suku atau desa seprti hutan atau territorial dimana lahan seperti
ini umumnya diatur dalam hukum tidak tertulis seperti hukum adat. Lahan
sebagai ruang public yang dikuasai oleh pemerintah, seperti laut, sungai,
danau pantai angkasa, ruang terbuka hijau kota, dan kawasan hutan yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan sebagai catatan.
6. Lahan yang dilihat dalam dimensi psikis atau emosional dikenal dengan
istilah spirit of place atau sense of place. Lanskap tertentu bisa
membangkitkan imajinasi tertentu bagi orang yang tinggal atau
mengunjunginya. Lanskap ngarai, danau, pengungan atau kota yang memiliki
bentuk yang unik bisa membangkitkan aosiasi tertentu bagi yang melihatnya.
Menurut Mather (1986), Pertama, melihat lahan sebagai suatu ekosistem (
Land as ecosystem) yaitu suatu kesatuan aspek fisik dan biologis. Hal ini sama
dengan definsi lahan dalam poin pertama dan kedual Platt yang telah diuraikan
sebelumnya. Lahan sebagai ekosistem nilainya dapat dilihat dari fungsi
ekologisnya darn dari hasil produk fisik atau ekologisnya seperti kegiatan
pertanian sehingga dapat disebut juga lahan sebagai sumber daya alam. Lahan
sebagai sumber daya perlu diperhatikan apakah pemanfaatannya bersifat terbarui
(reverasible) seperti pemanfaatan untuk pertanian atau penebangan hutan yang
masih sehingga menyebabkan penggurunan.
Kedua, Lahan sebagai ruang ( Land as Space) Seperti penggunaan lahan bagi
kegiatan perdagangan, perumahan, industry yang umum terdapat diperkotaan yang
bernilai karena adanya ruang yang tersedia pada lokasi tertentu. Jadi, berbeda
dengan pemanfataan lahan sebagai sumber daya yang bersifat produktif, lahan
sebagai ruang bersifat konsumtif. Perbedaan nilai lahan tergantung dari posisi
relatifnya dalam ruang, misalnya lahan dipusat kota lebih mahal dari lahan di
pinggir kota. Karakteristik ekologis tidak berperan penting lahan sebagai ekosistem
yang berguna karena menghasilkan produk fisik atau ekologis.
Ketiga, sama dengan poin keenam dari Platt, lahan dilihat sebagai lanskap
atau bentang alam (land as landscape) yaitu nilai lahan terletak pada kualitas
estetikanya dan keterkaitan emosional atau psikologis bagi orang yang mendiami
atau mengunjunginya. Berbagai kegiatan penggunaan lahan sering kali mengurangi
milai keindahan lahan sebagai lanskap. Kerugian yang ditimbulkan kalau karakter
dan kualitas lanskap tidak terjaga bisa menyebabkan kerugian yang teukur secara
finansial seperti berkurangnya kunjungan wisata kesuatu daerah atau tidak terukur
seperti berkurangnya kebanggaan, ikatan emosional dan psikologis penduduk.
Keempat, Yaitu lahan dilihat dari penggunaannya sebagai kegiatan ekonomi
(land use as economic activity). Penggunaan lahan dilihat sebagai persaingan
dalam memilih aktivitas terbaik bagi suatu lahan yang menguntungkan atau bisa
juga dilihat dari persaingan pengguna lahan dalam menggunakan lahan. Pengguna
lahan akan berusaha memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya dari lahan
sebagai asset ekonomi (sama dengan poin keempat dari defenisi Platt). Dalam
mempertimbangkan penggunaan lahan sebagai kegiatan ekonomi perlu dianalisis
berbagai factor biaya dan manfaat yang memengaruhi pilihan penggunaan lahan.
Dalam Kenyataanya suatu lahan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Pandangan terhadap penggunaan lahan dari yang telah diuraikan diatas perlu
diingat merupakan pembedaan analitis untuk memudahkan mengindentifikasi
berbagai hal terkait dengan lahan. Uraian diatas dapat diringkas dalam tabel
berikut ini :

Tabel 1 Perspektif dan Isu Penggunaan Lahan


Perspektif Lahan Nilai Lahan Isu Lahan

Mempertahankan peran ekologis


Peran ekologis
Lahan sebagai ekosistem lahan
(land as ecosytem) atau
lahan sebagai daya (land Mengelola pemanfaatan sumber
as natural resources) Hasil Produksi fisik dan daya alam secara berkelanjutan.
ekologis Diperlukan pengolalaan sumber
daya alam (resources management)
Ketersediaan lahan untuk Konflik penggunaan lahan antar
Lahan sebagai ruang berbagai kebutuhan kegiatan atau antara penguna lahan
(land as space) penduduk. Nilai lahan akibat peningkatan kebutuhan dan
tergantung lokasinya dampak lingkungan
Lahan sebagai bentang Karakter dan kualitas Perlindungan terhadap karakter dan
alam (land as landscape) bentang alam kualitas bentang alam

Lahan dilihat dari


Menentukan penggunaan lahan
penggunaannya sebagai
Keuntungan ekonomi dengan keuntungan optimal,
kegiatan ekonomi (land
spekulasi lahan
use as economic activity)

Lahan sebagai milik


bersama atau
kepemilikan publik (land
Kesejahteraan atau Menjaga manfaat lahan untuk
as common property or
manfaat bersama kesejahteraan bersama
in public ownership)
lahan secara umum perlu
memiliki fungsi sosial

Perencanaan penggunaan lahan sebagai bagian dari perencanaan fisik


dituangkan dalam bentuk peta rencana penggunaan lahan. Menurut Ishack (1987)
peta penggunaan lahan adalah peta yang menggambarkan tata guna lahan yang
terdapat pada suatu daerah tertentu, Tata gua lahan dapat berupa :
1. Agricultural Land Use
Apabila lahan tersebut digunakan untuk : pertanian, perikanan, dan
perkebunan. Sedang data yang digambarkan dapat berupa penyebaran dan
jenis-jenisnya. Penggambaran dapat berupa symbol semi pictorial symbol atau
dengan khoroplet.
2. Non Agricultural Land Use
Apabila lahan tersebut digunakan untuk jalan, kuburan, bangunan-
bangunan, perumahan, desa, pasar, lapangan terbuka dan lain-lain yaitu semua
kegunaan yang tidak bersifat agricultural. Penggambaran dapat berupa symbol
semi pictorial atau dengan pictorial symbol.
Skala Peta yang digunakan untuk perencanaan penggunaan lahan yaitu :
1. Skala Mikro, 1 : 1.000.000 (Nasional), 1 : 250.000 (Provinsi), 1 :
100.000 (Kabupaten).
2. Skala Meso (Sedang), 1 : 25.000 (Kota/ Bagian wilayah kabupaten).
3. Skala Makro, 1 : 1 : 10.000 (Bagian wilayah kota) dan 1 : 5.000
(detail kota).
2.2 Faktor yang mempengaruhi Nilai Lahan
Menurut Iswari (2013) dalam menentukan agihan nilai lahan menggunakan
beberapa indikator diantaranya yaitu, penggunaan lahan, aksesibilitas positif (jarak
terhadap jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, lembaga pendidikan dan kantor
pemerintahan), aksesibilitas negatif (jarak terhadap sungai, sumber polusi dan
makam), dan kelengkapan utilitas (sarana kesehatan, tempat ibadah, bank dan
pusat perbelanjaan atau pasar).
Penggunaan Lahan Penggunaan lahan oleh Menurut Sandy (1995 dalam
Bambang, 2012) dimaknai sebagai dampak dari segala kegiatan manusia diatas
muka bumi yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serta kegiatan
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah. Barlowe (1978 dalam
Bambang, 2012) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola
penggunaan lahan adalah faktor-faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan
ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan lahan
yang terjadi di suatu wilayah cenderung bersifat dinamis. Perubahan penggunaan
lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya (tindakan) dan interaksi
manusia dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam beserta kondisi
lingkungan yang menyertainya. Penggunaan lahan berfungsi sebagai media
aktivitas manusia berlangsung sehingga, akan mempengaruhi nilai suatu lahan
yaitu semakin berpotensi secara ekonomi nilai lahan tersebut maka nilai lahannya
akan semakin tinggi.
2.3 Jenis Penggunaan Lahan
Jenis Penggunaan lahan Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan
lahan tak terbangun. Lahan Terbangun terdiri dari dari perumahan, industri,
perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedangkan lahan tak terbangun terbagi menjadi
lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi,
transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas kota (pertanian,
perkebunan, area perairan, produksi dan penambangan sumber daya alam). Untuk
mengetahui penggunaan lahan di suatu, wilayah, maka perlu diketahui komponen
komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan jenis pengguna lahan dan aktivitas
yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka dapat diketahui komponen-komponen
pembentuk guna lahan (Chapin dan Kaiser, 1979).
Menurut Maurice Yeates, komponen penggunaan lahan suatu wilayah terdiri
atas (Yeates, 1980):
1. 1.Permukiman
2. Industri
3. Komersial
4. Jalan
5. Tanah publik
6. Tanah kosong
Sedangkan menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat
dibedakan menjadi (Hartshorne, 1980):
1. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan
lahan permukiman, komersial, dan industri.
2. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan
lahan rekreasi dan pendidikan.
3. Jalan
Sedangkan menurut Lean dan Goodall , 1976), komponen penggunaan lahan
dibedakan menjadi
1. Penggunaan lahan yang menguntungkan
Penggunaan lahan yang menguntungkan tergantung pada penggunaan lahan
yang tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan guna lahan yang tidak
menguntungkan tidak dapat bersaing secara bersamaan dengan lahan untuk ftmgsi
yang menguntungkan. Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan
lahan untuk pertokoan, perumahan, industri, kantor dan bisnis. Tetapi keberadaan.
guna lahan ini tidak lepas dari kelengkapan penggunaan lahan lainnya yang
cenderung tidak menguntungkan, yaitu penggunaan lahan untuk sekolah, rumah
sakit, taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana prasarana. Pengadaan sarana
dan prasarana yang Iengkap merupakan suatu contoh bagaimana. guna lahan yang
menguntungkan dari suatu lokasi dapat inempengaruhi guna lahan yang lain.
Jika lahan digunakan untuk suatu tujuan dengan membangun kelengkapan
untuk guna.lahan disekitarnya, maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan
secara umum, dan meningkatkan nilai-lahan. Dengan demikian akan
memungkinkan beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya
dengan berlokasi dekat pada salah satu guna lahan.
2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan
Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan,
taman, pendidikan dan kantor pemerintahan. Dari uraian diatas dapat diketahui
bahwa guna lahan yang menguntungkan mempunyai keterkaitan yang besar
dengan guna lahan yang tidak menguntungkan. Guna lahan utama yang dapat
dikaitkan dengan fungsi perumahan adalah guna lahan komersial, guna lahan
industri, dan guna lahan publik maupun semi publik (Chajin dan Kaiser, 1979).
Adapun penjelasan masing masing guna lahan tersebut adalah:
a. Guna lahan komersial Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan
perumahan melalui percampuran secara vertikal. Guna lahan komersial
yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan grosir dan
perusahaan besar.
b. Guna lahan industri Keberadaan industri tidak saja dapat inemberikan
kesempatan kerja namun juga memberikan nilai tambah melalui
landscape dan bangunan yang megah yang ditampilkannya. Jenis industri
yang harus dihindari dari perumahan adalah industri pengolahan minyak,
industri kimia, pabrik baja dan industri pengolahan hasil tambang.
c. Guna lahan publik maupun semi publik Guna lahan ini meliputi guna
lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area rekreasi,
kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-lain.

2.4 Kemampuan Lahan Dan Kesesuaian Lahan Wilayah Dalam Skala Makro Dan Meso
Untuk Penentuan Penggunaan Lahan Kawasan Pertanian Dan Kehutanan
Analisis yang diuraikan berikut ini adalah analisis yang
mengidentifikasi sistem pertanian yang cocok di suatu kawasan

dan belum perinci menguraikan jenis penggunaan lahan berda

sarkan syarat tanam. Analisis ini berguna dalam analisis wilayah

dalam bidang geografi untuk menganalisis lebih lanjut kompleks

ekologi wilayah tanpa masuk terlalu perinci ke dalam analisis

kesesuaian lahan pertanian yang lebih tepat untuk bidang pe

perencanaan pertanian dalam mengidentifikasi syarat tumbuh ta

nama untuk berbagai komoditas.

Analisis tersebut yaitu analisis kemampuan lahan dan ana

lisis zona ekologi. Secara ringkas juga diuraikan apa itu analisis

kesesuaian lahan yang dapat diteruskan untuk menganalisis le

bih perinci kemampuan lahan dan zona agroekologi atau bisa

berdiri sendiri sebagai suatu analisis.

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan (land capability) merupakan

evaluasi potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem perta

nian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis ta

naman tertentu atau tindakan pengelolaannya. Sistem evaluasi

kemampuan lahan bersifat komprehensif dan pengelompokan

lahan dilakukakan secara kualitatif.

Kriteria yang digunakan untuk klasifikasi kemampuan lahan

pada umumnya bersifat kualitatif. Karakteristik lahan penciri

adalah faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen atau

sulit diubah, yaitu:

1. Tekstur tanah
2. Lereng

3. Drainase tanah

4. Kedalaman efektif

5. Erosi

6. Banjir atau genangan yang tetap.

Lahan dibagi atas tiga kategori, yaitu Kelas, Subkelas dan Sa

tuan Kemampuan Lahan.


Sebagai mana yang diungkapkan oleh Arsyad (1989:10), pengertian sifat lahan
yaitu : “Atribut atau keadaan unsur-unsur lahan yang dapat diukur atau
diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur tanah, jumlah curah hujan, distribusi
hujan, temperatur, darinase tanah, jenis vegetasi dan sebagainya”. Sifat lahan
merupakan suatu penciri dari segala sesuatu yang terdapat di lahan tersebut yang
merupakan pembeda dari suatu lahan yang lainnya.” Sifat lahan menunjukkan
bagaimana kemungkinan penampilan lahan jika digunakan untuk suatu
penggunaan lahan. Sifat lahan menentukan atau mempengaruhi keadaan yaitu
bagaimana ketersediaan air, peredaran udara, perkembangan akan kepekaan erosi,
ketersediaan unsur hara, dan sebagainya.
Perilaku lahan yang menentukan pertumbuhan tersebut disebut kualitas lahan.
Sifat-sifat lahan terdiri dari beberapa bagian yaitu karakteristik lahan, kualitas
lahan, pembatas lahan, persyaratan penggunaan lahan, perbaikan lahan (Jamulya,
1991:2).
a. Karakteristik Lahan Karakteristik lahan adalah suatu parameter lahan yang
dapat diukur atau diestimasi, misalnya kemiringan lereng, curah hujan,
tekstur tanah dan struktur tanah. Satuan parameter lahan dalam survey
sumbardaya lahan pada umumnya disertai deskripsi karakteristik lahan.
b. Kualitas Lahan Kualitas lahan mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan
untuk penggunaan tertentu. Kualitas lahan dinilai atas dasar karakterist
lahan yang berpengaruh. Suatu karakteristik lahan yang dapat berpengaruh
pada suatu kualitas lahan tertentu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada
kualitas lahan lainnya.
c. Pembatas Lahan Pembatas lahan merupakan faktor pembatas jika tidak
atau hampir tidak dapat memenuhi persyaratan untuk memperoleh
produksi yang optimal dan pengelolaan dari suatu penggunaan lahan
tertentu. Pembatas lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
(1) Pembatas lahan permanen, pembatas lahan yang tidak dapat
diperbaiki dengan usaha-usaha perbaikanlahan (land improvement).
(2) pembatas lahan semetara, pembatas lahan yang dapat diperbaiaki
dengan cara pengelolaaan lahan.
d. Persyaratan Penggunaan Lahan Persyaratan penggunaan lahan dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian yaitu:
1. Persyaratan ekologikal, contohnya ketersediaan air, ketersediaan
unsur hara, ketersediaan oksigen, resiko banjir, lingkup temperatur,
kelembapan udara, dan periode kering.
2. Persyaratan pengelolaan, contonya persiapan pembibitan dan
mekanisasi selama panen.
3. Persyaratan konservasi, contohnya control erosi, resiko komplen
tanah, resiko pembentukan kulit tanah.
4. Persyaratan perbaikan, contohnya pengeringan lahan, tanggap
terhadap pemupukan.
e. Perbaikan Lahan Perbaikan lahan adalah aktivitas yang dilakukan untuk
memperbaiki kualitas lahan pada sebidang lahan untuk mendapatkan
keuntungan dalam meningkatkan produksi pertanian. Perbaikan lahan
mutlak dilakukan agar kulaitas lahan dapat terus terjaga dan bermanfaat
bagi generasi yang akan datang.
2.5 Penggunaan Lahan

2.5.1 Agricultural land use


Apabila lahan tersebut digunakan untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan
perkebunan. Sedangkan data yang digambarkan dapat berupa penyebaran dan
jenis-jenisnya. Penggambaran dapat berupa symbol semi pictorial symbol atau
dengan khoroplet.
Penggunaan lahan pertanian yaitu:

1. Perlu memperhatikan jenis tanah yang berbeda karena setiap jenis tanah memiliki
karakteristik yang berbeda untuk budi daya pertanian.
2. Keragaman tanaman terkait dengan faktor iklim yang berhubungan erat dengan
suhu dan kelengasan. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu dibagi menjadi
panas yang biasanya diperoleh pada ketinggian di bawah 700 m dan sejuk untuk
wilayah dengan ketinggian yang lebih tinggi sampai sekitar 2.000 m di atas
permukaan laut. Kelengasan walaupun banyak ditentukan oleh sebaran hujan tidak
hanya ditentukan berdasarkan sebaran curah hujan tetapi lebih ditekankan pada
keadaan tanah. Daerah pelembahan yang banyak mendapat air dari sekitarnya akan
selalu basah walaupun curah hujannya sangat sedikit. Kelengasan dibagi menjadi
basah, lembab, agak kering dan kering berdasarkan berapa lama tanah sampai
kedalaman tertentu mengalami kekeringan dalam setahun.
3. Usaha pertanian ditentukan oleh bentuk wilayah dan jenis tanah. Bentuk wilayah
lebih mudah dinyatakan dengan besarnya lereng di mana wilayah dapat
dikelompokkan menjadi wilayah datar, berombak, bergelombang, berbukit atau
bergunung dengan lereng yang semakin meningkat. Sifat-sifat tanah yang sangat
menentukan dalam usaha pertanian adalah selang kemasaman, selang tekstur, dan
dari nase (Panduan Metodologi Analisis Zone Agro Ekologi: Panduan Karakterisasi
Dan Analisis Zone Agroekologi, 1999)
Berikut Contoh dari Agricultural land use menurut Rustiadi, Dkk tentang
lahan pertanian pangan berkelanjutan :
Tersedianya sumberdaya lahan pertanian tanaman pangan yang berkelanjutan
merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional. Ketersediaan lahan pertanian
pangan sangat berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu:
(1) Potensi sumberdaya lahan pertanian pangan,
(2) Produktifitas lahan,
(3) Fragmentasi lahan pertanian,
(4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian,
(5) Sistem irigasi,
(6) Land rent lahan pertanian,
(7) Konversi,
(8) Pendapatan petani,
(9) Kapasitas SDM pertanian serta,
(10) Kebijakan di bidang pertanian
Pencegahan dan pengendalian terhadap adanya alih fungsi lahan terutama
sawah perlu dilakukan, mengingat:
(1) Konversi lahan sawah beririgasi teknis adalah ancaman terhadap upaya
untuk mempertahankan swasembada pangan nasional,
(2) Dari segi lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam, ekosistem sawah
ternyata relatif stabil dengan tingkat erosi yang relatif kecil, dan
(3) Dari sudut pandang struktur sosial budaya masyarakat Indonesia, alih
fungsi lahan sawah akan menyebabkan ketidakseimbangan hubungan
sistematik antara pelaku usaha pertanian dan lahannya karena sawah
merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus menjadi public
good yang mendorong masyarakat perdesaan bekerja sama lebih produktif
(Sabiham, 2008 dalam aviciena).
Pembangunan dan sektor pertanian dapat berjalan berdampingan hanya jika
kebijakan perencanaan penggunaan lahan diberlakukan dengan ketat. Undang-
undang Nomor 41 tahun 2009 tentang PLPPB diharapkan menjadi salah satu
kebijakan yang dapat mengatur tentang perencanaan penggunaan lahan, khususnya
lahan pertanian pangan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009, yang dimaksud dengan
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam
merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina,
mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara
berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional .
Istilah lahan pertanian pangan berkelanjutan ini, pada Undang Undang No.
41/ 2009 dapat dijelaskan beberapa definisi terkait, yaitu :
a. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi dan
hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.
b. Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha
pertanian.
c. Pertanian pangan adalah usaha manusia untuk mengelola lahan dan
agroekosistem dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan
manajemen untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan serta
kesejahteraan rakyat.
d. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian
yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten
guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan
kedaulatan pangan nasional (Pasal 1 ayat 3).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian dan lahan cadangan yang
berada di dalam dan/atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa
kriteria, yaitu :
 Kesesuaian lahan
KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek
kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi cocok untuk dikembangkan
pertanian pangan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.
 Ketersediaan infrastruktur
KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur
pendukung kegiatan pertanian pangan, diantaranya sistem irigasi, jalan dan
jembatan.
 Penggunaan lahan aktual (Kondisi Existing)
Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan
melihat bentuk/kondisi penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan
yang merupakan bentuk alami maupun buatan manusia.
 Potensi teknis lahan
Potensi teknis lahan merupakan salah satu kriteria yang harus
diperhatikan dalam menetapkan KP2B. Yang dimaksud dengan potensi
teknis lahan adalah lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek
topografi/lereng, iklim, sifat fisika, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok
dikembangkan untuk pertanian.
 Luasan satuan hamparan lahan
Luasan satuan hamparan lahan dalam menetapkan KP2B dilakukan
dengan mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang
menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga
tercapai skala ekonomi sosial budaya yang mendukung produktivitas dan
efisiensi produk. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
01 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan, disebutkan bahwa kawasan yang dapat ditetapkan menjadi
KP2B harus memenuhi kriteria :
(a) Memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu sebagai LP2B
dan/atau LCP2B,
(b) Menghasilkan pangan pokok dengan tingkat produksi yang dapat
memenuhi kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat setempat,
kabupaten/kota, provinsi dan/atau nasional.
2.5.2 Kriteria Sistem Pertanian Berkelanjutan
Secara garis besar Zamor (1995) mengemukakan kriteria sistem pertanian
berkelanjutan, yakni:
1. Keberlanjutan Secara Ekonomi
Pola pertanian yang dikembangkan bisa menjamin infestasi dalam bentuk
tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan petani, dan hasil yang didapat petani
mencukupi kebutuhan keluarganya secara layak. Keberlanjutan ekonomi berarti
juga meminimalkan atau bahkan meniadakan biaya eksternal dalam proses
produksi pertanian. Dalam poin keberlanjutan ekonomi ini, masih banyak terlihat
bahwa petani (dan pertanian) kita belum sustain secara ekonomi dalam
pengelolaan pertaniannya.
Sebagai contoh, di lapangan kita banyak menjumpai petani yang harus (terus-
menerus) berutang menjelang musim tanam (untuk biaya produksi dan alat).
Ketergantungan petani atas input dari luar (terutama pupuk dan pestisida) adalah
bukti paling nyata. Jadi kita harus memulai (saat ini juga) memperkenalkan kepada
para petani kita beberapa alternatif model pertanian, sehingga kemandirian petani
lebih terjamin, selain itu juga ramah lingkungan. Di beberapa tempat lain, sistem
pertanian hutan-tani (agroforestry) justru dapat menjadi jalan keluar.
2. Keberlanjutan Ekologi
Keberlanjutan ekologis adalah upaya mengembangkan agroekosistem agar
memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kurun waktu yang lama melalui
pengelolaan terpadu untuk memelihara dan mendorong peningkatan fungsi sumber
daya alam yang ada. Pengembangan sistem juga berorientasi pada keragaman
hayati (biodiversity).
3. Keadilan Sosial dan Kesesuaian dengan Budaya Lokal
Selain berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan, syarat mutlak sistem
pertanian berkelanjutan adalah keadilan sosial, dan kesesuaian dengan budaya
lokal. Yakni penghargaan martabat dan hak asasi individu serta kelompok untuk
mendapat perlakuan adil. Misalnya adanya perlindungan yang lebih tegas atas hak
petani dalam penguasaan lahan, benih dan teknologi lokal yang sering “dibajak”
oleh kaum pemodal. Sistem yang harus dibangun juga menyediakan fasilitas untuk
mengakses informasi, pasar dan sumberdaya yang terkait pertanian.
Hal mana harus menjamin “harga keringat petani” untuk mendapat nilai tukar
yang layak, untuk kesejahteraan keluarga tani dan keberlanjutan modal usaha tani.
Khususnya akses atas lahan harus kembali dievaluasi dalam rangka menegakkan
keadilan, dengan tanpa membedakan jenis kelamin, posisi sosial, agama dan etnis.
Contoh adanya ketimpangan keadilan adalah (dalam konvensi di Indonesia) bila
istri melakukan transaksi hak atas tanah, oleh Notaris akan dimintakan surat kuasa
dari suaminya.
Sementara itu, budaya pertanian lokal sering kali dilecehkan. Misalnya,
sistem ladang berpindah orang Dayak sering dituduh merusak lingkungan (yang
benar, orang Dayak menggilirkan lahan secara berputar/siklus, bukan berladang
berpindahpindah). Padahal sistem itu justru melestarikan lingkungan dan sudah
teruji berabad-abad. Namun kebiasaan orang Dayak menggulirkan siklus lahan ini
dijadikan kambing hitam atas dosa lingkungan dari jaringan penjarah kayu serta
penjarah hutan hak ulayat suku.

Anda mungkin juga menyukai