Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status gizi di Indonesia terutama pada balita yang sekarang masih

menjadi permasalahan di antaranya masalah gizi kurang, gizi buruk serta

Stunting. Stunting atau biasa disebut dengan balita pendek merupakan indikasi

buruknya status gizi dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk

gizi kurang pada anak (Senbanjo, Oshikoya, Odusanya, & Njokanma, 2011).

Stunting (balita pendek) ketika usia balita pada umumnya sering tidak disadari

oleh keluarga dan setelah 2 tahun baru terlihat dan berdampak pada

kemampuan kognitif dan produktivitas jangka panjang, bahkan bisa

berdampak pada kematian (Oktarina & Sudiarti, 2014)

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa untuk

mencapai target MDGs 2030 mengakhiri segala bentuk malnutrisi. Prevalensi

stunting antara lain : Pakistan 45%, kongo 43 %, india 39%, etupia 38 %,

Indonesia 36%, bagladesh 36 %, nigeria 33%, tandzania 34 %, filiphina 30%

dan china 9 % (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

Menurut data RISKESDAS tahun 2018 menunjukkan bahwa terdapat

30,8% balita stunting, mengalami peningkatan dari tahun 2013 mencapai

37,2 % dan pada tahun 2015 mencapai 36,8%. Lebih dari sepertiga anak di

Indonesia berusia di bawah lima tahun tingginya berada di bawah rata – rata

(Kementrian Kesehatan RI, 2018).Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi

(PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi

dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan

1
2

gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016

yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (pemantauan status gizi, ditjen

kesehatan masyarakat).

Capaian cakupan kejadian stunting untuk provinsi jawa timur pada

tahun 2018 mencapai 15 %. Menurut KEMENKES tahun 2017 untuk

profensi Jawa timur pada tahun 2017 Kejadian stunting pada balita usia 12-36

bulan berdasarkan indeks TB/U mencapai 18,8 %.

Di kabupaten Sampang pada tahun 2018 mencapai 44,6% stunting

pada balita(Kementrian Kesehatan RI, 2018). Berdasarkan hasil survey data

yang dilakukan Di puskesmas Tamberu Barat, Kecamatan Sokobena,

Kabupaten Sampang pada bulan Januari sampai juni tahun 2019 ditemukan

bahwa data balita yang mengalami stunting sebanyak 44,5%. Berdasarkan

data pendahuluan dari 10 balita stunting, 6 balita mempunyai riwayat ibu

pernikahan dini, 4balita mempunyai riwayat faktor genetik dan riwayat faktor

budaya yang kurang baik.

Menurut United Nation Children’s Fund UNICEF (2015) secara garis

besar masalah gizi buruk pada balita disebabkan oleh penyebab langsung dan

tidak langsung. Akar masalah dan pokok masalah penyebab langsung yaitu

asupan nutrisi yang kurang pada balita dan penyakit infeksi yang diderita

(Warandani, 2014). Penyebab tidak langsung seperti: pengasuhan serta pola

pemberian makan orang tua. Faktor tersebut diatas sangat terkait dengan

tingkat pendidikan dan keterampilan keluarga (Wahyana, 2016). Salah satu

hambatan utamanya adalah pendidikan yang tidak memadai dan praktik-

praktik gizi yang tidak tepat dan rendahnya pemberian makanan pendamping
3

yang sesuai (Maryati, 2016). Masyarakat Madura identitas dengan tradisi

menikah dini menyebabkan kurangnya pengetahuan untuk merawat anak

dengan baik (Kemenkes, 2012).

Kurangnya asupan makanan yang bergizi dan masih kurangnya akses

kepada makanan bergizi, hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di

Indonesia masih tergolong mahal,asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup

lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

gizi,Rendahnya pemberian inisiasi menyusui dini pada bayi hingga usia 6

bulan, pemberian makanan pendamping ASI untuk bayi diatas 6 bulan hingga

2 tahuntidakmengandung zat gizi yang berkualitas karena kurangnya

pengetahuan tentang betapa pentingnya ASI bagi bayi, pemberian imunisasi

dasar lengkap dan vitamin A, faktor ekonomi yang memberikan dampak

buruk terhadap status gizi anak, pola asuh yang tidak tepat dan sanitasi yang

buruk karena kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Hingga saat ini

masih banyak daerah yang kesulitan mengakses air bersih untuk kebutuhan

sehari-hari. Selain itu perilaku masyarakat yang membuang kotoran di tempat

terbuka. Ini juga mempengaruhi kualitas air bersih yang pada gilirannya

berpengaruh terhadap kesehatan anak (Depkes, 2017).

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak.

Dampak yang diakibatkan oleh Stunting menjadi dua yang terdiri dari jangka

pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari Stunting adalah di

bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan

morbilitas, di bidang perkembangan berupa penurunan perkembangan

kognitif, motoric, dan bahasa dan di bidang ekonomi berupa peningkatan


4

pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan dampak

jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawatan yang pendek,

peningkatan resiko untuk obesitas dan komorbitnya, dan penurunan kesehatan

reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan kapasitas

belajar dan di bidang ekonomi berupa penurunan kemampuan dan kapasitas

kerja (WHO, 2013).

Pernikahan dini dapat berdampak buruk terhadap kesehatan ibu dan balita.

Salah satu dampaknya adalah terganggunya organ reproduksi pada ibu dan

apabila terjadi kehamilan, merupakan kehamilan yang berisiko. Selain itu

dapat juga berakibat pada anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari ibu

yang menikah dini memiliki kesempatan hidup yang rendah dan lebih besar

memiliki masalah gizi pada anaknya seperti pendek, kurus, dan gizi buruk.

Hal tersebut kemungkinan bisa terjadi karena ibu balita yang umurnya kurang

dari 18 tahun biasanya memiliki pola asuh terhadap anaknya kurang baik,

pola asuh yang kurang baik tersebut dapat berdampak pada status gizi

anaknya. Pada penelitian yang dilakukan Afifah menunjukkan bahwa

persentase anak pendek meningkat pada ibu yang menikah pada usia dini.

Semakin muda usia pernikahan ibu, maka proporsi balita dengan status gizi

pendek semakin meningkat

Usaha pemerintah telah melakukan upaya penanganan stunting pada

tahun 2011-2015 dengan cara melakukan gerakan 1000 HPK (Hari Pertama

Kehidupan) dilanjutkan dengan keluarnya Peraturan Presiden No.42 tahun

2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dan Peraturan

Presiden 83/2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi. Selain ini di
5

tahun 2018, Pemerintah juga memprioritaskan 100 kabupaten yang terjangkit

stunting dan dilakukannya pelayanan kesehatan serta pendidikan kesehatan

mengenai perbaikan gizi (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan, 2017). Selain pemerintah, pihak puskesmas Tamberu Barat juga

memberikan upaya berupa adanya edukasi pengetahuan mengenai ASI

eksklusif dan pemberian MP-ASI yang benar dan juga memberikan edukasi

tentang bahaya pernikahan dan kehamilan dini terhadap ibu dan janin,

penimbangan anak rutin di posyandu dan lain sebagainya. Upaya tersebut

masih dilakukan namun angka kejadian stunting tetap diatas rata-rata

prevalensi. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan perilaku ibu

dalam melakukan pencegahan stunting, seperti ketaatan pemberian ASI

eksklusif selama 6 bulan atau pemberian makanan tambahan yang

berkualitas. Riskesdas tahun 2013 memperlihatkan bahwa diantara

perempuan 10-54 tahun, terdapat 2,6% menikah pada usia di bawah 15 tahun

dan 23,9% pada rentang 15 sampai 19 tahun. Angka kehamilan yang terjadi

pada usia dibawah 15 tahun sebesar 0,02% dan pada rentang usia 15 sampai

19 tahun sebesar 1,97%. Masalah ini hendaknya mendapatkan penanganan

yang lebih baik dari program keluarga berencana (KB) karena akan

berdampak pada peningkatan angka pertumbuhan penduduk di Indonesia

(Riskesdas, 2013).

Dari pernyataan diatas peneliti perlu untuk melakukan penelitian tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita dengan

riwayat ibu pernikahan dini berdasarkan pendekatan teori

TransculturalNursing, yang mengaitkan tentang budaya orang tua yang


6

menikah dini di puskesmas Tamberu Barat serta kebiasaan masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan balita, dan peran keperawatan didalam melaksanakan

intervensi keperawatan berbasis budaya yang dapat meningkatkan status gizi

balita. Terdapat beberapa faktor dalam teori Tanscultural Nursing yang

mempengaruhi budaya terkait dengan perilaku kesehatan, yang terdiri atas

faktor pendidikan, ekonomi, dukungan sosial dan keluarga, nilai budaya dan

gaya hidup (Leininger, 2013).

1.2 Identifikasi Masalah

Faktor Internal:

a. Keturunan
b. Panjang lahir
c. Pengetahuan ibu
d. Pemberian ASI Eksklusif
e. Pola nutrisi (makan)
f. Pola asuh
g. BBLR

Faktor Eksternal:
Masih ada kejadian stunting
a. Nutrisi ibu hamil pada anak 44,5 %
b. Pernikahan dini
c. Pendidikan ibu
d. Sosial ekonomi
e. Riwayat imunisasi dasar
f. Kurangnya akses makanan yang
bergizi
g. Kurangnya akses air bersih dan
sanitasi ( lingkungan )

Gambar : 1.1 Identifikasi Masalah

Bagan diatas menunjukkan beberapa perilaku pencegahan stunting pada

anak, yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.


7

1.2.1 Faktor Internal

a. Keturunan

Tinggi badan orang tua dapat berdampak pada pertumbuhan

linear generasi selanjutnya selama periode pertumbuhan. Pengaruh ini

meliputi faktor genetik dan non-genetik, diantaranya efek nutrisi antar

generasi yang mempengaruhi pertumbuhan dimana terjadi hambatan

capaian tinggi badan sesuai potensi genetik terutama pada masyarakat

berpendapatan rendah atau menengah. Penelitian di Mesir

menunjukkan bahwa bayi yang lahir dari ibu dengan tinggi badan <

150 cm, lebih berisiko mengalami stunting. 10 Penelitian di Kota

Semarang juga menyatakan bahwa tinggi badan ayah < 162 cm

merupakan faktor risiko kejadian stunting (Supariasa, 2013).

b. Panjang lahir

Seorang bayi baru lahir dikatakan stunting apabila panjang

badan lahir < 46,1 cm untuk laki – laki dan < 45,4 cm untuk

perempuan.7,8 Stunting berdampak jangka panjang bagi pertumbuhan

manusia. Dampak jangka panjang ini dapat dihindari dengan

memberikan intervensi pada bayi stunting hingga usia 2 tahun agar

dapat mengejar tumbuh kembang pada periode selanjutnya. Oleh

karena itu, deteksi dini kejadian stunting sangat dibutuhkan (Ernawati

dkk 2013)

c. Pengetahuan ibu

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan ibu tentang gizi

yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan anak. Konsep adopsi


8

perilaku yang dikemukakan oleh Mubarak (2014) bahwa proses

pembentukan perilaku adalah evolusi dari pengetahuan yang dapat

membentuk sikap dan kemudian dapat mempengaruhi terciptanya

perilaku.

d. Pemberian Asi Eksklusif

Asi eksklusif menurut WHO 2013 adalah pemberian asi saja

tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk

ataupun makanan tambahan lain. Sebelum bayi usia 6 bulan sistem

pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga

ia belum mampu makanan selain ASI. Manfaat Asi eksklusif bagi bayi

dapat dilihat dari aspek gizi, yaitu kolostrum ASI pertama keluar

setelah melahirkan berwarna kuning kental yang mengandung zat

kekebalan terutama IgA untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit

infeksi terutama diare. Banyaknya kolostrum yang diproduksi

bervariasi tergantung dari hisapan bayi pada hari – hari pertama

kelahiran. Walaupun sedikit tetapi cukup untuk untuk memenuhi

kebutuhan gizi bayi. Oleh karena itu kolostrum harus diberikan pada

bayi karena mengandung protein, vitamin A yang tinggi, mengandung

karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi

pada hari – hari pertama kelahiran.

e. Pola nutrisi (makan)

Semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi

semakin meningkat. Pertumbuhan anak akan semakin menyimpang

dari normal jika umur terus bertambah dan penyediaan makanan baik
9

kuantitas maupun kualitas tidak memadai. Jika asupan anak seringkali

rendah kuantitas dan kualitasnya, kualitas asupan makanan yang baik

merupakan komponen penting dalam makanan anak karena

mengandung sumber zat gizi makro (karbohidrat, lemak, protein) dan

mikro (seng, kalsium) dan jika asupan energi pada balita kurang

dikarenakan balita makan secara tidak teratur, terutama untuk

konsumsi nasi dimana balita merupakan masa sulit dalam pemberian

makanan makan anak, karena anak sudah mulai aktif dan pemantauan

orang tua juga sudah mulai berkurang (Trisnawati dkk , 2016 ).

f. Pola asuh

Pola pengasuhan yang diberikan ibu pada anak berhubungan

dengan keadaan kesehatan (baik fisik maupun mental), status gizi,

pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, peran dalam keluarga dan

adat kebiasaan dari ibu. Status kesehatan merupakan salah satu aspek

pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak kearah kearah

membaik (UNICEF et el, 2013).

g. BBLR

Bayi lahir dengan BBLR sejak dalam kandungan telah

mengalami reterdasi pertumbuhan intrauterine dan akan berlanjut

sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami gangguan

saluran pencernaan karena belum berfungsi sempurna sehingga

penyerapan makanan kurang baik dan mengalami gangguan elektrolit,

bayi BBLR juga mengalami gangguan pemberian ASI karena ukuran

bayi yang kecil, lemah dan lambungnya kecil sehingga tidak dapat
10

menghisap dengan baik dan mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang dilahirkan normal

dan sering sering gagal menyusul tingkat pertumbuhan yang

seharusnya dicapai pada usianya setelah lahir (Proverawati dan

Ismawati, 2013).

1.2.2 Faktor Eksternal

a. Nutrisi ibu hamil

Kekurangan gizi yang dialami ibu hamil bisa menyebabkan

kekurangan energi kronik (KEK). KEK terjadi sebagai akibat dari

ketidakseimbangan antara energi yang diasup dan yang dikeluarkan

dalam jangka waktu yang lama. Kebiasaan makan ibu sejak usia

reproduksi juga mempengaruhi kejadian KEK. KEK dapat

menggambarkan keadaan gizi ibu sejak masa lampau. Salah satu cara

untuk mengetahui apakah seorang ibu mengalami malnutrisi kronik

adalah dengan mengukur LILA (lingkar lengan atas). Ibu hamil dengan

LILA < 23,5 cm berisiko mengalami KEK. Ibu yang mengalami KEK

hingga trimester III beresiko melahirkan bayi stunting karena

pertumbuhan linear bayi memasuki masa sensitif sejak periode mid-

gestation.

b. Pernikahan dini

Menikah diusia dini terutama di bawah usia 20 tahun ternyata

memiliki risiko yang cukup mengkhawatirkan. Secara mental belum

siap menghadapi perubahan yang terjadi saat kehamilan, belum siap


11

menjalankan peran sebagai seorang ibu dan belum siap menghadapi

masalah-masalah berumah tangga yang sering kali melanda kalangan

keluarga yang baru melangsungkan perkawinan, karena masih dalam

proses penyesuaian. Sementara itu remaja yang melangsungkan

perkawinan diusia dini umumnya belum memiliki kematangan jiwa

dalam arti kemantapan berpikir dan berbuat. Pada umumnya remaja

yang melangsungkan perkawinan dibawah umur 20 tahun belum

memiliki pandangan dan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana

seharusnya peran seorang ibu dan seorang istri atau peran seorang

laki-laki sebagai bapak dan kepala rumah tangga. Keadaan semacam

ini merupakan titik rawan yang dapat mempengaruhi keharmonisan

dan kelestarian perkawinan. Menurut Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menikah diusia dini bagi

perempuan besar kemungkinan melahirkan anak dengan berat badan

rendah dan memiliki tubuh pendek atau stunting (kontet). Anak

stunting itu tubuhnya pendek, kecil, dan ukuran otak kecil. Risikonya

mudah kena penyakit jantung dan pembuluh darah (BKKBN, 2012).

c. Pendidikan ibu

Pendidikan ayah tidak berpengaruh secara langsung dengan

asupan gizi anak, tetapi tingkat pendidikan ibu berpengaruh secara

langsung dengan asupan gizi anak ( Boylan et al., 2017). Hal tersebut

berkaitan dengan seberapa rutin kunjungan ke posyandu untuk

mengikuti penyuluhan tentang tumbuh kembang anak dan asupan gizi

yang diperlukan oleh anak, yang akan meningkatkan tingkat


12

pengetahuan ibu tentang gizi. Ibu yang mempunyai tingkat

pengetahuan yang baik akan menyajikan menu makanan yang sesuai

dengan kebutuhan anak sesuai dengan usianya. Selain itu, pendidikan

orang tua mempunyai pengaruh langsung terhadap pola pengasuhan

anak yang kemudian akan mempengaruhi asupan makan anak.

d. Sosial ekonomi

Ketersedianan pangan merupakan kemampuan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan pangan yang cukup baik segi kuantitas dan

kualitas dan keamanannya. Kurangnya ketersedianya pangan dalam

suatu keluarga secara terus – menerus akan menyebabkan terjadinya

penyakit akibat kurang gizi pada keluarga. Status ekonomi keluarga

dipengaruhi beberapa faktor, antara lain pekerjaan orang tua, tingkat

pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi

keluarga akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan gizi keluarga

maupun kemampuan pemenuhan gizi keluarga maupun kemampuan

mendapatkan layanan kesehatan. Banyak anak yang berasal dari

keluarga miskin di negara berkembang sejak bayi dikarenakan

kurangnya asupan makanan yang bergizi. Faktor yang menyebabkan

terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk

mendapatkan pangan Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi

rendah cenderung kemampuan pemenuhan gizi yang rendah,

meningkatkan resiko terjadinya malnutrisi. (Fernald dan Neufeld 2013)

e. Riwayat imunisasi dasar


13

Imunisasi adalah usaha untuk memberikan kekebalan terhadap

penyakit infeksi pada bayi, anak dan juga orang dewasa. Imunisasi

merupakan reaksi antara antigen dan antibody-antibodi yang dalam

bidang ilmu imunologi merupakan kuman atau racun (toxin disebut

sebagai antigen). pemberian imunisasi adalah untuk menurunkan

angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi. Status imunisasi merupakan kelengkapan

balita dalam mendapatkan vaksin imunisasi dasar, vaksin ini meliputi

satu dosis hepatitis, satu dosis BCG, 4 dosis polio, 3 dosis DPT dan

satu dosis campak. Dimana manfaat imunisasi memberikan dan

meningkatkan daya tahan tubuh. Imunisasi merupakan domain yang

sangat penting untuk memiliki status gizi yang baik. Imunisasi yang

lengkap akan menghasilkan status gizi yang baik, hal ini karena

penyakit infeksi dan kekebalan tubuh saling berhubungan erat satu

sama lain dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi (Karina,

2013).

f. Kurangnya akses makanan yang bergizi

Kurangnya akses makanan yang bergizi dikarenakan harga

makanan yang bergizi di Indonesia tergolong mahal . menurut

beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS)

sehingga pemenuhan makanan yang bergizi menjadi kurang terpenuhi.

g. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi

Akses air bersih dan sanitasi yang memadai maka kesehatan

masyarakat dan keluarga terjamin baik. Akses sanitasi dan air besih
14

menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan

anak sebab lingkungan tempat anak bermain setiap hari. Karena jika

akses air bersih dan jamban tidak terpenuhi dengan baik maka tak

jarang menimbulkan penyakit infeksi yang berulang, perilaku

kebersihan dan pengasuhan yang buruk, penggunaan air yang tidak

bersih, lingkungan yang tidak sehat (Hanum, 2014).

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi penyebab masalah di atas, maka penelitian ini

di batasi pada Menganalisis faktor kejadian stunting pada balita usia 12-36

bulan dengan riwayat ibu pernikahan dini dipuskesmas Tamberu barat,

Kecamatan Sokobana.

1.4 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana analisis faktor kejadian stunting pada balita usia 12-36 bulan

dipuskesmas tamberu barat, kabupaten Sokobana ?

b. Bagaimana analisis riwayat ibu pernikahan dini dipuskesmas tamberu

barat, kabupaten Sokobana ?

c. Bagaimana analisis faktor kejadian stunting pada balita usia 12-36 bulan

dengan riwayat ibu pernikahan dini di puskesmas tamberu barat,

kabupaten Sokobana ?
15

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1.5.1 Tujuan Umum

Menganalisis faktor kejadian stunting pada balita usia 12-36 bulan

dengan riwayat ibu pernikahan dini dipuskesmas Tamberu barat,

Kecamatan Sokobana.

1.5.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

riwayat ibu pernikahan dini dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan

Sokobana ?

b. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

genetik dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan Sokobana ?

c. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

pendidikan ibu dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan Sokobana ?

d. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

riwayat pola pemberian makan dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan

Sokobana ?

e. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

faktor ekonomi dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan Sokobana ?

f. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

riwayat budaya dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan Sokobana ?

g. Mengidentifikasi analisis faktor kejadian stunting pada balita dengan

gaya hidup dipuskesmas Tamberu barat, Kecamatan Sokobana ?


16

1.6 Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua

pihak yang terkait antara lain :

1.2.3 Teoritis

Untuk menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan tentang teori riset

khususnya mengenai kejadian stunting.

1.2.4 Praktis

a. Sebagai informasi data dan dapat meningkatkan perkembangan ilmu

pengetahuan untuk penelitian selanjutnya terutama di bidang

kesehatan.

b. Meningkatkan pengetahuan dan motivasi masyarakat tentang

pentingnya kejadian stunting.

c. Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan dan mengembangkan

program Gizi yang telah dilaksanakan di puskesmas supaya lebih

aplikatif dalam pelaksanaannya di lapangan.


17

1.3 Keaslian penelitian

Tabel 1.2 keaslian penelitian

No Judul penelitian Penulis, Variabel Desain Hasil


tahun penelitian
1 Hubungan antara tinggi Kisye C.G Stunting, tinggi Terdapat hubungan
badan orang tua dengan Laala, badan ayah, cross antara tinggi badan
kejadian stunting pada Maureen I. tinggi badan sectional ayah dengan
anak usia 24-59 bulan Punuh, Nova ibu kejadian stunting
di kecamatan tom batu H. Kapantow, pada anak usia 24-
utara kabupaten 2018 59 bulan
minahasa tenggara

2 Perbedaan panjang KurniaYustia Stunting, Cohort Tidak ada


badan bayi baru lahir na, Nuryanto, panjang badan prospectiv perbedaan panjang
antara ibu hamil kek 2014 bayi baru lahir. e. badan bayi baru
dan tidak kek Ibu hamil KEK, lahir antara ibu
status gizi, hamil KEK dan
tinggi badan tidak KEK. Panjang
ibu, tinggi badan bayi baru
badan ayah, lahir juga tidak
jenis kelamin menunjukkan
bayi, asupan perbedaan antara
energy dan tiap kategori tinggi
protein, status badan ibu dan ayah,
ekonomi jenis kelamin bayi,
keluarga asupan energy dan
protein serta status
ekonomi keluarga.
3 Pengaruh asupan Fitrah anak stunting, Follow-up Panjang badan lahir
protein ibu hamil dan ernawati, asupan zat gizi, study bayi dan asupan
panjang badan bayi yuniar ibu hamil protein Ibu hamil
lahir terhadap rosmalina, merupakan faktor
kejadian stunting pada dan yurista yang
anak usia 12 bulan di permanasari, berpengaruh
kabupaten bogor 2013 signifikan terhadap
kejadian
anak menjadi
pendek pada saat
anak
berusia 12 bulan.

4 Hubungan pemberian Sri indrawati, Asi eksklusif, Cross Ada hubungan


ASI esklusif dengan 2016 kejadian Sectional pemberian ASI
Kejadian stunting pada stunting eksklusif dengan
kejadian stunting
anak usia
pada balita 2-3
2-3 tahun di desa tahun
karang rejek
Wonosari gunung kidul
18

5 Hubungan pendapatan Windi Stunting, cross Pengetahuan ibu


keluarga, pengetahuan hapsari, 2018 Pendapatan, sectional tentang gizi yang
ibu tentang gizi, tinggi Pendidikan, rendah merupakan
badan orang tua, dan Pengetahuan, faktor resiko
tingkat pendidikan ayah Balita. terjadinya stunting
dengan kejadian pada balita
stunting pada anak
umur 12-59 bulan

6 Hubungan status gizi Sukmawati, Status gizi ibu Penelitian 1. Ada hubungan
ibu saat hamil, berat hendrayati, saat hamil, observasio antara status gizi
badan lahir bayi dengan cherunnimah, berat badan naldengan ibu saat hamil
kejadian stunting pada nurhumaira, lahir bayi, cross dengan kejadian
balita. tahun 2018 stunting sectional stunting pada
study. balita usia 6-36
bulan di wilayah
kerja puskesmas
bontoa.
2. Ada hubungan
berat badan lahir
bayi dengan
kejadian stunting
pada balita usia
6-36 bulan di
wilayah kerja
puskesmas
bontoa.

Anda mungkin juga menyukai