Anda di halaman 1dari 17

A.

Pengertian
Inkintinensia urin merupakan kehilangan control berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-
sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), Inkontinensia urin
merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat
berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran,
dan penggunanaan obat narkotik atau sedatife.
Inkontinensia urine yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan
dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang
tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000)

B. Klasifikasi
a. Inkontinensia dorongan
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar,
terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi
lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,2006).
Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan
kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
b. Inkontinensia total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus
menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain : disfungsi neorologis, kontraksi
independen dan reflex detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, spatula,
neuropati.
c. Inkontinensia stress
Ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan
abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan
keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen
secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007)
d. Inkontinensia reflex
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak
dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan
neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia reflex ditandai dengan
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
tidak dihambat pada interval teratur.
e. Inkontinensia fungsional
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin secara tanpa
disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin.
C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebabnya
Inkontinensia Urin (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapai antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogeb
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat,
atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia urine juga bisa terjadi
karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolic, seperti diabetes mellitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menajdi factor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Pesien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian
atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi
jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu
diuretika, antikolinergik, analgesic, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa. ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika
seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedative hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama Sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar
hormone esterogen pada wanita diusia menopause (50 tahun ke atas), akan
terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu aaluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Factor resiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
beresiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urin, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009)
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu :
1. Ketidaknyamanan daerah pubis.
2. Distensi vesika urinaria.
3. Ketidaksanggupan untuk berkemih.
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml).
5. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya.
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.
7. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
E. Faktor predisposisi
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urin saja,
tetapi juga berpengaruh terhadap control eliminasi itu sendiri. Anak-
anak masih belum mampu untuk mengontrol buang air besae maupun
buang air kecil karena system neuromuskletalnya belum berkembang
dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan
dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot,
sehingga peristaltic menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan
kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia
usia lanjut beresiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi
urin, terjadi penurunan control otot sfingter sehingga terjadi
inkontinensia (Asmadi, 2008)
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsure manfaatnya,
misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat
menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam
jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
terbentuknya Kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran
kemih sehingga pengeluaran urin menjadi terganggu. Selain itu, urin
juga dapat menjadi bau jengkol. Maknutrisi menjadi dasar terjadinya
penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan fese maupun urine. Selain itu malnutrisi
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang
menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan
(Asmadi, 2008)
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke
ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urin menjadi
berkurang dan lebih pekat (Asmadi, 2008)
4. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot.
Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis, dan
diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008)
5. Stress psikologis
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia
akan mengalami diare (Asmadi, 2008)
6. Temperature
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan
cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolic. Hal tersebut
menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya
berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urin menjadi sedikit.
Selain itu, demam juga dapat mempengaruhi nafsu makan yaitu terjadi
anoreksi, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008)
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet
yang seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpengaruh pada
eliminasi urin (Asmadi, 2008)
8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja
masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet
merupakan sesuatu yang pribadi, sementara budaya Eropa menerima
fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,
2006)
9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi elektrolit serta solute berada dalam
keseimbangan, peningkatan asupan cairan dapat menyebabkan
peningkatan produksi urin. Cairan yang diminum akan meningkatkan
volume filtrate glomerulus dan eksresi urin (Potter & Perry, 2006)
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi
penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk
mengontrol urinasi. Misalnya diabetes mellitus dan sklerosis multiple
menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah fungsi kandung
kemih. Arthritis rheumatoid, penyakit sendi degenerative dan
Parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir
(Potter & Perry, 2006)
11. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum
menjadi pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau
puasa praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urin.
Respon stress juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan
berkurangnya keluaran urin dalam upaya mempertahankan volume
sirkulasi (Potter & Perry, 2006)
12. Obat-obatan
Retensi urin dapat disebakan oleh penggunaan obat antikolinergik
(antropin), antihistamin (Sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat
penyekat beta adrenergic (inderal) (Potter & Perry, 2006)
A. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologi juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemin diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo,2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung
kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis da kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpats somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton,1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolnergik
parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek
simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat
penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia
sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra
yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia (Setiati,2001).
B. Perubahan Sistem Ginjal Pada Lanjut Usia
Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ginjal
pada usia muda. Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150
gram bersamaan dengan pengurangan ukuran ginjal.
Pada studi dari McLachlan dan Wasserman tentang panjang, luas dan
kemampuan untuk berkembang dari ginjal yang mendapatkan urogram i.v,
mereka menemukan bahwa panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade
setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambanhnya usia, banyak jaringan
yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total
glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80 tahun dan permukaan glomerulus
berkurang secara progresif setelah 40 tahun dan yang terpenting adalah
terjadinya penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari
1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-30%
pada usia 80 tahun. Terdapat beberapa perubahan pada ginjal saat usia lanjut :
1. Perubahan aliran darah ginjal
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar1 liter
permenit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600
ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan
GFR 120ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di
tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan
pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, mempelihatkan
bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira
10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya
menjadi sekitar 300 ml/menit.
2. Perubahan fungsi ginjal
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah
tua tetap memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh
dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat
merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki
usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang
diakibatkan karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya
kemampuan untuk regenerasi.
3. Perubahan laju filtrasi glomerulus
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus. Pada usia lanjut terjadi penurunan laju glomerulus. Hal ini
dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari
ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang
menggunakan bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap
stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian menurun
hingga 8-10 ml/menit/dekade.
4. Perubahan pengaturan keseimbangan air
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usi, dimana pada
peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu
yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam rubuh menurun
sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada
perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks masa
tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada usia
lanjut, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan
penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif.
Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul terletak pada derah yang
menghasilkan ADH di hypothalamus.
C. Komplikasi
1. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk
menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih.
Prevalensi ISK di masyarakat makin meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pada usia 40-60 tahun mempunyai angka prevalensi
3,2%, sedangkan pada usia sama atau diatas 65 tahun kira-kira
mempunyai angka prevalensi ISK sebesar 20%. Infeksi saluran kemih
dapat mengenal baik laki-laki maupun perempuan dari semua umur, baik
anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut tua. Akan tetapi dari kedua jenis
kelamin, ternyata wanita lebih sering dari pria dengan angka populasi
umum, kurang dari 5-15%.
Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin.
Bakteri yang disertai dengan gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria
simptomatis. Sedangakan yang tanpa gejala disebut bakteriuria
asimotomatis. Dikatakan bakteriuria positif pada pasien asimptomatis bila
terjadi lebih dari 105 koloni bakteri dalam sampel urin midstream,
sedangkan pada pasien simptomatis bisa terdapat jumlah koloni lebih
rendah.
D. Pemeriksaan Laboratorium
1. Urinalisis
a. Leukosuria
Leukosuria atau pluria merupakan salah satu petunjuk penting
terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat >5
leukosit/lapang pandang besar, sedimen air kemih. Adanya leukosit
silinder pada sediment urin menujukkan adanya keterlibatan ginjal.
Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena
dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi.
b. Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila
dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh
berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun
oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal.
2. Bakteriologis
a. Mikroskopis
Dapat digunakan urin segat tanpa diputar atau tanpa perwarnaan gram.
Dinyatakan postif bila dijumpai 1 bakteri/lapangan pandang minyak
emersi.
b. Biakan bakteri
Dimaksudkan untuk memastika diagnosis ISK yaitu bila ditemukan
bakteri dalam jumlah bermakna sesuai dengan kriteria.
3. Tes kimia
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya
adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila
dijumpai lebih dari 100.000-1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat
dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik.
4. Tes plat-celup
Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisis
perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan
digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung
plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman
semalaman pada suhu 37 derajat. Cara ini mudah dilakukan, murah dan
cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui.\
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologi dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu
atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK.
Dapat berupa IVP, ultrasonografi dan CT Scanning.
2.2 Asuhan Keperawatan Lansia Gangguan Sistem Perkemihan: Inkontinensia
Urin

2.2.1Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi
pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan,
tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko
mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan
saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan
berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa
ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b. Pemeriksaan Sistem
1) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
2) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3(brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4(bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
5) B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
6) B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
c. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan
untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan
inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe
inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan
cara setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar
melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik
pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat.

1) Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin
seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis
belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:

2) Laboratorium tambahan
Kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
3) Tes urodinamik
Untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
4) Tes tekanan urethra
Mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
5) Radiologi
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Inkontinensia urin fungsional b/d gangguan pelvis, kerusakan neuromuscular
2. Inkontinensia urin overflow b/d obstruksi kandung kemih, ketidaksinergian
otor detrusor eksternal
3. Inkontinensia urin refleks b/d kerusakan jaringan
4. Inkontinensia urin stress b/d peningkatan tekanan intra abdomen, defisiensi
spingter uterthra instrinsik
5. Inkontinensia urin urgen b/d atrofi urethritis, konsumsi alcohol, infeksi
kandung kemih, konsumsi kafein
6. Risiko inkontinensia urin urgen b/d atrofi urethritis, konsumsi alcohol,
infeksi kandung kemih, konsumsi kafein
7. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
8. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan keterlibatan
sosial.
9. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.
10. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
11. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
12. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
13. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik berhubungan
dengan deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan,
progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta
sumbe komonitas.

2.2.3 Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Kriteria hasil Intervensi Aktivitas NIC


keperawatan berdasarkan NOC keperawatan
berdasarkan
NIC
I Urinary contiunence Urinary a. Lakukan penilaian kemih
Inkontinensia Criteria Hasil: retention care yang komprehensif
urin a. Kandung kemih berfokus pada
fungsional b/d kosong secara penuh. inkontinensia(misalnya,
gangguan b. Tidak ada residu urine output urin, pola
pelvis, >100-200 cc. berkemih, fungsikognitif)
kerusakan c. Intake cairan dalam b. Pantau penggunaan obat
neuromuscular rentang normal. dengan sifat antikolinergik
d. Balance cairan c. Memantau intake dan
seimbang. output
d. Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan
palpasi atau perkusi
e. Bantu dengan toilet secara
berkala
f. Kateterisasi
VIII Body image Body image a. kaji secara verbal dan non
Gangguan Criteria Hasil: enhancement verbal respon klien
citra tubuh b/d a. Body image positif terhadap tubuhnya
kehilangan b. Mampu b. jelaskan tentang
fungsi tubuh, mengidentifikasi pengobatan dan perawatan
perubahan kekuatan personal penyakit
keterlibatan c. Mendeskripsikan c. identifikasi arti
sosial secara factual pengurangan melalui
perubahan fungsi pemakaian alat bantu.
tubuh d. Fasilitasi kontak dengan
d. Mempertahankan individu lain dalam
interaksi sosial kelompok lain
IX Anxiety self control Anxiety a. Gunakan pendekatan yang
Ansietas b/d Criteria hasil: reduction menenangkan.
perubahan a. klien mampu (penurunan b. Jelaskan semua prosedur
dalam status mengidentifikasi dan kecemasan) dan apa yang dirasakan
kesehatan mengungkapkan gejala selama prosedur.
cemas c. Pahami prespektif klien
b. Mengidentifikasi, terhadap situasi stress.
mengungkapakan dan d. Temani pasien untuk
menunjukkan teknik memberikan keamanan
untuk mengontrol dan mengurangi takut.
cemas. e. Dorong keluarga untuk
c. Postur tubuh, ekspresi menemani pasi
wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

Anda mungkin juga menyukai