Pendahuluan
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitassumber daya manuasia
(SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai
dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai
mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak
seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat
membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa.
Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi masyarakat serta
determinan yang mempengaruhi masalah ini
.
Analisis menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya
yang mempunyai informasi status gizi masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan
perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan.
Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk
menjelaskan perubahan status gizi masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan
rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi masyarakat dimasa yang akan datang.
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat
dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping
merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga dan juga menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang
mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat
kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan
keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index
(HDI).
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan
kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah
gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan
protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989)
menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi
gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari 241.973.879
penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang menderita gizi buruk. Penderita
g
Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun
1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan
gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi
gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun
2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang
sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang
juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah
sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta,
Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta
sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002.
Gizi Buruk
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan
kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-
rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk adalah
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk merupakan
kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam
makanan sehari-hari. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu
masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Indikasi Gizi Buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejalaklinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa
kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejalaklinis KEP berat/gizi buruk secara garis
besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Tiga Tipe Gizi Buruk
Kwasiorkor
Memiliki ciri: (1) edema(pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki
dan wajah) membulat dan lembab; (2) pandangan mata sayu; (3) rambut tipis kemerahan
seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah rontok; (4)
terjadi perubahanstatus mental menjadi apatis dan rewel; (5) terjadi pembesaran hati; (6) otot
mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk; (7) terdapat
kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis); (8) sering disertai penyakit infeksi
yang umumnya akut; (9) anemia dan diare.
Marasmus
Memiliki ciri-ciri: (1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit;
(2) wajah seperti orang tua; (3) mudah menangis/cengeng dan rewel; (4) kulit menjadi
keriput; (5) jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana
longgar); (6) perut cekung, dan iga gambang; (7) sering disertai penyakit infeksi (umumnya
kronis berulang); (8)diare kronik atau konstipasi (susah buang air).
Marasmus merupakan keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan
protein sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita kelaparan.
Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di negara-negara berkembang. Menurut
data WHO sekitar 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia
lima tahun di negara berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.
Penderita gizi buruk yang paling banyak dijumpai ialah tipe marasmus. Arif di RS. Dr.
Sutomo Surabaya mendapatkan 47% dan Barus di RS Dr. Pirngadi Medan sebanyak 42%.
Hal ini dapat dipahami karena marasmus sering berhubungan dengan keadaan kepadatan
penduduk dan higiene yang kurang di daerah perkotaan yang sedang membangundan serta
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Marasmic-kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.
Faktor yang Berpengaruh pada Status Gizi
Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status gizi
masyarkat, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit
infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep
UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi
maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000,
2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI.
1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan
dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat.
Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan
kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara
nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang
dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi
tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan
protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia
mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan
1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi
energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji
juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun
1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan
rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000).
Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat
diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian
kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item
bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran
pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran
konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian
juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan
buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003
menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah
tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga
di Desa. (Lihat gambar 1)
Gambar 1. Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran
pangan tingkat rumah tangga
Laki-laki Perempuan
Kota Desa
4. Pola Asuh
Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini
dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama
pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003.
Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%).
Gambar 4. Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk
menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-
hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat
pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan.
6. Kemiskinan
Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah
menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking
“middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun
mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada
tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah
menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.
Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka
kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami
penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah
42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun
1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi
sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat
kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002.
Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6%
sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan berdasarkan persen
kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Gambar 5 berikut:
Gambar 5. Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002