1114108206-3-Bab Ii PDF
1114108206-3-Bab Ii PDF
KAJIAN PUSTAKA
Anatomi ekstremitas bawah terdiri atas tulang pelvis, femur, tibia, fibula,
2.1.1 Pelvis
Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang
pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium.
crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis
2.1.2 Femur
yang disebut trochanter mayor dan trochanter minor, yang dihubungkan oleh garis
medial untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk tulang patella. Di
7
8
2.1.3 Tibia
Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding
dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di
Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain
itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia
2.1.4 Fibula
Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding
bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi
2.1.5 Tarsal
2.1.6 Metatarsal
dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari)
2.1.7 Phalangs
jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana
di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan.
berkaitan dengan nyeri saat dilakukan insisi, melainkan juga berkaitan dengan
luka selama operasi dan inflamasi pascabedah. Fokus perhatian dialihkan dari
nyeri. Dia melaporkan bahwa cara preventif analgesia menghasilkan efek yang
sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki klinis yang lebih baik.
CRP dikenalkan oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930, disebabkan senyawa ini
Kadarnya akan meningkat 100x dalam 24-48 jam setelah terjadi luka jaringan.
Sebelas tahun kemudian, Mac Leod dan Avery mengenalkan istilah “fase akut”
pada serum penderita infeksi akut, untuk menunjukkan sifat CRP (Whicher J.
1999). CRP disintesa di dalam hati. Peningkatan sintesa CRP dalam sel-sel
parenkim hati oleh IL-1 karena rangsangan makrofag. CRP dapat meningkat
seratus kali atau lebih dan berperan dalam imunitas non-spesifik yang dengan
bantuan ion kalsium dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin
reaksi terhadap platelet serta membantu proses pelepasan lemak dalam proses
jaringan mati. CRP menjadi aktif sebelum perubahan spesifik terjadi dalam proses
yang patologis. Batas CRP dalam serum meningkat dalam enam sampai sembilan
jam pascainfeksi atau kerusakan jaringan dan tetap meningkat setelah satu sampai
tiga hari. Perluasan dan lamanya CRP meningkat berkembang sesuai beratnya
reaksi peradangan akut. Peningkatan CRP hingga beberapa ratus mg/L merupakan
1999).
12
Konsentrasi plasma dapat meningkat paling sedikit 2 kali lipat tiap 8 jam dan
mencapai puncak setelah 50 jam. Pada orang sehat, CRP terdapat dalam plasma
dalam jumlah yang sangat kecil (±0,8 mg/L) tetapi kadarnya dapat meningkat
cepat hingga 300-500 mg/L dalam waktu 48 jam saat terjadi infeksi dan inflamasi.
Waktu paruh biologi CRP adalah 19 jam, yang akan berkurang hingga 50% per
hari setelah stimulus fase akut dihilangkan. Konsentrasi CRP dapat kembali
dimana kadar CRP kembali normal. Salah satu keuntungan CRP adalah
Sedimentation Rate (ESR) dan leukositosis. Akan tetapi peningkatan ESR dan
jumlah hitung leukosit juga dapat ditemukan pada keadaan lain yang tidak
yang lebih cepat dapat digunakan dan lebih sensitif (Lorentz, 1990).
13
Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi (Rhodes, 2011)
2.4 Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.
1. Agranuler:
dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral, basa dan
jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya).
organsme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
14
Hidup sel leukosit tidak lama dan jumlahnya yang diperlukan ditempat
inflamasi dipertahankan oleh infulk sel-sel baru dari persediaan di sumsum tulang.
Pada infeksi akut neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera,
leukosit adalah 45% dalam sirkulasi dan 55% marginal, atas pengaruh IL-1. TNF-
sirkulasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk membagi diri dari sel asalnya.
prominen, terutamaa pada jaringan ikat dibawah epitel seperti saluran nafas.
Sel-sel sistem imun non spesifik seperti sel mast, basophil, limfosit,
memberikan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi anti
vaskuler. Sel mast dapat diaktifkan oleh kerusakan jaringan dan mikroba melalui
komplemen (jalur alternatif atau klasik) dan komplek IgE allergen atau
jaringan sekitar untuk memakan mikroba, Sel endotel mengkerut bila terjadi
pertama merupakan reaksi yang tepat dari sumsum tulang normal terhadap
stimulasi eksternal yaitu infeksi, inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar,
trauma (splenektomi), anemia hemolitik. Kedua adalah efek dari kelainan sumsum
epidural pertama kali digambarkan oleh Corning pada tahun 1901 dan anestesi
epidural telah digunakan pada manusia pada tahun 1921 oleh Fidel Pages. Pada
tahun 1945, Tuohy memperkenalkan jarum yang paling umum digunakan untuk
sebagai suatu adjuvant analgetik pada anestesi umum dan untuk analgesia
menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural di daerah lumbal atau
thorakal.
anestesia sensorik dan blokade motorik yang tergantung pada dosis, kosentrasi
atau volume anestesi lokal setelah pemberian melalui jarum atau kateter ke plana
neuroaksila.
Ruang epidural diameternya kurang lebih 0,5 cm dan paling lebar didaerah
L2. Dibatasi oleh duramater disebelah dalam, dimana kantong duramater berakhir
di S2 kira-kira 1 cm dibawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior
lemak dan jaringan limfe maupun pembuluh vena epidural, yang paling banyak
dalam bagian lateral ruang tersebut. Vena tidak mempunyai katup dan
17
berhubungan dengan pembuluh vena intracranial, karena itu obat anestesi lokal
atau udara dapat langsung naik ke otak. Vena menjadi distensi pada keadaan
batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga ruangan ini mengecil pada keadaan
tersebut.
Kontraindikasi Absolut
- Pasien menolak
- Koagulopathy
Kontraindikasi relatif
- Sepsis
- Gangguan neurologis
jarak antara ligamentum flavum dan duramater pada ketinggian ini adalah
masuk keruang epidural pada midline, sebagai ruang yang paling luas dan
mengurangi resiko pada penusukan vena epidural, arteri spinalis, atau akar
Tehnik ini menggunakan semprit kaca atau plastik rendah resistensi yang
diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3 ml. Setelah diberikan anestetik
Persiapan sama seperti tehnik hilangnya resistensi, tetapi pada tehnik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural dilakukan uji
6. Pemasangan kateter :
ini menetap maka kateter seharusnya dicabut dari jarum. Jika kateter harus
dicabut, kateter dan jarum harus dibuka bersama-sama. Jika kateter telah
7 Tes Dosis
anestesik lokal, pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar.
Aspirasi dari spuit, jika ada darah atau CSS, kateter epidural ditarik kembali
dan ditempatkan ditempat yang lain. Walaupun tidak ada darah atau CSS
dalam kateter, pemberian obat intravaskuler dan intratekal tidak bisa diterima,
jadi tes dosis selalu diperlukan. Uji anestetik lokal untuk epidural dosis
tunggal dilakukan setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural
21
dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui kateter. Hal ini terdiri dari 3
mlanestetik lokal dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan
sering digunakan). Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar
8. Cara penyuntikan :
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50
ruang epidural.
2.5.4 Komplikasi
anestetik lokal. Pasien mungkin mengeluh rasa pahit pada lidah, sakit
Resiko sakit kepala yang mengikuti punksi duramater yang tidak hati-hati
sangat besar, karena diameter jarum epidural yang digunakan lebih besar.
Jika duramater dipunksi dengan jarum epidural ada empat tindakan yang
dapat diambil :
bahwa ini adalah kateter spinal, bukan kateter epidural, sehingga lebih
sedikit volume anestetik lokal yang diperlukan. Dapat terjadi high atau
23
total spinal bila disuntikkan lebih dari 7 ml obat analgesia lokal. Dosis
lain. Dalam situasi ini dosis anestetik yang dibutuhkan lebih sedikit
3. Trauma langsung batang spinal mungkin dapat terjadi jika injeksi epidural
diatas L2.
4. Perdarahan terbuka, perforasi pada satu vena epidural oleh jarum akan
Anestesi lokal yang ditempatkan pada epidural lumbal atau ruang sacral
multipel.
ruang epidural. Intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang dan
subarachnoid dan epidural bereaksi secara tepat di tempat yang sama, yaitu
kornu spinalis, kumpulan saraf spinal dan permukaan korda spinalis pada
anestesi lokal.
duramater tidak ditembus oleh jarum, maka sakit kepala akibat dari
dikurangi.
5. Kerugiannya adalah bahwa pada ruang epidural ada pembuluh darah dan
berisi lemak. Proporsi terbesar dari dosis anestetik lokal epidural diambil
oleh lemak ekstradural dan absorbsi vaskuler dan hanya sedikit obat yang
ada untuk aksi blok neural. Kerugian lain adalah jaringan epidural lebih
yang tersembunyi.
25
6. Perbedaan lain dari anestesi spinal adalah lebih besarnya dosis yang
yang diinginkan. Pasien umur tua, pasien hamil, dan pasien dengan
besar dan akar saraf sakralis dibanding akar saraf thoraks yang lebih
a. Anestetik lokal.
dikehendaki.
b. Epinefrin
1. Blokade neural
pada akar saraf yang berlokasi pada bagian lateral ruang epidural, akar saraf
ini ditutupi oleh lapisan duramater dan selanjutnya memasuki CSS setelah
menembus duramater. Onset blok lebih lambat dari anestesi spinal dan
intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang. analgesia menjalar secara
2. Kardiovaskuler
Hipotensi akibat blokade simpatik adalah sama pada anestesi spinal. Hanya
efeknya lebih lambat dari analgesia spinal. Dosis yang besar dari anestesi
lokal yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik, diikuti oleh terjadinya
4. Respirasi. Pada daerah yang lebih rendah tidak memberikan efek pada
ventilasi. Makin tinggi blok pada daerah thoraks, paralisis otot interkostal
28
pada pusat ventilasi di medulla spinalis akibat hipotensi yang diikuti dengan
kerja nervus vagus. Dengan blok simpapatik, kerja nervus vagus yang
6. Hati. Aliran darah ke hati menurun dengan menurunnya tekanan darah arteri.
Namun demikian, karena hati mengambil oksigen dari aliran darah arteri yang
dipengaruhi.
produksi urine tidak dipengaruhi. Tonus otot buli-buli menurun dan terjadi
afferen simpatik medulla adrenal maupun blokade jalur simpatik dan somatik
29
2.6 Parecoxib
2.6.1 Farmakokinetik
Parecoxib adalah jenis obat dalam sediaan injeksi yang larut air. Beredar
Obat ini merupakan prodrug dari valdecoxib, suatu generasi kedua dari COX-2
inhibitor selektif. Konversi secara cepat di hepar oleh enzim hidrolisis menjadi
P-450 menjadi metabolit glukoronide, dan di ekresi melalui ginjal (Cheer dkk.
2001).
sintesa prostaglandin. Terbagi atas 2 bentuk isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
COX-2 adalah bentuk isoform yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi dan paling
berperan pada sintesa prostanoid yang merupakan mediator nyeri inflamasi dan
demam. Pada dosis terapeutik bekerja menghambat secara selektif COX-2 baik di
analgesia dalam waktu 7-13 menit namun efek analgesia klinis terlihat dalam
kurun waktu 23-29 menit dan mencapai puncak efek setelah 2 jam paska
30
pemberian. Memiliki waktu paruh 8 jam dan akan memanjang jika ada gangguan
fungsi hepar. Ikatan dengan protein sangat tinggi yaitu hingga 98% (Padi dkk.
2004).
Parecoxib adalah pro-drug tak aktif yang diberikan secara parenteral yang
mengalami hidrolisis amida cepat in-vivo menjadi penghambat COX-2 yang aktif
dan valdecoxib keduanya merupakan inhibitor P450, maka ada potensi bahwa
untuk berbagai indikasi terutama untuk kondisi yang berkaitan dengan inflamasi
dan nyeri.
Gambar 2.7 Struktur kimia parecoxib (Dikutip dari Ibrahim dkk., 2002. Effects of
parecoxib, a parenteral COX-2-spesific inhibitor, on the pharmacokinetics and the
pharmacodynamics of propofol. Anesthesiology 2002;96(1);88-95)
2.6.2 Farmakodinamik
lipid yang merupakan turunan dari membrane fosfolipid) menjadi zat peradangan
membran fosfolipid dan mengatur alur ketersediaan dari asam arakhidonat untuk
kepada sensitisasi perifer dan hiperalgesia dengan cara berikatan pada reseptor
protein-g berpasangan yang mana meningkatkan level dari cAMP pada nosiseptor.
saluran NMDA, penguatan efek eksitasi dari efek glutamat. Hal ini menjelaskan
memodulasi nosisepsi baik pada perifer maupun pada daerah sentral (Svennson
dan Yaksh, 2002). Juga terdapat bukti yang kuat untuk efek peran pronosiseptif
dari PGI2 pada nyeri inflamasi (Zeilhofer dan Brune, 2006). Produksi PGI2 yang
(Simmons dkk. 2004). Juga COX-1 meningkat pada saraf spinal setelah trauma
Obat anti inflamasi non steroid menghambat siklooksigenase pada perifer dan
sentral (Zhu dkk. 2005), begitu juga halnya terhadap COX-2 pada sistem saraf
pusat (SSP), dan secara perifer di jaringan yang terluka dan meradang. Obat-obat
32
golongan coxib akan secara selektif menghambat COX-2 di jaringan perifer dan di
SSP. Golongan coxib juga menghambat inducible nitric oxide synthase (iNOS),
nitric oxide (NO) yang bertugas sebagai mediator inflamasi dan juga molekul
sinyal intraselular yang terlibat dalam sensitisasi dari sel saraf (Fermor dkk,
reseptor di kornu posterior dan oleh sebab itu menurunkan pembukaan jalur
NMDA dan efek eksitasi dari glutamat (Svennson dan Yaksh, 2002).
yang disebabkan oleh osteoartritis, artritis reumatoid, gout akut, dan dismenore.
Efikasi penghambat COX-2 untuk nyeri dental sudah terbukti. Nyeri berasosiasi
COX-2 mirip dengan OAINS non selektif konvensional (Gilron dkk. 2003).
selektif adalah tidak adanya efek pada fungsi platelet dan perdarahan sehingga
pasien artritis) untuk pasien dengan riwayat gastritis atau ulkus lambung yang
alternatif yang lebih aman dari OAINS non-selektif karena dapat ditoleransi oleh
duodenum) menurun sekitar 50% pada pasien yang diterapi dengan penghambat
Resiko terjadinya episode trombotik atau infark miokard dapat meningkat pada
pasien yang mendapat terapi penghambat COX-2 (Mukherjee dkk, 2001). Hal ini
memodulasi tekanan darah sistemik dengan berdasarkan pada efek terhadap tonus
vaskular dalam otot polos arteriolar dan kontrol terhadap volume cairan
ekstraselular.
secara singkat pada pasien dengan kasus bedah non kardiak pada pasien sehat.
penggunaan coxib meningkatkan resiko dari komplikasi yang ada (Nusmeier dkk,
valdecoxib). Reaksi alergi pada bidang dermatologis yang serius terjadi pada
pemberian regimen ini pada individu yang sesuai (Marques dkk, 2004).
34
Gambar 2.8 Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan (diikutip dari:
Fitzgerald GA, Patrono C. The Coxibs, selective inhibitors of cyclooxygenase-2.
N Engl J Med 2001; 345(6): 433-40.)