Anda di halaman 1dari 17

Referat

SINDROM ALICE IN WONDERLAND

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 29 Juli 2019 – 1 September 2019

Siti Hanifahfuri Silverrikova , S.Ked 04054821820096


Defina Yunita, S. Ked 04054821820020
Nyimas Shafira Nurmutmainnah, S.Ked 04084821921132

Pembimbing:
dr. Diyaz Syauki Ikhsan, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:


Sindorm Alice in Wonderland

Oleh:

Siti Hanifahfuri Silverrikova , S.Ked 04054821820096


Defina Yunita, S. Ked 04054821820020
Nyimas Shafira Nurmutmainnah, S.Ked 04084821921132

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang Periode 29 Juli 2019 – 1 September 2019

Palembang, Juli 2019

dr. Diyaz Syauki Ikhsan, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“Sindrom Alice in Wonderland” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Diyaz Syauki Ikhsan, Sp.KJ Selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................I
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. II
KATA PENGANTAR .......................................................................................... III
DAFTAR ISI ......................................................................................................... IV
BAB I PENDAHULUAN ............. 1ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2
2.1 Definisi.....................................................................................................3

2.2 Epidemiologi.............................................................................................3

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .......................................................................4

2.4 Patofisiologi ............................................................................................6

2.5 Gejala dan Klasifikasi AIWS....................................................................7

2.6 Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding......................................8

2.7 Tatalaksana dan Prognosis......................................................................9

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

Laporan klinis pertama sindrom Alice in Wonderland diterbitkan oleh


Lippman pada tahun 1952, termasuk gejala menyerupai distorsi gambar tubuh
yang tidak biasa ini, dalam sebuah makalah yang melaporkan gejala pada tujuh
migrain pasien, tidak sampai tahun 1955 kemudian, John Todd (1914-1987),
Psikiatri dari British, menamakan sindrom itu seperti nama novel karya Lewis
Carroll.1.2 Dalam publikasinya, Todd mengusulkan pengelompokan gejala yang
dialami oleh Alice (“hyperschematia, hyposchematia, derealisasi,
depersonalization dan duality somatopsychic ") bersama dengan gejala lainnya
yang sering menemani seperti ilusi perubahan ukuran, jarak, atau posisi objek
diam di bidang visual subjek, perasaan ilusi melayang ; dan perubahan ilusi dalam
arti berlalunya waktu. Dalam beberapa kasus, gejala disosiasi, seperti
depersonalisasi (Perasaan menonton diri sendiri bertindak, sambil merasa tidak
ada kontrol atas situasi) dan derealisasi (perubahan dalam persepsi atau
pengalaman dunia luar sehingga tampak tidak nyata), terjadi bersamaan dengan
gejala visual distorsi klasik.2,3 Todd juga mencatat bahwa pasien seringkali sadar
akan distorsi yang mereka alami, yang membedakan dengan kondisi psikosis
dimana pada kondisi psikosis terdapat gangguan wawasan.3

Sementara kasus AIWS (Alice in Wonderland Syndrome) pertama


dijelaskan pada pasien dengan sakit kepala migrain atau epilepsi (dalam
deskripsinya tentang sindrom AIWS, Todd melaporkan enam kasus AIWS yang
terkait dengan migrain dan epilepsi), dalam lima dekade setelah deskripsi
Lippman dan Todd, kasus AIWS yang melibatkan etiologi lain telah secara teratur
dilaporkan dalam literatur. Selama lebih dari 60 tahun terakhir, grup dari gejala
AIWS telah meluas. Sekarang termasuk 42 fenomena visual yang berbeda yang
dikarakteristikkan dengan distorsi bentuk, ukuran, orientasi, warna, dan/atau
kecepatan objek yang dirasakan. Dan lebih dari 16 distorsi somaesthetic dan
distorsi non visual lainnya.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Alice in Wonderland Syndrome (AIWS) adalah gangguan persepsi yang


langka, terutama yang mempengaruhi mekanisme integrasi di antara korteks
asosiatif sensorik yang terlibat dalam pengembangan hubungan internal-eksternal.
Perubahan kardinal dari AIWS adalah ketidakseimbangan antara representasi diri
dan dunia eksternal, sehingga pasien dengan AIWS dapat memiliki persepsi keliru
mengenai ukuran tubuh mereka terhadap ukuran lingkungan eksternal atau
kesalahan persepsi ukuran lingkungan eksternal terhadap tubuh mereka sendiri.
AIWS tetap kurang dikenal dan mungkin salah didiagnosis. Keragaman dalam
proses diagnostik disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak ada kriteria diagnostik
yang diterima secara univokal untuk sindrom ini. 3

AIWS ditandai oleh 4 ilusi visual utama, yaitu:3

1. Persepsi objek sebagai lebih besar dari ukuran aslinya (macropsia)


2. Persepsi objek sebagai lebih kecil dari ukuran sebenarnya (mikropsia)
3. Persepsi objek sebagai jarak yang lebih dekat dari yang sebenarnya
(pelopsia)
4. Persepsi objek sebagai jarak yang jauh dari yang sebenarnya (teleopsia).

Aspek yang menarik dari gejala-gejala ini adalah bahwa penderita telah
dilaporkan mengamati manusia, bukan manusia, benda yang tidak bergerak dan
bahkan benda bergerak, sehingga berbagai gejala juga diyakini termasuk
gangguan pada:3

1. Perasaan berlalunya waktu


2. Ukuran lingkungan yang membesar
3. Distorsi dari citra tubuh
4. Bentuk benda (meta-morphopsia)

2
2.2 Epidemiologi

Prevalensi pasti dari AIWS tidak diketahui, karena beberapa alasan.


Pertama, tidak ada studi epidemiologi dalam skala besar yang tersedia. Kedua,
kurangnya kriteria diagnostik yang diterima secara univokal untuk AIWS
menimbulkan bayangan pada data yang dilaporkan sehingga data tersebut harus
dipertimbangkan secara hati-hati. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 3.224
remaja Jepang, berusia 13 hingga 18 tahun, menunjukkan bahwa terjadinya
mikropsia dan makropsia adalah 6,5% pada anak laki-laki dan 7,3% pada anak
perempuan, menunjukkan bahwa ilusi visual AIWS mungkin tidak begitu jarang
pada populasi umum.4 Rasio pria/ wanita tampaknya bervariasi dengan usia:
sementara di usia yang lebih muda laki-laki secara dominan memiliki risiko 2,69
kali lipat memiliki AIWS (dalam sampel berusia 5 hingga 14 tahun)5 penelitian
dari Abe et. Al menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam
prevalensi jenis kelamin yang tercatat di siswa junior (13-15 tahun).4 Sementara
wanita secara signifikan lebih prevalen (56,7%) di antara siswa senior (16-18
tahun)4. Dari 166 kasus AIWS yang diterbitkan, penyebab paling umum adalah
migrain (27,1%), diikuti oleh infeksi (22,9%), terutama EBV (15,7%). Dalam
urutan menurun, etiologi lain adalah sebagai berikut: lesi otak (7,8%), pengobatan
(6%) dan obat-obatan (6%), gangguan kejiwaan (3,6%), epilepsi (3%), penyakit
pada sistem saraf perifer (1,2) %), dan lainnya (3%). Pada sekitar 20% dari pasien
tidak ada penyebab AIWS ditemukan. Dalam 65% kasus AIWS terjadi pada anak
di bawah 18 tahun.6 Dalam sebuah studi prospektif pada 9 anak-anak berusia 5
hingga 16 tahun, usia rata-rata onset AIWS adalah 8,5 tahun.7

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Banyak kondisi medis telah dikaitkan dengan AIWS, beberapa di antaranya


adalah:

2.3.1 EBV dan Infeksi Mononukleus8,9

Menurut laporan, EBV menyebabkan gejala neurologis hampir secara


eksklusif selama infeksi aktif. Infeksi aktif EBV didiagnosis pada pasien yang

3
tersiksa oleh neuritis kranial dan serebellitis, AIWS, kelumpuhan saraf wajah,
makrosefali progresif serta penyakit ensefalitis yang berkepanjangan. Infeksi
HBV mengakibatkan hasil neurologis yang merugikan pada sejumlah besar anak,
sehingga menyebabkan komplikasi jangka panjang yang serius, serta
kemungkinan bahwa hal itu dapat memainkan peran terhadap patogenesis lesi
hippocampal. EBV menyebabkan mononukleosis infeksius.

2.3.2 Hiperpireksia spesifik, Malaria12

Literatur medis mengusulkan kemungkinan demam sebagai penyebab


AIWS. Meskipun ada alasan untuk percaya bahwa malaria dapat menyebabkan
AIWS, masih ada ketidakpastian apakah malaria itu sendiri penyebabnya atau itu
terkait dengan hiperpireksia. Ada juga alasan untuk percaya bahwa obat malaria
berupa mefloquine dan topiramate memiliki kemungkinan untuk memicu gejala
AIWS.

2.3.3 Migran dan Migrain dengan Aura13,14

Berbagai gejala diikuti oleh aura pada pasien yang menderita migrain
dengan aura (merupakan sekitar 15% dari penderita migrain). Beberapa aura
termasuk:

 Persepsi lampu kilat yang dimulai di pusat penglihatan dan berkembang


dalam pola bergerigi ke pinggiran.
Gejala somatosensori, contohnya meliputi: mati rasa dan kesemutan.
 AIWS

2.3.4 Epilepsi lobus frontal 13, 15

Teknik kedokteran nuklir mampu menunjukkan perubahan perfusi otak dan


digunakan untuk mendeteksi area otak abnormal pada pasien dengan migrain
klasik, yang tersiksa oleh perubahan perfusi baik di retina atau jalur visual.
Sementara pasien dengan AIWS, menunjukkan perfusi abnormal di medial
temporal, hippocampus, tempro-occipital atau tempro-parieto-occipital.

4
2.3.5 Hallucinogen Persisting Perception Disorder (HPPD)13,16

Hallucinogen Persisting Perception Disorder (HPPD) adalah keadaan di


mana efek halusinogenik obat tertentu (dalam hal ini LSD – lysergic acid
diethylamide) dialami oleh pengguna narkoba walaupun mereka abstain dari obat
tersebut. Menurut DSM-5, HPPD dapat merekapitulasi keracunan zat sebelumnya,
yang mencerminkan pengalaman persepsi primer, yaitu, citra visual yang dialami
di bawah keracunan halusinogen harus dialami kembali selama HPPD. Tinjauan
luas pada literatur tentang HPPD telah dilakukan sebelumnya. Presentasi ini juga
dapat dengan mudah dikacaukan dengan psikosis atau keracunan obat seperti LSD
(Lysergic acid diethylamide). Penting diperhatikan bahwa mata penderita AIWS
tidak mengalami masalah apapun, hanya persepsi otak yang terganggu, karena
halusinasi terus berlanjut setelah mata penderita tertutup, sehingga menegaskan
kesimpulan gangguan yang terjadi adalah gangguan persepsi bukan penglihatan.

2.3.6 Depresi17

Teori sebab akibat depresi ini terutama terkait dengan kasus yang
dilaporkan dari seorang pengusaha Jepang berusia 54 tahun yang telah
menunjukkan AIWS dan kemudian mengembangkan gangguan depresi. Tidak ada
temuan fisik yang abnormal pada pasien. Dengan demikian penulis
menyimpulkan bahwa penyakit depresi mungkin bisa berperan dalam
menyebabkan AIWS .

2.3.7 Penyakit serebrovaskular18

Penyakit serebrovaskular dapat, dan memang, hadir dengan sejumlah besar


tanda dan gejala yang terbukti sulit dipahami oleh dokter dan pasien. Dalam 2
kasus yang dilaporkan, AIWS disebabkan oleh aktivitas epileptik yang terjadi
akibat sekunder dari lesi iskemik atau lesi hemoragik. Lesi memengaruhi lobus
oksipital otak, sehingga dihipotesiskan gangguan pada lobus oksipital
menimbulkan tanda dan gejala visual pada AIWS.

5
2.4 Patofisiologi

Gejala AIWS dikaitkan dengan penyimpangan fungsional dan struktural


dari sistem persepsi. Secara keseluruhan, patologi sistem saraf pusat dianggap
sebagai penyebab paling umum; Namun, dismorphopsia, misalnya, juga dialami
dalam ablasi retina dan beberapa jenis penyakit mata lainnya, dan plagiopsia
(visual tilt) juga dialami dalam labyrinthine disease. Namun demikian, sebagian
besar gejala AIWS disebabkan oleh populasi neuron yang terletak di pusat dan sel
yang merespons secara selektif terhadap tipe input sensoris tertentu (untuk
penglihatan, area kortikal total V1-V5). Area V4 dari korteks visual ekstrastriata,
misalnya, merespons secara selektif terhadap warna, sedangkan area V5
merespons pergerakan. Kedua area juga merespon bentuk dan kedalaman, tetapi
hilangnya fungsi V4 bilateral menghasilkan achromatopsia (ketidakmampuan
untuk melihat warna) dan hilangnya bilateral V5 menghasilkan akinetopsia
(ketidakmampuan untuk melihat gerakan). Ketidakmampuan untuk melihat garis
vertikal (plagiopsia) secara visual atau garis di bawah sudut yang berbeda
dikaitkan dengan hilangnya fungsi kolom orientasi yang dikelompokkan bersama
di seluruh lapisan horizontal korteks visual.2

Demikian pula, berbagai populasi neuron telah diidentifikasi sebagai yang


bertanggung jawab untuk memediasi berbagai jenis metamorfopsia. Kadang-
kadang ini melibatkan ketidakcocokan tingkat yang lebih tinggi antara komponen
yang lebih besar dari jaringan visual, yang dapat bervariasi secara individu.
Contoh dari situasi yang terakhir dapat ditemukan dalam jenis
prosopometamorphopsia yang kompleks, di mana wajah manusia dapat dianggap
secara konsisten sebagai wajah binatang, dan bahkan dalam gejala yang
tampaknya langsung seperti mikropsia, yang ditemukan terkait dengan pola
konsistensi yang konsisten pada hipoaktivasi oksipital dan hiperaktivasi parietal
dalam penelitian fMRI.2

6
2.5 Gejala dan Klasifikasi AIWS

Selama 60 tahun terakhir, total sekitar 42 gejala somatosensori telah


dikaitkan dengan AIWS. AIWS banyak terjadi pada migrain, tetapi secara umum,
gejalanya tidak muncul bersamaan dengan migrain, tetapi sesaat sebelum episode
migrain. Sindrom ini ditandai dengan adanya episode transien dari halusinasi
visual dan persepsi yang terdistorsi. Manifestasi klinis utama adalah persepsi
terdistorsi dari citra tubuh, di mana pasien sepenuhnya menyadari apa yang
sedang terjadi, tanpa perubahan kesadaran. Pasien mendapat kesan bahwa bagian
tubuh yang berbeda berubah.20 Selain itu, perasaan mengenai waktu juga
terpengaruh; waktu tampaknya berlalu sangat lambat atau justru sebaliknya,
bahwa segala sesuatu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa pasien
mengalami halusinasi visual, perubahan ukuran, jarak, atau posisi objek statis
dengan seringnya distorsi keadaan di sekitar kejadian. Mungkin ada perubahan
dalam pendengaran dan persepsi taktil, dan episode depersonalisasi dan
derealisasi, dualitas somatofik, dan penebangan seperti melayang. Pasien kadang
mengalami ketakutan dan bahkan teror selama gejala berlangsung.20

Dalam 6 kasus (4 adalah migrain) yang digambarkan pertama kali oleh


Todd (1955). Ia melaporkan sebagian besar gejala yang dialami adalah gejala
somestetik, yaitu perasaan sebagian dari atau seluruh tubuh menjadi lebih besar
(makrosomatognognosia) atau lebih kecil (microsomatognognosia) dari biasanya1.
Gejala-gejala ini juga dikaitkan dengan ilusi visual, termasuk dismetropsia, yang
termasuk makropsia dan mikropsia (objek atau orang lain yang tampak lebih besar
atau lebih kecil) dan telopssia dan juga pelopsia (objek atau orang lain yang
muncul lebih jauh atau lebih dekat), atau gangguan kesadaran, seperti perasaan
dereallisasi, depersonalisasi, dualitas somatopsikis (yaitu, ide dipecah menjadi
dua, lebih sering secara vertikal di tengah), dan perubahan dalam penilaian waktu.
Beberapa gejala lain yang telah dilaporkan dalam spektrum AIWS adalah
kinetopsia, halusinasi pendengaran dan ilusi verbal, hiperakusia/ hipoakusia,
diskromatopsia, zoopsia, dan halusinasi visual yang kompleks.1 Studi magnetic
resonance imaging (MRI) fungsional telah mengidentifikasi hipoaktivasi oksipital

7
dan hiperaktivasi lobus parietal ketika mikropsia terjadi20. Episode dapat muncul
beberapa kali di siang hari dan berlangsung kurang dari 24 jam. Sebagian besar,
presentasi bersifat episodik dan beberapa kasus dapat berkembang menjadi
kronis.20

Podoll pada tahun 2002 mengusulkan mempertimbangkan gejala


somestetik sebagai inti dari gejala AIWS, sambil mempertimbangkan ilusi visual
dan psikis kompleks lainnya sebagai gejala fakultatif. Tetapi hal tersebut belum
cukup untuk mendiagnosis AIWS.19

Lanska et al. Pada tahun 2013 membedakan pasien AIWS dalam


subkelompok. Pasien dengan gejala persepsi somestetik diklasifikasikan sebagai
tipe A (sekitar 9% dari semua kasus), dan kasus dengan ilusi visual saja
diklasifikasikan sebagai tipe B (tipe ini tidak dideskripsikan oleh Todd, tetapi
sebaliknya adalah tipe yang paling sering dijumpai, dengan prevalensi 75%),
sedangkan pasien dengan pertimbangan adanya gejala somestetik dan visual
dikelompokkan sebagai tipe C (sekitar 16% kasus).1,21

Tabel 1. Ringkasan dari Klasifikasi Gejala AIWS21

Tipe Gejala Inti Gejala Fakultatif


Tipe A Aschematia: parsial atau total
makrosomatognosia atau
mikrosomatognosia;
paraschematia
Tipe B Mikropsia dan telopsia muncul Derealisasi, depersonalisasi,
pada saat yang bersamaan dan dualitas somatopsikis, kelainan
pada objek yang sama: dalam penilaian waktu
porropsia
Lilliputianism (orang terlihat
lebih kecil)
Tipe C Gejala tipe A + Gejala tipe B

2.6 Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding

AIWS tidak terdapat dalam klasifikasi utama seperti ICD-10 dan DSM-5.
Dalam diagnosis AIWS ditegakkan dengan pengambilan riwayat yang tepat,
pemeriksaan fisik menyeluruh (termasuk pemeriksaan neurologis dan seringkali
otologis dan/atau oftalmik) sesuaidengan gejala karakteristik AIWS dan

8
kemungkinan penyebabnya. Kasus-kasus dengan kecurigaan berasal dari masalah
pada pusat harus didukung dengan pemeriksaan tambahan termasuk tes
laboratorium darah, EEG, dan pemindaian MRI otak, meskipun kemungkinan
menemukan lesi yang dapat dibuktikan secara umum dianggap rendah.2

Diagnosis banding AIWS dan gejala individualnya sangat kompleks,


karena melibatkan setidaknya 3 level konseptualisasi.22 Pertama, gejalanya perlu
dibedakan dari gangguan persepsi seperti halusinasi dan ilusi. Kedua,
kemungkinan penyebabnya perlu ditetapkan. gejala metamorfopsia dapat muncul
sebagai gejala penyakityang mendasarinya.Karena itu, gangguan yang
mendasarinya ini harus diidentifikasi dan dikecualikan dari banyak diagnosis yang
mungkin, dan banyak kemungkinan diagnosis yang mungkin mendasari AIWS.22
Ketiga, tentu harus diklarifikasi bahwa apakah gejala-gejala ini adalah alasan atau
hasil diagnosa. Karena, metamorhopsias dan distorsi lain juga dapat terjadi di
antara populasi rata-rata, tidak meninggalkan hubungan sebab akibat dengan
gangguan yang mendasarinya.22 Karena metamorphopsias dan distorsi lainnya
juga dialami oleh individu dalam populasi umum, situasi dapat muncul di mana
gangguan yang didiagnosis tidak berhubungan secara kausal dengan gejala yang
ada atau tidak dimana intervensi terapeutik ternyata menjadi penyebab
sebenarnya. 2

2.7 Tatalaksana dan Prognosis

Sebagian besar kasus AIWS (Alice in Wonderland Syndrom) non-klinis


dan klinis dianggap tidak berbahaya, dalam arti remisi penuh dari gejala sering
dapat diperoleh, kadang-kadang secara spontan dan dalam kasus lain setelah
perawatan yang tepat.2 Namun, dalam kasus klinis dengan kondisi kronis yang
mendasarinya (seperti migrain dan epilepsi), gejala cenderung berulang sesuai
dengan fase aktif penyakit, dan pada kasus ensefalitis prognosisnya juga
bervariasi. Akibatnya, dibutuhkan pengobatan dan penilaian yang cermat,
pengetahuan yang tepat tentang perjalanan penyakit dari berbagai kondisi yang
mungkin mendasarinya, dan penjelasan yang cermat kepada pasien tentang terapi

9
apa yang diharapkan sesuai keadaan.2 Pengobatan dianggap berguna dan perlu dan
diberikan sesuai dengan kondisi yang mendasarinya. Dalam praktek klinis
sebagian besar melibatkan resep antiepilepsi, profilaksis migrain, antivirus agen,
atau antibiotik. Literatur menunjukkan bahwa antipsikotik jarang diresepkan dan
dalam banyak kasus efektifitasnya dianggap marginal. Apalagi ketika distorsi
dialami sebagai gejala komorbid pada pasien dengan psikosis, itu penting untuk
memperhitungkan kemungkinan bahwa mereka terkadang diinduksi atau
diperburuk oleh antipsikotik karena potensi mereka untuk menurunkan ambang
batas pada aktivitas epilepsi.2 Pemulihan total diperoleh pada 46,7% dari semua
pasien dan pemulihan parsial peroleh 11,3%. Pemulihan penuh jarang didapat
pada kondisi kronis seperti epilepsi dan migrain, tetapi prognosisnya baik.
Tergantung pada kondisi awal, remisi sering cenderung terjadi secara spontan
dalam beberapa jam hingga beberapa hari.2

10
BAB III

PENUTUP

Alice in Wonderland syndrome (AIWS) adalah kondisi abnormal yang


ditandai oleh visual dengan ilusi dari distorsi persepsi aneh pada ukuran, bentuk,
warna, atau gerakan objek yang berulang. Pasien dengan AIWS mengalami
distorsi ukuran baik sebagai mikropsia atau makropsia. Mikropsia adalah persepsi
abnormal melihat benda lebih kecil. Sebaliknya, makropsia adalah kondisi dimana
individu yang terpengaruh melihat objek yang lebih besar. Ilusi visual yang aneh
ini mungkin juga terjadi ketika melihat objek lebih jauh (teleopsia) atau lebih
dekat (pelopsia). Biasanya terkait dengan migrain, tumor intrakranial dan
penggunaan obat-obatan psikoaktif tertentu. Mungkin juga begitu gejala awal dari
infeksi virus Epstein-Barr. Gejalanya cukup umum sehingga dapat terjadi pada
segala usia baik pada anak, remaja maupun dewasa.
AIWS tidak memiliki fitur dalam klasifikasi utama seperti ICD-10 dan
DSM-5. Kasus-kasus dengan kecurigaan berasal dari masalah pada pusat harus
didukung dengan pemeriksaan tambahan termasuk tes laboratorium darah, EEG,
dan pemindaian MRI kepala untuk menemukan etiologi.
Beberapa orang mungkin mengalami lebih intens dan eksplisit, yaitu
halusinasi seperti melihat benda yang tidak dilihat orang lain atau salah
mengartikan arti waktu dan kecepatan. Gejala yang kurang umum termasuk
hilangnya kontrol motorik, gangguan memori, disorientasi umum,sensasi suara
dan pengalaman emosional.
Pengobatan diberikan sesuai dengan kondisi yang mendasarinya. Dalam
praktek klinis sebagian besar melibatkan antiepilepsi, profilaksis migrain, agen
antivirus, atau antibiotik. Literatur menunjukkan bahwa antipsikotik jarang
diresepkan dan dalam banyak kasus efektifitasnya dianggap marginal. penting
untuk memperhitungkan kemungkinan bahwa mereka terkadang diinduksi atau
diperburuk oleh antipsikotik karena potensi mereka untuk menurunkan ambang
batas pada aktivitas epilepsi.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Montrastuc, Francois, et. Al. 2012. An overview of the symptoms and typical
disorders associated with Alice in Wonderland syndrome. Future Meicine
Neuropsychiatry2(4), 281–28
2. Blom, Jan Dirk. 2016. Alice in Wonderland syndrome A systematic review.
American Academy of neurology. (6): 259-270
3. Mastria, Guileo, et al. Review Article: Alice in Wonderland Syndrome: A Clinical
and Pathophysiological Review. Biomed Research Iternational. p. 11-10
4. K. Abe, N. Oda, R. Araki, andM. Igata. 1989. “Macropsia, micropsia, and episodic
illusions in Japanese adolescents,” Journal of the American Academy of
Child&Adolescent Psychiatry. 28 (4) : 493–496
5. A. M. Liu, J. G. Liu, G. W. Liu, and G. T. Liu, 2014. Alice In Wonderland’
Syndrome: Presenting and Follow-Up Characteristics. Pediatric Neurology, 51(3):
317-320.
6. J. D. Blom. 2016. Alice in Wonderland Syndrome: A Systematic review,”
Neurology: Clinical Practice. 10(1): 1212–1225.
7. R. A. Smith, B. Wright, and S. Bennett. 2015. Hallucinations and Illusions In
Migraine In Children And The Alice In Wonderland Syndrome. Archives of
Disease in Childhood. 100(3): 296–298.
8. Osman, Hasan, dan Elmardi Doaa F. 2019. AIWS: Introduction, Overview and
Literature Review. International Journal of Scientific and Research Publication.
9(2): 129-132
9. Liaw SB, Shen EY; 1991; “Alice in Wonderland” syndrome as a presenting
symptom of EBV infection; Pediatr Neurol
10. Rolak LO; 1991; Literary neurologic symptoms: Alice in Wonderland. Arch.
Neurology
11. Colman WS.; 1894; Hallucinations In the Sane Associated with Local Organic
Disease of The Sensory Organs; British Med Journal
12. Benjamin Momo Kadia, Cyril Jabea Ekabe and Ettamba Agborndip. 2017. Primary
Care Challenges Of An Obscure Case Of “Alice In Wonderland” Syndrome In A
Patient With Severe Malaria In A Resource-Constrained Setting: A Case Report.
BMC Infectious Diseases. 10 (7): 22–24
13. Arturo G. Lerner and Shaul Lev ran. 2015. LSD-associated “Alice in Wonderland
Syndrome” (AIWS): A Hallucinogen Persisting Perception Disorder (HPPD) Case
Report. Isr J Psychiatry Relat Sci. 80 (13): 122–124
14. Bayen E, Cleret de Langavant L, Fénelon G. 2012. The Alice in Wonderland
syndrome: An unusual aura in migraine. rev Neurol Journal
15. Zwijnenburg PJ, et. Al. 2002. Alice in Wonderland syndrome: A clinical
presentation of frontal lobe epilepsy. Neuropediatrics Journal . 13 (8): 10–12
16. American Psychiatric Association; 2013; Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition; DSM-5
17. Masafumi Mizuno, et. al. 1998. Alice in Wonderland Syndrome as a Precursor of
Depressive Disorder. Psychopathology Journal

12
18. Camacho Velasquez JL, Rivero Sanz E, Tejero Juste C, Suller Marti A.2016.
Síndrome de Alicia en el país de las maravillas en patología cerebrovascular.
Neurología. 31(3): 418—420.
19. K. Podoll, H. Ebel, D. Robinson, and U. Nicola,. 2002. Obligatory and facultative
symptoms of the Alice in Wonderland syndrome,” Minerva Medica. 93(4) 287–
293
20. Leonardo PS, Juan SB, Lura MM, Alejandro GN, Maria CM, Natalia P, Jesus DC.
2018. Alice in Wonderland Syndrome (AIWS). A reflection. Columbian Journal of
Anesthesiology. 46(3):143-147.
21. J. R. Lanska and D. J. Lanska. 2013. Alice in wonderland syndrome: somesthetic
vs visual perceptual disturbance. Neurology Journal. 80 (13): 1262–1264
22. Tunç ,Serhata danBaşbuğ, Hamit Serdar. 2017. Alice in Wonderland syndrome: a
strange visual perceptual disturbance. Psychiatry and clinical psychopharmacology.
10 (3): 62–64

13

Anda mungkin juga menyukai