Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain
injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit berbeda. Head
injury merupakan perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak
sebagai akibat dari trauma (Heller, 2013). Sedangkan, traumatic brain injury
merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh
kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana saja (Manley dan Mass, 2013).
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, beratnya dan
morfologi. Berdasarkan mekanisme cedera, cedera kepala dibagi menjadi cedera
tumpul dan cedera tembus (American College of Surgeons Committe on Trauma,
2008). Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan
(GCS 13-15), cedera kepala sedang (GCS 9-12), dan cedera kepala berat (GCS >9)
(Dinsmore, 2013). Berdasarkan morfologi, cedera kepala dibagi menjadi fraktur
kranium, dan cedera otak. Cedera intrakranial dibagi menjadi fokal (perdarahan
epidural, perdarahan subdural, perdarahan intrakranial) dan cedera kepala difus
(konkusi, kontusio multipel, hipoksik/iskemia) (American College of Surgeons
Committe on Trauma, 2014).
Cedera kepal merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit Gawat
Darurat (UGD) di Amerika Utara dengan perkiraan satu juta kasus pertahun. Tahun
2003 diperkirakan sebanyak 1.565.000 pasien cedera otak di Amerika Serikat, terdiri
dari 1.224.000 rawat jalan di UGD, 290.000 pasien dirawat inap dan 51.000 pasien
meninggal dunia. Diperkirakan 80.000-90.000 orang di Amerika Serikat mengalami
kecacatan yang lama akibat cedera otak (American College of Surgeons Committe on
Trauma, 2014). Insiden cedera kepala lebih tinggi di negara berkembang, dan World
Health Organization (WHO) meramalkan cedera kepala dan kecelakaan lalu lintas
akan menjadi penyebab kematian ke-3 di seluruh dunia pada tahun 2020 (Dinsmore,

1
2013). Di Indonesia, tidak terdapat data nasional mengenai trauma kepala. Pada tahun
2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan, 315 pasien trauma kepala
sedang, dan 28 pasien trauma kepala berat. Di RS Siloam pada tahun 2005 terdapat
347 kasus trauma kepala. Di RS Atma Jaya pada tahun 2007, jumlah pasien trauma
kepala mencapai 125 orang dari 256 pasien rawat inap bagian saraf. Dewanto G, dkk,
2009).
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase Cedera adalah yang
tertinggi, yaitu sekitar lebih dari atau sama dengan 80%. Cedera kepala memiliki
dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar, sebab penderitanya
sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah
perawatan rumah sakit membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang
(PERDOSSI, 2006)
Cedera kepala dapat juga diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer adalah cedera kepala yang terjadi saat
terjadi trauma (Dinsmore, 2013). Cedera kepala sekunder muncul dalam menit hingga
beberapa jam setelah trauma yang merupakan akibat dari cedera kepala primer
(Traill, 2007). Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera
kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian
oksigen (airway dan breathing) yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
(circulation) yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk
menghindari terjadinya cedera otak sekunder, yang akhirnya akan meningkatkan
tingkat kesembuhan pasien (American College of Surgeons Committe on Trauma,
2008). Manajemen cedera kepala yang baik dapat mencegah cedera kepala sekunder
sehingga akan sangat membantu dalam menurunkan angka kematian dan kecacatan
akibat cedera kepala.

Anda mungkin juga menyukai