Fasilitator:
Candra Panji Asmoro S.Kep., Ns., M.Kep.
S1 PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
OKTOBER 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya
saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Keperwatana HIV/AIDS ini dengan
membahas Asuhan Keperawatan HAND dalam bentuk makalah. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas SGD yang diberikan oleh Ibu dosen sebagai bahan
pertimbangan nilai.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa pula kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik, walaupun ada beberapa hambatan yang dialami dalam
penyusunan makalah ini. Namun, berkat motivasi yang disertai kerja keras dan
bantuan dari berbagai pihak akhirnya berhasil teratasi
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Susunan saraf mempunyai dua bagian. Otak dan urat saraf tulang
belakang yang disebut susunan saraf pusat (SSP). Saraf dan otot disebut
susunan saraf perifer (perifer berarti jauh dari pusat).
Orang dengan penyakit HIV mungkin mengalami beberapa
masalah pada susunan saraf. Masalah yang lazim adalah neuropati perifer.
Ini kerusakan pada saraf yang mengendalikan perasaan. Gejala dapat
termasuk perubahan pada perasaan, mati rasa, kesemutan, nyeri, atau
kelemahan, terutama pada kaki. Lihat Lembaran Informasi (LI) 555 untuk
informasi lebih lanjut. Masalah SSP mencakup depresi dan masalah tidur,
keseimbangan, jalan kaki, pikiran dan ingatan. Pada awal sejarah AIDS,
semua masalah ini disebut “demensia terkait HIV”. Namun sekarang
masalah yang lebih luas mulai muncul. Hal ini disebut sebagai “gangguan
neurologis terkait HIV (HIVassociated neurological disturbance/ HAND).
Masalah ini termasuk gejala yang kurang berat yang disebut sebagai
gangguan motor kognitif yang minor.
Sebelum ada terapi antiretroviral (ART), kurang lebih 20% Odha
di AS mengalami demensia berat. ART sudah mengurangi kejadian
demensia berat. Namun dengan Odha bertahan hidup lebih lama, lebih
banyak orang mengalami masalah neurologis yang lebih ringan. Masalah
ini diperkirakan berpengaruh pada 40-70% Odha. Hal ini tetap terjadi,
walau mereka memakai ART. Namun jarang ada laporan mengenai
demensia pada Odha di Indonesia.
2
1.2.7 Apa saja pemeriksaan penunjang pada pasien penderita
HAND?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan dari HAND?
1.2.9 Bagaimana asuhan keperawatan bagi pasien penderita
HAND?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui definisi HAND
1.3.2. Untuk mengetahui etiologi dari HAND
1.3.3. Untuk mengetahui klasifikasi dari HAND
1.3.4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari HAND
1.3.5. Untuk mengetahui patofisiologi dari HAND
1.3.6. Untuk mengetahui WOC dari HAND
1.3.7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada pasien
penderita HAND
1.3.8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari HAND
1.3.9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan bagi pasien
penderita HAND
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
4
dengan ANI dan orang-orang di sekitar mereka tidak melihat
gejala apa pun.
b. Minor neurocognitive disorder (MND) mempengaruhi
kemampuan berpikir sampai batas tertentu dan mungkin
sedikit mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
c. HIV-associated dementia (HAD) secara serius
mempengaruhi kemampuan berpikir dan secara signifikan
mengganggu kegiatan kehidupan sehari-hari.
HAND mempengaruhi sekitar satu dari lima, atau 20%, orang
dengan HIV. Jenis HAND yang paling umum adalah tipe ringan (MND);
yang paling umum berikutnya adalah ANI; jenis HAND (HAD) yang paling
parah jarang terjadi. Jadi, ada kemungkinan bahwa sebagian besar penderita
HAND memiliki gejala ringan atau tidak ada gejala nyata.
HAND berbeda dari jenis masalah kognitif dan demensia lain yang
lebih umum seperti penyakit Alzheimer. Jenis demensia lain biasanya
menyebabkan penurunan kemampuan secara permanen; ini tidak terjadi
dengan HAND. Jika seseorang yang didiagnosis dengan HAND menerima
obat HIV yang tepat, fungsi kognitifnya dapat distabilkan dan ditingkatkan.
5
HAND yang dibuat yang mencakup penurunan neurokognitif asimptomatik
(ANI), gangguan neurokognitif ringan (MND), dan demensia terkait HIV
(HAND).
Tidak tergantung pada kondisi oportunistik, HIV lanjut dikaitkan
dengan gangguan kognitif akibat infeksi HIV dalam sistem saraf. AIDS
Dementia Complex (ADC), demensia subkortikal ditandai sebagai kondisi
penonaktifan progresif yang bermanifestasi dalam peningkatan kehilangan
perhatian dan konsentrasi, pelambatan motorik dan komponen perilaku
yang bervariasi yang pada umumnya menyebabkan kematian dalam waktu
kurang dari setahun. Sindrom ini dikaitkan dengan perubahan patologis di
otak yang meliputi atrofi menyeluruh, perubahan materi putih yang
menyebabkan leukoensefalopati, nodul mikroglial khas ensefalitis virus,
dan sel raksasa berinti banyak yang tampaknya secara langsung terinfeksi
oleh HIV sebagaimana diidentifikasi oleh pewarnaan antigen. Pada infeksi
yang tidak diobati, keparahan demensia lebih erat terkait dengan penanda
respon inflamasi dibandingkan viral load, walaupun viral load CSF sedikit
terkait dengan manifestasi klinis. Kerusakan progresif yang digambarkan
sebagai ADC, sekarang disebut sebagai HIV Associated Dementia (HAD)
menggunakan kriteria terkini.
Namun, kebingungan masih tetap ada karena istilah HAD
diterapkan tidak hanya untuk penyakit otak progresif karena AIDS yang
tidak diobati, tetapi juga untuk orang yang memiliki sisa kerusakan
neurologis terkait HIV yang substansial. Bukan tidak terduga bahwa
populasi yang signifikan dan terus bertambah yang mengalami cedera otak
karena HIV, tetapi tidak memiliki penyakit progresif yang jelas, tidak akan
tertolong dengan perawatan yang sama dengan mereka yang memiliki
patologi yang dimediasi oleh virus aktif. Penelitian ekstensif dalam
neuroAIDS telah gagal memisahkan populasi ini, berkontribusi pada
penilaian yang mengecewakan atau membingungkan. Penerapan kriteria
HAND saat ini terlalu banyak diistirahatkan untuk membuat diagnosis
sesuai dengan keparahan gangguan neurologis pada pemeriksaan
6
neuropsikologis. Tampaknya penting bahwa status dinamis dari gangguan
serta patofisiologi terkait dimasukkan dalam upaya diagnostik dan
terapeutik. Ini dapat membantu bidang mengatasi masalah yang tersisa
dengan lebih efektif.
Banyak peneliti percaya bahwa HIV merusak sel-sel vital otak, neuron ,
secara tidak langsung. Menurut satu teori, HIV menginfeksi atau
mengaktifkan sel yang melindungi otak, yang dikenal sebagai makrofag dan
mikroglia . Sel-sel ini kemudian menghasilkan racun yang dapat memicu
serangkaian reaksi yang memerintahkan neuron untuk bunuh diri. Makrofag
dan mikroglia yang terinfeksi juga tampaknya menghasilkan faktor-faktor
tambahan seperti kemokin dan sitokin yang dapat mempengaruhi neuron
serta sel-sel otak lainnya yang dikenal sebagai astrosit. Astrosit yang
terkena, yang biasanya memelihara dan melindungi neuron, sekarang juga
dapat akhirnya merusak neuron. Astrosit menghasilkan protein neurotoksik
seperti HIV Tat, Nef dan Rev. Tat dikeluarkan dan menginduksi reaktivitas
dalam astrosit melalui peningkatan ekspresi GFAP. Protein HIV gp120
menghambat sel-sel induk di otak untuk memproduksi sel-sel saraf baru.
Dalam sel-sel neuron, HIV gp120 menginduksi protein kematian
7
mitokondria seperti caspases, yang dapat mempengaruhi peningkatan
pengaturan reseptor kematian Fas yang mengarah ke apoptosis.
HIV biasanya mencapai otak segera setelah infeksi awal. Satu teori
mengusulkan kemungkinan masuknya virus dengan melibatkan monosit
yang terinfeksi melintasi sawar darah-otak (Blood Brain Barrier) yang
dikenal dengan mekanisme Trojan Horse. Setelah monosit yang terinfeksi
telah menyeberangi endotelium, mereka menetap sebagai makrofag
perivaskular yang terinfeksi. Telah dikemukakan bahwa makrofag
menyebarkan virus dengan cara kontak antar sel dengan sel mikroglia.
8
pasien HIV tanpa gejala dan pasien yang menggunakan pengobatan yang
stabil. Sebuah penelitian longitudinal baru-baru ini terhadap sekelompok
kecil pasien HIV-positif yang menggunakan rejimen pengobatan yang stabil
menunjukkan bahwa atrofi kortikal ini progresif, dan sebagian terkait
dengan nadir CD4. Volume otak serebral dikaitkan dengan faktor yang
terkait dengan durasi penyakit dan nadir CD4, pasien dengan riwayat HIV
kronis yang lebih lama dan kehilangan nadir CD4 yang lebih tinggi hadir
dengan atrofi serebral yang lebih besar. Jumlah limfosit CD4 juga terkait
dengan tingkat kehilangan jaringan otak yang lebih besar. Faktor saat ini,
seperti RNA HIV plasma, telah ditemukan terkait dengan volume otak juga,
terutama berkaitan dengan volume ganglia basal dan total white matter.
Perubahan di otak mungkin sedang berlangsung tetapi tidak menunjukkan
gejala, yaitu dengan sedikit gangguan dalam fungsi, membuatnya sulit
untuk mendiagnosis gangguan neurokognitif terkait HIV pada tahap awal.
9
a. Tes Neuropsikologis. Penilaian area-area fungsi kognitif umumnya
dilakukan dengan menggunakan berbagai tes neuropsikologis, baik tes
yang hanya digunakan untuk skrining maupun tes yang bersifat formal
(Campbell, 2013; Lopes et al., 2009; Valcour et al., 2011; Robbins et
al., 2011). Pemeriksaan neuropsikologi merupakan alat yang paling
penting untuk mendiagnosis dan mengkategorikan efek infeksi terhadap
SSP. Pada kondisi dengan sumber daya terbatas, dimana teknologi
neuroimagingyang memadai tidak tersedia, maka karakterisasi fungsi
kognitif melalui pemeriksaan neurokognitif sangat penting untuk
keberhasilan diagnosis dan pengobatan.
b. Pemeriksaan Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium, selain
dikerjakan untuk membantu menegakkan diagnosis demensia terkait
infeksi, juga untuk mengevaluasi keberadaan kondisi medis yang
mendasari terjadinya demensia terkait infeksi dan dapat diterapi.
Penelitan terakhir sebenarnya menunjukkan bahwa “demensia yang
dapat terkoreksi” hanya sekitar 1% dari seluruh kasus demensia. Namun
konsensus terakhir mengenai penilaian dan pengobatan demensia telah
melihat adanya bukti pentingnya investigasi laboratorium dalam
memperbaiki prognosis demensia. Pemeriksaan laboratorium dasar
yang direkomendasikan untuk semua pasien demensia antara lain hitung
darah lengkap, TSH, elektrolit serum (termasuk kalsium), pemeriksaan
kadar vitamin B12 dan asam folat serum, dan gula darah puasa.
Pemeriksaan laboratorium lain dikerjakan secara selektif, misalnya tes
serologis atau penanda untuk berbagai agen infeksi.8Penanda yang bisa
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai penunjang diagnosis
demensia adalah kadar Aβ (terutama kadar Aβ42), total protein tau (t-
tau), dan protein tau terfosforilasi (p-tau) dalam CSS.36 Untuk penyakit
sporadic Cruetzfeldt-Jacob Disease (sCJD), perlu dilakukan
pemeriksaan protein 14-3-3 dalam CSS.
10
c. Pemeriksaan Radiologi. Ketersediaan pemeriksaan radiologi dengan CT
scanatau MRI memungkinkan penilaian pola struktur atrofi otak yang
lebih detail. Saat ini juga terdapat teknik pemeriksaan radiologi yang
digunakan untuk melihat fungsi jaringan otak dan bisa
memvisualisasikan aktivitas otak secara in vivo. Modalitas pemeriksaan
radiologi fungsional yang bisa digunakan antara lain positron emission
tomography (PET) yang menggunakan fluoro-D-2-deoxyglucose,
single-photon emission computed tomography (SPECT), functional
MRI (fMRI), dan MR spectroscopy. Berbagai modalitas pemeriksaan
radiologi fungsional tersebut diatas ketersediaannya terbatas dan masih
belum direkomendasikan secara rutin untuk evaluasi diagnostik
demensia.
11
12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Identitas klien : Meliputi nama,umur, jenis kelamin,
status perkawinan, agama, suku bangsa
alamat, diagnosa penyakit,
tanggal masuk, tanggal pengkaiian,
nomor medical record.
Identitas penanggung jawab : Meliputi, nama, umur, jenis klemin,
hubungan dengan klien, status
perkawinan, agama, suku bangsa,
alamat.
Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Keluhan dapat berupa perubahan
persepsi penglihatan, demam, kurang
nafsu makan, gelisah dan nyeri
pada mata.
b. Riwayat kesehatan : Perlu dikaji apakah ditemukan suatu
sekarang gejala yang menimbulkan suatu penyaki
dengan menggunakan metode PQRST.
c. Riwayat kesehatan dahulu : Adakah riwayat penyakit dahulu yang
diderita pasien yang berhubungan
dengan timbulnya retinoblastoma yaitu
adanya miopi tinggi, retinopati, trauma
pada mata.
d. Riwayat kesehatan : Perlu dikaji apakah ada keluarganya
keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
Retinoblastoma bersifat herediter yang
13
diiwariskan melalui kromosom, protein
yang selamat memiliki kemungkinan
50% menurunkan anak dengan
retinoblastoma atau penyakit lain yang
bersifat kronis dan apakah ada riwayat
penyakit keturunan.
Pengkajian sistem
a. Aktivitas
Gejala : Kelelahan, malaise, kelemahan,
ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas biasanya.
Tanda : Kelelahan otot dan peningkatan
kebutuhan tidur, somnolen.
b. Sirkulasi
Gejala : Palpitasi
Tanda : - Takikardi, mur-mur jantung
- Kulit, membran mukosa pucat
- Defisit saraf kranial dan/atau tanda
perdarahan cerebral.
c. Eliminasi
Gejala : - Diare; nyeri tekan perianal, nyeri
- Darah merah terang pada tisu, feses
hitam
- Darah pada urine, penurunan
haluaran urine.
d. Integritas ego :
Gejala : Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Tanda : - Depresi, menarik diri, ansietas, takut,
marah, mudah terangsang
- Perubahan alam perasaan, kacau.
e. Makanan/cairan :
14
Gejala : - Kehilangan nafsu makan, anoreksia,
muntah
- Perubahan rasa/penyimpangan rasa
- Penurunan berat badan
f. Neurosensori :
Gejala : - Kurang/penurunan koordinasi
- Perubahan alam perasaan, kacau,
disorientasi, ukuran konsisten
- Pusing, kebas, kesemutan parastesi.
Tanda : Otot mudah terangsang dan aktivitas
kejang.
g. Nyeri/ketidaknyamanan :
Gejala : Nyeri orbital, sakit kepala, nyeri tulang
atau sendi, nyeri tekan sternal, kram
otot.
Tanda : Perilaku berhati-hati atau distraksi,
gelisah, fokus, pada diri sendiri.
h. Pernapasan :
Gejala : Napas pendek dengan kerja minimal
Tanda : - Dispnea, takipnea, batuk
- Gemericik, ronki
- Penurunan bayi napas
i. Keamanan :
Gejala : - Riwayat infeksi saat ini atau dahulu,
jatuh
- Gangguan penglihatan atau
kerusakan
- Perdarahan spontan tak terkontrol
dengan trauma minimal.
Tanda : - Demam, infeksi
15
- Kemerahan, purpura, perdarahan
retinal, perdarahan gusi, atau
epistaksis
- Pembesaran nodus limfe, limpa, atau
hati (sehubungan dengan invasi
jaringan)
- Papil edema dan eksoftalmus.
j. Seksualitas :
Gejala : - Perubahan libido
- Perubahan aliran menstruasi,
menoragia
- Lipopren
k. Penyuluhan/pembelajaran :
Gejala : Gejala: riwayat terpajan pada kimiawi,
mis; benzene, fenilbutazon, dan
kloramfenikol(kadar ionisasi radiasi
berlebihan, pengobatan kemoterapi
sebelumnya, khususnya agen pengkilat.
Gangguan kromosom, contoh sindrom
down atau anemia franconi aplastik.
A. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan pada saat pengkajian, maka
ditetapkan diagnosa keperawatan:
1) Gangguan Proses Pikir
2) Risiko Cedera: Jatuh
a. Tindakan Keperawatan
1. Pasien depresi dengan gangguan proses pikir; pikun/pelupa.
Tindakan keperawatan untuk pasien:
16
Tujuan agar pasien mampu:
1) Mengenal/berorientasi terhadap waktu orang
dan tempat
2) Meklakukan aktiftas sehari-hari secara optimal.
Tindakan
1) Beri kesempatan
Bagi pasien untuk mengenal barang milik pribadinya.
Misalnya tempat tidur, lemari, pakaian dll.
2) Beri kesempatan kepada pasien untuk mengenal waktu d
engan menggunakan jam besar, kalender yang
mempunyai lembar perharidengan tulisan besar.
3) Beri kesempatan kepada pasien untuk menyebutkan
namanya dan anggotakeluarga terdekat.
4) Beri kesempatan kepada klien untuk mengenal dimana
dia berada.
5) Berikan pujian jika pasien bila pasien dapat
menjawab dengan benar.
6) Observasi kemampuan pasien untuk melakukan
aktifitas sehari-hari
7) Beri kesempatan kepada pasien untuk memilih aktifitas y
ang dapat dilakukannya.
8) Bantu pasien untuk melakukan kegiatan yang telah
dipilihnya
9) Beri pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
10) Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiat
annya.
11) Bersama pasien membuat jadwal kegiatan sehari-hari.
17
1) Pasien terhindar dari cedera.
2) Pasien mampu mengontrol aktifitas yang dapat
mencegah cedera.
Tindakan:
1) Jelaskan faktor-faktor risiko yang dapat
menimbulkan cedera dengan bahasa yang
sederhana.
2) Ajarkan cara-cara untuk mencegah cedera:
bila jatuh jangan panik tetapi berteriak minta
tolong.
3) Berikan pujian terhadap kemampuan pasien men
yebutkan cara-cara mencegah cedera.
b. Evaluasi
1. Gangguan proses pikir: bingung
Kemampuan pasien:
1) Mampu menyebutkan hari, tanggal dan tahun sekarang dengan
benar.
2) Mampu menyebutkan nama orang yang dikenal.
3) Mampu menyebutkan tempat dimana pasien berada saat ini.
4) Mampu melakukan kegiatan harian sesuai jadual.
5) Mampu mengungkapkan perasaannya setelah
melakukan kegiatan.
2. Resiko cedera
Kemampuan pasien:
1) Menyebutkan dengan bahasa sederhana faktor-
faktor yang menimbulkancedera.
2) Menggunakan cara yang tepat untuk mencegah cedera.
3) Mengontrol aktivitas sesuai kemampuan.
18
3.2.1. Pengkajian
a. Identitas pasien.
a) Nama :Tn. ABC
b) Umur : 37 Tahun
c) Jenis kelamin : Laki-laki
d) Suku/bangsa : Banten/Indonesia.
e) Agama : Kristen Katholik
f) Status perkawinan : Belum kawin
g) Pendidikan/pekerjaan : SMA Makasar
h) Bahasa yang digunakan : Indonesia
i) Alamat : Jl. Garuda
b. Alasan masuk rumah sakit
a) Alasan dirawat : mencret sejak 1 bulan yang lalu, malam
keringat dingin dan kadang demam serta tubuh terasa lemah.
b) Keluhan utama : Diare tak terkontrol tanpa merasakan sakit
perut penyebab tidak diketahui, dengan faktor yang
memperberat adalah bila bergerak dan usaha yang dilakukan
adalah diam.
c. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sebelum sakit ini :
Pasien sebelumnya tidak pernah sakit serius kecuali batuk dan pilek.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Sejak 12 tahun, yang lalu pasien mengkonsumsi obat putaw dengan
cara suntik. Karena menggunakan obat terlarang akhirnya
dikucilkan oleh saudara-saudaranya. Klien memakai obat karena
merasa terpukul akibat ditinggal menginggal ibunya. Sejak 1 bulan
yang lalu klin mencret-mencret 3-5 kali sehari. Sejak 15 hari yang
lalu mencretnya makin keras dan tak terkontrol. Klien tgl 10-10-
2019, memeriksakan diri ke UGD RSUD nabire.
c. Riwayat kesehatan keluarga :
19
Kedua orang tua sudah meninggal, tidak ada anggota keluarga yang
menderita penyakit yang sama atau PMS. Tidak ada penyakit
bawaan dalam keluarga klien.
A. Makan dan
minum
Pola makan tidak teratur, Pola makan 3 kali/hari
1. Nutrisi tetapi tidak ada napsu bubur, namun tidak ada
makan, terutama jika napsu makan, nyeri saat
sudah memakai obat. menelan, makan hanya
1/2 porsi.
Minum air putih dengan
2. Minum jumlah tidak tentu Minum air putih 2-3
kadang minuman keras. gelas dan teh hangat 2-3
gelas.
20
memcret serta perasaan karena terus keluar
tidak menentu akibat mencret serta perasaan
tidak dapat putaw sejak tidak menentu akibat
20 hari. tidak dapat putaw sejak
20 hari.
B. Psikososial.
Psikologis :
pasien belum tahu penyakit yang dialaminya, klien hanya
merasa ditelantarkan oleh teman dan keluarganya. Klien
punya kaka di Bandung, tetapi sejak lama tidak
berkomunikasi.Klien tidak percaya dengan kondisinya
sekarang. Mekanisme koping pasrah. Klien ingin
diperlakukan manusiawi. Klien pada tanggal 14-1-2002
21
bermaksud melakukan bunuh diri dengan menjatuhkan diri
dari lantai II akibat merasa tidak berguna lagi.
Sosial :
sejak 12 tahun sudah berkomunikasi dengan keluarga sejak
ayah dan ibunya meninggal, teman-temanya sebagian
pemakai putaw yang sekarang entah dimana.
Spiritual :
Pada waktu sehat sangat jarang ke Gereja. Klien minta
didampingi Pastur Jelanti dari Menara Kathedral Surabaya.
22
Bentuk dan posisi normal, tidak ada deviasi septum,
epistaksis, rhinoroe, peradangan mukosa dan polip. Fungsi
penciuman normal.
Telinga (pendengaran).
Serumen dan cairan, perdarahan dan otorhoe, peradangan,
pemakaian alat bantu, semuanya tidak ditemukan pada
pasien. Ketajaman pendengaran dan fungsi pendengaran
normal.
Mulut dan gigi.
Ada bau mulut, perdarahan dan peradangan tidak ada, ada
karang gigi/karies. Lidah bercak-bercak putih dan tidak
hiperemik serta tidak ada peradangan pada faring.
Leher.
Kelenjar getah bening tidak membesar, dapat diraba,
tekanan vena jugularis tidak meningkat, dan tidak ada kaku
kuduk/tengkuk.
Thoraks.
Pada inspeksi dada simetris, bentuk dada normal.
Auskultasi bunyi paru normal. Bunyi jantung S1 dan S2
tunggal. Tidak ada murmur.
Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati dan limpa tidak
membesar, ada nyeri tekan, perkusi bunyi redup, bising
usus 14 X/menit.
Repoduksi
Penis normal, lesi tidak ada.
Ekstremitas
Klien masih mampu duduk berdiri dan berjalan sedikit,
tetapi cepat lelah. Ektremitas atas kanan terdapat tatoo dan
pada tangan kiri tampak tanda bekas suntikan.
Integumen.
23
Kulit keriput, pucat, akral hangat.
24
N : 120 x/ mnt
R : 22 x/ mnt
SB : 37,8oC
Ds :
Pasien mengatakan
diare sejak 1 bulan yang
lalu, mengatakan
menceret 5-7 kali/hari,
kadang demam dan
keringat pada malam
Resiko tinggi terhadap
hari, minum 2-3
Diare intake cairan kekurangan volume
gelas/hari.
cairan
Do :
Turgor masih baik,
inkontinensia alvi, BAB
encer, membran
mukosa kering, bising
usus meningkat 20
X/menit
Ds :
Pasien mengatakan
tidak ada nafsu makan,
saat menelan sakit,
Intake yang tidak Perubahan nutrisi
mengatakan tidak bisa
adekuat kurang dari
menghabiskan porsi
kebutuhan tubuh
yang disiapkan.
Do :
Lemah, 4 hari tidak
makan, mulut kotor,
25
lemah, holitosis, lidah
ada bercak-bercak
keputihan, Hb 8,7g/dl,
pucat, konjungtiva
anemis
Ds :
Klien merasa
diasingkan oleh
keluarga dan teman-
temannya, klien tidak
punya uang lagi, klien
merasa frustasi karena
tidak punya teman dan
merasa terisolasi. Minta Harga diri rendah Resiko bunuh diri
dipanggilkan Pastur.
Do :
Mencoba melakukan
percobaan bunuh diri
tanggal 14-10-2019,
dengan berusaha
menjatuhkan diri dari
lantai II.
26
3.2.7. Intervensi
No Diagnosa Rencana Keperawatan
. Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Resiko tinggi Keseimbang Monitor Volume
terhadap an cairan tanda-tanda cairan deplesi
kekurangan dan dehidrasi. merupakan
volume cairan b/d elektrolit komplikasi
kehilangan yang dipertahank dan dapat
berlebihan, diare an dengan Monitor dikoreksi.
berat, ditandai kriteria intake dan
dengan : intake ouput Melihat
Ds : seimbang kebutuhan
Pasien output, Anjurkan cairan yang
mengatakan diare turgor untuk minum masuk dan
sejak 1 bulan yang normal, peroral keluar.
lalu, mengatakan membran
menceret 5-7 mukosa Sebagai
kali/hari, kadang lembab, Atur kompensasi
demam dan kadar urine pemberian akibat
keringat pada normal, infus dan peningkatan
malam hari, tidak diare eletrolit : RL output.
minum 2-3 setelh 3 hari 20
gelas/hari. perawatan. tetes/menit. Memenuhi
Do : kebutuhan
Turgor masih Kolaborasi intake yang
baik, pemberian peroral yang
inkontinensia alvi, antidiare tidak
BAB encer, antimikroba terpenuhi.
membran mukosa
kering, bising
27
usus meningkat Mencegah
20 X/menit kehilangan
cairan tubuh
lewat diare
(BAB).
28
konjungtiva yang sering.Timba
anemis disiapkan, ng TB/BB Untuk
tidak nyeri mengatasi
saat penurunan
menelan, keluhan
mulut makan
bersih.
3 Resiko infeksi b/d Pasien akan Monitor Untuk
immunocomprom bebas tanda-tanda pengobatan
ised ditandai infeksi infeksi baru. dini
dengan : oportunistik
Ds : dan gunakan
Pasien komplikasin teknik aseptik Mencegah
mengatakan ya dengan pada setiap pasien
kadang demam kriteria tak tindakan terpapar oleh
Do : ada tanda- invasif. Cuci kuman
Keadaan umum : tanda tangan patogen yang
Pasien tampak infeksi baru, sebelum diperoleh di
lemah, kurus, dan lab tidak ada meberikan rumah sakit.
pucat infeksi tindakan.
Kesadaran : oportunis, Mencegah
Compos Mentis tanda vital Anjurkan bertambahnya
TD : 110/70 dalam batas pasien infeksi
mmHg normal, metoda
N : 120 x/ mnt tidak ada mencegah Mempertahan
R : 22 x/ mnt luka atau terpapar kan kadar
SB : 37,8oC eksudat. terhadap darah yang
lingkungan terapeutik.
yang patogen.
29
Atur
pemberian
antiinfeksi
sesuai order
30
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Gangguan fungsi kognitif yang disebabkan oleh karena kerusakan
sinaptodendritik di otak sehingga mengganggu fungsi hubungan neuronal,
diinduksi oleh proses inflamasi sebagai akibat masuknya HIV ke dalam otak
yang dibawa oleh limfosit T CD4+, monosit dan makrofag. Kematian
neuron karena proses inflamasi juga menghambat long term potentiation
(LTP) pada proses memori.
Penelitian Valcour, dkk mendapatkan hasil bahwa jumlah lomfosit
T CDD4+ yang rendah dapat meningkatkan kejadian gangguan kognitif
berupa HAD (HIV-associated dementia). Berdasarkan hasil yang
didapatkan adanya gangguan fungsu kognitif dengan nilai skor MoCa-Ina
yang semakin rendah dengan menurunnya jumlah limfosit T CD4+.
Hasil analisis uji Pearson jumlah limfosit total dan limfosit T CD4+
menunjukan semakin banyak HIV bereplikasi di dalam tubuh makan
semakin banyak sel limfosit T CD 4+ yang rusak sehingga jumlahnya
menurun dan menyebabkan jumlah limfosit total mengalami penurunan
juga. Penelitian Srirangaraj kemudian penelitian Daka telah menyimpulkan
bahwa jumlah limfosit total < 1200 sel/mm3 dapat memperkirakan jumlah
limfosit T CD4+ < 200 sel/mm3.
Faktor resiko dengan gangguan fungsi kognitif memperlihatkan
bahwa jumlah limfosit total, limfosit T CD4+ dan infeksi oportunistik
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi kognitif. Ada teori yang
menyatakan penggunaan HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy)
memperlihatkan penurunan gangguan kognitif pada penderita HIV/AIDS
karena beberapa faktor risiko gangguan kognitif dan obat ARV yang
mempunyai efek samping gangguan kognitif yaitu efavirens.
Pemakaian ARV merupakan pengobatan yang harus dimakan setiap
hari dan seumur hidup sehingga berpotensi untuk drop out atau berhenti
31
minum obat. Pencegahan gangguan kognitif pada pasien HIV dapat
dilakukan dengan minum obat secara teratur dengan didampingi orang dekat
pasien yang dapat mengingatkan jika penderita lupa atau mengalami
kebosanan dalam minum obat tersebut.
4.2. Saran
Untuk penderita diharapkan untuk selalu kontrol dengan teratur, selalu
konsultasi bila ada keluhan dan ketidaktahuan tentang penyakitnya.
32
DAFTAR PUSTAKA
https://www.researchgate.net/publication/309024286_INFECTION-
ASSOCIATED_DEMENTIA (Diakses pada tanggal Min, 27 Okt
2019 pukul 21.23)
33