Anda di halaman 1dari 29

KONSEP HIV, STIGMA, MANAGEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN HIV

Mata Kuliah :
Keperawatan HIV/AIDS
Dosen Pengampu: Ns. Yulia Irvani Dewi, M. Kep., Sp. Mat
Disusun oleh:
Kelompok 4 A 2020 2

1. Febie Sukmariza (1911110558) 11. Tisna Prahiba (2011113266)


2. Rio Irvanda Yuris (2011110480) 12. Tri Liana Putri (2011125781)
3. Sheila Reihani Permata (2011113231) 13. Velga Leonita (2011113465)
4. Shindi Rahmedani Putri (2011113256) 14. Venty Enjhelina (2011110941)
5. Siti Rohmah Nurul Asyam (2011113247) 15. Vivi Maisantri (2011114587)
6. Sri Agustina (2011113516) 16. Vonny Alda Nugrahana (2011135058)
7. Sulistyawati (2011114361) 17. Yanti Elfiani Lawolo (2011110939)
8. Syahnia Aprilla Irvani (2011113244) 18. Yelly Muthia Sabri (2011113249)
9. Tahani Hutrika (2011110892) 19. Zahra Asra (2011113258)
10. Tiara Maharani (2011110891)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2022

i
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah KEPERAWATAN
HIV/AIDS dengan judul “Konsep HIV,Stigma,Managemen Asuhan Keperawatan
Pada Pasien dengan HIV”. Hanya kepada-Nya penulis memohon pertolongan dan
kemudahan dalam segala urusan. Salawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang telah membimbing pada jalan yang diridhai oleh Allah Swt.
Adapun tujuan penulis dalam membuat makalah ini adalah untuk melengkapi nilai
pada mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS Program A 2020.2. Harapan dari penulis
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, terutama dalam meningkatkan
pemahaman tentang Keperawatan HIV/AIDS. Adapun penyusunan makalah ini masih
ada kekurangan. Untuk itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
makalah ini. Penulis berharap kepada pembaca makalah dapat memberikan kritik dan
saran.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Pekanbaru, 23 Februari 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................2


DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I .....................................................................................................................................4
PENDAHULUAN .................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................4
1.3 Tujuan .........................................................................................................................5
BAB II....................................................................................................................................6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................6
2.1 Definisi HIV ................................................................................................................6
2.2 Etiologi HIV ................................................................................................................6
2.5 Pencegahan HIV .......................................................................................................10
2.6 Patofisiologi HIV ......................................................................................................14
2.7 Definisi Stigma HIV .................................................................................................14
2.8 Faktor-faktor terbetuknya Stigma HIV .....................................................................15
2.9 Manajemen Askep HIV ............................................................................................16
BAB III ..................................................................................................................................27
PENUTUP..............................................................................................................................27
1.3 Kesimpulan ...............................................................................................................27
3.2 Saran .........................................................................................................................27
BAB IV ..................................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual yang prevalensinya tersebar
secara global maupun regional. Menurut United Nations Progamme on HIV/AIDS
(UNAIDS), pada tahun 2013 diperkirakan jumlah kasus HIV/AIDS secara global
mencapai 34 juta jiwa dengan jumlah kematian akibat AIDS 1,7 juta jiwa (UNAIDS,
2013). Sedangkan secara regional, khususnya di Indonesia, sejak tahun 2005 hingga
September 2015 terdapat kasus HIV sebanyak 184.929 jiwa yang ditemukan dari
laporan layanan konseling dan tes HIV. Hal ini menggambarkan bahwa HIV/AIDS di
Indonesia dinyatakan sebagai salah satu epidemi tercepat di Asia dan bergerak secara
dinamis.
Tingginya kasus HIV/AIDS memerlukan upaya dalam mencegah dan
menanggulanginya. Salah satu hambatan paling besar dalam mencegah HIV/AIDS
adalah tingginya stigma (pandangan negatif) dan diskriminasi terhadap Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA). Stigma ini berasal dari pikiran dari individu atau masyarakat
yang beranggapan bahwa HIV/AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang
tidak dapat diterima dan tergambar secara negatif sehingga timbulnya perilaku
perasaan takut berlebihan, mengisolasi sosial penderita, penyebarluasan status
HIV/AIDS penderita, dan penolakan di berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan
(perilaku diskriminatif). Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia
yang dapat mengakibatkan penurunan terhadap kuantitas dan kualitas hidup ODHA.
Dalam mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA diperlukan edukasi
kepada beberapa ruang lingkup seperti keluarga dan masyarakat oleh tenaga
kesehatan. Perawat khususnya berperan penting dalam pengelolaan kebutuhan secara
bio-psiko-sosio-spiritual pada ODHA. Oleh karena itu, diperlukan asuhan
keperawatan yang tepat bagi ODHA untuk beradaptasi dengan penyakitnya serta
pemberian dukungan fisik, emosional, material, dan informasi untuk peningkatan
kualitas dan kuantitas hidup ODHA.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan HIV dan Stigma HIV?

4
2. Apa etiologi dan patofisiologi dari HIV?
3. Bagaimana penularan HIV?
4. Apa tanda dan gejala terdampak HIV?
5. Bagaimana pencegahan dari HIV?
6. Apa faktor faktor terbentuknya stigma HIV?
7. Bagaimana manajemen Asuhan Keperawatan pasien terdampak HIV?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui definisi dari HIV dan Stigma HIV
2. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi dari HIV
3. Untuk mengetahui penularan HIV
4. Untuk Mengetahui tanda dan gejala terdampak HIV
5. Untuk mengetahui pencegahan dari HIV
6. Untuk mengetahui faktor terbentuknya stigma HIV
7. Untuk mengetahui bagaimana manajemen Asuhan Keperawatan pasien
berdampak HIV.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIV


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menginfeksi
sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired
Immune Deficiency Syndrome ( AIDS ) adalah sekumpulan gejala yang timbul
karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Penderita HIV
memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral ( ARV ) untuk menurunkan jumlah
virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, sedangkan
penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi
oportunistik dengan berbagai komplikasinya.

2.2 Etiologi HIV


HIV ialah retrovirus yang di sebut lymphadenopathy Associated virus (LAV)
atau human T-cell leukemia virus 111 (HTLV-111) yang juga di sebut human T-cll
lymphotrophic virus (retrovirus) LAV di temukan oleh montagnier dkk. Pada tahun
1983 di prancis, sedangkan HTLV-111 di temukan oieh Gallo di amerika serikat pada
tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak di temukan di atrika tengah.
Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau afrika,70% dalam darahnya mengandung
virus tersebut tampa menimbukan penyakit. Nama lain virus tersebut ialah HIV.
HIV terdiri atas hiv-1 DAN hiv-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri atas dua
untaian RNA dalam inti protein yang di lindungi envelop lipid asal sel hospes. Virus
AIDS bersifat limpotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk merusak sel darah
putih spesifik yang di sebut limposit T-helper atau limposit pembawa factor T4
(CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan jumiah limposit T-helper secara
progresif dan menimbulkan imunodefisiersi serta untuk selanjut terjadi infeksi
sekunder atau oportunistik oleh kumanjamur, virus dan parasit serta neoplasma.
Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, maka virus tersebut akan berada dalam
tubuh korban untuk seumur hidup. Badan penderita akan mengadakan reaksi terhapat
invasi virus AIDS dengan jalan membentuk antibodi spesifik, yaitu antibodi HIV,
yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara-cara yang biasa
sehingga penderita tetap akan merupakan individu yang infektif dan merupakan
bahaya yang dapat menularkan virusnya pada orang lain di sekelilingnya.
Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS hanya sedikit yang menderita
sakit atau sama sekai tidak sakit, akan tetapi pada beberapa orang perjalanan sakit
dapat berlangsung dan berkembang menjadi ADS yang full-brown.

6
a. Penularan HIV
Cara penularan HIV/AIDS
a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang
telah terpapar HIV.
b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar HIV.
c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan pisau
cukur yang dapat menimbulkan luka yang tidak disterilkan secara bersama-
sama dipergunakan dan sebelumnya telah dipakai orang yang terinfeksi HIV.
Cara-cara ini dapat menularkan HIV karena terjadi kontak darah.
d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya
1) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta.
2) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan
vagina.
3) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu.
Kenyataannya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
sudah terinfeksi di negara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan
anak yang tertular HIV tertular dari ibunya.

Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS


a) Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
b) Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis, herpes, klamidia,
kencing nanah, dan vaginosis bakterial.
c) Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan peralatan suntik
lainnya dan solusi obat ketika menyuntikkan narkoba.
d) Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah, transplantasi jaringan,
prosedur medis yang melibatkan pemotongan atau tindakan yang tidak steril.
e) Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja, termasuk diantara pekerja
kesehatan.
f) Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai pasangan yang memiliki
banyak pasangan lain.

b. Tanda dan Gejala HIV


Banyak orang dengan HIV tidak tahu kalau mereka terinfeksi. Hal ini karena
gejala dan tanda-tanda HIV/AIDS pada tahap awal sering kali tidak menimbulkan
gejala berat. Infeksi HIV hingga menjadi AIDS terbagi menjadi 3 fase, yaitu:

Fase pertama: infeksi HIV akut


Fase pertama umumnya muncul setelah 1-4 minggu infeksi HIV terjadi. Pada fase
awal ini, penderita HIV akan mengalami gejala mirip flu, seperti:

1. Sariawan

7
2. Sakit kepala
3. Kelelahan
4. Radang tenggorokan
5. Hilang nafsu makan
6. Nyeri otot
7. Ruam
8. Pembengkakan kelenjar getah bening
9. Berkeringat

Gejala dan tanda-tanda HIV/AIDS tersebut dapat muncul karena sistem kekebalan
tubuh sedang berupaya melawan virus. Gejala ini bisa bertahan selama 1-2 minggu
atau bahkan lebih.

Fase kedua: fase laten HIV


Pada fase ini, penderita HIV/AIDS tidak menunjukkan tanda dan gejala yang
khas, bahkan dapat merasa sehat. Padahal secara diam-diam, virus HIV sedang
berkembang biak dan menyerang sel darah putih yang berperan dalam melawan
infeksi.

Pada fase ini, tanda-tanda HIV/AIDS memang tidak terlihat, tapi penderita
tetap bisa menularkannya pada orang lain. Pada akhir fase kedua, sel darah putih
berkurang secara drastis sehingga gejala yang lebih parah pun mulai muncul.

Fase ketiga: AIDS


AIDS merupakan fase terberat dari infeksi HIV. Pada fase ini, tubuh hampir
kehilangan kemampuannya untuk melawan penyakit. Hal ini karena jumlah sel darah
putih berada jauh di bawah normal.

Tanda-tanda HIV AIDS pada tahap ini antara lain berat badan menurun
drastis, sering demam, mudah lelah, diare kronis, dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Karena pada fase AIDS sistem kekebalan tubuh sudah sangat lemah, maka
penderita HIV/AIDS akan sangat rentan terkena infeksi dan jenis kanker tertentu.
Penyakit yang biasanya terjadi pada penderita AIDS antara lain:

1. Infeksi jamur pada mulut dan tenggorokan


2. Pneumonia
3. Toksoplasmosis
4. Meningitis
5. Tuberkulosis (TB)
6. Kanker, seperti limfoma dan sarkoma Kaposi

Gejala HIV/AIDS
Stadium 1
Fase ini disebut sebagai infeksi HIV asimtomatik dimana gejala HIV awal
masih tidak terasa. Fase ini belum masuk kategori sebagai AIDS karena tidak

8
menunjukkan gejala. Apabila ada gejala yang sering terjadi adalah pembengkakan
kelenjar getah bening di beberapa bagian tubuh seperti ketiak, leher, dan lipatan paha.
Penderita (ODHA) pada fase ini masih terlihat sehat dan normal namun penderita
sudah terinfeksi serta dapat menularkan virus ke orang lain.

Stadium 2
Daya tahan tubuh ODHA pada fase ini umumnya mulai menurun namun,
gejala mulai muncul dapat berupa:

1. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Penurunan ini dapat mencapai kurang
dari 10 persen dari berat badan sebelumnya
2. Infeksi saluran pernapasan seperti siunusitis, bronkitis, radang telinga tengah (otitis),
dan radang tenggorokan
3. Infeksi jamur pada kuku dan jari-jari
4. Herpes zoster yang timbul bintil kulit berisi air dan berulang dalam lima tahun
5. Gatal pada kulit
6. Dermatitis seboroik atau gangguan kulit yang menyebabkan kulit bersisik,
berketombe, dan berwarna kemerahan
7. Radang mulut dan stomatitis (sariawan di ujung bibir) yang berulang

Stadium 3
Pada fase ini mulai timbul gejala-gejala infeksi primer yang khas sehingga
dapat mengindikasikan diagnosis infeksi HIV/AIDS. Gejala pada stadium 3 antara
lain:

1. Diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan tanpa penyebab yang jelas
2. Penurunan berat badan kurang dari 10% berat badan sebelumnya tanpa penyebab
yang jelas
3. Demam yang terus hilang dan muncul selama lebih dari satu bulan
4. Infeksi jamur di mulut (Candiasis oral)
5. Muncul bercak putih pada lidah yang tampak kasar, berobak, dan berbulu
6. Tuberkulosis paru
7. Radang mulut akut, radang gusi, dan infeksi gusi (periodontitis) yang tidak kunjung
sembuh
8. Penurunan sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit

Stadium 4
Fase ini merupakan stadium akhir AIDS yang ditandai dengan pembengkakan
kelenjar limfa di seluruh tubuh dan penderita dapat merasakan beberapa gejala infeksi
oportunistik yang merupakan infeksi pada sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Beberapa gejala dapat meliputi:

1. Pneumonia pneumocystis dengan gejala kelelahan berat, batuk kering, sesak nafas,
dan demam
2. Penderita semakin kurus dan mengalami penurunan berat badan lebih dari 10%

9
3. Infeksi bakteri berat, infeksi sendi dan tulang, serta radang otak
4. Infeksi herpes simplex kronis yang menimbulkan gangguan pada kulit kelamin dan di
sekitar bibir
5. Tuberkulosis kelenjar
6. Infeksi jamur di kerongkongan sehingga membuat kesulitan untuk makan
7. Sarcoma Kaposi atau kanker yang disebabkan oleh infeksi virus human herpesvirus 8
(HHV8)
8. Toxoplasmosis cerebral yaitu infeksi toksoplasma otak yang menimbulkan abses di
otak
9. Penurunan kesadaran, kondisi tubuh ODHA sudah sangat lemah sehingga aktivitas
terbatas dilakukan di tempat tidur.

2.5 Pencegahan HIV


Menurut Badan Besar Pelatihan Kesehatan (BPPK, 2012) pencegahan HIV/AIDS
yaitu :

a) Pencegahan Penularan Melalui Hubungan Seksual dengan Cara


1. Abstinence (pantang) yaitu : Absen, Hubungan seks sebelum menikah.
hanya di lakukan melalui pernikahan yang sah.
2. Be faithful (setia) yaitu : Setia pada pasangan, hubungan seksual hanya
dilakukan pada pasangannya (suami atau isteri sendiri).
3. Using Condom (Menggunakan Condom) yaitu : dengan cara menggunakan
kondom apabila salah satu pasangan terkena Human Immunodeficiency
Virus (HIV) tidak menularkan kepada pasangannya.

b) Pencegahan Penularan Melalui Darah


1. Drugs
Tidak menggunakan narkoba karena saat sakau tidak ada pengguna
narkoba yang sadar kesterilan jarum suntik, dengan cara bergantian
pemakaianya apa lagi diantara salah satu pengguna jarum tersebut
terjangkit Human Immunodeficiency Virus (HIV), tentunya akan
tertularkan ke pengguna yang lain (pecandu).
2. Equipment
Sterilisasi jarum suntik dan alat yang melukai kulit seperti tindik, ditato,
tidak menggunakan pisau cukur bekas dan sikat gigi bersama orang lain.
Tidak menggunakan narkoba suntikan atau pemakaiannya segera
dihentikan dan megikuti pemulihan (Yanto dan Ernawati, 2016).

c) Pencegahan Penularan dari Ibu kepada anak


Ibu yang mengidap HIV harus memepertimbangkan kehamilannya dan
tidak menyusui bayinya dengan ASI. Menurut Depkes RI (2003) WHO
merencanakan empat strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak
yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila
sudah terinfeksi HIV/AIDS dicegah suapaya tidak hamil, apabila sudah hamil

10
dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun
apabila ibu dan anak sudah terinfe ksi maka sebaiknya diberikan dukungan
dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi
bisa dicegah melalui empat cara yaitu mulai saat hamil, saat melahirkan, dan
setelah lahir. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan, pengunan
antiretroviral saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penggunaan
obstetric selama persalinan, penatalaksanaan selama menyusui. Pemberian
antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada
dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
Persalinan sebaiknya dipilih dengan metode sectio caesaria karena terbukti
mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi sampai 80%. Bila bedah caesar
selektif disertai pengunaan terapi antiretroviral, maka risiko dapat diturunkan
sampai 87%. Walaupun demikian bedah caesar juga mempunyai risiko karena
imunitas ibu yang rendah sehingga terjadi keterlambatan penyembuhan luka
bahkan bisa terjadi kematian waktu operasi (Yanto dan Ernawati, 2016)
d) Kewaspadaan Universal
Menurut Yanto, Arief dan Ernawati (2016) kewaspadaan universal
adalah suatu tindakan untuk mengendalikan infeksi yang dilakukan oleh
seluruh tenaga kesehatan termasuk kader kesehatan dengan tujuan untuk
mengurangi risiko tertular penyakit. Hal ini dilakukan karena darah dan cairan
tubuh yang terinfeksi atau mengandung penyakit dapat menularkan penyakit.
Prinsip kewaspadaan universal adalah menjaga kebersihan diri, kebersihan
ruangan,serta sterilisasi peralatan. Kegiatan pokok kewaspadaan universal ini
meliputi cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung
diantaranya sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah serta cairan
infeksius yang lain.
1) Cuci tangan
Mencuci tangan dengan baik merupakan unsur satu-satunya
yang penting dan efektif untuk mencegah penularan infeksi. Mencuci
tangan yang baik menggunakan air mengalir dan sabun yang digosok-
gosokan selama 15-20 detik. Kemudian tangan dikeringkan setelah
dicuci. Tujuan dari cuci tangan untuk menghilangkan kotoran dari kulit
secara mekanis.
Langkah mencuci tangan yang benar :
a) Telapak dengan telapak.
b) Telapak kanan diatas punggung tangan kiri dan telapak kiri diatas
punggung tangan kanan.
c) Telapak dengan telapak dan jari saling terkait.
d) Letakan punggung jari pada telapak satunya dengan jari saling
mengunci.
e) Jempol tangan digosok memutar oleh telapak kiri dan sebaliknya.
f) Jari kiri menguncup, gosok memutar ke kanan dan ke kiri pada
telapak kanan dan sebaliknya.

11
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan saat :
(1) Sebelum menjenguk orang sakit.
(2) Sesudah menjenguk orang sakit.
(3) Setelah terkena cairan tubuh orang yang sakit.
(4) Setelah menyentuh lingkungan sekitar orang yang sakit.
2) Pemakaian Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput
lendir kader dari terkena darah, cairan tubuh, dan kulit dari penderita
HIV/AIDS.
Alat pelindung diri terdiri dari :
a) Sarung tangan
Sarung tangan digunakan untuk melindungi tangan dari penularan
penyakit. Sarung tangan digunakan untuk melindungi tangan dari
penularan penyakit. Pemakaian sarung tangan diperlukan pada saat
ada kemungkinan kontak tangan dengan darah atau cairan tubuh
penderita HIV/AIDS, membran mukosa atau kulit yang terlepas,
melakukan prosedur yang invasif misalnya menusukkan sesuatu ke
dalam pembuluh darah, menangani bahan-bahan bekas pakai yang
telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang terinfeksi,
kontak dengan pasien yang dapat menularkan penyakit melalui kulit.
b) Masker
Untuk melindungi selaput lendir hidung, mulut selama melakukan
tindakan kepada pasien, agar tidak terkena percikan darah dan caran
tubuh lain.
c) Pakaian Pelindung
Untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi,
ekspirasi, ketika merawat orang yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular, petugas kesehatan harus mengenakan
gaun pelindung saat kontak dengan orang yang mempunyai penyakit
menular karena mungkin terpercik atau tersemprot darah, cairan
tubuh, sekresi , dan ekresi, pangkal sarung tangan harus menutupi
ujung lengan tangan sepenuhnya.
d) Apron/celemek
Untuk melindungi petugas dari kemungkinan percikan tubuh atau
cairan tubuh, petugas kesehatan harus menggunakan apron ketika
melakukan perawatan langsung pada pasien membersihkan pasien,
atau melakukan prosedur dimana ada risiko tumpahan darah, cairan
tubuh atau sekresi misalnya perawatan jenazah.
e) Pelindung Kaki
Untuk melindung kaki dari cidera akibat benda tajam atau benda
berat yang qmungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki sepatu
boot karet atau sepatu kulit tetutup memberikan lebih banyak
perlindungan, tetapi harus dijaga agar tetap bersih dan bebas
kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu

12
tidak diperlukan jika sepatu bersih.Langkah-langkah menggunakan
alat pelindung diri :
(a) Memakai kedua belah sepatu boot karet
(b) Memakai gaun pelindung
(c) Memakai apron plastik
(d) Memakai masker
(e) Memakai sepasang sarung tangan sebatas pergelangan tangan.

3) Tata Cara Memandikan Jenazah Penderita HIV/AIDS (ODHA)


a. Persiapan Sebelum Memandikan Jenazah
Petugas :
1) Tidak ada luka yang terbuka.
2) Luka kecil atau lecet dibalut dengan pembalut anti air.
3) Memakai peralatan pelindung diri : sarung tangan, masker, apron,
sepatu boot.
4) Petugas sebaiknya berjumlah maksimal 4 orang (paling sedikit 1
orang).
b. Tempat
1) Berdekatan dengan saluran pembuangan air atau parit
(permukaan tanah).
2) Jika ada parit, galilah serapan dengan ukuran 3x3 kaki atau 1x1
meter.
c. Tata Cara Memandikan Jenazah
1) Bersihkan rongga (mulut, telinga, hidung, dubur, kemaluan) atau
luka jenazah boleh dibersihkan dan disumbat dengan kapas yang
direndam.
2) Jenazah dimandikan mengikuti hukum islam (syariat).
3) Sekiranya perlu dibersihkan kembali rongga (mulut, telinga,
hidung, dubur, kemaluan) atau luka jenazah boleh dibersihkan
dan disumbat dengan kapas yang direndam.
4) Lap jenazah dengan kain yang bersih dan kering.
5) Sumbatkan kapas pada rongga (mulut, hidung, dubur, dan
kemaluan) atau luka.
d. Tindakan Setelah Memandikan Jenazah
1) Basuh tangan dengan sabun
2) Masukkan peralatan pelindung petugas ke dalam plastik sampah.
3) Bakar atau tanam sampah peralatan yang sudah digunakan.
4) Lantai tempat pemandian perlu dipel dengan klorin yang belum
dicampur.
5) Tempat pemanidan jenazah perlu dicuci dengan klorin yang
belum dicampur.
6) Tutup lubang pemandian atau serapan (jika ada).
e. Penguburan Jenazah
Petugas perlu memakai sarung tangan karet, jenazah dikuburkan
dengan cara biasa (membuka kafan pada muka), kapur klorin.

13
f. Setelah Penguburan Jenazah
Petugas dianjurkan untuk mandi dengan sabun.

2.6 Patofisiologi HIV


HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T – helper denganmelekatkan
dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral(jumlah virus dalam
tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleicacid) berubah menjadi viral
DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatuenzim yang disebut reverse transcriptase.
Viral DNA tersebut menjadi bagiandari DNA manusia, yang mana, daripada
menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus –
virus HI.Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentukvirus–
virus yang baru. Virus– virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas
dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Iniadalah sebuah proses
yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusaksistem kekebalan tubuh dan
meninggalkan tubuh menjadi mudah diserangoleh infeksi dan penyakit– penyakit
yang lain. Dibutuhkan waktu untukmenularkan virus tersebut dari orang ke
orang.Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untukmelawan
sel– sel yang terinfeksi dan mengantikan sel– sel yang telah hilang.Respons tersebut
mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.

Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah800–
1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel– selCD4+ T – nya
terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserangoleh infeksi– infeksi
oportunistik.Infeksi– infeksi oportunistik adalah infeksi – infeksi yang timbul
ketikasistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yangsehat
infeksi – infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi
seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.

2.7 Definisi Stigma HIV


Stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk
memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap
atau pandangan buruk (Kemenkes RI, 2013). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonsia mendefenisikan stigma sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi
seseorang karena pengaruh lingkungan. Secara etimologi stigma sendiri berarti tanda
atau cap buruk. Sedangkan dalam pandangan sosiologi yang lebih umum menurut
Kando dalam dalam Robert M. Page (1984:1) stigma dapat mengacu pada sifat yang
meragukan dan tidak pantas. United Nations Programme on HIV and AIDS
(UNAIDS) mendefinisikan stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri
negatif yang diberikan pada seseorang sehingga menyebabkan tindakan yang tidak
wajar dan tidak adil terhadap orang tersebut berdasarkan status HIV-nya.
UNAIDS adalah program pendukung utama untuk aksi global terhadap
epidemik HIV dan AIDS membedakan stigma dalam beberapa kategori, yaitu:
a) Stigma instrumental AIDS

14
Ketakutan atas hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan
menular. Maksudnya adalah stigma muncul akibat dari faktor penyebab dan
akibat dari HIV dan AIDS, sebagai contoh masyarakat memberi stigma pada
ODHA sebagai orang yang akan mati.
b) Stigma simbolis AIDS
Pengunaan HIV dan AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap
kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan
penyakit tersebut, seperti seseorang menjadi ODHA karena pergaulan pada
masa lalu yang suka berganti-ganti pasangan.
c) Stigma kesopanan AIDS
Hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV dan
AIDS atau orang yang positif HIV, seperti ODHA dikeluarkan dari tempat
kerja dengan tidak hormat.

Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang


memercayai bahwa penyakit AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral
yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Stigma terhadap ODHA (orang
dengan HIV/AIDS) tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang
berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Banyak yang
beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak mendapatkan
hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa
ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS
(Maman, S dkk., dalam Shaluhiyah, dkk., 2015). Hal inilah yang menyebabkan
orang dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi,
dan stigma karena penyakit yang diderita. Bentuk stigma yang banyak terjadi
seperti isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dalam
berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia
kerja, dan layanan kesehatan.
Stigma terhadap ODHA masih banyak terjadi dimasyarakat. Hal ini
terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan hampir separuh dari responden
(49,7%) memiliki sikap negatif terhadap ODHA (Shaluhiyah, dkk., 2015).
Bentuk stigma di antaranya tidak bersedia makan makanan yang disediakan
atau dijual oleh ODHA, tidak membolehkan anaknya bermain bersama dengan
anak HIV, tidak mau menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan
menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala
HIV/AIDS. Apabila terdapat ODHA dalam keluarga, mereka merasa takut
untuk tidur bersama dengan ODHA dan tidak bersedia merawat seperti
menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan makan,serta duduk dekat
dengan orang-orang terinfeksi HIV yang tidak menunjukkan gejala sakit
(Shaluhiyah, dkk., 2015).

2.8 Faktor-faktor terbetuknya Stigma HIV


Terbentuknya stigma dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:

15
a) Persepsi
Persepsi masyarakat terhadap ODHA memberikan pengaruh terhadap sikap dan
perilaku stigma. Wanita dan gadis remaja yang hidup dengan HIV/AIDS sering
dijauhi oleh keluarga dan teman sebaya, mereka (Shaluhiyah et al., 2015).
b) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah dapat mempengaruhi seseorang kurang pengetahuan
menyebabkan stigma dan diskriminasi yang banyak terjadi dikalangan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin sedikit perilaku
stigma dibanding dengan mereka yang berpendidikan dasar atau menengah lebih
banyak. menyimpan perilaku stigma dan diskriminasi (Lin et al., 2017). Seseorang
dengan tingkat pendidikan lebih kebanyakan dari mereka tinggal di perkotaan,
sehingga banyak terpapar informasi tentang HIV/AIDS dengan begitu
memungkinkan mereka lebih terpengaruh terhadap penerimaan diagnosis HIV
positif (Li & Sheng, 2014).
c) Usia
Perilaku stigma meningkat dengan bertambahnya usia (Lin et al., 2017).
Berdasarkan kelompok usia dari semua domain stigma yang dirasakan sangat
tinggi dialami oleh ODHA dewasa muda usia 20-29 tahun (Subedi et al., 2019).
d) Jenis Kelamin
Perempuan memiliki peringkat stigma yang lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki. Perempuan beresiko menerima stigma sehingga perempuan tidak pernah
melakukan pemeriksaan dibandingkan dengan laki-laki. (Lin et al., 2017). Selain
itu Stigma dan diskriminasi terkait gender dapat mengganggu kesehatan mental
dan mempengaruhi kesejahteraan hidup orang dengan HIV/AIDS (Logie et al.,
2018).
e) Ekonomi
Status ekonomi herhubungan dengan sebab dan akibat terhadap ODHA. Stigma
berat pada ODHA dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga yang rendah (F.
Maharani, 2017). Perempuan dengan HIV mengalami penolakan secara sosial,
dengan tingginya tingkat stigma eksternal yang diberlakukan dalam pengaturan
penidikan dan pekerjaan dapat berkontribusi pada status ekonomi yang rendah
karena adanya diskriminasi (Armstrong-mensah et al.. 2019).

2.9 Manajemen Askep HIV


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui
keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV
AIDS yaitu, demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis
lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan

16
lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan
tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida albicans, pembengkakan
kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes zoster berulang dan
bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien
akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks
dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi
HIV. Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga,
adanya keluarga bekerja di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK
(Pekerja Seks Komersial).

Pola aktivitas sehari-hari (ADL)


a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan
tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat
b. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang
cukup drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
d. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan
karena adanya gejala seperti demam dan keringat pada malam hari yang berulang.
Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami perubahan. Ada
beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini
disebabkan mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun
lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah.
f. Pola presepsi dan konsep diri

17
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi, dan
stres.
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat,
kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain
yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
h. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri
rendah.
i. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan
depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan
penyakit, yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.
j. Pola reproduksi seksual
Pada pasaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena
penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena
mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka.
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi
nilai dan kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal
penting dalam hidup pasien.

Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan
tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c. Vital sign : TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal Nadi : Terkadang
ditemukan frekuensi nadi meningkat Pernafasan :Biasanya ditemukan
frekuensi pernafasan meningkat Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh
menigkat karena demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB) TB : Biasanya
tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, pupil
isokor, reflek pupil terganggu.
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih
seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.

18
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada
pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas
(dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi
(lesi sarkoma kaposi).
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral
dingin.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium HIV dilakukan pada semua orang dengan gejala klinis yang
mengarah ke HIV/AIDS, dan dilakukan juga untuk menyaring HIV pada semua
remaja dan orang dewasa dengan peningkatan risiko infeksi HIV, dan semua
wanita hamil (Permenkes, 2014).

Diagnosa yang dapat ditegakkan dari kasus HIV/AIDS (SDKI, 2016)


a. Pola napas tidak efektif b.d. depresi pusat pernapasan, gangguan neurologis,
hambatan upaya napas (mis. nyeri).
b. Diare b.d. proses infeksi, stress tingkat tinggi dan terpapar toksin.
c. Gangguan mobilitas fisik b.d. kelemahan otot, tonus otot menurun.
d. Gangguan rasa nyaman b.d. gejala penyakit.
e. Nausea b.d. faktor psokologis (mis. kecemasan, ketakutan, stress), efek
toksin, efek agen farmakologis.
f. Nyeri Kronis b.d. kerusakan system saraf, gangguan fungsi metabolic,
kondisi pasca trauma, tekanan emosional.
g. Hipertermi b.d. dehidrasi, proses penyakit(mis. infeksi) , peningkatan laju
metabolism,respon trauma.
h. Keletihan b.d. peristiwa hidup negative, stress berlebihan, depresi.
i. Distres spiritual b.d. kondisi penyakit kronis, perubahan pola hidup,
pengasingan diri, pengasingan social, peningkatan ketergantungan terhadap
orang lain, gangguan sosio-kultural, kejadian tidak dihrapkan dalam hidup
j. Keputusasaan b.d. stress jangka panjang, penurunan fungsi fisiologis,
kehilangan kekuatan spiritual, pengasingan.
k. Harga diri rendah b.d. penyakit kronis
l. Gangguan pola tidur b.d. nyeri, dispnea, kecemasan
m. Pola seksual tidak efektif b.d. ketakutan akan penyakit menular seksual
3. Perencanaan Keperawatan
Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit dan setiap infeksi
oportunistik yang terjadi. Secara umum, tujuan pengobatan adalah untuk
mencegah sistem imun tubuh memburuk ke titik di mana infeksi oportunistik
akan bermunculan. Sindrom pulih imun atau Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome (IRIS) yang dapat muncul setelah pengobatan juga
jarang terjadi pada pasien yang belum mencapai titik tersebut.

19
Untuk semua penderita HIV/AIDS diberikan anjuran untuk istirahat sesuai
kemampuan atau derajat sakit, dukungan nutrisi yang memadai berbasis
makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV & AIDS, konseling
termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, dan membiasakan gaya hidup
sehat. Terapi antiretroviral adalah metode utama untuk mencegah perburukan
sistem imun tubuh. Terapi infeksi sekunder/oportunistik/malignansi diberikan
sesuai gejala dan diagnosis penyerta yang ditemukan. Sebagai tambahan,
profilaksis untuk infeksi oportunistik spesifik diindikasikan pada kasus-kasus
tertentu (Maartens G et al., 2014).
Prinsip pemberian ARV adalah menggunakan kombinasi 3 jenis obat yang
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering
disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 87 Tahun 2014
menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan
pada 5 aspek, yaitu efektivitas, efek samping/ toksisitas, interaksi obat,
kepatuhan, dan harga obat.(Permenkes, 2014).

Berdasarkan SDKI (2016), SIKI(2018) dan SLKI (2018)


No Diagnosa Luaran Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1. Pola napas tidak Pola napas Manajemen Jalan Napas
efektif  Berat badan Observasi
Defenisi :  Keseimbangan o Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
Inspirasi dan/atau asam-basa usaha napas)
ekspirasi yang tidak  Konservasi energi o Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling,
memberikan  Status neurologis mengi, wheezing, ronkhi kering)
ventillai adekuat  Tingkat keletihan o Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
 Tingkat nyeri Terapeutik
o Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
head-tiit dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
trauma servikal)
o Posisikan semi-fowler atau fowler
o Berikan minum hangat
o Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
o Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
o Lakukan hiperoksigen sebelum penghisapan
endotrakeal
o Keluarkan sumbatan benda padat dengan
forsep McGill
o Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi
o Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
tidak kontraindikasi

20
o Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu

Intervensi pendukung :
- Dukungan emosional
- Dukungan kepatuhan program pengobatan
- Dukungan ventilasi
- Edukasi pengukuran respirasi
- Konsultasi via telepon
- Manajemen energi
- Pemberian obat farmakologis
- Dll
2 Gangguan rasa Status kenyaman Manajemen nyeri
nyaman  Pola tidur Pengaturan posisi
Defenisi :  Tingkat agitasi Observasi
Perasaan kurang  Tingkat ansietas o Monitor status oksigenasi sebelum dan
senang, lega dan  Tingkat nyeri sesudah mengubah posisi
sempurna dalam  Tingkat keletihan o Monitor alat traksi agar selalu tepat
dimensi fisik,
Terapeutik
psikospiritual,
o Tempatkan pada matras/tempat tidur
lingkungan dan
terapeutik yang tepat
social
o Tempatkan pada posisi terapeutik
o Tempatkan objek yang sering digunakan
dalam jangkauan
o Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam
jangkauan
o Sediakan matras yang kokoh/padat
o Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak
kontraindikasi
o Atur posisi untuk mengurangi sesak (mis.
semi-fowler)
o Atur posisi yang meningkatkan drainage
o Posisikan pada kesejajaran tubuh yang tepat
o Imobilisasi dan topang bagian tubh yang
cedera dengan tepat
o Tinggikan bagian tubuh yang sakit dengan
tepat
o Tinggikan anggota gerak 20° atau lebih di atas
level jantung
o Tinggikan tempat tidur bagian kepala
o Berikan bantal yang tepat pada leher
o Berikan topangan pada area adema (mis.
bantal dibawah lengan atau skrotum)
o Posisikan untuk mempermudah
ventilisi/perfusi (mis. tengkurap/ good lung

21
down)
o Motivasi melakukan ROM aktif atau pasif
o Motivasi terlibat dalam perubahan posisi,
sesuai kebutuhan
o Hindari menempatkan pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
o Hindari menempatkan stump amputasi pada
posisi fleksi
o Hindari posisi yang menimbulkan ketegangan
pada luka
o Minimal gesekan dan tarikan saat mengubah
posisi
o Ubah posisi setiap 2 jam
o Ubah posisi dengan teknik log roil
o Pertahankan posisi dan integritas traksi
o Jadwalakn secara tertulis untuk perubahan
posisi

Edukasi
o Informasikan saat akan dilakukan perubahan
posisi
o Ajarkan cara menggunakan postur yang baik
dan mekanika tubuh yang baik selama
melakukan perubahan posisi

Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum
mengubah posisi, jika perlu

Terapi Relaksasi
Observasi
o Identifikasi penurunan tingkat energi,
ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejal
lain yang mengganggu kemampuan kognitif
o Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif digunakan
o Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
penggunaan teknik sebelumnya
o Priksa ketegangan oto, frekuensi nadi, tekanan
darah, dan suhu sebelum dan sesudah latihan
o Monitor respons terhadap terapi relaksasi

Terapeutik
o Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan suhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
o Berikan informasi tertulis tentang persiapan
dan prosedur teknik relaksasi
o Gunakan pakaian longgar

22
o Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambar dan berirama
o Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetic atau tindakan medis lain, jika
sesuai

Edukasi
o Jelaskan tujuan, manfaat, Batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam,relaksasi otot progresif)
o Jelaskan secara rinci intervensi keperawatan
o Anjurkan mengambil posisi nyaman
o Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
o Anjurkan sering mengulangi atau melatuh
teknik yang dipilih
o Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
(mis. napas dalam, peregangan, atau imajinasi)
Intervensi pendukung
- Dukungan hipnosis diri
- Dukungan pengungkapan kebutuhan
- Edukasi manajemen stress
- Edukasi manajemen nyeri
- Manajemen hipotermia
- Dll

3 Nyeri Kronis Manajemen nyeri


Defenisi : Observasi
Pengalaman o Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
sensorik atau frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
emosional yang o Identifikasi skala nyeri
berkaitan dengan o Identifikasi respons nyeri non verbal
kerusakan jaringan o Identifikasi faktor yang memperberat dan
actual atau memperingan nyeri
fungsional, dengan o Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
onset mendadak tentang nyeri
atau lambat dan o Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
berintensitas ringan nyeri
hingga berat dan o Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
konstan, yang o Monitor keberhasilan terapi komplementer
berlangsung lebih yang sudah diberikan
dari 3 bulan o Monitor efek samping penggunaan analgetic

Terapeutik
o Berikan teknik nonfarmokologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupuntur, terapi musik, biofeedback, terai
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)

23
o Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
o Fasilitasi isitrahat dan tidur
o Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi
o Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
o Jelaskan strategi meredakan nyeri
o Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
o Anjurkan menggunakan analgetic secara tepat
o Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Perawatan Kenyamanan
Terapi Relaksasi
Intervensi pendukung
- Aromaterapi
- Pemberian obat analgesic
- Konsultasi
- dll

4 Distres spiritual Status spiritual Dukungan spiritual


Defenisi :  Harapan Observasi
Gangguan pada  Kesadaran diri o Identifikasi perasaan khawatir, kesepian dan
keyakian atau  Prikospritual ketidakberdayaan
system nilai berupa  Resolusi berduka o Identifikasi pandang tentang hubungan antara
kesulitan merasakan  Status kenyamanan spiritual dan kesehatan
makna dan tujuan  Status koping o Identifikasi harapan dan kekuatan pasein
hidup melalui o Identifikasi ketaatan dalam beragama
 Tingkat depresi
hubungan dengan
Terapeutik
diri, orang lain,
o Berikan kesempatan mengekspresikan
lingkungan atau
perasaan tentang penyakit dan kematian
tuhan
o Berikan kesempatan mengekspresikan dan
meredakan marah secara tepat
o Yakinkan bahwa perawat bersedia mendukung
selama masa ketidakberdayaan
o Sediakan privasi dan waktu tenang untuk
aktivitas spiritual
o Diskusikan keyakinan tentang makna dan
tujuan hidup, jika perlu
o Fasilitasi melakukan kegiatan ibadah

Edukasi

24
o Anjurkan berinteraksi dengan keluarga, teman,
dan/atau orang lain
o Anjurkan berpartisipasi dalam kelompok
pendukung
o Ajarkan metode relaksasi, meditasi, dan
imajinasi terbimbing

Kolaborasi
o Atur kunjungan dengan kerohaniawan (mis.
ustadz, pendeta, romo, biksu)

Promosi koping
Intervensi pendukung
- Dukungan emosional
- Dukungan memaafkan
- Mediasi konflik
- Dll

5 Pola seksual tidak Edukasi seksualitas


efektif Observasi
Defenisi : o Identifikasi kesiapan dan kemampuan
Kekhawatiran menerima informasi
individu melakukan
Terapeutik
hubungan seksual
o Sediakan materi dan media Pendidikan
yang berisiko
kesehatan
menyebabkan
o Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
perubahan
kesepakatan
kesehatan.
o Berikan kesempatan untuk bertanya
o Fasilitasi kesadaran keluarga terhadap
anak dan remaja serta pengaruh media

Edukasi
o Jelaskan anatomi dan fisiologi system
reproduksi laki-laki dan perempuan
o Jelaskan perkembangan seksualitas
sepanjang siklus kehidupan
o Jelaskan perkembangan emosi masa anak
dan remaja
o Jelaskan pengaruh tekanan kelompok dan
sosial terhadap aktivitas seksual
o Jelaskan konsekuensi negative mengasuh
anak padda usia dini (mis. kemiskinan,
kehilangan karir dan pendidikan)
o Jelaskan risiko tertular penyakit menular
seksual dan AIDS akibat seks bebas
o Anjurkan orang tua menjadi educator
seksualitas bagi anak-anaknya
o Anjurkan anak/remaja tidak melakukan

25
aktivitas seksual di luar nikah
o Ajarkan keterampilan komunikasi asertif
untuk menolak tekanan teman sebaya dan
sosial dalam aktivitas seksual

Konseling seksual

Intervensi pendukung
- Edukasi komunikasi efektif
- Edukasi penggunaan alat kontrasepsi
- Manajemen stress
- dll

26
BAB III

PENUTUP

1.3 Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menginfeksi sel
darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena turunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.
Cara penularan HIV/AIDS: Hubungan seksual, Transfusi darah, Penggunaan jarum
suntuk, dan Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya (Antenatal, Intranatal, Postnatal).
Banyak orang dengan HIV tidak tahu kalau mereka terinfeksi. Hal ini karena gejala dan
tanda-tanda HIV/AIDS pada tahap awal sering kali tidak menimbulkan gejala berat.
Infeksi HIV hingga menjadi AIDS terbagi menjadi 3 fase, yaitu: Fase pertama (Infeksi
HIV Akut), Fase kedua (fase laten HIV), Fase ketiga (AIDS). Menurut Badan Besar
Pelatihan Kesehatan (BPPK, 2012) pencegahan HIV/AIDS yaitu : a.) Pencegahan
Penularan Melalui Hubungan Seksual dengan cara: Abstinence (pantang), Be faithful
(setia), Using Condom (Menggunakan Condom). b.) Pencegahan Penularan Melalui
Darah: Drug, Equipment. c.) Pencegahan Penularan dari Ibu kepada anak. d.)
Kewaspadaan Universal: Cuci tangan, Pemakaian Alat Pelindung Diri (Sarung tangan,
Masker, Pakaian Pelindung, Apron/celemek, Pelindung Kaki).
Stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan
atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk
(Kemenkes RI, 2013). United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS)
mendefinisikan stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri negatif yang
diberikan pada seseorang sehingga menyebabkan tindakan yang tidak wajar dan tidak adil
terhadap orang tersebut berdasarkan status HIV-nya. Terbentuknya stigma dipengaruhi
faktor-faktor sebagai berikut: Persepsi, Tingkat Pendidikan, Usia, Jenis Kelamin,
Ekonomi.

3.2 Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
Demikian terima kasih atas perhatiannya.

27
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, M. Y. R. (2018). TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP MASYARAKAT


TERHADAP PRAKTIK PENCEGAHAN HIV/AIDS PASCA DISEMINASI
KADER DESA WARU (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Semarang).
Kenali Tanda-tanda HIV AIDS. (2018). Diakses pada 20 Februari 2022, dari
https://www.rsannisa.co.id/artikel/kesehatan/Kenali%20Tanda-
tanda%20HIV%20AIDS
Paryati, T. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA
(Orang dengan HIV/AIDS) oleh petugas kesehatan: kajian literatur. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defenisi dan indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Interviensi Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Pusdatin.kemenkes.go.id. (2020, 11 September). Infodatin 2020 HIV. Diakses pada 22
Februari 2022, dari
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
2020-HIV
Rampengan, T. (1995). Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.
Rs-soewandhi.surabaya.go.id. (2021, 1 Desember). Gejala, Pengobatan, dan Pencegahan
HIV/AIDS. Diakses pada 20 Februari 2022, dari https://rs-
soewandhi.surabaya.go.id/gejala-pengobatan-dan-pencegahan-hiv-aids
Shaluhiyah, Z., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2015). Stigma masyarakat terhadap orang
dengan HIV/AIDS. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public
Health Journal), 9(4), 333-339
Tristanto, A. (2020). Pusat Penyuluhan Sosial. Stigma Terhadap Orang Dengan HIV dan AIDS
(ODHA)

28
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga Medical Series

29

Anda mungkin juga menyukai