Anda di halaman 1dari 9

EVIDENCE BASED PRACTICED

EFEKTIFITAS PEMBERIAN EDUKASI BREASTFEEDING PADA IBU


DENGAN ANAK GASTROENTERITIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah stase Keperawatan Anak
Program Profesi Ners Angkatan XXXVIII

Oleh:
RENA SAPITRI
220112190040

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVIII


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Diare merupakan salah satu penyakit dengan insidensi tinggi di dunia dan
dilaporkan terdapat hampir 1,7 milyar kasus setiap tahunnya. Penyakit ini sering
menyebabkan kematian pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Diare masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia karena memiliki
insidensi dan mortalitas yang tinggi. Cara penularan diare dikenal dengan istilah 4F, yaitu
finger, flies, fluid, field (Subagyo & Santoso, 2012). Yaitu dapat terjadi dengan cara
fekal-oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen,
kontak tangan langsung dengan penderita, barang-barang yang telah tercemar tinja
penderita atau secara tidak langsung melalui lalat. Adapun faktor resiko yang dapat
meningkatkan penularan enteropatogen diantaranya adalah tidak memberikan ASI secara
penuh pada bayi usia 4-6 bulan, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air
oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan, kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk,
penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis, serta cara penyapihan yang
tidak baik (Subagyo & Santoso, 2012).
Pemberian ASI ini sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang dan
kesehatan bayi. Diantaranya ada beberapa manfaat ASI bagi bayi yaitu untuk memenuhi
seluruh kebutuhan nutrisi bayi, meningkatkan kecerdasan bayi, meningkatkan daya tahan
tubuh bayi, dan mencegah serangan penyakit pada bayi. Selain bermanfaat untuk bayi,
pemberian ASI juga memiliki manfaat untuk Ibu diantaranya yaitu membantu
mempercepat pemulihan rahim pasca persalinan, kontrasepsi alami, membantu
menurunkan resiko ibu mengalami depresi pasca melahirkan, serta menurunkan resiko
ibu terserang penyakit. Dalam pemberian ASI, hendaknya ibu memperhatikan kebersihan
payudaranya terlebih dahulu dengan cara melakukan perawatan payudara. Karena,
payudara akan langsung bersentuhan dengan membran mukosa bayi yang mana langsung
menyalurkan asupan nutrisi pada bayi. Maka bisa diperkirakan apa yang akan terjadi
apabila payudara ibu tidak terawat kebersihannya.
Fenomena yang ditemukan di rumah sakit yaitu banyak ibu-ibu yang menemani
anaknya yang dirawat selama berhari-hari bahkan ada yang sampai berbulan-bulan diam
di rumah sakit, tanpa memperhatikan personal hygiene-nya sendiri, namun tetap
menyusui anaknya secara langsung. Selama di rumah sakit, para ibu ada yang berhari-
hari tidak mandi, otomatis payudaranya juga tidak dibersihkan, kemudian ada juga yang
berhari-hari tidak mengganti pakaiannya, bisa dipastikan bra yang ia gunakan pun sudah
berhari-hari tidak diganti bisa diperkirakan ada berapa banyak bakteri yang terdapat pada
pakaiannya. Sedangkan, para ibu tersebut sedang berada dalam lingkungan rumah sakit,
lingkungan yang sudah dipastikan banyak sekali bakteri, virus, dan sejumlah
mikroorganisme bertebaran. Tetapi dalam hal menyusui mereka tidak terlalu
memperhatikan kebersihan payudaranya. Selain kebersihan payudara, kebersihan
tangannya pun dipertanyakan, banyak ditemukan ibu-ibu yang menyusui anaknya tanpa
cuci tangan terlebih dahulu, bisa jadi dari tangan tersebut terpapar beberapa
mikroorganisme berbahaya yang langsung menempel ke payudara, kemudian dihisap
langsung oleh bayi maka tidak menutup kemungkinan bayi juga akan terkena infeksi.
Oleh karena itu, diperlukan adanya paparan informasi kepada para ibu agar lebih
memperhatikan kebersihan payudaranya. Selain kebersihan, terdapat juga segelintir ibu
yang belum mengetahui tentang cara menyusui yang tepat. Dalam hal ini, bisa dilakukan
pemberian pendidikan kesehatan kepada ibu agar pemberian ASI berjalan dengan tepat
dan memberikan manfaat dengan semestinya, dan bukan menjadi mediator penularan
infeksi kepada bayi yang masih rentan terhadap segala paparan karena daya kekebalan
tubuh yang mereka miliki belum sekuat pada orang dewasa.
BAB II
ANALISIS JURNAL

Jurnal ini didapatkan melalui Google Scholar dengan memasukkan kata kunci
berupa ‘’efektivitas pemberian ASI pada anak Diare’’, kemudian dipilih satu jurnal
terbaru yaitu yang berjudul ‘’Perbedaan Efektifitas Pemberian ASI dan Susu Formula
Rendah Laktosa terhadap Durasi Penyembuhan Gastroenteritis Akut pada Anak Usia 2-
12 Bulan’’.
World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund
(UNICEF) merekomendasikan pemberian nutrisi yang optimal bagi bayi baru lahir yakni
melalui strategi global pemberian ASI eksklusif selama enam bulan (WHO, 2009).
America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
kepada bayi selama minimal 6 bulan dan dapat dilanjutkan minimal sampai bayi berusia
12 bulan (Perry et al., 2010). ASI merupakan nutrisi terbaik yang secara khusus ditujukan
bagi bayi baru lahir karena mengandung berbagai komponen antibodi, nutrisi yang
lengkap dan mudah dicerna oleh bayi baru lahir dibandingkan dengan susu formula.
(Perry et al., 2010). Menurut Center of Disease Control and Prevention Pediatric
Nutrition Surveilance System, 2004 pemberian ASI bagi bayi baru lahir dapat membantu
proses maturasi saluran pencernaan.
Berbicara masalah sistem pencernaan, penyakit yang sering terjadi pada bayi dan
anak dalam sistem pencernaanya yaitu Gastro Enteritis Akut (GEA). Gastro enteritis akut
adalah dimulai dengan keluarnya tinja yang cair tanpa terlihat adanya darah dan berakhir
dalam 14 hari dan biasanya kurang dari 7 hari. Pada anak yang mengalami diare, maka
akan terjadi kehilangan cairan tubuh yang banyak bahkan bisa menyebabkan kematian.
Untuk mengatasi penyakit diare unsur terpenting adalah dengan penyediaan terapi
rehidrasi oral dan terus menyusui. Penggunaan antimikroba hanya untuk anak dengan
diare berdarah, kasus kolera yang parah, atau infeksi non-usus serius.
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam hal ini, balita khususnya bayi berusia < 6 bulan lebih baik diberikan ASI
secara eksklusif, namun tidak sedikit juga ibu yang memmilih untuk memberikan susu
formula. Pemberian ASI memiliki segudang manfaat diantaranya yaitu untuk
meningkatkan kadar enzim pencernaan, dimana ASI mengandung Laktosa dan juga
enzim yang bisa membantu untuk mencerna Laktosa, sedangkan susu formula tidak.
Laktosa ini apabila beredar di usus besar, maka tekanan osmotik yang lebih tinggi akan
menarik molekul air yang ada di usus besar, sehingga jumlah kadar air di usus besar akan
bertambah, akibatnya feses akan berbentuk lebih cair. Dalam ASI juga terdapat
Laktoferin, yaitu protein yang terikat dengan zat besi yang berfungsi untuk menghambat
pertumbuhan kuman penyebab diare, Staphilokokus dan E.coli, dengan cara mengikat zat
besi sehingga kuman tidak mendapat zat besi yang dibutuhkan untuk kuman berkembang
biak. Pemberian ASI juga bisa meningkatkan kandungan lisozym, dan telah diteliti bahwa
kandungan lisozym ASI mencapai 300 kali kadar lisozym yang ditambahkan pada susu
sapi. Lisozym ini sendiri berperan penting dalam memecah dinding bakteri, sehingga
membantu mengatasi diare pada bayi (Santi, 2017).
Diare akibat kuman E.Coli dapat diikuti dengan lactose intolerance atau
penolakan terhadap zat lactose (lactoglobulin) yang biasanya terdapat pada susu formula,
kadar laktosa akan menambah beratnya diare. Apabila anak mengkonsumsi susu formula
maka segera hentikan susu formula tersebut dan diganti dengan susu kedelai atau susu
rendah laktosa atau bahkan yang bebas laktosa yang dikenal dengan formula low lactose
atau free lactose (Santi, 2017). Dikarenakan peran ASI sangat besar pada pencegahan dan
penanggulangan diare pada bayi dan balita, para praktisi kesehatan merekomendasikan
agar pemberian ASI ditingkatkan selama masa diare, dan tidak perlu dihentikan,
sekalipun dikatakan ASI banyak mengandung laktosa.
Anjuran bagi ibu adalah untuk tetap menyusui anaknya menggunakan ASI, tidak
sedikit juga ibu yang lebih memilih susu formula dibanding ASI. Efikasi diri ibu
menyusui merupakan faktor penting dalam durasi menyusui karena mampu memprediksi
apakah ibu akan memilih untuk menyusui bayinya atau tidak, berapa banyak usaha yang
dilakukan ibu untuk menyusui bayinya, bagaimana pola pikir untuk menyusui bayinya,
meningkat atau menyerah, dan bagaimana tanggapan emosional seorang ibu dalam
menanggapi kesulitan untuk menyusui bayinya (Vidayanti & Wahyuningsih, 2017).
Faktor yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian ASI eksklusif adalah
kurangnya pengetahuan tentang kolostrum dan ASI eksklusif, kurangnya motivasi
memberikan ASI, kurangnya kampanye ASI dan peranan petugas kesehatan kurang
maksimal, tidak ada program postnatal education karena menganggap menyusui adalah
hal biasa. Dengan comprehensive breastfeeding maka diharapkan dapat mendukung
keberhasilan program ASI eksklusif. Keberhasilan menyusui ditentukan beberapa faktor,
salah satunya adalah peranan petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan
tentang breastfeeding.
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa comprehensive breastfeeding
efektif dalam meningkatkan keberhasilan ibu dalam menyusui bayinya. Perubahan
perilaku kesehatan dapat diprediksi berdasarkan pemikiran dan dampak kesehatan
terhadap perilakunya. Teori ini sesuai apabila diterapkan pada program preventif,
promosi kesehatan, dan modifikasi gaya hidup yang tidak sehat bagi orang yang memiliki
perilaku berisiko. Kemampuan ibu dalam menyusui terjadi peningkatan dari sebelum
intervensi dan setelah dilakukannya intervensi. Responden yang mendapatkan intervensi,
melanjutkan menyusui bayi sampai sepuluh hari setelah intervensi dilakukan. Dengan
dilakukannya comprehensive breastfeeding, maka petugas kesehatan dapat memberikan
pengetahuan mengenai cara menyusui dan seluk beluk ASI serta langkah-langkah dalam
menyusui dan perlekatan yang benar, sehingga dapat meminimalisir terjadinya masalah-
masalah personal yang sering terjadi pada ibu postpartum (Nurbaeti & Lestari, 2013).
Langkah menyusui terdiri dari sepuluh item yaitu mencuci tangan sebelum dan
setelah menyusui, meletakkan bayi secara benar, mengeluarkan ASI dan mengoleskan
pada puting susu, teknik menstimulasi bayi agar mau menyusu, cara melepaskan mulut
bayi dari puting susu, dan menyendawakan bayi setelah menyusu. Langkah menyusui
yang benar akan menentukan keberhasilan dan kesuksesan seorang ibu dalam menyusui
bayinya sehingga akan memenuhi kecukupan nutrisi bayinya. Langkah menyusui
dilakukan dengan cara melakukan observasi terhadap kemampuan ibu melaksanakan
tahapan menyusui dengan benar. Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata langkah
menyusui sebelum intervensi sebesar 48,18% benar dilakukan. Sisanya lebih dari
sebagian (51,82%) tidak dilakukan atau dilakukan tetapi tidak benar (Nurbaeti & Lestari,
2013). Seluruh responden ternyata tidak melakukan cuci tangan sebelum dan setelah
menyusui, dan sebagian besar responden tidak menyendawakan bayinya setelah
menyusui, teknik untuk menempatkan bayi pada areola juga masih banyak yang tidak
tepat.
Selain itu, perlekatan yang tidak benar akan menyebabkan bayi mengalami
masalah dalam menyusui, seperti kesulitan menghisap susu dengan efisien dan masalah
pada ibu seperti puting luka, belah atau berdarah, dan masalah-masalah lainnya. Tanda-
tanda perlekatan yang benar adalah bayi tampak tenang dan meneguk berirama (terlihat
dari rahangnya), badan bayi menghadap perut ibu, mulut bayi terbuka lebar, dagu bayi
menempel pada payudara ibu, sebagian besar areola bagian bawah masuk ke dalam mulut
bayi, bibir bawah bayi ke arah luar, bayi nampak menghisap kuat dengan irama perlahan,
sesekali berhenti menghisap, puting susu ibu tidak terasa nyeri atau tidak sakit, telinga
dan bahu bayi terletak pada satu garis lurus, dan kepala bayi agak menengadah (Nurbaeti
& Lestari, 2013).
Berdasarkan fenomena yang terjadi yaitu pada pasien bayi 4 bulan yang
mengalami Gasatroenteritis Kronik, hendaknya sebelum terjadi keparahan penyakit
kronik, ibu bisa mengatasi diare anak dengan cara meningkatkan asupan ASI pada bayi.
Apabila bayi pada awalnya diberi susu formula, maka bisa dihentikan terlebih dahulu dan
diagnti oleh pemberian ASI, atau pemberian susu formula dengan free lactose. Karena
berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat perbedaan efektifitas pemberian ASI dan
susu formula rendah laktosa terhadap durasi penyembuhan GEA pada anak usia 2-12
bulan. Maka dapat diintervensikan untuk mengatasi anak dengan Gastro enteritis akut
(GEA) ini bisa dengan memberikan cairan rehidrasi berupa asupan ASI yang lebih
ditingkatkan.
Selain itu, untuk menumbuhkan dan/atau meningkatkan pengetahuan ibu dalam
cara menyusui dengan benar yaitu bisa dilakukan dengan pemberian pendidikan
kesehatan comprehensive breastfeeding, yang hasilnya cukup efektif dalam
meningkatkan pengetahuan ibu dan langkah menyusui dengan benar. Sehingga ibu
dengan pemikiran yang lebih memilih susu formula dibanding dengan ASI karena faktor
pernah mengalami kegagalan sebelumnya dapat lebih termotivasi lagi dengan pemberian
edukasi cara menyusui dengan benar.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa penanganan pertama untuk diare dapat
diatasi langsung oleh ibu sebelum ke pelayanan kesehatan, yaitu dengan pemberian ASI
yang lebih ditingkatkan. Hal ini efektif untuk menekan diare akut supaya tidak menjadi
kronik. Selain itu, dalam hal menyusui juga ibu memiliki banyak pertimbangan efikasi
diri. Sehingga, perlu adanya pemberian edukasi untuk menunjang pemaparan informasi
bagi ibu dalam cara memberikan ASI yang tepat. Dalam beberapa jurnal ini terdapat
beberapa kekurangan, sehingga untuk ke depannya diharapkan dapat lebih diperinci
terkait efektivitas pemberian edukasi breastfeeding mengenai perlekatan bayi pada saat
menyusu. Selain itu juga, dalam hal mengatasi diare dengan pemberian ASI yang lebih
ditingkatkan itu tidak jelas frekuensi dan kuantitas dari ASI itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Nurbaeti, I., & Lestari, K. B. (2013). Efektivitas comprehensive breastfeeding education


terhadap keberhasilan pemberian air susu ibu postpartum. Jurnal Keperawatan
Padjadjaran.
Santi, D. E. (2017). Perbedaan efektifitas pemberian asi dan susu formula rendah laktosa
terhadap durasi penyembuhan gastro enteritis akut pada anak usia 2-12 bulan.
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 79-85.
Vidayanti, V., & Wahyuningsih, M. (2017). Efektifitas efikasi diri dan kemampuan
menyusui ibu pasca bedah besar. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 154-
162.

Anda mungkin juga menyukai