Anda di halaman 1dari 16

MEMBANGUN KEMANDIRIAN ANAK JALANAN DENGAN

KETERAMPILAN BERBASIS SAMPAH DI KOTA PONTIANAK

Lomba Karya Tulis Ilmiah


CABA UKM PP LISMA UNTAN

Disusun oleh:

Nama Ketua : RAHMAN AZIS NIM : D1021181095

Nama Anggota : LINDAWATI NIM :

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2019

1
KATA PENGANTAR

2
DAFTAR ISI

3
RINGKASAN

Kota Pontianak adalah salah satu kota besar di Kalimantan Barat, pusat
aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Perkembangan pesat di Pontianak ini
membuat mereka yang tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang cukup menjadi belum beruntung sehingga harus menjadi pengamen dan
mengemis yang sering kali kita temui di jalanan besar Pontianak. Beberapa anak
usia sekolah yang seharusnya mengenyam pendidikan namun harus menjadi
pengemis, berjualan koran, dan mengamen.

Realita yang terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia benar-benar


membuat saya miris. Kejahatan terjadi dimana-mana, termasuk yang paling
menyita perhatian kita adalah masalah sosial yang menimpa anak-anak. Kekerasan
terhadap anak baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi momok yang
nyata.

Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah
singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli
1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang
bersifat non formal, dimana anak- anak bertemu untuk memperoleh informasi dan
pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut.
Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan sebagai
media perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka.

Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang
berbentuk padat. Menurut kamus lingkungan sampah diistilahkan sebagaibahan
yang tidak mempunyai nilai dan tidak berharga untuk maksud biasa atauutama
dalam pembikinan atau pernakaian barang rusak atau bereacat dalam materi
berlebihan atau ditolak atau dibuang. Masyarakat Kota Pontianak memiliki
kebiasaan membuang sampah di Sungai, Parit dan Selokan, sehingga dapat
mencemari lingkungan perairan.

4
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kota Pontianak adalah salah satu kota besar di Kalimantan Barat, pusat
aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Perkembangan pesat di Pontianak ini
membuat mereka yang tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang cukup menjadi belum beruntung sehingga harus menjadi pengamen dan
mengemis yang sering kali kita temui di jalanan besar Pontianak. Beberapa anak
usia sekolah yang seharusnya mengenyam pendidikan namun harus menjadi
pengemis, berjualan koran, dan mengamen.

Kekerasan terhadap anak (fisik, psikis, dan seksual) dapat membawa dampak
permanen dan berjangka panjang. Karena itu, penanggulangannya perlu
disegerakan, mulai dari sekarang! Secara yuridis formal, perintah melindungi anak-
anak dari kekerasan sudah diamanatkan UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada pasal 13 yang menyebutkan bahwa “Setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan,
diskriminasi eksploitasi, baik ekonomi maupun seks, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya” dan pada
pasal 1 disebutkan bahwa ”orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah
dan/atau ibi tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat”. Bahkan, Pasal 28B ayat 2 UUD
1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi (Rangkuti, 2007).

Realita yang terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia benar-benar


membuat saya miris. Kejahatan terjadi dimana-mana, termasuk yang paling
menyita perhatian kita adalah masalah sosial yang menimpa anak-anak. Kekerasan
terhadap anak baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi momok yang
nyata.

5
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang
berbentuk padat. Menurut kamus lingkungan sampah diistilahkan sebagaibahan
yang tidak mempunyai nilai dan tidak berharga untuk maksud biasa atauutama
dalam pembikinan atau pernakaian barang rusak atau bereacat dalam materi
berlebihan atau ditolak atau dibuang. Masyarakat Kota Pontianak memiliki
kebiasaan membuang sampah di Sungai, Parit dan Selokan, sehingga dapat
mencemari lingkungan perairan.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah
dalam karya tulis ini adalah :
a. Bagaimana kondisi anak jalanan?
b. Solusi apa saja yang pernah ditawarkan dalam menyelesaikan masalah anak
jalanan
c. Bagaimana kondisi anak jalanan yang mendukung ketercapain tujuan?
d. Strategi apa saja yang digunakan untuk mencapai tujuan?
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk menemukan solusi yang tepat
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh anak jalanan di Kota
Pontianak dengan memberikan pelatihan pembuatan produk dari limbah
industri tekstil dan sampah plastik serta pelatihan enterpreneur untuk pemasaran
produk yang dihasilkan.

1.4 Manfaat penulisan


Manfaatnya adalah perbaikan kehidupan anak jalanan baik dari segi ekonomi
maupun segi pendidikannya, disamping itu dengan memberikan keterampilan
pada anak jalanan dengan memanfaatkan limbah industri dari pabrik tekstil dan
sampah plastik disekitar, akan membantu dalam mengurangi jumlah limbah
industri dan sampah di Kota Pontianak dan memberikan dampak positif pada
lingkungan. Selanjutnya untuk membentuk generasi pekerja keras yang
berakhlak mulia melalui pembekalan agama dan penanaman budi pekerti.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat
stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah “grassroots” dengan
status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas.
Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan
untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004).

Realita yang terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia benar-benar


membuat saya miris. Kejahatan terjadi dimana-mana, termasuk yang paling
menyita perhatian kita adalah masalah sosial yang menimpa anak-anak. Kekerasan
terhadap anak baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi momok yang
nyata. Karenanya, tidaklah sesuai jika kekerasan terhadap anak dianggap urusan
internal keluarga yang tidak boleh diusik oleh masyarakat, Pemerintah, dan
penegak hukum.

Kekerasan terhadap anak (fisik, psikis, dan seksual) dapat membawa


dampak permanen dan berjangka panjang. Karena itu, penanggulangannya perlu
disegerakan, mulai dari sekarang! Secara yuridis formal, perintah melindungi anak-
anak dari kekerasan sudah diamanatkan UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada pasal 13 yang menyebutkan bahwa “Setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan,
diskriminasi eksploitasi, baik ekonomi maupun seks, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya” dan pada
pasal 1 disebutkan bahwa ”orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah
dan/atau ibi tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat”. Bahkan, Pasal 28B ayat 2 UUD
1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi (Rangkuti, 2007).

Kota Pontianak adalah salah satu kota besar di Kalimantan Barat, pusat
aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Perkembangan pesat di Pontianak ini

7
membuat mereka yang tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang cukup menjadi belum beruntung sehingga harus menjadi pengamen dan
mengemis yang sering kali kita temui di jalanan besar Pontianak. Beberapa anak
usia sekolah yang seharusnya mengenyam pendidikan namun harus menjadi
pengemis, berjualan koran, dan mengamen.

Karena sebagian anak yang bekerja dijalanan tidak mendapatkan


pendidikan formal sebagai mana mestinya. Ini berarti mereka kurang pembekalan
untuk masa depan, yang justru terjadi adalah mereka banyak belajar tentang
kekerasan dan kejahatan yang lazim terjadi dijalanan. Seperti mencuri, berkata
kasar, bahkan ada yang membunuh. Hal ini tidak bisa dianggap remeh karena
menyangkut masa depan anak dan masa depan bangsa yang perlu dipersiapkan
dengan matang dari sekarang. Pada hakekatnya manusia termasuk juga anak jalanan
mempunyai keinginan untuk bermasyarakat dan menjadi satu dengan sesama
anggota (Kolopaking, 2003).

Seperti yang kita semua tahu bahwa anak-anak merupakan aset bangsa yang
sangat berharga, anak-anak berperan sebagai estafet bagi kepemimpinan suatu
bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa.
Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan
sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia
yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Karena itu
masalah anak adalah masalah yang benar- benar harus kita selesaikan bersama.

Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan


rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada
bulan juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan
sementara yang bersifat non formal, dimana anak- anak bertemu untuk memperoleh
informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih
lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan
sebagai media perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu
mereka.

8
Pemerintah sebagai pemegang keputusan tertinggi telah melakukan upaya
Bantuan Pangan. Dengan hadirnya sembako murah, sedikit banyak mesyarakat dari
keluarga tidak mampu merasa diringankan untuk memenuhi kebutuhannya(
Kompas, 20 januari 2003). Di bidang Pendidikan pemerintah juga telah
menggalangkan program wajib belajar dua belas tahun dengan didanai oleh
pemerintah dengan Program Indonesia Pintar (PIP) pada Kartu Indonesia Pintar
(KIP) sehingga biaya yang diperlukan untuk sekolah dapat diringankan bahkan
bebas biaya sekolah serta dapat uang tunjangan.

Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh
pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika
dikelola dengan prosedur yang benar (Panji Nugroho, 2013). Sampah sebagai suatu
benda yang tidak digunakan atau tidak dikehendaki dan harus dibuang,yang
dihasilkan oleh kegiatan manusia. Sedangkan Menurut definisi World Health
Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai,
tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan
tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2006).
Permasalahan sampah merupakan hal yang krusial (sulit erselesaikan). Bahkan,
dapat diartikan sebagai masalah kultural/kebiasaan karena dampaknya mengenai
berbagai sisi kehidupan, terutama di kota besar. Kepala Bidang Revitalisasi
Lingkungan dan Pengembangan, Dinas Lingkungan Hidup Kota Pontianak
mengatakan, berdasarkan perhitungan perkiraan dari volume armada angkut
sampah yang ada, jumlah produksi sampah di Kota Pontianak mencapai kurang
lebih 400 ton per hari (Pontianak SP, 2018)

9
BAB III

METODE PENULISAN
Melakukan pendekatan terhadap orang tua dan anak-anak jalanan yang
berusia 6-12 tahun agar mendapat kepercayaan mereka supaya gagasan ini dapat
direalisasikan. Tidak mudah untuk mendapat kepercayaan itu, mungkin saja
dianggap sebagai komplotan penjual anak atau orang yang berniat jahat pada anak
jalanan. Karena itulah kerja sama dengan pemerintah perlu dilaksanakan, selain
pemerintah perlu ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendukung
gagasan ini dan menjadi penanggung jawab saat kegiatan dilaksanakan. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipilih mesti LSM yang telah dipercaya oleh
masyarakat setempat atau LSM yang memang bergerak dibidang pemberdayaan
anak jalanan.

Karena keterampilan yang diberikan membutuhkan potongan kain hasil


limbah pabrik tekstil dan sampah plastik, maka perlu adanya kerja sama dengan
pabrik tekstil dan pemulung sebagai pemasok bahan baku. Pabrik yang dipilih
adalah pabrik yang benar-benar mendukung gagasan ini dan memiliki tujuan sama
agar tidak ada permasalahan yang timbul dikemudian hari.

Gagasan ini akan di mulai dari kelompok kecil yang berjumlah antara 15-
20 anak. Anak-anak jalanan akan dilatih dan hasil penjualan akan disimpan sebagai
kas dan akan dibagikan pada mereka setelah uang yang dikumpulkan cukup bagi
mereka untuk memulai usahanya sendiri dengan bekal pengetahuan wirausaha yang
diberikan pada mereka. Setelah anggota kelompok ini menguasai keterampilan
yang diberikan, mampu menguasai pengetahuan entrepreneur, dan tabungan yang
dimiliki anggota dari hasil penjualan produk mencukupi mereka dapat membuka
bidang usaha sendiri dan memberi pekerjaan pada anak jalanan lainnya. Dengan
demikian akan ada regenerasi dalam pelaksanaan gagasan ini dan tidak terpusat
pada satu perkumpulan anak jalanan saja.

10
BAB IV

PEMBAHASAN
Kondisi Anak Jalanan

Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat


stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah “grassroots” dengan
status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas.
Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan
untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004).

Dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 menyebutkan bahwa, “fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung
jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak
jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama
dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, dan UUD 1945 mengakui adanya
hak dasar hak asasi manusia. Hal ini selaras dengan UU No.39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Pasal 6 ayat 1, bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Karena salah satu tujuan penyelenggaraan
pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan watak yang berbudi luhur.
Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan pada tahun 1999
yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan
dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 orang, yang
tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar 98.113
orang, yang tersebar di 30 provinsi.
Anak-anak yang hidup dijalanan sangat rentan mendapat perlakuan
kekerasan dan eksploitasi. Sudah menjadi hukum di jalanan, siapa yang kuat
merekalah yang menang. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan
dan kemanjaan, namun tidak dengan mereka yang harus terpaksa untuk berjuang

11
sendirian mempertahankan hidup. Fisik dan jiwa mereka yang masih rentan, secara
terpaksa harus berhadapan dengan dunia yang keras dan kejam, yaitu dunia jalanan.

Masalah sosial anak jalanan berkaitan pula dengan ketidakmampuan anak


memperoleh haknya, sebagaimana diatur oleh konvensi hak anak. Juga disebabkan
kurangnya aksesibilitas anak, akibat berbagai keterbatasan sarana dan prasarana
yang ada. Baik di rumah dan di lingkungan sekitarnya, untuk dapat bermain dan
berkembang sesuai dengan masa pertumbuhannya. Terkait dengan kondisi tersebut,
permasalahan anak jalanan sudah merupakan permasalahan krusial yang harus
ditangani sampai ke akar-akarnya. Sebab jika permasalahan hanya ditangani di
permukaan saja, maka setiap saat permasalahan tersebut akan muncul dan muncul
kembali, serta menyebabkan timbulnya permasalahan lain yang justru lebih
kompleks. Seperti munculnya orang dewasa jalanan, kriminalitas, premanisasi,
ekploitasi tenaga, ekploitasi seksual, penyimpangan perilaku. Jika masalah ini tidak
segera diatasi, maka akan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan masa depan
anak itu sendiri bahkan akan sangat membahayakan masa depan bangsa kita karena
rendahnya kualitas pemuda Indonesia (Tjahjorini, 2004).

Solusi yang Pernah Ditawarkan dalam Menyelesaikan Masalah Anak Jalanan

Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan


rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada
bulan juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan
sementara yang bersifat non formal, dimana anak- anak bertemu untuk memperoleh
informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih
lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan
sebagai media perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu
mereka.

Pemerintah sebagai pemegang keputusan tertinggi telah melakukan upaya


Bantuan Pangan. Dengan hadirnya sembako murah, sedikit banyak mesyarakat dari
keluarga tidak mampu merasa diringankan untuk memenuhi kebutuhannya(
Kompas, 20 januari 2003). Di bidang Pendidikan pemerintah juga telah

12
menggalangkan program wajib belajar dua belas tahun dengan didanai oleh
pemerintah dengan Program Indonesia Pintar (PIP) pada Kartu Indonesia Pintar
(KIP) sehingga biaya yang diperlukan untuk sekolah dapat diringankan bahkan
bebas biaya sekolah serta dapat uang tunjangan.

Kondisi Anak Jalanan yang Mendukung Keberhasilan Tujuan

Melalui pemberdayaan anak jalanan dalam memanfaatkan limbah industri


tekstil dan sampah plastik yang ada di Pontianak yang saya gagaskan, saya harap
dapat memberikan kesempatan anak-anak untuk tetap mengenyam pendidikan
formal (sekolah), karena sebagian besar anak jalanan di Pontianak adalah anak-anak
yang masih memperoleh pendidikan di sekolah dan mereka bekerja di jalanan
setelah jam sekolah berakhir. Jadi, kami menawarkan sistem kerja tidak
terikat/fleksibel yang menyesuaikan jam pulang sekolah mereka. Hal ini untuk
mengisi waktu luang mereka yang biasanya digunakan untuk mengamen atau
berdagang asongan.

Mereka akan diberikan keterampilan untuk memanfaatkan limbah industri


tekstil yang berupa potongan-potongan kain (perca) dan sampah-sampah plastik.
Setelah mereka diberikan keterampilan, kemudian mereka langsung praktek untuk
mengolah limbah tekstil dan sampah plastik tersebut menjadi barang yang memiliki
nilai jual, seperti : tas, dompet, boneka, dan lain-lain.

Selain diberi keterampilan mereka juga akan dibekali pengetahuan agama


untuk membentuk kepribadian mereka agar berkhlak mulia dan mereka juga
dibekali pengetahuan untuk menjadi seorang wirausaha yang baik agar membentuk
kemandirian mereka dikemudian hari. Dengan pengetahuan itu kepribadian mereka
dapat terbentuk untuk menghilangkan efek yang diterimanya dari kehidupan dijalan
dan mereka dapat membuka usaha sendiri dan menggembangkan jiwa
entrepreneurship dalam diri mereka dan jika usaha itu dapat berkembang pesat
mereka dapat memberikan lapangan kerja bagi rekan-rekan sasama anak jalanan.

13
Strategi Mengimplementasikan Gagasan untuk Mencapai Tujuan

Melakukan pendekatan terhadap orang tua dan anak-anak jalanan yang


berusia 6-12 tahun agar mendapat kepercayaan mereka supaya gagasan ini dapat
direalisasikan. Tidak mudah untuk mendapat kepercayaan itu, mungkin saja
dianggap sebagai komplotan penjual anak atau orang yang berniat jahat pada anak
jalanan. Karena itulah kerja sama dengan pemerintah perlu dilaksanakan, selain
pemerintah perlu ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendukung
gagasan ini dan menjadi penanggung jawab saat kegiatan dilaksanakan. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipilih mesti LSM yang telah dipercaya oleh
masyarakat setempat atau LSM yang memang bergerak dibidang pemberdayaan
anak jalanan.

Karena keterampilan yang diberikan membutuhkan potongan kain hasil


limbah pabrik tekstil dan sampah plastik, maka perlu adanya kerja sama dengan
pabrik tekstil dan pemulung sebagai pemasok bahan baku. Pabrik yang dipilih
adalah pabrik yang benar-benar mendukung gagasan ini dan memiliki tujuan sama
agar tidak ada permasalahan yang timbul dikemudian hari.

Gagasan ini akan di mulai dari kelompok kecil yang berjumlah antara 15-
20 anak. Anak-anak jalanan akan dilatih dan hasil penjualan akan disimpan sebagai
kas dan akan dibagikan pada mereka setelah uang yang dikumpulkan cukup bagi
mereka untuk memulai usahanya sendiri dengan bekal pengetahuan wirausaha yang
diberikan pada mereka. Setelah anggota kelompok ini menguasai keterampilan
yang diberikan, mampu menguasai pengetahuan entrepreneur, dan tabungan yang
dimiliki anggota dari hasil penjualan produk mencukupi mereka dapat membuka
bidang usaha sendiri dan memberi pekerjaan pada anak jalanan lainnya. Dengan
demikian akan ada regenerasi dalam pelaksanaan gagasan ini dan tidak terpusat
pada satu perkumpulan anak jalanan saja.

14
BAB V

KESIMPULAN

Dalam penyelesaian masalah anak jalanan kami menawarkan gagasan


dengan memberi keterampilan pada anak jalanan dan dibekali dengan pengetahuan
entrepreneurship sebagai bekal mereka untuk berwirausaha secara mandiri dan
mampu memberi lapangan kerja bagi rekan-rekan sesama anak jalanan. Serta
menanamkan sikap agama kepada anak jalanan untuk mejadi generasi pekerja keras
dan berakhlak mulia.

Teknik implementasi yang kami lakukan adalah melakukan pendekatan


yang benar kepada anak jalanan dengan menanamkan keagamaan dalam diri
mereka agar mengubah stigma dan perilaku negatif mereka. Hal pertama yang harus
dilakukan adalah pemanasan, tujuaannya adalah memotivasi dan mengkondisikan
individu baru untuk siap melakukan perubahan. Selanjutnya adalah pengubahan,
apabila seseorang telah termotivasi untuk berubah mereka siap menerima pola
perilaku baru, dilakukan dengan mekanisme identifikasi dan internalisasi. Yang
terakhir adalah pembekuaan kembali, apabila perilaku baru telah diinternalisasikan
pada saat dipelajari, secara otomatis akan mudah untuk dilakukan pembekuaan
sikap yang baru karena hal itu telah tertanam dalm diri (Sears, 1990)

Setelah terbentuk sikap baru yang positif, barulah setelah itu kami
mengajarkan kepada anak jalanan tentang daur ulang dan teknik kewirausahaan
kepada anak jalanan. Karena akan lebih mudah melakukan pembinaa kepada anak
yang telah ditanamkan sikap positif dalam diri mereka. Selain itu juga akan
ditanamkan kepada anak tentang pentingnya hidup mandiri. Dengan upaya ini saya
memilki keyakinan bahwa gagasan ini yaitu memberi solusi kepada anak jalanan
akan terimplementasi dengan baik.

15
DAFTAR PUSTAKA
Chandra,Budiman.2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan.EGC. Jakarta
Kolopaking,Lala M. 2003. Sosiologi Umum. Bogor : Pustaka Wirausaha Muda
Bogor

Kompas. 2003. Anggaran Anak Jalanan Rp. 10 Juta. 20 Januari ,Hal 26

Nugroho Panji, 2013. Panduan Membuat Kompos Cair. Jakarta: Pustaka Baru
Press.
Rangkuti, Parlaungan Adil. 2007. Membangun Kesadaran Bela Negara. Bogor:
IPB Press

Ritzer, George dan Dauglas J. Godman. 2004. Teori Sociology


Modern.Tribuwono B.S. penerjemah. Jakarta: Kencana

Seats,O David.Psikologi Sosial. Michael Aryanto dan Savitri Soekrisno,


penerjemah. Jakarta: Erlangga

Tjahjorini,Sri Sugiharto. 2004. Strategi Mengubah Perilaku Anak Jalanan: Sebuah


Pemikiran.Makalah. Makalah Pribadi Falsafah Sains, 2 November 2004

Pontianak SP, 2018


https://www.suarapemredkalbar.com/berita/ponticity/2018/03/18/volume-sampah-
di-pontianak-400-ton-per-hari. Dilihat pada tanggal 11 februari 2019.

16

Anda mungkin juga menyukai