Oleh:
Preseptor:
2019
Abstrak
sindroma nefrotik, seperti faktor sirkulasi, faktor imun sirkulasi pada kelainan yang
dimediasi oleh imun dan mutasi podosit atau protein slit diafragma. Anak dengan
kongenital/infantil. Anak dengan sindroma nefrotik idiopatik, tipe yang paling sering,
dapat dibagi lagi menjadi sindroma nefrotik resisten steroid, yang beresiko menjadi
penyakit ginjal stadium akhir, dan sindroma nefrotik responsif steroid, yang mewakili
sebagian besar kasus sindroma nefrotik. Seringkali terdapat efek samping akibat
memperbaiki fungsi ginjal. Strategi terapi yang dapat diberikan berupa terapi
imunosupresif dan non imunosupresif. Biopsi ginjal harus dilakukan pada anak untuk
melihat histologi yang mendasari penyakit. Pada pasien dengan kecurigaan penyebab
merupakan sindroma nefrotik yang telah muncul saat lahir atau selama 3 bulan
hingga bulan ke 12. Sebagian besar anak ini memiliki kelainan genetik dan prognosis
yang buruk tanpa indikasi pemberian terapi imunosupresif. Diharpakan adanya terapi
hiperlipidemia (2 gambaran terakhir bisa saja tidak muncul pada pasien), Sindroma
nefrotik merupakan kelainan ginjal yang paling sering ditemukan pada anak, terjadi
tidaknya tanda penyakit sistemik: sindroma nefrotik primer, seperti sindroma nefrotik
adanya penyakit sistemik) dan sindroma nefrotik kongenital dan infantil (pada 1
tahun pertama kehidupan anak). Selanjutnya bisa sekunder (akibat infeksi, misalnya)
2. PATOGENESIS
glomerulnefritis, lupus nefritis) dan mutasi podosit atau protein slit diafragma
(podocin, nefrin), terutama pada sindroma nefrotik kongenital dan infantil. Dinding
kapiler glomerulus terdiri dari membran basalis glomerulus (GBM), sel endotel
berfenestra dan foot prosesus sel endotel, dimana celah diantaranya ditutup oleh slit
diafragma.
Faktor lain, yang juga penting dalam patogenesis sindroma nefrotik, adalah
(khususnya albumin) melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini diregulasi leh
perubahan muatan negatif (oleh polianion seperti proteoglikan sulfat heparan) sel
endotel dan GBM yang menciptakan muatan pada barrier untuk filtrasi anion besar
seperti albumin. Selain itu, dinding kapiler glomerulus selektif terhadap ukuran dan
diameter celah fungsional hanya sedikit lebih besar dibandingkan ukuran albimun.
Pada minimal change disease (MCD), penyebab tersering sindroma nefrotik pada
anak, terdapat hilangnya muatan anion tanpa kerusakan struktural pada unit filtrasi
epitel yang diamati melalui mikroskop elektron. Namun pada penyakit glomerulus
lainnya, cedera struktural pada glomerulus (yang terlihat melalui mikroskop cahaya)
menyebabkan peningkatan jumlah celah besar pada GBM yang diikuti perpindahan
patogenesis MCD yang disebut juga sebagai kelainan imun podosit “two-hit”; hit
pertama adalah induksi CD80 pada podosit dengan perubahan ukuran dan
terjadi proteinuria. CD80 diekspresikan akibar pengikatan langsung sitokin dari sel T
teraktivasi dan karena aktivasi reseptor toll-like podosit oleh produk virus.
respon autoregulasi cepat oleh sel T di sirkulasi atau oleh podosit itu sendiri. Di sisi
lain, terdapat defek pada autoregulasi podosit CD80 pada MCD dengan efkpresi
banyak ditemukan pada anak, yang menjadi penyebab sindroma nefrotik pada lebih
dari 90% anak berusia 1 sampai 10 tahun dan 50% anak berusia diatas 10 tahun. Pada
foot prosesus difusa pada mikroskop elektron dan pada MCD, FSGD, atau proliferasi
mesangial pada mikroskopi cahaya, terlihat pada biopsi ginjal. Pola mikroskop
cahaya ini dapat menunjukkan penyakit yang berbeda ataupun merupakan spektrum
bahwa beberapa temuan klinis saat pasien datang, seperti usia muda (kurang dari 6
tahun), tidak adanya hipertensi dan hematuria, fungsi ginjal normal dapat
lainnya. MCD juga ditemukan sebagai penyebab tersering sindroma nefrotik anak,
mewakili ¾ dari pasien, dan FSGS merupakan kasus kedua tersering dengan 7%
nefropati membranosa.
berhubungan dengan penyakit sistemik atau sekunder akibat penyakit lain yang
pada biopsi ginjal, seperti nefropati membranosa (akibat infeksi hepatitis B kronik)
atau FSGS sekunder (akibat hipoplasia atau skar ginjal, misalnya) atau kelainan yang
menunjukkan gambaran sindroma nefritik (dengan sel merah dan silinder seluler pada
sedimen urin) dan dengan tanda inflamasi glomerulus pada biopsi ginjal, seperti
uremia hemolitik
3. MANIFESTASI KLINIS
Sindroma nefrotik idiopatik pada anak seringkali terjadi setelah adanya faktor
pencetus, seperti infeksi saluran napas atas. Edema merupakan gambaran klinis
paling sering muncul dan biasanya muncul awalnya pada daerah periorbita kemudian
dapat diikuti pada ekstremitas bawah dan daerah lain seperti skrotum, labia, area
sakrum karena pengaruh gravitasi. Saat dilakukan palpasi, edema teraba lunak dan
pitting. Edema generalisata (anasarka) dengan distensi abdomen (akibat asites) dapat
(GFR) dapat terjadi pada beberapa anak dengan sindroma nefrotik (khususnya pada
kasus MCD) meskipun volume cairan ekstraseluler meningkat. Pada kasus ini,
kejadian lain yang dapat terjadi adalah sepsis, diare, atau terapi duiretol, dapat
menyebabkan hipotensi dan bahkan syok. Manifestasi klinis lain dapat muncul,
dispnea (akibat efusi pleura atau asites) dan keluhan nonspesifik lainnya, seperti nyeri
dapat terjadi pada 20% kasus sedangkan makrohematuria jarang pada sindroma
nefrotik idiopatik.
4. EVALUASI DIAGNOSTIK
sedangkan edema tidak selalu ada pada seluruh pasien. Evaluasi awal termasuk:
protein kuantitatif), sedimen urin biasanya inaktif, terdapat silinder hialin dan
beberapa sel darah merah dan tidak ada sel darah merah maupun silinder lain,
2. Ratio protein dengan kreatinin pada urin pagi pertama, khususnya saat
pengumpulan urin berkala sulit untuk didapatkan (pada anak kecil): ratio lebih
nefrotik.
globulin alfa-2 dan beta meningkat dan konsentrasi gamma globulin yang
bervariasi
pasien ≥10 tahun (atau dengan gejala dan tanda SLE), serologi untuk hepatitis
B dan C
5. TATALAKSANA
60mg/m2/hari) tanpa perlu dilakukan biopsi ginjal. Setelah mencapai remisi, yang
mg/m2/jam), kortikosteroid tetap diberikan dengan dosis yang sama selama 30 hari,
diikuti dengan terapi selang hari yang diturunkan selama 4 sampai 8 minggu. Terapi
dosis 1.5 mg/kg selang hari selama 6 minggu berikutnya. Berdasarkan guideline
prednisone (60 mg/m2 atau 2 mg/kg per hari, dengan dosis maksimal 60 mg/hari)
selama 4 sampai 6 minggu diikuti dengan prednison (40 mg/m2 atau 1.5 mg/kg,
dengan dosis maksimal 40 mg/hari) dengan tappering dosis bertahap selama 2 sampai
5 bulan. Berdasarkan penelitian terbaru, durasi terapi selama 2 sampai 3 bulan cukup
untuk episode pertama sindroma nefrotik sensitif steroid. Namun, penting untuk
disebutkan bahwa remisi spontan dapat terjadi dalam satu sampai 2 minggu pertama
pada 5% kasus.
(didefinisikan sebagai 4 relaps atau lebih per tahun, FRNS) atau menjadi dependen
steroid (relaps yang terjadi selama penurunan dosis atau daam 2 minggu penghentian
sampai remisi, diikuti dengan dosis selang hari 1.5 mg/kg atau 40 mg/m2 selama 4
minggu disarankan pada anak dengan relaps pertama atau relaps infrekuen. Pada anak
dengan relaps frekuen, terapi harian dengan prednison hingga remisi diikuti dengan
dosis 1.5 mg/kg selang hari selama 4 minggu kemudain diturunkan selama 2 bulan
0.5 mg/kg/hari.
Untuk anak dengan relaps frekuen atau dependen steroid, terapi yang
disarankan terdiri dari prednison 2mg/kg/hari atau 60mg/m2) hingga remisi, diikuti
dengan prednison selang hari dengan dosis terendah selama setidaknya 3 bulan (atau
dosis terendah setiap hari jika pemberian selang hari tidak efektif), dibutuhkan untuk
prednison per hari dosis maintenance selama 1 minggu harus diberikan pada pasien
menyebabkan relaps.
dengan relaps frekuen dan steroid dependen, seringkali menunjukkan efek samping
agen lain direkomendasikan pada pasien ini untuk mempertahankan remisi sambil
diantaranya:
steroid.
dan mempertahankan remisi pada pasien dengan relaps frekuen atau steroid
disarankan pada pasien yang gagal mencapai remisi setelah pemberian agen
Pemilihan agen berdasarkan penilaian klinisi dalam menilai ratio manfaat dan
resiko karena tidak ada data yang didapatkan dari penelitian klinis acak dimana agen
yang disebutkan diatas menunjukkan efektivitas jangka panjang tanpa efek samping.
inisial selama 2 bulan tidak lebih buruk dibandingkan terapi inisial selama 6 bulan
dalam hal luaran klinis: onset FRNS, waktu relaps pertama dan jumlah relaps. Selain
itu, frekuensi dan derajat keparahan efek samping sama pada kedua kelompok [11].
Hal ini tidak sejalan dengan temuan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa terapi
kortikosteroid jangka panjang (hingga 7 bulan) akan menghasilkan remisi yang lebih
tahan lama.
Jika terapi harian selama 4 minggu dengan kortikosteroid tidak akan
menyebabkan remisi, metilprednisolon (1000 mg/1.73 m2) 3 kali sehari setiap harinya
diberikan, maka dapat dikonfirmasi dengan resisten steroid. Pada kasus, biopsi ginjal
Namun, pendekatan lain dapat dilakukan, seperti biopsi ginjal tanpa terapi dengan
lagi. Prognosis anak dengan SSNS, fungsi ginja tetap normal pada saat dewasa dan
sekuele jangka panjang biasanya merupakan konsekuensi efek samping dari obat
yang digunakan.
dengan sindroma nefrotik resisten steroid (SRNS). Anak pada kelompok ini beresiko
SRNS dan mutasi gen NPHS1, NPHS2 dan WT1 merupakan kasus tersering yang
Diagnosis histologis yang paling banyak ditemukan berdasarkan biopsi ginjal adalah
FSGS dan MDS. Anak dengan SRNS memiliki penurunan ekspresi reseptor
kortikosteroid pada sel mononukear darah perifer (yang biasanya karena masalah
dipublikasi, dan hal ini dapat menjelaskan resisten steroid pada anak.
Tujuan terapi SRNS adaah untuk menurunkan ekskresi protein dan
yang dapat diberikan berupa terapi imunosupresif dan non imunosupresif untuk
adalah inhibitor kalsineurin, mikofenolat dan rituximab. Namun biasanya tidak efektif
pasien dengan SRNS tapi belum ada data pada anak mengenai prognosis jangka
Biopsi ginjal pada anak dengan SRNS harus dilakukan untuk mengidentifikasi
gambaran histologi yang mendasari. Pada pasien dengan kecurigaan tinggi adanya
penyebab genetik (riwayat keluarga SRNS, anak dengan sindroma nefrotik kongenital
dan pada anak dengan SRNS sindromik) pemeriksaan genetik juga harus dilakukan.
Pada kasus dengan etiologi genetik, terapi imunosupresif tidak diindikasikan karena
tidak memberikan efek dan menunjukkan efek samping yang signifikan. sehingga,
Terapi optimal kasus SRNS tanpa mutasi genetik masih belum diketahui.
Pada kelompok ini, kombinasi kalsineurin inhibitor (siklosporin dan takrolimus) dan
kortikosteroid paling banyak digunakan jika GFR normal. Hal ini dikonfirmasi dalam
dengan dosis selang hari selama 5 bulan), dimana remisi komplit terjadi pada 27
pasien (48% dengan MCD dan30% dengan FSGS) dan remisi parsial pada 4
diantaranya. Tidak ada kasus yang berkembang menjadi ESRD namun 15 diantaranya
dengan angka relaps yang lebih rendah dan efek samping kosmetik yang lebih sedikit.
Jika tidak terdapat respon terhadap kombinasi ini, terapi dengan ACE-I dan ARB
harus dicoba. Penggunaan rutin alkylating agent, MMF atau rituximab tidak
nefrotik pada FSGS karena berikatan dengan faktor permeabilitas FSGS dan
resisten terhadap berbagai pilihan terapi lainnya, dimana remisi parsial, atau komplit
dicapai dengan agen ini sedangkan beberapa penelitian gagal membuktikan efek
FSGS plasma. Sehingga, galaktosa tidak lagi direkomendasikan sebagai pilihan terapi
penting dalam patogenesis. Pada beberapa tahun terakhir, mutasi pada lebih dari 30
gen resesif dan dominan diidentifikasi sebagai penyebab SRNS monogenik, sehingga
menunjukkan bahwa protein yang dikode sangat penting dalam fungsi glomerulus.
Baru-baru ini ditemukan bahwa pada sekitar 1/3 pasien muda (anak dan dewasa
berusia <25 tahun) dengan SRNS. Mutasi gen penyebab dapat dideteksi pada salah
satu dari gen yang disebutkan diatas. Analisis mutasi harus dilakukan pada semua
pasien muda dengan SRNS untuk menetapkan diagnosis genetik, untuk menentukan
jenis SRNS yang dapat diterapi (mutasi pada jalur biosintesis Q10 koenzim,
ginjal pada beberapa kasus dan menetapkan pilihan terapi tertentu, berdasarkan
penyebab genetik.
yang tersedia untuk pasien dengan SRNS. Variabilitas fenotip signifikan SRNS
pada praktik klinis khususnya jika berhadapan dengan pasien yang membutuhkan
pendekatan sistematik untuk skrinning mutasi pada SRNS dibutuhkan. Usia muda
saat onset penyakit, adanya riwayat keluarga dan menifestasi ekstrarenal, sindroma
molekular yang tepat dapat membantu memberikan pendekatan terapi spesifik dengan
yang serius. Analisis hubungan dan next generation sequencing (NGS) membantu
mengidentikasi lebih dari 50 gen yang terlibat dalam SRNS, dengan mayoritas
pemetaan protein yang dikode pada kompleks protein struktural dan jalur persinyalan
pada podosit. Daftar dan deskripsi detail diluar cakupan artikel ini dan dapat
ditemukan di literatur lain. Identifikasi varian patigenik terbaru yang terlibat pada
SRNS monogenik dapat membantu menentukan hubungan genotip-fenotip dan
sebelumnya dianggap sebagai kriteria diagnosis dan prognosis utama pada kasus
SRNS, namun data terbaru tidak menunjukkan hubungan yang kuat antara temuan
biopsi ginjal dengan hasil genetik. Efektivitas biaya dan NGS yang menggunakan
analisis panel gen tertarget memiliki implikasi klinis yang lebih besar pada SRNS bila
menghasilkan data yang lebih banyak untuk analisis yang dapat diinterpretasikan di
klinis. Namun, pada beberapa kondisi, sequencing Sanger masih menjadi alat
diagnosis yang penting, khususnya jika NGS tidak tersedia dan penyakit yang
menyebabkan mutasi pada gen spesifik (pada kasus adanya riwayat keluarga atau
manifestasi ekstrarenal).
lahir atau selama 3 bulan pertama kehidupan sedangkan sindroma nefrotik infantil
muncul antara bulan ke 3 hingga 12 kehidupan. Terdapat dasar genetik untuk kasus
sindroma nefrotik ini dan seringkali menyebabkan porgnosis yang buruk. Mutasi,
yang terjadi pada mayoritas (> 80%) kasus sindroma nefrotik kongenital dan infantil,
terjadi pada gen NPHS1, NPHS2 (mengkode podosin, protein yang berinteraksi
protein persinyalan pada reseptor protein G berpasangan), LAMB2 dan WT1. Kasus
Sindroma nefrotik kongenital atau infantil dapat terjadi akibat penyebab lain juga,
seperti kelainan genetik, sindroma nefrotik idiopatik, beberapa infeksi dan toksin,
Finlandia, dengan insidensi 1.2 per 10.000 kelahiran namun juga ditemukan di negara
lain. Tipe ini diwariskan secara autosomal resesif, dimana mengenai baik perempuan
maupun laki-laki. Edema muncul saat lahir atau selama minggu pertama kehidupan
pada 50% kasus dan sindroma nefrotik berat muncul pada usia 3 bulan. Proteinuria
biasanya terjadi pada usia 3-8 tahun. Resisten terhadap terapi imunosupresif sehingga
terapi yang diberikan bersifat suportif: albumin, gammaglobulin, vitamin reguler dan
tiroksin pengganti, diet tinggi protein dan rendah garam dan pencegahan komplikasi
mencegah kehilangan protein dalam jumlah besar sebelum terjadi kegagalan ginjal.
nefrotik infantil berhubungan dengan cedera glomerulus dan progresi cepat menuju
ESRD. Hal ini dapat disebabkan oleh abnormalitas pada gen PLCE1, yang mengkode
terlibat pada pertumbuhan dan diferensiasi sel. Mutasi menyebabkan gengguan pada
barrier filtrasi glomerulus dan edema, dibuktikan pada mutasi PLCE1 pada zebra
percobaan. Sebuah penelitian pada anak dengan sklerosis mesangial difusa terisolasi
dari negara yang berbeda menunjukkan mutasi PCLE1 pada 10 dari 35 keluarga.
Mekanisme pasti mutasi gen PLCE1 dalam kejadian sindroma nefrotik masih belum
nefrin.