Anda di halaman 1dari 18

Journal Reading

SINDROMA NEFROTIK PADA ANAK – KEADAAN SAAT INI DAN

PERSPEKTIF DI MASA YANG AKAN DATANG

Oleh:

Aisy Hibatullah 1840312009

Preseptor:

Prof. Dr. Darfioes, Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M DJAMIL PADANG

2019
Abstrak

Sindroma nefrotik terjadi akibat peningkatan permeabilitas barrier filtrasi

glomerulus. Beberapa mekanisme cedera glomerulus berperan dalam patogenesis

sindroma nefrotik, seperti faktor sirkulasi, faktor imun sirkulasi pada kelainan yang

dimediasi oleh imun dan mutasi podosit atau protein slit diafragma. Anak dengan

sindroma nefrotik diklasifikasikan menjadi sindroma nefrotik primer, sekunder, dan

kongenital/infantil. Anak dengan sindroma nefrotik idiopatik, tipe yang paling sering,

dapat dibagi lagi menjadi sindroma nefrotik resisten steroid, yang beresiko menjadi

penyakit ginjal stadium akhir, dan sindroma nefrotik responsif steroid, yang mewakili

sebagian besar kasus sindroma nefrotik. Seringkali terdapat efek samping akibat

pemberian kortikosteroid dan penatalaksanaan dengan agen lain direkomendasikan

untuk mempertahankan remisi sambil menurunkan dosis kortikosteroid. Tujuan

penatalaksanaan kasus resisten steroid adalah menurunkan proteinuria dan

memperbaiki fungsi ginjal. Strategi terapi yang dapat diberikan berupa terapi

imunosupresif dan non imunosupresif. Biopsi ginjal harus dilakukan pada anak untuk

melihat histologi yang mendasari penyakit. Pada pasien dengan kecurigaan penyebab

genetik, pemeriksaan genetik juga harus dilakukan. Sindroma nefrotik kongenital

merupakan sindroma nefrotik yang telah muncul saat lahir atau selama 3 bulan

pertama kehidupan sedangkan sindroma nefrotik infantil muncul antara bulan ke 3

hingga bulan ke 12. Sebagian besar anak ini memiliki kelainan genetik dan prognosis

yang buruk tanpa indikasi pemberian terapi imunosupresif. Diharpakan adanya terapi

baru yang dapat diberikan untuk sindroma nefrotik tipe ini.


1. PENDAHULUAN

Sindroma nefrotik dicirikan dengan peningkatan permeabilitas pada barrier

filtrasi glomerulus. Sindroma nefrotik terdiri dari 4 gambaran klinis: proteinuria

nefrotik (ekskresi protein urin diatas 50 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/jam),

hipoalbuminemia (konsentrasi albumin serum dibawah 30 g/l) edema dan

hiperlipidemia (2 gambaran terakhir bisa saja tidak muncul pada pasien), Sindroma

nefrotik merupakan kelainan ginjal yang paling sering ditemukan pada anak, terjadi

pada 16 dari 100.000 anak.

Anak dengan sindroma nefrotik diklasifikasikan berdasarkan ada atau

tidaknya tanda penyakit sistemik: sindroma nefrotik primer, seperti sindroma nefrotik

idiopatik (tanpa adanya penyakit sistemik), sindroma nefrotik sekunder (dengan

adanya penyakit sistemik) dan sindroma nefrotik kongenital dan infantil (pada 1

tahun pertama kehidupan anak). Selanjutnya bisa sekunder (akibat infeksi, misalnya)

atau primer, dimana mayoritas disebabkan oleh kelainan genetik.

2. PATOGENESIS

Beberapa mekanisme cedera glomerulus yang berbeda telah diidentifikasi:

faktor sirkulasi, khususnya pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) primer,

faktor imun sirkulasi pada kelainan yang dimediasi imun (poststreptococcal

glomerulnefritis, lupus nefritis) dan mutasi podosit atau protein slit diafragma

(podocin, nefrin), terutama pada sindroma nefrotik kongenital dan infantil. Dinding

kapiler glomerulus terdiri dari membran basalis glomerulus (GBM), sel endotel

berfenestra dan foot prosesus sel endotel, dimana celah diantaranya ditutup oleh slit

diafragma.
Faktor lain, yang juga penting dalam patogenesis sindroma nefrotik, adalah

proteinuria. Proteinuria disebabkan oleh peningkatan filtrasi makromolekul

(khususnya albumin) melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini diregulasi leh

perubahan muatan negatif (oleh polianion seperti proteoglikan sulfat heparan) sel

endotel dan GBM yang menciptakan muatan pada barrier untuk filtrasi anion besar

seperti albumin. Selain itu, dinding kapiler glomerulus selektif terhadap ukuran dan

diameter celah fungsional hanya sedikit lebih besar dibandingkan ukuran albimun.

Pada minimal change disease (MCD), penyebab tersering sindroma nefrotik pada

anak, terdapat hilangnya muatan anion tanpa kerusakan struktural pada unit filtrasi

glomerulus (diamati dengan mikroskop cahaya) namun terlihat penipisan podosit

epitel yang diamati melalui mikroskop elektron. Namun pada penyakit glomerulus

lainnya, cedera struktural pada glomerulus (yang terlihat melalui mikroskop cahaya)

menyebabkan peningkatan jumlah celah besar pada GBM yang diikuti perpindahan

protein berbagai ukuran melewati barrier filtrasi. Baru-baru ini, diperkenalkan

patogenesis MCD yang disebut juga sebagai kelainan imun podosit “two-hit”; hit

pertama adalah induksi CD80 pada podosit dengan perubahan ukuran dan

penyesuaian aktin, yang diikuti peningkatan permeabilitas glomerulus sehingga

terjadi proteinuria. CD80 diekspresikan akibar pengikatan langsung sitokin dari sel T

teraktivasi dan karena aktivasi reseptor toll-like podosit oleh produk virus.

Normalnya, ekspresi CD80 hanya sementara dengan proteinuria minimal akibar

respon autoregulasi cepat oleh sel T di sirkulasi atau oleh podosit itu sendiri. Di sisi

lain, terdapat defek pada autoregulasi podosit CD80 pada MCD dengan efkpresi

CD80 persisten dan proteinuria persisten.


SINDROMA NEFROTIK IDIOPATIK

Sindroma nefrotik idiopatik merupakan jenis sindroma nefrotik yang paling

banyak ditemukan pada anak, yang menjadi penyebab sindroma nefrotik pada lebih

dari 90% anak berusia 1 sampai 10 tahun dan 50% anak berusia diatas 10 tahun. Pada

sindroma nefrotik idiopatik, terdapat hubungan sindroma nefrotik dengan penipisan

foot prosesus difusa pada mikroskop elektron dan pada MCD, FSGD, atau proliferasi

mesangial pada mikroskopi cahaya, terlihat pada biopsi ginjal. Pola mikroskop

cahaya ini dapat menunjukkan penyakit yang berbeda ataupun merupakan spektrum

dari penyakit tunggal.

International Study of Kidney Disease in children (ISKDC) menunjukkan

bahwa beberapa temuan klinis saat pasien datang, seperti usia muda (kurang dari 6

tahun), tidak adanya hipertensi dan hematuria, fungsi ginjal normal dapat

mendiferensiasi anak dengan MCD dibandingkan dengan kelainan glomerulus

lainnya. MCD juga ditemukan sebagai penyebab tersering sindroma nefrotik anak,

mewakili ¾ dari pasien, dan FSGS merupakan kasus kedua tersering dengan 7%

kasus. Penyebab lain yang lebih jarang adaah glomerulonefritis membranoproliferatif,

nefropati membranosa.

SINDROMA NEFROTIK SEKUNDER

Sindroma nefrotik sekunder didefinisikan sebagai sindroma nefrotik yang

berhubungan dengan penyakit sistemik atau sekunder akibat penyakit lain yang

menyebabkan cedera glomerulus. Terdapat kelainan tanpa tanda inflamasi glomerulus

pada biopsi ginjal, seperti nefropati membranosa (akibat infeksi hepatitis B kronik)
atau FSGS sekunder (akibat hipoplasia atau skar ginjal, misalnya) atau kelainan yang

menunjukkan gambaran sindroma nefritik (dengan sel merah dan silinder seluler pada

sedimen urin) dan dengan tanda inflamasi glomerulus pada biopsi ginjal, seperti

glomerulonefritis postinfeksius, SLE, vaskulitis, sindroma Alport, dan sindroma

uremia hemolitik

3. MANIFESTASI KLINIS

Sindroma nefrotik idiopatik pada anak seringkali terjadi setelah adanya faktor

pencetus, seperti infeksi saluran napas atas. Edema merupakan gambaran klinis

paling sering muncul dan biasanya muncul awalnya pada daerah periorbita kemudian

dapat diikuti pada ekstremitas bawah dan daerah lain seperti skrotum, labia, area

sakrum karena pengaruh gravitasi. Saat dilakukan palpasi, edema teraba lunak dan

pitting. Edema generalisata (anasarka) dengan distensi abdomen (akibat asites) dapat

muncul pada beberapa pasien. Tanda penurunan volume sirkulasi, seperti

vasokonstriksi perifer, takikardia, oliguria, atau penurunan angka filtrasi glomerulus

(GFR) dapat terjadi pada beberapa anak dengan sindroma nefrotik (khususnya pada

kasus MCD) meskipun volume cairan ekstraseluler meningkat. Pada kasus ini,

kejadian lain yang dapat terjadi adalah sepsis, diare, atau terapi duiretol, dapat

menyebabkan hipotensi dan bahkan syok. Manifestasi klinis lain dapat muncul,

seperti hernia (umbilikal, inguinal), nyeri abdomen (akibat peritonitis, misalnya),

dispnea (akibat efusi pleura atau asites) dan keluhan nonspesifik lainnya, seperti nyeri

kepala, fatigue, dan iritabilitas. Tekanan darah biasanya normal. Mikrohematuria

dapat terjadi pada 20% kasus sedangkan makrohematuria jarang pada sindroma

nefrotik idiopatik.
4. EVALUASI DIAGNOSTIK

Diagnosis sindroma nefrotik dikonfirmasi melalui adanya proteinuria rentang nefrotik

(eksresi protein urin diatas 50 mg/kgbb/hari atau 40 mg/m2/jam pada pengumpulan

urin berkala) dan hipoalbuminemia (konsentrasi albumin serum dibawah 30 g/L)

sedangkan edema tidak selalu ada pada seluruh pasien. Evaluasi awal termasuk:

1. Urinalisis: uji skrinning (diikuti dengan konfirmasi pemeriksaan eksresi

protein kuantitatif), sedimen urin biasanya inaktif, terdapat silinder hialin dan

beberapa sel darah merah dan tidak ada sel darah merah maupun silinder lain,

namun keberadaannya menunjukkan kecurigaan nefritis dan membutuhkan

evaluasi glomerulonefritis dibandingkan dengan sindroma nefrotik primer

2. Ratio protein dengan kreatinin pada urin pagi pertama, khususnya saat

pengumpulan urin berkala sulit untuk didapatkan (pada anak kecil): ratio lebih

dari 3 mg protein/mg kreatinin menunjukkan proteinuria pada rentang

nefrotik.

3. Pemeriksaan darah: pemberiksaan darah lengkap (hemoglobin dan hematokrit

meningkat akibar kontraksi volume plasma dan trombositosis sering

ditemukan), elektrolit (hiponatremia dapat terjadi akibat penurunan eksresi air

bebas), kreatinin (biasanya normal), BUN (sering meningkat akibat

hipovolemia), kolesterol (biasanya meningkat), pemberiksaan komplemen

(untuk menyingkirkan penyakit lain yang muncul bersamaan dengan sindroma

nefrotik) dan albumin. Hipoalbuminemia merupakan salah satu temuan utama

dan konsentrasi albumin serum biasanya dibawah 30 g/l sedangkan globulin


total biasanya relatif normal atau alfa-1 globulin sedikit menurun, konsentrasi

globulin alfa-2 dan beta meningkat dan konsentrasi gamma globulin yang

bervariasi

4. Pemeriksaan darah tambahan berdasarkan situasi klinis: kadar ANA pada

pasien ≥10 tahun (atau dengan gejala dan tanda SLE), serologi untuk hepatitis

B dan C

5. Biopsi ginjal pada anak usia diatas 12 tahun.

5. TATALAKSANA

Anak yang cenderung mengalami sindroma nefrotik akibat MCD

ditatalaksana khususnya dengan kortikosteroid (biasanya dengan prednison dosis

60mg/m2/hari) tanpa perlu dilakukan biopsi ginjal. Setelah mencapai remisi, yang

didefinisikan dengan proterinuria negatif (ekskresi protein urin kurang dari 4

mg/m2/jam), kortikosteroid tetap diberikan dengan dosis yang sama selama 30 hari,

diikuti dengan terapi selang hari yang diturunkan selama 4 sampai 8 minggu. Terapi

pendekatan lain dengan prednison 2 mg/kg/hari selama 6 minggu, diikuti dengan

dosis 1.5 mg/kg selang hari selama 6 minggu berikutnya. Berdasarkan guideline

KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcome), terapi inisial dengan

prednisone (60 mg/m2 atau 2 mg/kg per hari, dengan dosis maksimal 60 mg/hari)

selama 4 sampai 6 minggu diikuti dengan prednison (40 mg/m2 atau 1.5 mg/kg,

dengan dosis maksimal 40 mg/hari) dengan tappering dosis bertahap selama 2 sampai

5 bulan. Berdasarkan penelitian terbaru, durasi terapi selama 2 sampai 3 bulan cukup

untuk episode pertama sindroma nefrotik sensitif steroid. Namun, penting untuk
disebutkan bahwa remisi spontan dapat terjadi dalam satu sampai 2 minggu pertama

pada 5% kasus.

Sebagian besar anak dengan sindroma nefrotik idiopatik akan merespon

pemberian kortikosteroid. Namun, 40-50% diantaranya mengalami relaps frekuen

(didefinisikan sebagai 4 relaps atau lebih per tahun, FRNS) atau menjadi dependen

steroid (relaps yang terjadi selama penurunan dosis atau daam 2 minggu penghentian

terapi kortikosteroid, SDNS). Terapi dengan prednison 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2

sampai remisi, diikuti dengan dosis selang hari 1.5 mg/kg atau 40 mg/m2 selama 4

minggu disarankan pada anak dengan relaps pertama atau relaps infrekuen. Pada anak

dengan relaps frekuen, terapi harian dengan prednison hingga remisi diikuti dengan

dosis 1.5 mg/kg selang hari selama 4 minggu kemudain diturunkan selama 2 bulan

0.5 mg/kg/hari.

Untuk anak dengan relaps frekuen atau dependen steroid, terapi yang

disarankan terdiri dari prednison 2mg/kg/hari atau 60mg/m2) hingga remisi, diikuti

dengan prednison selang hari dengan dosis terendah selama setidaknya 3 bulan (atau

dosis terendah setiap hari jika pemberian selang hari tidak efektif), dibutuhkan untuk

mempertahankan remisi tanpa efek samping. Untuk mencegah relaps, pemberian

prednison per hari dosis maintenance selama 1 minggu harus diberikan pada pasien

selama infeksi pernapasan atau infeksi lainnya, yang diketahui seringkali

menyebabkan relaps.

Anak, yang menunjukkan respon terhadap kortikosteroid, khususnya pasien

dengan relaps frekuen dan steroid dependen, seringkali menunjukkan efek samping

yang serius akibat pemberian kortikosteroid, seperti: ganggua pertumbuhan,


penambahan berat badan yang berlebihan, katarak, penurunan densitas mineral

tulang, supresi aksis hipotalamis-hipofisis-adrenal dan yang lainnya. Terapi dengan

agen lain direkomendasikan pada pasien ini untuk mempertahankan remisi sambil

menurunkan dosis kortikosteroid dan menatalaksana efek samping. Agen tersebut

diantaranya:

1. Levamisole (jika tersedia): dapat menyebabkan neutropenia reversibel,

sehingga pemeriksaan darah lengkap reguler wajib dilakukan.

2. Micofonelate mofetil (MMF): dapat menyebabkan gangguan pencernaan

(seperti nyeri abdomen dan diare) serta abnormalitas hematologi.

3. Siklofosfamid: dapat menyebabkan beberapa efek samping, namun setelah 12

minggu (dengan dosis kumulatif 168 mg/kg) tampaknya dapat menginduksi

komplikasi jangka panjang minimal: dilaporkan menunjukkan hasil yang lebih

baik pada pasien dengan relaps frekuen dibandingkan pasien dependen

steroid.

4. Inhibitor kalsineurin (siklosporin dan takrolimus) efektif dalam menginduksi

dan mempertahankan remisi pada pasien dengan relaps frekuen atau steroid

dependen, namun pemberian jangka panjang dibutuhkan untuk mencapai

remisi namun meningkatkan resiko nefrotoksisitas: sehingga, hanya

disarankan pada pasien yang gagal mencapai remisi setelah pemberian agen

lain, seperti MMF atau siklosfosfami.

5. Rituximab (antibodi moniklonal anti-CD20) harus dipertimbangkan hanya


pada anak dengan terapi kombinasi prednison dan agen penyerta
kortikosteroid lain yang tidak efektif karena adanya resiko komplikasi yang
mengancam jiwa dan efektivitas dan keamanan jangka panjang yang tidak
diketahui. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa rituximab
merupakan terapi yang efektif dan aman untuk sindroma nefrotik onset akut
yang terdapat pada kasus relaps frekuen dan dependen steroid. Median
periode bebas relaps secara signifikan lebih lama pada pasien yang diterapi
dengan obat ini dibandingkan pasien yang diterapi dengan plasebo namun
perbedaan kejadian efek samping serius pada kedua kelompok tidak berbeda
secara signifikan. Namun periode follow up selama 1 tahun dianggap relatif
singkat. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa rituximab dapat secara
langsung mempengaruhi podosit glomerulus dan menurunkan proteinuria
pada sindroma nefrotik yang diinduksi adriamisin pada hewan percobaan
melalui mekanisme independen limfosit B proteksi podosit, yang dimediasi
oleh modulasi langsun sfingomielin fosfodiesterase, mekanisme acid-like-3b.

Pemilihan agen berdasarkan penilaian klinisi dalam menilai ratio manfaat dan

resiko karena tidak ada data yang didapatkan dari penelitian klinis acak dimana agen

yang disebutkan diatas menunjukkan efektivitas jangka panjang tanpa efek samping.

Mengenai durasi pemberian terapi kortikosterodi pada anak dengan SSNS,

sebuah penelitian acak multisenter terbaru menunjukkan bahwa terapi prednisolon

inisial selama 2 bulan tidak lebih buruk dibandingkan terapi inisial selama 6 bulan

dalam hal luaran klinis: onset FRNS, waktu relaps pertama dan jumlah relaps. Selain

itu, frekuensi dan derajat keparahan efek samping sama pada kedua kelompok [11].

Hal ini tidak sejalan dengan temuan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa terapi

kortikosteroid jangka panjang (hingga 7 bulan) akan menghasilkan remisi yang lebih

tahan lama.
Jika terapi harian selama 4 minggu dengan kortikosteroid tidak akan

menyebabkan remisi, metilprednisolon (1000 mg/1.73 m2) 3 kali sehari setiap harinya

harus diberikan. Jika proteinuria menetap 1 minggu kemudian setelah terapi

diberikan, maka dapat dikonfirmasi dengan resisten steroid. Pada kasus, biopsi ginjal

harus dilakukan karena peningkatan kecenderugan adanya penyakit glomerulus lain.

Namun, pendekatan lain dapat dilakukan, seperti biopsi ginjal tanpa terapi dengan

metilprednisolon 3 kali atau pemanjangan pemberian kortikosteroid selama 4 minggu

lagi. Prognosis anak dengan SSNS, fungsi ginja tetap normal pada saat dewasa dan

sekuele jangka panjang biasanya merupakan konsekuensi efek samping dari obat

yang digunakan.

SINDROMA NEFROTIK RESISTEN STEROID

Sebagian kecil anak dengan sindroma nefrotik idiopatik (10-20%) tidak

respon terhadap pemeberian terapi inisial kortikosteroid, kondisi tersebut dinamakan

dengan sindroma nefrotik resisten steroid (SRNS). Anak pada kelompok ini beresiko

mengalami end-stage renal disease (ESRD). Mutasi genetik dapat menyebabkan

SRNS dan mutasi gen NPHS1, NPHS2 dan WT1 merupakan kasus tersering yang

ditemukan. Namun, seringkali tidak ditemukan adanya penyakit yang mendasari.

Diagnosis histologis yang paling banyak ditemukan berdasarkan biopsi ginjal adalah

FSGS dan MDS. Anak dengan SRNS memiliki penurunan ekspresi reseptor

kortikosteroid pada sel mononukear darah perifer (yang biasanya karena masalah

genetik) sebelum memulai terapi dibandingkan dengan anak yang menunjukkan

respon terhadap terapi kortikosteroid, berdasarkan penelitian yang baru saja

dipublikasi, dan hal ini dapat menjelaskan resisten steroid pada anak.
Tujuan terapi SRNS adaah untuk menurunkan ekskresi protein dan

menurunkan kejadian komplikasi serta menyelamatkan fungsi ginjal. Strategi terapi

yang dapat diberikan berupa terapi imunosupresif dan non imunosupresif untuk

menurunkan proteinuria. Pilihan terapi imunosupresif pada anak dengan SRNS

adalah inhibitor kalsineurin, mikofenolat dan rituximab. Namun biasanya tidak efektif

pada kasus mutasi genetik. Di sisi lain, angiotensin-converting enzyme (ACE)

inhibitor atau angiotensin II receptor blocker (ARB) menurunkan proteinuria pada

pasien dengan SRNS tapi belum ada data pada anak mengenai prognosis jangka

panjang pada ginjal.

Biopsi ginjal pada anak dengan SRNS harus dilakukan untuk mengidentifikasi

gambaran histologi yang mendasari. Pada pasien dengan kecurigaan tinggi adanya

penyebab genetik (riwayat keluarga SRNS, anak dengan sindroma nefrotik kongenital

dan pada anak dengan SRNS sindromik) pemeriksaan genetik juga harus dilakukan.

Pada kasus dengan etiologi genetik, terapi imunosupresif tidak diindikasikan karena

tidak memberikan efek dan menunjukkan efek samping yang signifikan. sehingga,

ACE-I dan ARB harus diberikan untuk menurunkan proteinuria.

Terapi optimal kasus SRNS tanpa mutasi genetik masih belum diketahui.

Pada kelompok ini, kombinasi kalsineurin inhibitor (siklosporin dan takrolimus) dan

kortikosteroid paling banyak digunakan jika GFR normal. Hal ini dikonfirmasi dalam

sebuah penelitian terhadap 65 anak dengan SRNS, yang ditatalaksana dengan

siklosporin dikombinasikan dengan prednison (dosis harian selama 4 minggu diikuti

dengan dosis selang hari selama 5 bulan), dimana remisi komplit terjadi pada 27
pasien (48% dengan MCD dan30% dengan FSGS) dan remisi parsial pada 4

diantaranya. Tidak ada kasus yang berkembang menjadi ESRD namun 15 diantaranya

mengalami sindroma nefrotik persisten. Di sisi lain, akumulasi data menunjukkan

bahwa efisiensi takrolimus sama dengan siklorporin namun takrolimus berhubungan

dengan angka relaps yang lebih rendah dan efek samping kosmetik yang lebih sedikit.

Jika tidak terdapat respon terhadap kombinasi ini, terapi dengan ACE-I dan ARB

harus dicoba. Penggunaan rutin alkylating agent, MMF atau rituximab tidak

disarankan karena kurangnya data mengenai efektivitas dan keamanan.

Galaktosa baru saja diperkenalkan sebagai terapi terbaru untuk sindroma

nefrotik pada FSGS karena berikatan dengan faktor permeabilitas FSGS dan

penurunan aktivitasnya. Terdapat beberapa laporan pada kasus sporadik, yang

resisten terhadap berbagai pilihan terapi lainnya, dimana remisi parsial, atau komplit

dicapai dengan agen ini sedangkan beberapa penelitian gagal membuktikan efek

terhadap proteinuria meskipun terdapat penurunan aktivitas faktor permeabilitas

FSGS plasma. Sehingga, galaktosa tidak lagi direkomendasikan sebagai pilihan terapi

untuk anak dengan SRNS.

SRNS biasanya memiliki gambaran histologis seperti FSGS. Identifikasi

penyebab gen tunggal (monogenik) SRNS menunjukkan bahwa podosit berperan

penting dalam patogenesis. Pada beberapa tahun terakhir, mutasi pada lebih dari 30

gen resesif dan dominan diidentifikasi sebagai penyebab SRNS monogenik, sehingga

menunjukkan bahwa protein yang dikode sangat penting dalam fungsi glomerulus.

Baru-baru ini ditemukan bahwa pada sekitar 1/3 pasien muda (anak dan dewasa

berusia <25 tahun) dengan SRNS. Mutasi gen penyebab dapat dideteksi pada salah
satu dari gen yang disebutkan diatas. Analisis mutasi harus dilakukan pada semua

pasien muda dengan SRNS untuk menetapkan diagnosis genetik, untuk menentukan

jenis SRNS yang dapat diterapi (mutasi pada jalur biosintesis Q10 koenzim,

misalnya), untuk mendefinisikan hubungan genotip-fenotip, untuk mencegah biopsi

ginjal pada beberapa kasus dan menetapkan pilihan terapi tertentu, berdasarkan

penyebab genetik.

Pendekatan teknoogi terbaru mampu melakukan pemeriksaan panel genetik

yang tersedia untuk pasien dengan SRNS. Variabilitas fenotip signifikan SRNS

monogenik dikombinasikan dengan ketersediaan pemeriksaan genetik sulit dilakukan

pada praktik klinis khususnya jika berhadapan dengan pasien yang membutuhkan

pemeriksaan genetik. Sehingga, panduan klinis yang menjelaskan mengenai

pendekatan sistematik untuk skrinning mutasi pada SRNS dibutuhkan. Usia muda

saat onset penyakit, adanya riwayat keluarga dan menifestasi ekstrarenal, sindroma

nefrotik infantil dan kongenitas dan yang diturunkan berhubungan dengan

peningkatan probabilitas identifikasi mutasi penyebab. Sehingga, keadaan ini

menunjukkan adanya indikasi klinis pemeriksaan genetik pada SRNS. Diagnosis

molekular yang tepat dapat membantu memberikan pendekatan terapi spesifik dengan

pencegahan pemberian obat imunosupresif yang dapat memberikan efek samping

yang serius. Analisis hubungan dan next generation sequencing (NGS) membantu

mengidentikasi lebih dari 50 gen yang terlibat dalam SRNS, dengan mayoritas

pemetaan protein yang dikode pada kompleks protein struktural dan jalur persinyalan

pada podosit. Daftar dan deskripsi detail diluar cakupan artikel ini dan dapat

ditemukan di literatur lain. Identifikasi varian patigenik terbaru yang terlibat pada
SRNS monogenik dapat membantu menentukan hubungan genotip-fenotip dan

meningkatkan pengetahuian kita mengenai barier filtrasi glomerulus. Histologi ginjal

sebelumnya dianggap sebagai kriteria diagnosis dan prognosis utama pada kasus

SRNS, namun data terbaru tidak menunjukkan hubungan yang kuat antara temuan

biopsi ginjal dengan hasil genetik. Efektivitas biaya dan NGS yang menggunakan

analisis panel gen tertarget memiliki implikasi klinis yang lebih besar pada SRNS bila

dibandingkan dengan keseluruhan eksom atau pengurutan genom karena

menghasilkan data yang lebih banyak untuk analisis yang dapat diinterpretasikan di

klinis. Namun, pada beberapa kondisi, sequencing Sanger masih menjadi alat

diagnosis yang penting, khususnya jika NGS tidak tersedia dan penyakit yang

menyebabkan mutasi pada gen spesifik (pada kasus adanya riwayat keluarga atau

manifestasi ekstrarenal).

SINDROMA NEFROTIK INFANTIL DAN KONGENITAL

Sindroma nefrotik kongenital merupakan sindroma nefrotik yang muncul saat

lahir atau selama 3 bulan pertama kehidupan sedangkan sindroma nefrotik infantil

muncul antara bulan ke 3 hingga 12 kehidupan. Terdapat dasar genetik untuk kasus

sindroma nefrotik ini dan seringkali menyebabkan porgnosis yang buruk. Mutasi,

yang terjadi pada mayoritas (> 80%) kasus sindroma nefrotik kongenital dan infantil,

terjadi pada gen NPHS1, NPHS2 (mengkode podosin, protein yang berinteraksi

dengan nefrin pada slit diafragma), NPHS3 (mengkode phospholipase C epsilon,

protein persinyalan pada reseptor protein G berpasangan), LAMB2 dan WT1. Kasus

ini tidak menunjukkan respon terhadap terapi imunosupresif. Sehingga, skrinning


genetik direkomendasikan untuk mengkonfirmasi diagnosis sebelum memulai terapi.

Sindroma nefrotik kongenital atau infantil dapat terjadi akibat penyebab lain juga,

seperti kelainan genetik, sindroma nefrotik idiopatik, beberapa infeksi dan toksin,

seperti yang tersedia di Tabel 1.

Tabel 1 Penyebab utama sindroma nefrotik kongenital dan infantile


Diakibatkan oleh mutasi NPHS1, yang mengkode nephrin,
Sindroma nefrotik
protein transmembrane yang merupakan komponen penting pada
kongenital tipe
podosit slit diafragma; hal ini menyebabkan gangguan pada
Finnish
struktur filtrasi kapiler glomerulus
Skelrosis mesangial difusa
Diakibatkan oleh mutasi WT1, yang mengkode transkripsi
Sclerosis
supresor tumor, protein yang terlibat dalam pembentukan ginjal
mesangial difusa
dan gonad; berhubungan dengan tumor Wilms dan
dengan sindroma
pseudohermaproditisme laki-laki pada pasien 46 XY dan fenotip
Denys Drash
perempuan normal 46 XX
Sindroma nefrotik idiopatik
Diakibatkan oleh mutase LAMB2, yang mengkode laminin beta
2, sebuat komponen pada membrane basalis glomerulus;
Sindroma Pierson
berhubungan dengan sclerosis mesangial difusa dan berbagai
malformasi okular dan gejala neurologis
Infeksi kongenital (sifilis, toksoplasmosis), beberapa infeksi
Lainnya virus, penyakit genetic lain, seperti sindroma Galloway-Mowat,
kelainan mitokondria, dll

Sindroma nefrotik kongenital tipe Finnish paling banyak ditemukan di

Finlandia, dengan insidensi 1.2 per 10.000 kelahiran namun juga ditemukan di negara

lain. Tipe ini diwariskan secara autosomal resesif, dimana mengenai baik perempuan

maupun laki-laki. Edema muncul saat lahir atau selama minggu pertama kehidupan

pada 50% kasus dan sindroma nefrotik berat muncul pada usia 3 bulan. Proteinuria

berat diikuti dengan hipoabuminemia, hipotiroidisme, dan hipogamaglobulinemia

yang disertai malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan kecenderungan tinggi terjadinya


infeksi bakteri dan komplikasi tromboembolik. GFR normal pada awalnya dan ESRD

biasanya terjadi pada usia 3-8 tahun. Resisten terhadap terapi imunosupresif sehingga

terapi yang diberikan bersifat suportif: albumin, gammaglobulin, vitamin reguler dan

tiroksin pengganti, diet tinggi protein dan rendah garam dan pencegahan komplikasi

infeksi dan trombotik. Beberapa pasien membutuhkan nefrektomi bilateral untuk

mencegah kehilangan protein dalam jumlah besar sebelum terjadi kegagalan ginjal.

Tatalaksana dengan ACE-I dan indometasin, yang menurunkan tekanan

intraglomerulus, dapat menurunkan proteinuria dan perbaikan kondisi umum pasien.

Sklerosis mesangial difusa merupakan penyebab herediter lain dari sindroma

nefrotik infantil berhubungan dengan cedera glomerulus dan progresi cepat menuju

ESRD. Hal ini dapat disebabkan oleh abnormalitas pada gen PLCE1, yang mengkode

phospholipase C epsilon, enzim phospholipase yang mengkatalisis hidrolisis

poliphosphoinositida yang menyebakan pembentukan second messenger, yang

terlibat pada pertumbuhan dan diferensiasi sel. Mutasi menyebabkan gengguan pada

barrier filtrasi glomerulus dan edema, dibuktikan pada mutasi PLCE1 pada zebra

percobaan. Sebuah penelitian pada anak dengan sklerosis mesangial difusa terisolasi

dari negara yang berbeda menunjukkan mutasi PCLE1 pada 10 dari 35 keluarga.

Mekanisme pasti mutasi gen PLCE1 dalam kejadian sindroma nefrotik masih belum

dapat dijelaskan namun kemungkinan adanya interaksi yang terganggu pada

phospholipase C epsilon dengan GTPase-activating protein, yang berinteraksi dengan

nefrin.

Anda mungkin juga menyukai