Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia,
merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di
akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk
ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman:
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini
memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS. 17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada
kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep
Pendidikan.
Di dalam makalah ini, penulis akan mengulas sedikit tentang Islam yang sempurna yang
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, pun masalah pendidikan. Dibahas juga
tentang pengertian paradigm. Selanjutnya mengulas tentang Islam sebagai paradigma
Ilmu Pendidikan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba membahasnya dan berharap ide
pemikiran ini menjadi batu bata kearifan bagi bangunan Pendidikan di Indonesia
walaupun kenyataannya penulis hanya sebutir pasir di hamparan pantai yang luas
membentang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Islam Agama Yang Sempurna
Islam adalah agama yang sempurna. Sempurna dalam tempat (Syumuliyah al-
Makaan), sempurna dalam waktu (Syumuliyah Az-Zaman) dan sempurna dalam
minhaj/pedoman (Syumuliyah al-Minhaj).
a. Sempurna dalam tempat maksudnya semua tempat di muka bumi ini adalah
tempat yang sesuai dengan Islam. Demikian pula, siapapun orangnya dan dari
mana asalnya tetap di bawah naungan Islam. Semuanya itu adalah ciptaaan Allah
yang satu, sehingga semua ciptaan-Nya diketahui oleh Sang Pencipta. Satunya
pencipta berarti satunya makhluk atau alam, maka Islam sesuai dengan semua
ciptaan-Nya. Quraish Shihab menyebutnya, Universalisme Islam.
b. Islam sempurna dalam waktu, maksudnya adalah bahwa Risalah Islam abadi
sepanjang masa. Mulai dari Nabi Adam AS, sampai kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai penutup para Nabi. Dan Islam ini tetap sesuai dengan kebutuhan
manusia hingga akhir zaman. Karena Islam bukan buatan Para Nabi, tetapi buatan
yang membuat manusia, sehingga sesuai dengan fitrah manusia.
c. Islam sebagai minhaj yang sempurna didasari kepada asas akidah, dibina dari
akhlak dan ibadah kemudian didukung oleh dakwah dan jihad. Asas dari Islam
adalah aqidah. Ini merupakan dasar dari bangunan Islam. Tanpa akidah maka
tidak akan kuat, seperti halnya rumah yang tanpa fondasi.
Islam bagaikan sebuah bangunan yang sempurna dengan fondasi aqidah yang kuat
dan sendi tiangnya berupa ibadah kepada Allah Swt yang diperindah dengan akhlak
mulia. Sedangkan peraturan dalam syari’at Allah adalah yang memperkuat bangunan
tersebut. Manakala dakwah dan jihad merupakan pagar-pagar yang menjaga dari
kerusakan musuh-musuh Islam.
Islam memperhatikan suatu keseimbangan dimana Islam sebagai ad-diin tidak hanya
mengejar kepentingan akhirat, tapi juga kepentingan dunia. Islam menggambarkan
suatu keutuhan dan kesatuan dengan berbagai aspek. Kesempurnaan Islam
digambarkan dengan pengertian ad-Diin itu sendiri dimana Islam memperhatikan
perdamaian, kehidupan yang zuhud, optimisme, mencari kepentingan dunia,
mengatur kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia secara
keseluruhan. Sehingga Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur semua
yang ada di alam ini agar kembali kepada hukum Allah, pencipta alam ini. Sehingga
H.A.R Gibb di dalam bukunya Whither Islam, menyatakan “Islam is indeed much
more than a system of theology,it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya
lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah sebuah peradaban yang sempurna).

Pada satu tingkat, memahami Islam adalah urusan yang sederhana. Islam bertujuan
menciptakan “perdamaian” melalui kepasrahan kepada “kehendak Illahi” inilah
hakikat makna Islam. Tujuan ini dicapai melalui keimanan kepada Allah Yang Maha
Esa dan mengakui kerasulan Muhammad Saw yang diikrarkan melalui dua kalimah
Syahadat. Aspek-aspek ritual keimanan, yang kita kenal dengan Rukun Iman
dikemas dalam ibadah-ibadah pokok yang dikenal sebagai Rukun Islam.

Tetapi Islam tidak berhenti pada lima rukun itu saja. Ini, seperti pernah dikatakan
oleh Fazlur Rahman sebagai “Islam Minimal”. Dibalik tingkat keimanan dan ritual-
ritual itu, Islam merupakan suatu pandangan dunia (World View) , kebudayaan, dan
peradaban yang canggih. Aspek-aspek Islam ini tampak jelas sekali dalam deskripsi
Islam tentang dirinya sendiri: Din. Karena itu, Islam bukanlah sekedar seperangkat
keimanan dan ibadah; ia adalah sebuah sistem yang menyeluruh menyangkut
pemikiran dan tindakan. Sebuah sistem yang memanifestasikan kebudayaannya
sendiri, yang menghasilkan peradaban khasnya dan yang membentuk wawasan para
penganutnya mengenai setiap aspek upaya manusia. Pada tingkat inilah, memahami
Islam memerlukan lebih banyak upaya.

Juga pada tingkat inilah, tingkat yang berada di luar kesalehan individual dan
pemenuhan spiritual, deklarasi keimanan diterjemahkan ke dalam aksi sosial, dan
pandangan dunia Islam membentuk masyarakat dan peradaban Islam. Syahadat itu
lebih dari sekedar afirmasi verbal atas keimanan: ia adalah langkah pertama dari
suatu perjalanan ke arah upaya-upaya fisik, sosial, kultural, dan intelektual untuk
menerjemahkan deklarasi keimanan bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya” ke dalam tindakan. Islam menuntut para
pengikutnya untuk membangun kehidupan dan masyarakat mereka, pemikiran dan
tindakan mereka, menurut prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.

Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam, mengungkapkan bahwa pusat keimanan Islam


memang Allah, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian Islam
menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang
sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah
Islam disebut sebagai Rahmatan lil’alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk
untuk kemanusiaan. Makanya kenapa di dalam Islam, Iman senantiasa digandengkan
dengan amal, tepatnya trilogi; Iman, Ilmu dan amal.

Berangkat dari hal-hal tersebut di ataslah menurut hemat penulis, Islam sangat layak
dijadikan Paradigma untuk ragam diskursus pemikiran apapun, termasuk dalam hal
Pendidikan yang selama ini para ahli lebih banyak memakai teori pendidikan barat.
Yang bisa jadi dalam situasi dan kondisi tertentu kontraindikasi, dengan konsep
Pendidikan di dalam Islam.

B. Paradigma
A. Pengertian paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962).
Paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang
dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within
which a scientist works). Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang
menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam
konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang
dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya
setiap keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat
dalam bangun suatu paradigma.
Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat,
paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian
lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma
sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salahsatu cabang/disiplin ilmu
pengetahuan.

Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri


tentang paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang yang
difahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi
oleh Mode of Thought atau mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan
menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Immanuel kant, misalnya
menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema konseptual;
Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya sebagai
cagar bahasa. Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang
meliputi; epistimologi, ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan
tentang bagaimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara
peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan mendasar
tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan.

Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan:

1. Apa yang harus dipelajari.

2. Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab.

3. Bagaimana metode untuk menjawabnya.

4. Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi


yang diperoleh.

Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu
cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya.
Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh
cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan.

B. Paradigma membentuk sikap


Penjelasan di atas mempertegas bahwa paradigma seseorang akan mempengaruhi
worldview nya (pandangan nilai, sikap dan prilaku) terhadap orang lain yang
berada di luar lingkarannya. Inilah yang memicu Lia Aminuddin membentuk
jama’ah Salamullah dan nekad mencukur gundul semua bulu yang tumbuh di
sekujur tubuhnya karena dibisiki “Malaikat jibril” nya, dan melakukan ritual-
ritual keagamaan yang menurut kita menyimpang. Atau Imam Samudra dan
kroni-kroninya meledakan bom di Bali, suster Apung mengabdi demi
kemanusiaan di NTT, Butet Manurung merambah Rimba Raya di Sumatra dan
Irian untuk mengajarkan baca tulis, bagi suku-suku Pedalaman dan memicu
ratusan sikap, aksi dan reaksi dalam beragam bentuk dan tatanannya.
C. Paradigm Paolo Freire dalam pendidikan
Paolo Freire menggagas adanya concientizacao (kesadaran untuk melakukan).
Kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta
huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan
manusia dari untaian rantai belenggu kebodohan.
Sebuah kenyataan tidak harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan
menyimpang dari keharusan, maka tugas manusia adalah merubahnya agar sesuai
dengan apa yang seharusnya. Kenyataan tersebut sering disebut sebagai fitrah.
Fitrah manusia sejati adalah sebagai pelaku (Subyek) bukan obyek apalagi Obyek
penderita. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas.
Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan humanisasi Freire.
Freire juga menyebutkan pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan
relaitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya
sebagai transfer of knowledge tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan
sarana untuk mendidik manusia agar mampu membaca relitas sosial. Hal ini juga
didukung oleh Lodge (1947) yang menyatakan life is education, education is life;
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan
D. Paradigm UNESO dalam pendidikan
UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran pada
lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan. Sebagai berikut:
1. Learning to know.
2. Learning to do.
3. Learning to live together.
4. Learning to be.
5. Learning throughout life.
E. Paradigma pedidikan nilai
Dalam ranah pendidikan nilai, seorang pendidik tidak hanya efektif dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas saja (transfer of knowledge), tetapi lebih-lebih
dalam relasi pribadinya, dan “modelling” nya (Transfer of attitude and values),
baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah.
Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika
dilandasi oleh kasih sayang antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang
secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh
cinta (unconditional love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta
relasi pribadi yang efektif (Personal relationship). Sikap seperti inilah yang ingin
dilahirkan pendidikan nilai, dan pada bahasan selanjutnya kita akan menguraikan
tentang Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Kita akan semakin
mendapatkan pencerahan tentang bahasan pokok ini.

C. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan


Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan adalah “Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil
menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah
memiliki sifat kemanusiaan. Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi
manusia. Maka di sini perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi.
Karena proyek pemanusiaan ini sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti
pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep
Islamnya pendidikan sepanjang hayat, –Minal mahdi ila lahdi– maka pendidikan
Islam pada dasarnya hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang
diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal
ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.

Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi
pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika
Illahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur
manusia, sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan
praktis, empiris, dan pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji
ulang. Sebab, tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis
Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti
persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah
dikaji melalui pendekatan agama. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan,
bahwa Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk
bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan.
Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga
alasan:

A. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia


terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat
berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan. Penulis akan
menjelaskan landasan normatif Islam dalam hal pendidikan, sebagai berikut:
a. Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan
berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya
manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah
islamiyah (pola sikap yang islami.
b. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga
melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan
pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas,
tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan
tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal
shaleh).
c. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan
potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah
manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
d. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses
pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah
Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral
keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada
diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang
berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.
B. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama
ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah
Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi
kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar
itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam
mengkaji fenomena kependidikan. Dalam hal ini, kita akan mencoba
membandingkan konsep Sekuler, konsep sosialis dengan konsep Islam dalam hal
Ilmu Pengetahuan, termasuk di dalamnya masalah pendidikan tentunya. Terbukti
dalam sejarah, bahwa Islam tidak pernah mengalami konflik dengan sistem
pengetahuan rasional, tidak seperti Kristen
Pertama, paradagima sekuler yaitu paradigma yang memandang agama dan
iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak
dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi
manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik.
Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara
ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis
(berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan
dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan
keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan
ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran
ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak
relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran gereja yang
resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal
faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh
dari hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan:
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat
penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan
ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu
7:1)
Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu
harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal,) Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak
problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain
dan tidak boleh saling intervensi.

Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang


menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen
dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler
di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara
sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya
dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama
dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama
sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan
memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama
menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang
kejam. Karl Marx mengatakan:

“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world,
just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”
[Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit.
Agama adalah candu bagi rakyat].

Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis
(Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada
materi yang sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri (Ramly, 2000:
110).

Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi


pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan
sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh
nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas
dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada
taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design tentang
ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan. Fungsi paradigma ini pada
dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas
Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi pengetahuan
yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya
terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas
pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem
pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini
tentunya berpijak pada prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip
kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-
prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai World
of view, terhadap pendidikan.

Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar
dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-
Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu
asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).

Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya


berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari
ayat yang pertama kali turun:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq


[96]: 1).

Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap
berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-
Qashash, 1995: 81).

Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan
bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya
Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa`
[4]: 126).

“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs.


ath-Thalaq [65]: 12).

Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan
Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas
ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu
setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai
pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa
Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra
beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena
meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw segera menjelaskan:

“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan
Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari
dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).

Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam
sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam
adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan
nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-
Qur`an:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).

Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis


pendidikan Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A
Quranic Outlook menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat
dilakukan melalui dua corak. Pertama, corak yang menghendaki adanya
keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan nonmuslim. Corak ini
berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan menggabungkannya ke dalam
pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha mengangkat pesan besar
Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal
dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih
bersifat global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-
prinsip pendidikan.

Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi
bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok
pertama adalah bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau
bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam
suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika
ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”. Hadits ini
memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi
pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut
mengandung suatu kebenaran.

Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu


yang mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode
empirisnya, mereka telah menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga
mereka banyak memberikan kontribusi bagi berbagai disiplin ilmu lain yang
berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa yang mereka lakukan
sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang berkaitan dengan
prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum alam. Di
satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT
dalam QS. Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-ayat
afaq dan anfus, sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka
perlu mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat
ideologis, melalui proses islamisasi pendidikan.

Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran
yang universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan
pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam
QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89;
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan
pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan
Hadits.

Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan


aspek-aspek praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat
diadopsi dari sistem pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan.
Transformasi ini tentunya mendapatkan legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi,
nash di sini hanya berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi keberadaan system
pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini sebenarnya bukanlah bermaksud
mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini berfungsi sebagai
penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai universal
selalu akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara
asasiah tidak bertentangan dengan nilai dasar Islam.

Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran
progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme.
Apabila pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka
pemikirannya itu dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika
bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati
oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini telah
teruji validitasnya dari masa-ke masa.

Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan


Islam digali dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker
deduktif, dengan membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari
nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk
diterapkan pada premis minornya, yaitu pendidikan. Dari proses ini akhirnya
mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.

Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang
yang kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:

(1) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung.


Prosedur ini lajimnya menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu
mengklasifikasikan ayat atau hadits menurut kategorinya, kemudian
menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
(2) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf
muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi
dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan
pendidikan intelektual (al-‘aql);
(3) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi
muslim, seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan
sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah sangat
mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-dawq);
(4) menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir
muslim kontemporer, seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-
Afghani dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah hasil
interpretasinya didukung oleh data ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini adalah:
(1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami mungkin. Simbol-simbol
dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.;
(2) ia didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan
mengandung nilai-nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat
Islam belum mempunyai metodologi yang sebaik di Barat. Sehingga upaya
ini dikhawatirkan mengalami kegagalan, atau paling tidak mengalami
keterlambatan, sementara kemajuan system Barat semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan
terbaik dalam merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan
pendekatan eklektik. Maksud pendekatan ini adalah mengambil suatu model
yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan mengkaji suatu persoalan, dan
mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang lain jika
pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system
pendidikan Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara yang
pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang
membahas objek-objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat
pendidikan Islam sebenarnya tercermin di dalam sejarah dan falsafah Islam
sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari objek-objek
keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:

Pertama, asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud


terakumulasi di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan,
termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam,
sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik oprasional.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-
Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat
di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan
cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Kedua, konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang
dimaksud merupakan hasil pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli
yang diinspirasikan dari Al-Quran dan As-Sunnah, baik tentang konsep: (1)
ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan, manusia dan alam yang
menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi pendidikan,
yang membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan
Islam; dan (3) aksiologi pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai
yang dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah
terumuskan begitu rapi dari para filsuf Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para sufi (seperti al-Ghazali,
Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).

Ketiga, teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud


merupakan hasil kerja ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi
melihat pendidikan Islam dari sudut yang ideal dan normative yang
bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi lebih melihat dari
sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena
pendidikan yang berkembang pada orang atau masyarakat Islam.
BAB III

PENUTUP

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works).
Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular
dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap
absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan
menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang menyusun
data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.

Paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu
cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma
adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita
dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan.

Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa
merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika
Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan:

1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia


terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat
berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.
2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama
ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah
Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi
kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar
itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam
mengkaji fenomena kependidikan.
3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka
keberadaan Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan
spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah
kehilangan ideologinya.

Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang Par excellent, sempurna.
Segala aspek kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah
pendidikan. Pendidikan di dalam Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia,
dengan bahasa lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah
makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan, selalu condong kepada
kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu
Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Alhamdulillah, akhirnya makalah sederhana ini bisa diselesaikan. Mudah-mudahan


bisa memberi manfaat. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
dengan hati, dan fikiran terbuka.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Kencana, 2008) cet ke-2

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Rosdakarya, 2010),cet ke-4


Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:rajagrafindo persada,2008)

Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an terjemah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2007).
Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,2005),cet-1

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi (Mizan: Bandung 1991) cet.1

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,2008) cet.4


Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, Handbook of qualitative Research (Thousand
OAKS: SAGE publications, 1994),p.99.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 1993)
Ummu Yasmin, Materi Tarbiyah Islamiyah. Panduan kurikulum da’i dan Murabbi (Solo:
Media Insani Press 2005) cet ke-8

Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai (Bandung: Alfabeta 2009),cet.2

Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)

Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, Wajah-wajah Islam (Bandung: Mizan 1992)
islam.com/paradigma–pendidikan–islam.html,akses 14 maret 2011

devirahman.wordpress.com/2009/…/pengertian paradigma/akses, 14 Maret 2011

[1] Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an terjemah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2007).

[2] Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,2005),cet-1,hlm.361-364.

[3] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 1993), hlm.213.

[4] Ummu Yasmin, Materi Tarbiyah Islamiyah. Panduan kurikulum da’i dan Murabbi (Solo:
Media Insani Press 2005) cet ke-8, hlm.91.

[5] Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:rajagrafindo persada,2008),hlm.2

Anda mungkin juga menyukai