PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia,
merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di
akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk
ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman:
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini
memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS. 17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada
kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep
Pendidikan.
Di dalam makalah ini, penulis akan mengulas sedikit tentang Islam yang sempurna yang
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, pun masalah pendidikan. Dibahas juga
tentang pengertian paradigm. Selanjutnya mengulas tentang Islam sebagai paradigma
Ilmu Pendidikan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba membahasnya dan berharap ide
pemikiran ini menjadi batu bata kearifan bagi bangunan Pendidikan di Indonesia
walaupun kenyataannya penulis hanya sebutir pasir di hamparan pantai yang luas
membentang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Islam Agama Yang Sempurna
Islam adalah agama yang sempurna. Sempurna dalam tempat (Syumuliyah al-
Makaan), sempurna dalam waktu (Syumuliyah Az-Zaman) dan sempurna dalam
minhaj/pedoman (Syumuliyah al-Minhaj).
a. Sempurna dalam tempat maksudnya semua tempat di muka bumi ini adalah
tempat yang sesuai dengan Islam. Demikian pula, siapapun orangnya dan dari
mana asalnya tetap di bawah naungan Islam. Semuanya itu adalah ciptaaan Allah
yang satu, sehingga semua ciptaan-Nya diketahui oleh Sang Pencipta. Satunya
pencipta berarti satunya makhluk atau alam, maka Islam sesuai dengan semua
ciptaan-Nya. Quraish Shihab menyebutnya, Universalisme Islam.
b. Islam sempurna dalam waktu, maksudnya adalah bahwa Risalah Islam abadi
sepanjang masa. Mulai dari Nabi Adam AS, sampai kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai penutup para Nabi. Dan Islam ini tetap sesuai dengan kebutuhan
manusia hingga akhir zaman. Karena Islam bukan buatan Para Nabi, tetapi buatan
yang membuat manusia, sehingga sesuai dengan fitrah manusia.
c. Islam sebagai minhaj yang sempurna didasari kepada asas akidah, dibina dari
akhlak dan ibadah kemudian didukung oleh dakwah dan jihad. Asas dari Islam
adalah aqidah. Ini merupakan dasar dari bangunan Islam. Tanpa akidah maka
tidak akan kuat, seperti halnya rumah yang tanpa fondasi.
Islam bagaikan sebuah bangunan yang sempurna dengan fondasi aqidah yang kuat
dan sendi tiangnya berupa ibadah kepada Allah Swt yang diperindah dengan akhlak
mulia. Sedangkan peraturan dalam syari’at Allah adalah yang memperkuat bangunan
tersebut. Manakala dakwah dan jihad merupakan pagar-pagar yang menjaga dari
kerusakan musuh-musuh Islam.
Islam memperhatikan suatu keseimbangan dimana Islam sebagai ad-diin tidak hanya
mengejar kepentingan akhirat, tapi juga kepentingan dunia. Islam menggambarkan
suatu keutuhan dan kesatuan dengan berbagai aspek. Kesempurnaan Islam
digambarkan dengan pengertian ad-Diin itu sendiri dimana Islam memperhatikan
perdamaian, kehidupan yang zuhud, optimisme, mencari kepentingan dunia,
mengatur kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia secara
keseluruhan. Sehingga Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur semua
yang ada di alam ini agar kembali kepada hukum Allah, pencipta alam ini. Sehingga
H.A.R Gibb di dalam bukunya Whither Islam, menyatakan “Islam is indeed much
more than a system of theology,it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya
lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah sebuah peradaban yang sempurna).
Pada satu tingkat, memahami Islam adalah urusan yang sederhana. Islam bertujuan
menciptakan “perdamaian” melalui kepasrahan kepada “kehendak Illahi” inilah
hakikat makna Islam. Tujuan ini dicapai melalui keimanan kepada Allah Yang Maha
Esa dan mengakui kerasulan Muhammad Saw yang diikrarkan melalui dua kalimah
Syahadat. Aspek-aspek ritual keimanan, yang kita kenal dengan Rukun Iman
dikemas dalam ibadah-ibadah pokok yang dikenal sebagai Rukun Islam.
Tetapi Islam tidak berhenti pada lima rukun itu saja. Ini, seperti pernah dikatakan
oleh Fazlur Rahman sebagai “Islam Minimal”. Dibalik tingkat keimanan dan ritual-
ritual itu, Islam merupakan suatu pandangan dunia (World View) , kebudayaan, dan
peradaban yang canggih. Aspek-aspek Islam ini tampak jelas sekali dalam deskripsi
Islam tentang dirinya sendiri: Din. Karena itu, Islam bukanlah sekedar seperangkat
keimanan dan ibadah; ia adalah sebuah sistem yang menyeluruh menyangkut
pemikiran dan tindakan. Sebuah sistem yang memanifestasikan kebudayaannya
sendiri, yang menghasilkan peradaban khasnya dan yang membentuk wawasan para
penganutnya mengenai setiap aspek upaya manusia. Pada tingkat inilah, memahami
Islam memerlukan lebih banyak upaya.
Juga pada tingkat inilah, tingkat yang berada di luar kesalehan individual dan
pemenuhan spiritual, deklarasi keimanan diterjemahkan ke dalam aksi sosial, dan
pandangan dunia Islam membentuk masyarakat dan peradaban Islam. Syahadat itu
lebih dari sekedar afirmasi verbal atas keimanan: ia adalah langkah pertama dari
suatu perjalanan ke arah upaya-upaya fisik, sosial, kultural, dan intelektual untuk
menerjemahkan deklarasi keimanan bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya” ke dalam tindakan. Islam menuntut para
pengikutnya untuk membangun kehidupan dan masyarakat mereka, pemikiran dan
tindakan mereka, menurut prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.
Berangkat dari hal-hal tersebut di ataslah menurut hemat penulis, Islam sangat layak
dijadikan Paradigma untuk ragam diskursus pemikiran apapun, termasuk dalam hal
Pendidikan yang selama ini para ahli lebih banyak memakai teori pendidikan barat.
Yang bisa jadi dalam situasi dan kondisi tertentu kontraindikasi, dengan konsep
Pendidikan di dalam Islam.
B. Paradigma
A. Pengertian paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962).
Paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang
dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within
which a scientist works). Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang
menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam
konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang
dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya
setiap keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat
dalam bangun suatu paradigma.
Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat,
paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian
lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma
sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salahsatu cabang/disiplin ilmu
pengetahuan.
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan:
Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu
cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya.
Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh
cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi
pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika
Illahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur
manusia, sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan
praktis, empiris, dan pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji
ulang. Sebab, tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis
Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti
persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah
dikaji melalui pendekatan agama. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan,
bahwa Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk
bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan.
Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga
alasan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world,
just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”
[Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit.
Agama adalah candu bagi rakyat].
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis
(Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada
materi yang sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri (Ramly, 2000:
110).
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar
dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-
Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu
asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap
berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-
Qashash, 1995: 81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan
bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya
Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa`
[4]: 126).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan
Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas
ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu
setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai
pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa
Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra
beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena
meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan
Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari
dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam
sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam
adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan
nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-
Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).
Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi
bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok
pertama adalah bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau
bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam
suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika
ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”. Hadits ini
memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi
pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut
mengandung suatu kebenaran.
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran
yang universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan
pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam
QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89;
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan
pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan
Hadits.
Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran
progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme.
Apabila pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka
pemikirannya itu dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika
bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati
oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini telah
teruji validitasnya dari masa-ke masa.
Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang
yang kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:
PENUTUP
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works).
Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular
dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap
absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan
menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang menyusun
data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.
Paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu
cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma
adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita
dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa
merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika
Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan:
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang Par excellent, sempurna.
Segala aspek kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah
pendidikan. Pendidikan di dalam Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia,
dengan bahasa lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah
makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan, selalu condong kepada
kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu
Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Kencana, 2008) cet ke-2
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an terjemah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2007).
Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,2005),cet-1
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi (Mizan: Bandung 1991) cet.1
Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, Wajah-wajah Islam (Bandung: Mizan 1992)
islam.com/paradigma–pendidikan–islam.html,akses 14 maret 2011
[1] Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an terjemah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2007).
[4] Ummu Yasmin, Materi Tarbiyah Islamiyah. Panduan kurikulum da’i dan Murabbi (Solo:
Media Insani Press 2005) cet ke-8, hlm.91.