Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY. NY. X.


DENGAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)
DI RUANG PICU-NICU RSD dr. SOEBANDI JEMBER

(PERIODE 11-17 NOVEMBER 2019)

OLEH:

NADA AZHAR PRANDINI

1901031002

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Medis
1. Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan kumpulan gejala gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan
masa gestasi yang kurang dari 37 minggu (Mansjoer, 2002 dalam Realita
et al., 2014)).
2. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadi RDS.(Sari et al., 2013). Menurut Rogayyah (2016)
penyebab yang sering terjadi pada Respiratory Distress Syndrome (RDS )
adalah kurangnya surfaktan pada paru-paru. Surfaktan adalah cairan yang
melapisi bagian dalam paru-paru. Paru-paru janin mulai membuat
surfaktan selama trimester ketiga kehamilan (minggu 26) . Yaitu suatu
substansi bagian dalam kantung udara di paru-paru. Hal ini yang
membantu dan menjaga paru-paru terbuka sehingga pemapasan dapat
terjadi setelah lahir.
3. Faktor Risiko
Menurut Rogayyah (2016) faktor yang menyebabkan kejadian RDS
adalah sebagai berikut:
a. Prematuritas
Pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan <37 minggu, maka bayi
lahir dalam keadaan prematur, dan terjadi immaturitas paru dimana
paru-paru bayi belum cukup untuk berkembang dengan penuh. Ini
terjadi karena kurangannya substansi perlindungan yang disebut
surfaktan . Surfaktan membantu paru - paru mengembangkan udara
dan melindungi kantong udara dari kollap paru sehingga terjadi
kegawatan nafas neonatus.
b. Sectio Caesarea
Bayi juga berisiko lebih besar untuk RDS jika melakukan SC darurat
atau sebelum waktunya. Mungkin perlu SC darurat karena kondisi,
seperti solusio plasenta, yang menempatkan ibu atau bayi pada risiko
SC merupakan bagian yang terjadi sebelum paru-paru bayi matang
dapat meningkatkan risiko RDS.
c. Diabetes Melitus pada Ibu
Kelambatan maturasi paru-paru terjadi karena efek antagonis insulin
terhada prematuritas dari kortisol atau kurangnya perkursor untuk
sintesis fosfolipid, diduga bahwa insulin mengurangi produksi
berbagai fosfolipid yang mempakan komponen penting dalam
surfaktan.
d. Hipertensi pada Ibu
Ibu hamil dengan hipertensi dan menjadi preeklampsia yang
menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah sehingga aliran darah
menjadi tidak baik dan mengganggu sirkulasi darah termasuk sirkulasi
uteroplasenta, sehingga perfusi ke janin berkurang dan beresiko untuk
terjadi gawat nafas pada bayi. Selain itu pada preeklampsia cenderung
dilakuka n SC emergensi untuk penyelamatan bayi atau ibu
e. Asfiksia Neonatorum
Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat napas akan
mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin
berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi
selama atau sesudah persalinan.
f. Ketuban Pecah Dini
Pecahnya selaput ketuban menyebabkan terbukanya hubungan
intrauterin dengan ekstrauterin, dengan demikian mikroorganisme
dengan mudah masuk dan menimbulkan infeksi intra partum dan
kemungkinan untuk dilahirkan lebih awal tidak dapat dihindari. Bayi
yang dilahirkan jauh sebelum aterm merupakan calon untuk terjadinya
respiratory distress sindrom (RDS). Hipoksia dan asidosis berat yang
terjadi sebagi akibat pertukaran oksigen dan karbondioksida alveoli
kapiler tidak adekuat.
g. Infeksi Perinatal
Septik, cedera paru akut, pneumonia dan kegagalan multi organ terkait
erat satu sama lain, karena dinding sel bakteri dapat mengaktifkan
mediator inflamasi seperti interleukin-1 dan tumor necrosis factor,
yang pada gilirannya dapat menyebabkan sindrom septik dan cedera
inflamasi ke paru-paru.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Martin (1999) dalam Sari et al. (2013) manifestasi klinis yang
muncul antara lain :
a. Kesulitan dalam memulai respirasi normal
b. Dengkingan (grunting) pada saat ekspirasi, diamati pada saat bayi
tidak dalam keadaan menangis (disebabkan oleh penutupan glotis)
merupakan tanda/indikasi awal penyakit, berkurangnya dengkingan
mungkin merupakan tanda pertama perbaikan.
c. Retraksi sternum dan interkosta
d. Nafas cuping hidung
e. Sianosis
f. Respiarasi cepat atau kadang lambat
g. Auskultasi; udara yang masuk berkurang
Adanya tanda gejala RDS juga dapat dikethui dengan menghitung Skore
Down

5. Komplikasi
Menurut Rogayyah (2016) komplikasi yang dapat terjadi pada bayi
dengan RDS ada dua yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi
jangka panjang.
Komplikasi jangka pendek yang dapat terjadi antara lain:
a. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara, pada bay i dengan RDS yang
tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi , apnea , atau
bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Infeksi
Infeksi dapat mempersulit pengelolaan sindrom gawat pemapasan dan
dapat bermanifestasi dalam berbagai cara, termasuk perubahan sel
darah putih (WBC ) atau trombositopenia.
Komplikasi jangka panjang yang dapat ditimbulkan akibat RDS yaitu:
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) :
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen
pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A.
b. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, berhubungan dengan masa gestasi,
adanya hipoksia , kompiikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
c. Perdarahan paru
Terjadinya peningkatan perdarahan paru pada bayi prematur, terutama
setelah terapi surfaktan.
d. Apnea prematuritas
Apnea prematuritas adalah umum pada bayi yang belum matang, dan
insiden meningkat dengan terapi surfaktan, mungkin karena ekstubasi
awal.

B. Patophysiological Pathway
1. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,
pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku.
Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia
berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.(Sari et al.,
2013)
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru
nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli
type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena
adanya defisiensi surfaktan ini.(Sari et al., 2013)
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau
volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerusakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah
lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-
72 jam setelah lahir. (Sari et al., 2013)
DM Ibu Preeklamsia KPD Infeksi selama kehamilan

Terminasi Kehamilan

Kadar Ig G dan gamma Antibodi tidak Imunitas


Ketidakefektifan Bayi tidak Refleks hisap Kelahiran prematur globulin rendah terbentuk sempurna Rendah
pola menyusu dapat menyusu rendah
Surfaktan belum
Penurunan BB Intake nutrisi terbentuk sempurna Risiko Infeksi
menurun
Ketidakseimbangan nutrisi: RDS Risiko kematian bayi
mendadak Peningkatan tekanan intra
kurang dari kebutuhan tubuh kranial
Bayi tidak bisa Dinding thoraks tidak mengembang sempurna
Risiko Asfiksia bernapas
spontan Hipoksia otak Cedera otak
Kolaps Alveoli Apnea

Risiko Risiko
ketidakstabilan Ketidakefektifan Adanya retraksi Dispnea Pertukaran O2 di membran Suplai darah ke otak ketidakefektifan
kadar glukosa darah pola napas intercostae alveoli inadekuat menurun perfusi jaringan
otak
Metabolisme Peningkatan Glikolisis Menghambat Suplai darah ke jaringan SpO2 menurun
Hipoglikemia anaerob asam laktat anaerob metabolisme glukosa menurun Kematian sel- sel
otak
Hambatan
Bayi mudah Cadangan lemak dan Risiko keterlambatan CRT > detik Hipoksia pertukaran gas
kehilangan panas glikogen berkurang Kegagalan
perkembangan
fungsi
Ketidakefektifan Sianosis Perkembangan otak terganggu neurologis
Penurunan suhu Hipotermia perfusi janringan penglihatan
tubuh Risiko cidera kornea perifer
Gangguan kognitif anak
Gangguan
penglihatan
C. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sari et al. (2013) penatalaksanaan medis pada bayi dengan RDS
antara lain:
a. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
b. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan
menurunkan caiaran paru
c. Fenobarbital
d. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Perawatan suportif awal bayi terutama penanganan hipoksia, hipotermia,
sangat mengurangi tingkat keparahan RDS :
a. Bayi ditempatkan didalam inkubator dengan suhu didalamnya
dipertahankan 35-36 C.
b. Kalori dan cairan diberikan glukosa 10 % dengan kecepatan 65-75
ml/kg/24 jam
c. Oksigen yang hangat dan dilembabkan dengan kadar yang cukup
d. Bayi dengan RDS yang berat dan apnea memerlukan bantuan
ventilasi mekanis (pH arteri <7,20; pCO2 60 mmHg atau lebih; pO2
darah arteri 50 mmHg atau kurang pada kadar O2 70-100 %)
e. Pemasukan surfaktan eksogen kedalam endotrakea bayi dan ventilasi
mekanis untuk pengobatan (rescue terapi) dapat memperbaiki
ketahanan hidup dan mengurangi incidens kebocoran udara paru
(Survanta adalah surfaktan eksogen yang dpersiapkan dari paru sapi
yang dicincang halusdengan ekstra lipid ditambahkan fosfatidilkolin,
asam palmitat dan trigliserida; sedangkan eksosurf adalah surfaktan
sintesis yang mengandung dipalmitiodilfosfatidilkolin, heksadekanol
dan tiloksapol)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
3. Menurut Sari et al. (2013) penatalaksanaan keperawatan pada bayi dengan
RDS antara lain:
a. Pemberian oksigen dengan aliran sedang.
b. Bila frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit, harus
diobservasi ketat. Bila kurang dari 20 kali per menit setiap saat
resusitasi bayi dengan menggunakan balon sungkup
c. Bila apnea :
1) Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-gosok
punggung bayi selama 10 detik.
2) Bila belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan menggunakan
balon dan sungkup.
d. Indikasi penggunaan balon dan sungkup adalah apnea atau megap-
megap, frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit dan sianosis
sentral persisten walaupun diberi aliran oksigen bebas 100%. Periksa
kadar glukosa darah bila kurang dari 45 g/dl, segera terapi sebagai
hipoglikemi
e. Bila didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan minum,
BBLR, tada-tanda kejang, sepsis dan lain-lain, usahakan menentukan
penyebab gangguan nafas ini sambil meneruskan pemberian
oksigennya.
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai
dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut :
a. Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan
pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea
of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar.
Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan
napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
b. Gangguan nafas sedang
1) Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila
masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup.
Bayi jangan diberi minum.
2) Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan
gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis
a) Suhu aksila <39˚C
b) Air ketuban bercampur mekonium
c) Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (> 18 jam).
3) Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk
masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam. Bila suhu
masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan,
berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis. Jika
suhu normal, teruskan amati bayi.
4) Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah
2 jam.
5) Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda
perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi
o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap
2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan
memakai salah satu cara pemberian minum.
6) Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan.
Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama
3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah
Sakit bayi dapat dipulangkan.
c. Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila
dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis
lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan
nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan
ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi
pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas.
Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.

D. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Rogayyah (2016) pemeriksaan pada bayi RDS dapat dilakukan
dengan hal berikut:
a. Rontgen
Temuan rontgen dada RDS sangat bervariasi tergantung pada tahap
penyakit. Temuan rontgen dada yang paling umum adalah bilateral,
terutama perifer, konsolidasi agak asimetris dengan bronkogram udara.
b. CT-Scan
Terdapat difus dan sering tidak spesifik konsolidasi yang digambarkan
pada radiografi dada pada pasien dengan RDS pada heterogen CT-scan .
CT-scan juga menunjukkan bahwa konsolidasi parenkim di RDS adalah
di daerah tergantung gravitasi dari paru-paru.
E. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Sari et al. (2013) fokus pengkajian pada bayi dengan RDS
adalah sebagai berikut:
a. Identitas : lengkap, termasuk orang tua bayi
b. Riwayat kesehatan :
1) Keluahan utama, terutama sistem pernafasan : cyanosis, grunting ,
RR, cuping hidung
2) Riwayat kehamilan : terutama umur kehamilan, infeksi selama
masa kehamilah, preeklamsia, diabetes gestasional, dan proses
persalinan
c. Pemeriksaan Fisik :
1) Keadaan umum : kesadaran, vital sign
2) Pemeriksaan persistem
a) Sistem pernafasan : kesulitan dalam respirasi normal. Refraksi
strenum dan interkosta, nafas cuping hidung, cyanosis pada
udara kamar, grunting, respirasi cepat atau lambat
b) Sistem kardiovaskulaer : takikardia, nadi lemah/cepat, akral
dingin/hangat, cyanosis perifer
c) Sistem gastrointestinal menurun/ meningkat: muntah,
kembung, peristaltik
d) Sistem perkemihan : keluaran urine, warna
2. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas ybd imaturitas neurologis (defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar) dd dispnea
b. Hipotermia ybd transfer panas berlebih dd kulit dingin
c. Hambatan pertukaran ybd perubahan membran kapiler- alveolar dd
sianosis central dan perifer
d. Resiko infeksi ybd prematuritas
(Sumber: NANDA, 2017)
3. Intervensi dan Rasional
No Diagnosis Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan pola 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan 1. Posisi yang optimal membatu proses pemasukan udara ke
napas ybd imaturitas ventilasi. paru
neurologis (defisiensi 2. Identifikasi pasien perlunya pemasangan 2. Mencukupi kebutuhan O2 klien
surfaktan dan alat jalan nafas bantuan.
ketidakstabilan alveolar) 3. Lakukan suction bila perlu. 3. Suction merupakan tindakan yang dapat mengeluarkan sekret
dd dispnea dengan mudah
4. Auskulatasi suara nafas, catat adanya suara 4. Sebagai indikator adanya suara napas tambahan
nafas tambahan.
5. Monitor respirasi dan status O2. 5. Mengetahui status klien
6. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea. 6. Mencegah adanya sumbatan jalan napas
7. Pertahankan jalan nafas yang paten. 7. Memaksimalkan ventilasi
8. Monitor aliran oksigen. 8. Membantu mencegah terjadinya hipoksia
9. Observasi adanya tanda-tanda distres 9. Sebagai indikator adanya penyempitan atau sumbatan jalan
respirasi seperti retraksi, takipneu, apneu, napas
sianosis.
10. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan 10. Sebagai indikator adanya komplikasi akibat ekspansi dada
pernafasan. inadekuat
11. Monitor frekuensi dan irama pernafasan. 11. Mengatahui adanya otot bantu pernapasan
12. Monitor suara paru. 12. Mengetahui pnyebab ekspansi dada inadekuat

2. Hipotermia ybd transfer 1. Selimuti klien 1. Selimut membantu klien kehilangan panas secara berlebih
panas berlebih dd kulit 2. Atur suhu ruangan 2. Suhu ruangan berpengaruh terhadap perubahan suhu
dingin 3. Rawat klien dalam inkubator 3. Inkubator menjaga klien tetap hangat dan terhindar dari
infeksi
4. Beri penerangan yang cukup 4. Penerangan membatu menyalurkan panas dari lampu ke
tubuh klien
5. Pasang alat bantu napas bila perlu 5. Mencukupi kebutuhan O2 klien
6. Monitor nadi, suhu, RR 6. Penurunan suhu erat kaitannya dengan nadi dan RR
7. Monitor akral 7. Akral dingin mengindikasikan perfusi O2 yang tidak adekuat
8. Monitor adanya sianosis 8. Sianosis merupakan tanda kekurangan oksigen dalam tubuh
9. Monitor kelembapan kulit 9. Kelembapan serupakan indikator adanya kecukupan air
dalam tubuh
3. Hambatan pertukaran 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan 1. Posisi yang optimal membatu proses pemasukan udara ke
ybd perubahan membran ventilasi paru
kapiler- alveolar dd 2. Pasang mayo bila perlu 2. Mayo berfungsi mencegah terjadinya sumbatan jalan napas
sianosis central dan 3. Keluarkan sekret dengan suction 3. Suction merupakan tindakan yang dapat mengeluarkan sekret
perifer dengan mudah
4. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan 4. Intake yang optimal mencegah terjadinya edema paru
keseimbangan.
5. Monitor respirasi dan status O2 5. Mengetahui status klien
6. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, 6. Sebagai indikator adanya kegawatan napas
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
7. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, 7. Sebagai indikator adanya penyempitan atau sumbatan jalan
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, napas
biot
8. Auskultasi suara nafas, catat area 8. Sebagai indikator adanya suara napas tambahan
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
9. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus 9. Sebagai indikator prningkatan perfusi O2
mental
10. Observasi sianosis khususnya membran 10. Sianosis sebagai indikator ketidakadekuatan perfusi O2 ke
mukosa jaringan
4. Resiko infeksi ybd 1. Lakukan enam langkah cuci tangan saat 1. Cuci tangan berfungsi memutus rantai penyebaran ineksi
prematuritas kegiatan 5 moment dengan benar
2. Batasi jumlah pengunjung 2. Meminimalisir kontak dengan lingkungan luar
3. Pastikan penanganan aseptik dari semua 3. Mencegah perkembangan mikroorganisme penyebab infeksi
saluran IV
4. Kolaborasi pemberian terapi antibiotik 4. Antibiotik berfungsi menghambat pertumbuhan
yang sesuai mikroorganisme
5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi 5. Mencegah terjadinya infeksi dan penanggulan cepat jika
sitemik dan lokal terjadi infeksi
6. Observasi hasil pemeriksaan laboratorium 6. Peningkatan leukosis menjadi indikator adanya infeksi
pasien
7. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup 7. Nutrisi yang adekuat membatu membangun daya tahan tubuh
8. Anjurkan pasien untuk istirahat terhadap infeksi
8. Istirahat membantu mengembalikan fungsi tubuh
DAFTAR PUSTAKA

NANDA. (2017). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi (11th ed.).


Jakarta: EGC.
Realita, V., Latief, F., Ida, M., Permatasari, D., Yunita, R., Kandarina, D., … A.,
K. N. (2014). Asuhan Keperawatan Maternitas Bayi Baru Lahir dengan
Gawat Napas. Universitas Diponegoro.
Rogayyah. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Respiratory Distress Syndrom pada Neonatus di Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang Bari Periode 2013-2014. Universitas Muhammadiyah
Palembang.
Sari, I. K., Christy, J. S., Oktaviani, L., Tyas, L. F. C., Murtisari, M. T., &
Prawitaningrum, M. (2013). Asuhan Keperawatan dengan RDS (Respiratory
Distress Syndrome). Akademi Keperawatan Notokusumo Yogyakarta.
Akademi Keperawatan Notokusumo Yogyakarta.
https://doi.org/10.7861/clinmedicine.16-6-s66

Anda mungkin juga menyukai