Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kenyamanan merupakan suatu keadaan dimana terpenuhinya

kebutuhan dasar seseorang. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan

ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan keterampilan sehari-hari),

kelegaan (kebutuhan yang terpenuhi) termasuk di dalamnya terpenuhinya

kebutuhan istirahat/tidur dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang

melebihi masalah nyeri). Kenyamanan sering diartikan sebagai suatu keadaan

bebas dari nyeri, sehingga kebutuhan tidur seseorang akan terpenuhi dengan

baik karena adanya kenyamanan baik fisik maupun lingkungannya (Kolcaba,

2010).

Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar yang orang tersebut dapat

dibangunkan dengan rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya.

Manfaat tidur yaitu untuk mengistirahatkan dan memperbaiki organ-organ

dan sel-sel tubuh yang rusak (Natural Healing Mechanism). Asam laktat

(penyebab kecapean) juga dinetralisir saat tidur. Tidur yang cukup juga

mampu menstabilkan emosi. Kebutuhan tidur menurut kesehatan yaitu antar

8-9 jam per hari untuk orang dewasa dan 10-12 bagi anak-anak yang baik

sekali dalam pertumbuhan badan mereka. Akibat kurang tidur akan

menyebabkan turunnya tingkat motivasi, konsentrasi, ketelitian, kreativitas

dan produktivitas kerja. Hampir setiap manusia pernah mengalami masalah

tidur. Satu dari tiga orang dilaporkan mengalami gangguan pola tidur dan satu

1
1
dari sembilan orang memiliki masalah tidur yang cukup serius (Amirta,

2009).

Gangguan pola tidur merupakan masalah yang sering terjadi di

rumah sakit. Banyak sekali yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas

tidur seseorang, antara lain kepulasan atau mutu tidur dan lama waktu tidur

seseorang. Pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai kecenderungan

terganggu tidurnya yang mungkin disebabkan oleh aktifitas yang

menimbulkan kegaduhan/kebisingan, lampu yang menyala terang, terganggu

oleh dengkuran pasien lain ataupun yang terpaksa dibangunkan karena

adanya prosedur tindakan tertentu (Kozier, 2005).

World Health Organization (WHO) dan European Commission telah

menyimpulkan bahwa gangguan pola tidur yang disebabkan oleh suara

bising menghilangkan 903 ribu tahun kehidupan orang Eropa

(http://ini-gayaku.blogspot.com.2011).

Keadaan sakit sering memerlukan waktu tidur lebih banyak dari

orang normal karena kondisi sakit memerlukan pemulihan sistem tubuh untuk

mengembalikan kondisi seperti semula saat sebelum sakit. Namun demikian,

keadaan sakit dapat menjadikan pasien kurang tidur atau tidak dapat tidur

oleh karena banyak faktor diantaranya adalah rasa sakit yang dideritanya,

pengunjung pasien lain secara berkelompok, lingkungan yang kurang nyaman

dan sebagainya (Kozier, 2005).

Salah satu penyebab terganggunya tidur pasien di unit perawatan

adalah penyakit yang diderita pasien baik akut maupun kronik. Setiap

2
penyakit yang menyebabkan ketidaknyamanan fisik (misalnya nyeri,

kesulitan bernapas, batuk, pusing, dan lain-lain) dapat menyebabkan

gangguan pola tidur. Kondisi lingkungan fisik ruang rawat inap juga

mempengaruhi psikologis pasien. Ruang rawat inap yang bising, suhu udara

terlalu panas, pencahayaan kurang, kebersihan dan kerapihan tidak terjaga

akan meningkatkan stres pada pasien. Ruang rawat inap seharusnya

membangkitkan optimisme sehingga dapat membantu proses penyembuhan

pasien (Robby, 2006).

Tugas perawat untuk memberikan asuhan keperawatan kepada

pasien yang mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan tidurnya.

Usaha pasien dalam memenuhi kebutuhan pola tidur pasien kurang menjadi

fokus perhatian perawat, selama ini perhatian perawat masih terfokus pada

respon fisik yang muncul akibat penyakit yang diderita pasien. Terpenuhi

atau tidaknya kebutuhan tidur pasien merupakan suatu yang bersifat

subyektif, sulit dinilai dari penampilan dan tanda-tanda fisik, sehingga

pendekatan yang baik perlu dilakukan untuk mengetahui persepsi, sikap dan

harapan pasien tentang kebutuhan tidurnya.

Di Indonesia masalah gangguan pola tidur yang disebabkan oleh

kebisingan juga sering terjadi di lingkup rumah sakit. Hal tersebut dibuktikan

dengan salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Sujiati tahun 2008

tentang “Hubungan Stresor Bising Dengan Gangguan Pola Tidur Pada Pasien

Di Instalasi Rawat Jantung RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta” diperoleh hasil

terdapat hubungan yang bermakna antara stresor bising dengan Gangguan

3
pola tidur dengan p: 0.020; r: 0.378 (CI: 1.005-1.769) dan OR: 1.333.

Sumber-sumber kebisingan berasal dari aktivitas perawatan, penerimaan

pasien baru, aktivitas resusitasi jantung paru, alarm dari berbagai peralatan

yang dipakai (bed side monitor, syringe pump, DC Shock, dan ventilasi

mekanik) dan juga dari pasien lain yang gaduh gelisah (Skripsi Sujiati; FKU

Gadjah Mada, 2008). Pada penelitian lain yang dilakukan di RSUD dr.

Soewondo didapatkan 78% pasien mengalami gangguan pola tidur, baik

karena penyakitnya atau tempat yang dihuninya (Arifianto, 2006).

Ruang Melati (Interna) merupakan salah satu ruang rawat di Badan

Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe yang memberikan

pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan secara berkesinambungan

khusus untuk penyakit dalam pada pasien dengan taraf penyakit level ringan

sampai sedang (tidak termasuk pasien kritis). Ruangan-ruangan yang terdapat

di rawat inap penyakit dalam yaitu ruangan pasien Kelas (1A, 1B, 1C), Kelas

IIA, Kelas IIIA dan IIIC (perempuan), Kelas III B dan III D (laki-laki),

Kamar jaga Perawat, Ruang administrasi Kepala ruangan dan Gudang.

Pasien-pasien yang dirawat di Ruang Melati (interna) adalah pasien penyakit

dalam dan bukan pasien yang termasuk dalam kategori kritis maupun

penyakit menular. Jadwal besuk bagi penjenguk antara pukul 08.00-14.00 dan

16.00-20.00 WITA (Prosedur Tetap Penerimaan Pasien Ruang Melati BLUD

Rumah Sakit Konawe, 2014).

Pasien yang dirawat di ruang perawatan penyakit dalam BLUD

Rumah Sakit Konawe pada bulan Maret 2014 ada 69 pasien (Buku Register

4
Pasien Ruang Melati, 2014). Dari wawancara dengan 25 pasien, didapatkan

adanya gangguan pola tidur meliputi berkurangnya jumlah jam tidur maupun

kualitas tidur dibandingkan dengan saat di rumah/sebelum sakit pada 4

pasien. Beberapa faktor diungkapkan pasien yang menyebabkan gangguan

pola tidur tersebut di antaranya memikirkan penyakit dan rasa sakit yang

dideritanya, suhu ruangan yang panas, suasana ruang rawat, dan kebisingan

ruang rawat yang berasal dari suara pasien lain dan dari berbagai aktivitas

petugas kesehatan yang ada di sekitarnya. Adapun penyakit medik yang ada

di ruang Melati (Interna) BLUD Rumah Sakit Konawe yaitu Hipertensi,

Asma, Demam Berdarah Dengue, Gastroenteritis, Infak Miocard, Infeksi

saluran kemih, Gastritis, Demam Typhoid, dan Kolik Abdomen.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah

penelitian ini yaitu :

1. Adakah hubungan antara ketidaknyamanan fisik dengan gangguan pola

tidur pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

2. Adakah hubungan antara lingkungan dengan gangguan pola tidur pasien

di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pola

tidur pasien yang dirawat di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

2. Tujuan Khusus

5
a. Mengetahui hubungan antara ketidaknyamanan fisik dengan

gangguan pola tidur pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit

Konawe.

b. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan gangguan pola

tidur pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1). Manfaat Teoritis

a. Bagi institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya

Kendari Program Studi Keperawatan penelitian ini diharapkan dapat

menjadi bahan masukan atau tambahan referensi pada perpustakaan.

b. Bagi Peneliti merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam

rangka memperluas wawasan keilmuan dan sebagai upaya untuk

mendalami masalah-masalah keperawatan di Rumah Sakit serta

mengaplikasikan teori-teori yang ada dalam praktek keperawatan.

c. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

acuan dalam pengembangan penelitian kedepan.

2). Manfaat Praktis

a. Bagi Pihak Rumah Sakit penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan evaluasi pelaksanaan pelayanan perawatan pasien dalam

upaya meningkatkan mutu pelayanan bagi pasien yang dirawat di

6
Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe di masa yang akan

datang.

b. Bagi Profesi Keperawatan penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan pasien,

khususnya dalam memodifikasi dan meminimalkan stressor

kebisingan lingkungan ruang rawat sehingga pasien bisa terpenuhi

kebutuhan tidurnya.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tidur

1. Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar yang orang tersebut

dapat dibangunkan dengan rangsang sensorik atau dengan rangsang

lainnya (Guyton and Hall, 2010). Menurut Kaplan and Sadock (2012),

tidur disertai dengan berbagai perubahan fisiologis, termasuk respirasi,

fungsi jantung, tonus otot, temperatur, sekresi hormon dan tekanan darah,

sehingga tidur mempunyai fungsi restoratif, homeostatik, termoregulasi,

dan cadangan energi normal.

Menurut Lanywati (2008), tidur merupakan keadaan hilangnya

kesadaran secara normal dan periodik. Dengan tidur akan diperoleh

kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi tubuh baik secara

fisiologis maupun psikis sehingga tidur merupakan perlindungan bagi

tubuh untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh yang merugikan

kesehatan akibat kurang tidur.

2. Fisiologis Tidur

Aktivitas tidur berhubungan dengan mekanisme serebral yang

secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur

dan bangun. Bagian otak yang mengendalikan aktivitas tidur adalah

batang otak, tepatnya pada sistem pengaktifan retikularis atau Reticular

Activiting System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR).

8
RAS terdapat di batang otak bagian atas dan diyakini memiliki sel-sel

khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan serta kesadaran. RAS

juga diyakini dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri

dan perabaan serta dapat menerima stimulasi dari korteks serebri

termasuk rangsangan emosi dan proses berpikir.

Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin untuk

mempertahankan kewaspadaan dan agar tetap terjaga. Pengeluaran

serotonin dari BSR menimbulkan rasa kantuk yang selanjutnya

menyebabkan tidur. Terbangun dan terjaganya seseorang tergantung pada

keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik

(Lyndon, 2013).

3. Tahapan Tidur

Dikatakan oleh Kaplan and Sadock (2012), tidur dibagi menjadi 2

tipe yaitu: Tipe Rapid Eye Movement (REM) dan Tipe Non Rapid Eye

Movement (NREM).

a. Tidur NREM

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari

4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Dibandingkan dengan

keadaan terjaga, sebagian fungsi fisiologis menurun pada keadaan

tidur NREM. Pada orang normal, tidur NREM adalah keadaan

tenang yang relatif terhadap terjaga. Kecepatan denyut jantung

biasanya lebih lambat 5 sampai 10 kali per menit di bawah tingkat

terjaga penuh dan sangat teratur. Respirasi mengalami hal yang

9
sama. Tekanan darah juga cenderung rendah, dengan sedikit variasi

dari menit ke menit. Potensial otot istirahat dari otot-otot tubuh lebih

rendah pada tidur REM. Gerakan tubuh yang episodik, involunter

ditemukan pada tidur NREM. Terdapat beberapa gerakan mata yang

cepat, penurunan aliran darah ke sebagian jaringan termasuk aliran

darah ke otak. Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu: stadium 1,

2, 3, dan 4.

1). Tidur stadium satu: stadium ini disebut sebagai onset tidur,

dimulai dengan stadium NREM. Fase ini merupakan antara fase

terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata

tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke

kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan

mudah sekali dibangunkan, dan bila terbangun merasa seperti

setengah tidur. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang

campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan

amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang

sleep spindle dan kompleks K.

2). Tidur stadium dua: pada fase ini didapatkan bola mata berhenti

bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari

pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta

simetris voltase rendah-sedang, terlihat adanya gelombang sleep

spindle, gelombang verteks dan komplek K. Tonus otot rendah,

nadi dan tekanan darah cenderung menurun.

10
3). Tidur stadium tiga: fase ini tidur lebih dalam dari fase

sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang

delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep

spindle. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola

mata.

4). Tidur stadium empat: merupakan tidur yang dalam serta sukar

dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta

sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM

ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit,

setelah itu akan masuk ke fase REM.

Dinyatakan pula oleh Kaplan and Sadock (2012), secara

normal ada dua tipe petidur, yaitu petidur singkat (short sleeper) dan

petidur lama (long sleeper). Petidur singkat membutuhkan waktu

kurang dari enam jam setiap malam untuk dapat berfungsi secara

adekuat, sedangkan petidur lama membutuhkan waktu lebih dari

sembilan jam setiap malamnya agar dapat berfungsi secara adekuat.

Seiring dengan bertambahnya usia, kebutuhan waktu untuk

tidur akan berkurang. Bayi memerlukan waktu tidur selama 16 jam,

8 jam pada usia 20 tahun, 7 jam pada usia 40 tahun, 6,5 jam pada

usia 60 tahun dan 6 jam pada usia 80 tahun (Lanywati, 2008).

Kebiasaan tidur setiap orang bervariasi tergantung pada

kebiasaan yang dibawa semasa perkembangannya menjelang

dewasa, aktivitas pekerjaan, usia, dan kondisi kesehatannya.

11
Kebutuhan tidur yang cukup selain ditentukan oleh faktor jumlah

jam tidur (kuantitas tidur), juga ditentukan oleh faktor kedalaman

tidur (kualitas tidur). Seseorang dapat tidur dengan waktu yang

pendek namun dengan kedalaman yang cukup, sehingga saat bangun

akan terasa segar kembali dan pola tidur yang demikian tidak akan

mengganggu kesehatan (Lanywati, 2008).

b. Tidur REM

Menurut Lyndon (2013), Tidur REM disebut juga tidur

paradoks yaitu suatu jenis tidur yang berbeda secara kualitatif yang

ditandai oleh tingkat aktivitas otak dan fisiologis yang sangat aktif

yang mirip dengan keadaan terjaga. Fase tidur REM biasanya terjadi

rata-rata setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-20

menit. Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM dan biasanya

sebagian besar mimpi terjadi pada tahap ini. Tidur REM penting

untuk keseimbangan mental dan emosi. Selain itu, tahapan tidur ini

juga berperan dalam proses belajar, memori dan adaptasi.

Tidur REM ditandai dengan:

1). Lebih sulit dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-

tiba.

2). Tonus otot sangat terdepresi dan menunjukkan inhibisi kuat

proyeksi spinal atas sistem pengaktivasi retikularis.

3). Sekresi lambung meningkat.

12
4). Frekuensi denyut jantung dan pernapasan sering kali menjadi

tidak teratur.

5). Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak

teratur.

6). Mata cepat tertutup dan terbuka.

7). Metabolisme meningkat (Lyndon, 2013).

Menurut Kaplan and Sadock (2012), pola tidur berubah

sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur

REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pola

EEG berubah dari keadaan sadar masuk ke fase REM tanpa melalui

stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga

persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai

dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk ke periode

awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM.

Pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut:

NREM (75%) yaitu stadium 1: 5%; stadium 2: 45%; stadium 3:

12%; stadium 4:13% dan REM (25%). Distribusi ini relatif tetap

sampai lanjut usia, walaupun terjadi penurunan tidur gelombang

lambat dan tidur REM pada lanjut usia. Pola tidur normal pada lansia

terdiri dari tidur selama kurang lebih 6 jam, mengalami periode tidur

REM sebanyak 20-25%, stadium 4 berkurang dan kadang-kadang

tidak ada, tidur REM pertama menjadi lebih panjang, sering

13
terbangun di malam hari, dan memerlukan waktu lebih lama untuk

tertidur kembali.

Menurut Lyndon (2013), selama tidur individu mengalami

siklus tidur yang di dalamnya terdapat pergantian antara tahap tidur

NREM dan REM secara berulang. Siklus tidur pada individu dapat

diringkas sebagai berikut :

1). Pergeseran dari tidur NREM tahap I-III selama 30 menit.

2). Pergeseran dari tidur NREM tahap III ke tahap IV. Tahap IV ini

berlangsung selama 20 menit.

3). Individu kembali mengalami tidur NREM tahap III dan tahap II

yang berlangsung selama 20 menit.

4). Pergeseran dari tidur NREM tahap II ke tidur REM. Tidur REM

ini berlangsung selama 10 menit.

5). Pergeseran dari tidur REM ke tidur NREM tahap II.

6). Siklus tidur pun dimulai, tidur NREM menjadi bergantian

dengan tidur REM. Siklus ini normalnya berlangsung selama 1,5

jam dan setiap orang umumnya melalui 4-5 siklus selama 7-8

jam tidur.

4. Manfaat Tidur Bagi Kesehatan

Hal-hal mendasar yang dapat dirasakan dengan aktivitas tidur

adalah bahwa tidur memulihkan kesegaran badan, kestabilan dan

membantu berpikir lebih baik. Ada beberapa teori yang mengatakan,

mimpi dalam tidur membantu mengsolidasikan memori atau ingatan. Ada

14
juga teori mengatakan bahwa tidur mengisi otak secara elektris (Amirta,

2009).

Adapun manfaat tidur bagi kesehatan antara lain:

a. Tidur Membantu Pertumbuhan Badan : Dengan tidur cukup dan

teratur dapat memperlancar pertumbuhan hormon juga memperkuat

tulang dan memberikan masa otot sehingga badan akan terlihat

proposional.

b. Saat tidur, Zat-zat racun tidak berguna dibersihkan dari dalam otak

dan tubuh kita, hasil dari proses itu ialah tubuh kita akan merasa fit

dan kembali bersemangat untuk memulai aktifitas kembali esok

harinya.

c. Kesehatan otak dapat tetap terjaga dengan tidur yang cukup

dikarenakan racun dalam otak terbuang sehingga proses berpikir dapat

dengan cepat serta tidur ini sangat baik dalam meningkatkan

kemampuan otak dalam bidang penyimpanan memori ingatan.

d. Metabolisme tubuh tetap terjaga jika tidur tiap hari cukup, fungsinya

bagi kesehatan terutama kesehatan wajah adalah dapat memperlambat

proses penuaan pada kulit wajah sehingga anda tampak lebih mudah.

5. Akibat Kekurangan Tidur

Beberapa dampak dapat dirasakan apabila kita tidak mendapatkan

atau kurang tidur dengan cara yang berkualitas. Di antaranya akan

berdampak pada pengaruh daya ingat, konsentrasi dan berpikir menjadi

menurun.

15
Kurang tidur juga bisa memicu obesitas atau kegemukan. Karena

seseorang yang kurang tidur, cenderung mencari makanan manis dan

berlemak. Dimana hal itu dipengaruhi hormon ghrelin yang menjadi

meningkat, sedangkan hormon leptin menurun. Selain itu juga dapat

meningkatkan gula darah dalam tubuh, atau yang disebut dengan

diabetes. Hal lain yang juga berpengaruh adalah nafsu makan dan hasrat

seksual. Gangguan pola tidur juga bisa menyebabkan depresi dan

menurunnya daya tahan tubuh. Pada anak-anak akan mengakibatkan

gangguan pertumbuhan. Pada kelompok usia lanjut, faktor-faktor media

seringkali

6. Kebutuhan Tidur Pada Setiap Tahap Perkembangan

Kebutuhan tidur pada setiap tahap perkembangan dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 2.1.
Kebutuhan Tidur Pada Setiap Tahap Perkembangan Manusia
Usia dan Tingkat Jumlah
Perkembangan Kebutuhan Tidur Pola Tidur Normal
(Jam/Hari)
0-1 bulan 14 - 18 50% dari siklus tidur adalah
(masa neonatus) tidur REM, siklus tidur
berlangsung selama 45-60
menit.
1-12 bulan 12 - 14
(masa bayi) 20%-30% dari siklus tidur
adalah tidur REM, bayi
mungkin akan tidur sepanjang
1-3 tahun 10 - 12 malam.
(masa anak-anak)
Sekitar 25% dari siklus tidur
adalah tidur REM, anak-anak
tidur pada siang hari dan tidur
3-6 tahun 11 sepanjang malam.
(masa prasekolah)
20% dari siklus tidur adalah

16
6-12 10 tidur REM.
(masa sekolah)
18,5% dari siklus tidur adalah
12-18 tahun 7 - 8,5 tidur REM.
(masa remaja)
20% dari siklus tidurnya adalah
18-40 tahun 7-8 tidur REM.
(masa dewasa muda)
20% - 25% dari siklus tidurnya
40-60 tahun adalah tidur REM
(masa dewasa 7-8
menengah)
20% dari siklus tidurnya adalah
> 60 tahun tidur REM, individu mungkin
(masa dewasa tua) 6 mengalami insomnia dan sulit
untuk tidur.

20% - 25% dari siklus tidurnya


adalah tidur REM; individu
dapat mengalami insomnia,
sering terjaga sewaktu tidur, dan
tahap IV NREM menurun,
bahkan terkadang tidak ada.

B. Tinjauan Tentang Gangguan Pola Tidur

1. Pengertian

Menurut Wilkinson (2010), gangguan pola tidur adalah gangguan

jumlah dan kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodik) yang

dibatasi waktu dalam jumlah dan kualitas, dengan batasan karakteristik:

a) subyektif: bangun lebih awal atau lebih lambat dari yang diinginkan,

ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan tidur, dan keluhan

verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan baik; b) obyektif:

penurunan kemampuan fungsi, penurunan proporsi tidur fase REM,

penurunan proporsi tidur tahap 3 dan 4, insomnia dini hari, perpanjangan

waktu tidur, awitan tidur lebih dari 30 menit, dan bangun ≥ 3 kali di

malam hari.

17
Kurang tidur (insomnia) yang sering terjadi dan berkepanjangan

dapat mengganggu kesehatan fisik maupun psikis. Pada segi fisik,

insomnia akan menyebabkan muka pucat, mata sembab, badan lemas,

daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit dan gejala

alergi akan mudah muncul. Pada segi psikis, insomnia akan

mempengaruhi sistem saraf, menyebabkan timbulnya perubahan suasana

kejiwaan sehingga penderita akan menjadi lesu, lamban menghadapai

rangsang, dan sulit berkonsentrasi (Lanywati, 2008).

Gangguan pola tidur bisa diukur secara obyektif maupun secara

subyektif. Banyak penelitian yang menggunakan polisomnografi sebagai

standar baku emas (gold standard) untuk mengukur gangguan pola tidur

secara obyektif pada pasien. Akan tetapi karena pemakaian

polisomnografi memerlukan biaya yang mahal dan perlu waktu yang

lama, maka alternatif lainnya untuk pengukuran gangguan pola tidur

dengan aktigrafi, monitor elektroencepalografi, dan dengan observasi

serta penilaian subyektif (Watson, 2010).

2. Macam-Macam Gangguan Pola Tidur

Menurut American Sleep Disorders Association (Taylor, et al.,

2008), gangguan pola tidur meliputi empat kategori besar, yaitu:

disomnia, parasomnia, gangguan pola tidur berhubungan dengan

penyakit medik atau gangguan psikiatrik, dan gangguan pola tidur yang

lain. Sistem klasifikasi ini, selalu berkembang dan diteliti terus, dan tidak

18
semua gangguan pola tidur ini terdefinisikan dengan jelas, sehingga

secara umum, gangguan pola tidur adalah disomnia dan parasomnia.

Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan

waktu tidur, terdiri dari insomnia, hipersomnia, narkolepsi, gangguan

pola tidur yang berhubungan dengan pernapasan (sleep apnea), restless

leg syndrome, dan disomnia yang tidak dapat diklasifikasikan.

Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa fisiologis

yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu atau perpindahan

tidur-bangun, yang terdiri dari gangguan mimpi buruk, mengigau,

mengompol, bruxism (gemeretuk gigi saat tidur), gangguan terror tidur,

berjalan saat tidur (somnambulisme), dan parasomnia yang tidak dapat

diklasifikasikan.

Menurut Lyndon (2013), gangguan masalah kebutuhan tidur

meliputi berbagai manisfestasi, antara lain :

a. Insomnia

Insomnia adalah kesukaran dalam memulai dan

mempertahankan tidur sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan

tidur yang adekuat, baik kuantitas maupun kualitas. Keadaan ini

merupakan keluhan tidur yang paling sering dijumpai, baik yang

bersifat sementara maupun persisten. Insomnia yang bersifat

sementara umumnya berhubungan dengan kecemasan dan

kegelisahan.

Insomnia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

19
1). Insomnia inisial: ketidakmampuan untuk memulai tidur.

2). Insomnia intermitten: ketidakmampuan untuk tetap tertidur

karena terlalu sering terbangun.

3). Insomnia terminal: ketidakmampuan untuk tidur kembali setelah

terbangun pada malam hari.

b. Hipersomnia

Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia.

Hipersomnia adalah gangguan pola tidur yang ditandai dengan tidur

berlebihan, terutama pada siang hari, walaupun sudah mendapatkan

tidur yang cukup. gangguan pola tidur ini dapat disebabkan oleh

kondisi medis tertentu, misalnya gangguan pada sistem saraf, hati

atau ginjal: gangguan metabolisme; dan masalah psikologis, seperti

depresi, kecemasan, dan mekanisme koping untuk menghindari

tanggung jawab pada siang hari.

c. Parasomnia

Parasomnia merupakan perilaku yang dapat menganggu tidur

atau perilaku yang muncul pada saat seseorang tidur. Gangguan ini

umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa turunan parasomnia

antara lain adalah sering terjaga (misalnya tidur berjalan dan night

terror), gangguan transisi bangun-tidur (misalnya mengigau),

parasomnia yang berkaitan dengan tidur REM (misalnya mimpi

buruk), dan lain-lain (misalnya bruksisme).

20
d. Narkolepsi

Merupakan gelombang kantuk yang tak-tertahankan yang

muncul secara tiba-tiba pada siang hari. Gangguan ini disebut juga

“serangan tidur” atau sleep attack. Narkolepsi diduga merupakan

suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan genetik

sistem saraf pusat yang menyebabkan tidak terkendalinya periode

tidur REM.

e. Apnea Saat Tidur

Apnea saat tidur (sleep apnea) merupakan kondisi ketika

napas terhenti secara periodik pada saat tidur. Apnea saat tidur dapat

dibagi menjadi tiga jenis, yaitu apnea sentral, obstruktif, serta

campuran (sentral dan obstruktif). Apnea sentral melibatkan

disfungsi pusat pengendalian napas di otak. Apnea obstruktif terjadi

ketika otot dan struktur rongga mulut relaks dan jalan napas

tersumbat. Apnea obstruktif dapat menyebabkan mendengkur,

mengantuk berlebihan pada siang hari, dan kematian bayi secara

mendadak. Apnea tipe ini dapat ditemukan pada penderita penyakit

kronis, misalnya pada penderita penyakit hati tahap akhir.

f. Somnabulisme

Somnabulisme merupakan keadaan ketika tengah tidur, tetapi

melakukan kegiatan orang yang tidak tidur. Penderita seringkali

duduk dan melakukan tindakan motorik, misalnya berjalan,

21
berpakaian, pergi ke kamar, berbicara atau mengemudikan

kendaraan.

g. Enuresa

Enuresa atau mengompol merupakan kegiatan buang air kecil

yang tidak disengaja pada waktu tidur. Enuresa dapat dibagi menjadi

dua jenis, yaitu enuresa nokturnal dan diurnal. Enuresa nokturnal

merupakan keadaan mengompol pada saat tidur dan umumnya

terjadi karena ada gangguan pada tidur NREM. Enuresa diurnal

merupakan keadaan mengompol pada saat bangun tidur.

h. Gangguan jadwal tidur-bangun

Adalah ketidaksejajaran antara perilaku tidur dan bangun.

Gejala yang sering adalah individu tidak dapat tidur pada saat

mereka ingin tidur, walaupun mereka dapat tidur pada waktu yang

lain. Demikian juga sebaliknya, mereka tidak dapat terjaga penuh

jika mereka ingin terjaga penuh, tetapi mereka mampu terjaga di

waktu yang lain (Kaplan and Sadock, 2012).

Dari beberapa macam gangguan tidur tersebut, ada 4 macam

gangguan tidur yang umum dan biasa dialami oleh pasien di ruang

perawatan, yaitu: Insomnia, Hipersomnia, Parasomnia dan Gangguan

tidur-bangun.

3. Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Pola Tidur

a. Pengkajian Kebutuhan Istirahat dan Tidur

22
Menurut Asmadi (2008), aspek yang perlu dikaji pada klien

untuk mengidentifikasi mengenai gangguan pola tidur meliputi

pengkajian mengenai :

1). Pola tidur, seperti jam berapa klien masuk kamar untuk tidur,

jam berapa biasa bangun tidur dan keteraturan pola tidur klien.

2). Kebiasaan yang dilakukan klien menjelang tidur, seperti

membaca buku, buang air kecil, dan lain-lain.

3). Gangguan pola tidur yang sering dialami klien dan cara

mengatasinya.

4). Kebiasaan tidur siang

5). Lingkungan tidur klien. Bagaimana kondisi lingkungan tidur

klien? Apakah kondisinya bising, gelap, atau suhu terlalu

dingin?

6). Peristiwa yang baru dialami klien dalam hidup. Perawat

mempelajari apakah peristiwa yang dialami klien yang

menyebabkan gangguan pola tidur?

7). Status emosi dan mental klien. Status emosi dan mental

mempengaruhi kemampuan klien untuk istirahat dan tidur.

Perawat perlu mengkaji status mental dan emosional klien,

misalnya apakah mengalami stress emosional (Ansietas)? Juga

dikaji sumber stress yang dialami klien.

8). Perilaku deprivasi tidur yaitu manifestasi fisik dan perilaku yang

timbul sebagai akibat gangguan istirahat tidur, seperti:

23
a). Penampilan wajah, misalnya adakah area gelap disekitar

mata, konjungtivas kemerahan atau mata yang terlihat

cekung.

b). Perilaku yang terkait dengan gangguan istirahat tidur,

misalnya apakah klien mudah tersinggung, selalu menguap,

kurang konsentrasi atau terlihat bingung.

c). Kelelahan, misalnya apakah klien tampak lelah, letih atau

lesuh.

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin ditemukan pada klien

dengan gangguan pola tidur, antara lain: (Asmadi. 2008)

1). Gangguan pola tidur

Gangguan pola tidur ini dapat disebabkan karena ansietas yang

dialami klien, lingkungan yang tidak kondusif untuk tidur

(misalnya, lingkungan yang bising), ketidakmampuan mengatasi

stress yang dialami, dan nyeri akibat penyakit yang diderita

klien.

2). Perubahan proses pikir

Perubahan proses berpikir ini disebabkan oleh terjadinya

deprivasi tidur.

3). Gangguan harga diri

Gangguan harga diri terutama dialami pada klien yang

mengalami enuresis.

24
4). Risiko cedera

Risiko cedera terutama pada klien yang menderita

somnambulisme. Pada somnambulisme ini, klien melakukan

aktivitas tanpa disadari sehingga berisiko terjadinya kecelakaan,

bisa berupa jatuh dari tempat tidur, turun tangga atau

membentur di tembok, dan lain-lain.

c. Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Istirahat dan Tidur

Pada klien yang dirawat di rumah sakit dapat mengalami

masalah istirahat dan tidur. Masalah tersebut sering berhubungan

dengan lingkungan rumah sakit, rutinitas ruangan, atau penyakit

yang dideritanya. Walaupun begitu, perawat mesti membantu klien

untuk dapat istirahat dan tidur.

Berikut ini beberapa intervensi yang dapat diterapkan untuk

membantu pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada klien yang

dirawat (Asmadi. 2008).

1). Ciptakan lingkungan yang nyaman, dapat dilakukan misanya

dengan:

a). Pintu kamar klien ditutup

b). Kurangi stimulus, misalnya percakapan

c). Tempatkan klien dengan teman yang cocok, dan lain-lain.

2). Membantu kebiasaan klien sebelum tidur, misalnya dengan

mendengarkan music, membaca, dan berdo'a. Pada klien anak-

25
anak dapat dilakukan dengan membaca dongeng, memegang

boneka atau benda yang disukainya.

3). Diet

a). Anjurkan klien untuk memakan makanan yang mengandung

tinggi protein, seperti susu dan keju.

b). Hindari banyak minum sebelum tidur.

4). Hindari latihan fisik yang berlebihan sebelum tidur.

5). Hindari rangsangan mental yang tidak menyenangkan sebelum

tidur. Maksudnya, usahakan psikologi klien tenang, tidak cemas,

ataupun stress sebelum tidur.

6). Berikan rasa nyaman dan rileks, misalnya dengan :

a). Mengatur posisi yang nyaman untuk tidur

b). Anjurkan klien untuk berkemih sebelum tidur

c). Tempat tidur yang bersih dan tidak boleh basah

d). Pada klien nyeri, berikan obat analgesic 30 menit sebelum

tidur

7). Hindari kegiatan yang membangkitkan minat sebelum tidur

8). Berdo’a sesuai dengan agamanya

d. Implementasi Keperawatan

Mengontrol lingkungan tidur, melakukan rutinitas menjelang tidur.

e. Evaluasi

Terapi yang dirancang untuk meningkatkan tidur bersifat individual

(Saryono, 2011).

26
C. Tinjauan Tentang Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pola

Tidur

Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan pola tidur

antara lain: penyakit medik, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stress

psikologis, stimulan dan alkohol, diet, merokok, medikasi, motivasi dan

banyaknya pengobatan dan tindakan perawatan yang dilakukan pada pasien

yang dapat mengubah kualitas dan kualtitas tidur (Walder et al., 2011).

1. Penyakit Medik

Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan

fisik (misalnya kesulitan bernapas), atau masalah suasana hati, seperti

kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan gangguan pola tidur.

Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak

daripada biasanya. Di samping itu, siklus tidur-bangun selama sakit juga

dapat mengalami gangguan.

Penyakit, merupakan stresor fisiologis maupun psikologis, dapat

mempengaruhi tidur. Penyakit-penyakit tertentu, secara khusus lebih

menyebabkan terganggunya tidur daripada penyakit yang lain, seperti;

Ulkus Peptikum, Infark Miokard, Epilepsi, Gangguan Hati, Encepalitis,

Hipothyroidisme, Gagal Ginjal Kronik, dan penyakit kanker (Taylor, et

all., 2008).

Salah satu penyebab terganggunya tidur pasien di unit

perawatan adalah penyakit yang diderita pasien baik akut maupun kronik

(Cooper, et al., 2009). Terganggunya tidur pasien-pasien di Ruang

27
Perawatan ada berbagai sebab diantaranya penyakit medik yang diderita

pasien seperti sepsis, penyakit paru akut maupun kronis, penyakit

jantung, stroke, epilepsi, paska tindakan pembedahan, nyeri (Walder, et

al., 2011).

2. Kelelahan

Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur

seseorang. Semakin lelah seseorang, semakin pendek siklus tidur REM

yang dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya siklus REM akan kembali

memanjang.

3. Lingkungan

Faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi tidur adalah suhu

ruangan yang panas atau dingin, kelembaban yang berubah-ubah,

stimulasi yang berlebihan, kurangnya privasi, pencahayaan (terlalu terang

atau gelap), kegaduhan/kebisingan, bau yang berbahaya, restrein fisik,

pasangan tidur, dan perlengkapan tidur yang asing biasanya

menyebabkan terjadinya gangguan pola tidur pada pasien yang dirawat di

lingkungan perawatan (Wilkinson, 2010).

Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting

pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik

adalah esensial untuk tidur tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat

tidur mempengaruhi kualitas tidur. Tempat tidur rumah sakit seringkali

lebih keras daripada di rumah. Suara juga mempengaruhi tidur. Tingkat

28
suara yang diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada

tahap tidur.

Di rumah sakit, cahaya buatan umumnya disediakan dengan

lampu-lampu fluoresen. Ini menciptakan jenis cahaya tajam yang

menimbulkan kelelahan visual dan sakit kepala, jika tidak terlindungi.

Cahaya apa pun yang menyilaukan sangat mengganggu bagi pasien.

Cahaya yang terang bisa berlangsung selama berjam-jam di berbagai

Ruang Perawatan, sehingga dapat mempengaruhi pola tidur pasien

(Hudak and Gallo, 2010).

Frekuensi yang sering dari monitoring/test diagnostik dan

aktivitas tindakan perawatan pada pasien di ruang perawatan,

menyebabkan terganggunya tidur pada pasien (Tamburri, et al., 2007).

Jumlah dan kualitas kebisingan menjadi faktor penghambat

proses penyembuhan pasien. Sebagai contoh, tingkat kebisingan yang

tinggi meningkatkan kebutuhan akan obat penurun nyeri, suara yang

keras diantara petugas kesehatan bisa menyebabkan rasa marah pada

pasien karena egosentris normal pasien menyebabkan mereka

menginterpretasikan semua percakapan di lingkungannya tertuju padanya

(Hudak and Gallo, 2010).

4. Stres Psikologis

Penyakit dan bervariasinya situasi lingkungan bisa

menyebabkan stres psikologis bahkan bisa sampai mengganggu tidur.

Pada umumnya, stres psikologis mempengaruhi tidur dalam dua cara: a)

29
pasien mengungkapkan pengalaman stres sebagai kesulitan

mempertahankan tidur sesuai kebutuhan, b) Tidur REM menurun,

sehingga menambah kecemasan dan rasa stres (Taylor, et al., 2008).

Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang.

Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinefrin darah melalui

stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya

siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat

tidur.

Berdasarkan penelitian Desita Febriana tahun 2011 tentang

“Kajian Stres Hospitalisasi Terhadap Pemenuhan Pola Tidur Anak Usia

Prasekolah Di Ruang Anak Rs Baptis Kediri”, Keadaan hospitalisasi

dapat menjadi stresor bagi anak saat dirawat di rumah sakit, sehingga

anak akan mengalami stres hospitalisasi yang ditunjukkan dengan adanya

perubahan beberapa perilaku pada anak. Apabila masalah tidak teratasi,

maka hal ini akan menghambat proses perawatan anak dan kesembuhan

anak itu sendiri. Dalam penelitin tersebut terbukti 85% anak mengalami

stres hospitalisasi sedang pada anak di Ruang Anak Rumah Sakit Baptis

Kediri dan 62% anak mengalami gangguan pola tidur pada anak usia

prasekolah.

Hasil penelitian tersebut memberi gembaran bahwa faktor stress

psikologis dapat mengakibatkan perubahan pola tidur pasien yang

dirawat di ruang perawatan. Dukungan psikososial sangat

dibutuhkan oleh pasien di ruang perawatan termasuk bantuan

30
dalam mengatasi efek perawatan di rumah sakit. Suara dan aktivitas-

aktivitas unit mengganggu pasien selama 24 jam sehari, selain itu, pasien

harus mengatasi rasa takut akan penyakitnya. Stimulus yang berlebihan

di lingkungan perawatan bisa menyebabkan masalah psikologis pada

pasien (Hudak and Gallo, 2010).

5. Gaya Hidup

Rutinitas seseorang dapat mempengaruhi pola tidur. Contohnya

Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitasnya agar

bisa tidur pada waktu yang tepat (Lyndon, 2013).

6. Stimulan dan Alkohol

Contoh stimulant yang paling umum ditemukan adalah kafein

dan nikotin. Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat

merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur. Nikotin yang

terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh. Akibatnya,

perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam

hari. Sedangkan konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu

siklus tidur REM. Ketika pengaruh alkohol telah hilang, individu sering

kali mengalami mimpi buruk (Lyndon, 2013).

7. Diet dan Nutrisi

Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur

dan seringnya terjaga di malam hari. Sebaliknya, penambahan berat

badan dikaitkan dengan peningkatan pola tidur dan sedikitnya periode

terjaga di malam hari.

31
8. Motivasi

Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi

perasaan lelah seseorang. sebaliknya, perasaan bosan atau tidak adanya

motivasi untuk terjaga sering kali dapat mendatangkan kantuk (Lyndon,

2013).

9. Medikasi (Obat-obatan)

Kualitas tidur bisa juga dipengaruhi oleh obat-obat tertentu.

Obat yang menurunkan tidur REM diantaranya barbiturat, amfetamin,

dan antidepresan. Diuretik, anti parkinson, anti hipertensi, steroid,

dekongestan, caffein, dan beberapa obat asthma menyebabkan gangguan

pola tidur secara umum (Taylor, et al., 2008).

32
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar yang orang tersebut dapat

dibangunkan dengan rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur

dibagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Tipe

Rapid Eye Movement (REM). Akibat dari kurang tidur di antaranya akan

berdampak pada pengaruh daya ingat, konsentrasi dan berpikir menjadi

menurun.

Gangguan pola tidur adalah gangguan jumlah dan kualitas tidur

(penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi waktu dalam jumlah

dan kualitas. Gangguan pola tidur meliputi: insomnia, hipersomnia,

parasomnia, narkolepsi, apnea saat tidur, somnabulisme dan enuresa. Ada

beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan pola tidur, yaitu faktor

penyakit, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stress psikologis, stimulan dan

alkohol, diet, merokok, medikasi, motivasi dan banyaknya pengobatan dan

tindakan perawatan yang dilakukan pada pasien.

Beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan pola tidur di

ruang perawatan yaitu ketidaknyamanan fisik, lingkungan perawatan, stress

psikologis dan penggunaan obat-obatan (medikasi). Faktor-faktor tersebut

yang paling erat kaitannya dengan gangguan pola tidur pada pasien yang

dirawat di ruang perawatan.

31

33
B. Bagan Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent


Ketidaknyamanan
Fisik

Lingkungan

Gangguan Pola
Tidur
Stres Psikologi

Obat-obatan
( Medikasi )

Keterangan :

: Variabel Independent (bebas) yang diteliti

: Variabel Independent (bebas) yang tidak diteliti

: Variabel Dependent (terikat)

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen ( bebas ) adalah variabel yang mempengaruhi atau

dianggap menentukan variabel terikat (A. Azis Alimul Hidayat, 2007).

Adapun varibel bebas dalam penelitian ini yaitu ketidaknyamanan fisik,

lingkungan.

2. Variabel Dependen ( terikat ) adalah variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat variabel bebas (A. Azis Alimul Hidayat, 2007). Adapun

varibel terikat dalam penelitian ini yaitu gangguan pola tidur.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

1. Gangguan pola tidur

34
Gangguan pola tidur adalah jika pasien mengalami satu atau lebih

dari beberapa jenis gangguan pola tidur seperti insomnia, hipersomnia,

parasomnia, narkolepsi, somnabulisme, apnea saat tidur, dan enuresa

selama dirawat di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

Kriteria Obyektif :

a. Terganggu : Jika responden mengalami satu atau lebih dari

beberapa jenis gangguan pola tidur tersebut di

atas.

b. Tidak terganggu : Jika responden tidak mengalami satu pun jenis

gangguan pola tidur tersebut di atas.

Variabel diukur dengan menggunakan skala Guttman (Soewadji, 2012).

Adapun nilai pada item variabel ini yaitu:

Jika terganggu nilai = 1, jika tidak terganggu nilai = 0

Variabel ini terdiri dari 10 pertanyaan. Jika menjawab “ya” pada satu

atau lebih dari pertanyaan pada kuisioner maka dikategorikan

“Terganggu”.

2. Ketidaknyamanan Fisik

Ketidaknyamanan fisik adalah keluhan-keluhan dari penyakit

yang diderita oleh pasien baik akut maupun kronik yang menimbulkan

ketidaknyamanan seperti nyeri, pusing, gangguan pernapasan (sesak),

batuk-batuk dan frekuensi BAB yang sering yang menyebabkan

gangguan pola tidur.

Kriteria Obyektif :

35
a. Ada : Jika terdapat salah satu atau lebih keluhan

ketidaknyamanan fisik dari penyakit yang

dideritanya.

b. Tidak ada : Jika tidak terdapat keluhan ketidaknyamanan fisik

dari penyakit yang dideritanya.

Variabel diukur dengan menggunakan skala Guttman (Soewadji, 2012).

Jika Ada nilai = 1

Jika Tidak ada nilai = 0

Variabel ini terdiri dari 5 pertanyaan. Jika menjawab “ya” pada satu atau

lebih dari pertanyaan pada kuisioner maka dikategorikan “Ada”.

3. Lingkungan

Lingkungan adalah faktor eksternal di sekitar tempat pasien

dirawat yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien seperti suhu

ruangan yang panas atau dingin, kurangnya privasi, pencahayaan (terlalu

terang atau gelap), kegaduhan/kebisingan, bau yang berbahaya, restrein

fisik, pasangan tidur, dan perlengkapan tidur yang asing.

Kriteria Obyektif :

a. Kondusif : Jika pasien merasa nyaman dengan lingkungan

tempat ia dirawat.

b. Tidak kondusif : Jika pasien mengalami ketidaknyamanan

dengan lingkungan tempat ia dirawat yang

menyebabkan gangguan pola tidur.

Variabel diukur dengan menggunakan skala Guttman (Soewadji, 2012).

36
Jika Tidak kondusif nilai = 1

Jika Kondusif nilai = 0

Variabel ini terdiri dari 7 pertanyaan. Jika menjawab “ya” pada satu atau

lebih dari pertanyaan pada kuisioner maka dikategorikan “Tidak

kondusif”.

E. Hipotesis Penelitian

1. Ketidaknyamanan Fisik

H0 : Tidak ada hubungan antara ketidaknyamanan fisik dengan

gangguan pola tidur pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit

Konawe.

Ha : Ada hubungan antara ketidaknyamanan fisik dengan gangguan pola

tidur pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

2. Lingkungan

H0 : Tidak ada hubungan antara lingkungan dengan gangguan pola tidur

pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

Ha : Ada hubungan antara lingkungan dengan gangguan pola tidur

pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe.

37
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik, dengan menggunakan rancangan

cross sectional study.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 11 sampai 24 November tahun

2014.

2. Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit

Konawe.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan yang menjadi obyek penelitian

(Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien

yang dirawat di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe pada bulan

Maret 2014 yaitu sebanyak 69 orang.

2. Sampel

Sampel adalah obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmojo, 2012). Sampel penelitian ini adalah pasien yang

menjalani perawatan di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe yang

ada pada saat penelitian berlangsung.

38
Rumus yang digunakan untuk menghitung besar sampel adalah :

N
n = 1 + N(d )

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besar populasi

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

Perhitungan sampel :

n= 69
1 + 69 ( d2 )

n= 69
1 + 69.( 0,1 )2

n= 69 = 40,8
1.69
n = 41

Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 41 orang.

Adapun teknik pengambilan sampel yaitu dengan accidental

sampling dimana peneliti mengambil sampel yang ada atau ditemukan

saat penelitian sedang berlangsung (Sugiyono, 2009).

a. Kriteria inklusi

1). Pasien yang sudah menjalani perawatan minimal 24 jam.

2). Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed

consent.

3). Dapat berkomunikasi dengan petugas (mempunyai orientasi

baik).

4). Pasien dengan skala nyeri ringan (1-3)

39
5). Dapat berbahasa Indonesia.

b. Kriteria eksklusi

1). Pasien yang mengalami nyeri skala 4-10 (dari skala nyeri 1-10).

2). Pasien yang mendapat terapi medis sedatif secara terus menerus

(kontinyu).

3). Pasien yang mengalami gangguan mental.

D. Sumber Data dan Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari responden dengan

menggunakan lembar kuisioner yang telah disusun yang mengacu pada

kriteria obyektif.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari buku register pasien ruang

perawatan Penyakit Dalam (Melati) mengenai jumlah pasien ruang

melati bulan Januari sampai Maret 2014, prosedur tetap penerimaan

pasien dan standar peralatan ruang Melati.

E. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan sistem komputerized dengan SPSS

(Statistical Package For The Sosial Science) yang terlebih dahulu melalui

beberapa tahap yaitu :

1. Editing

40
Data yang ada dalam formulir pengumpulan data diperiksa

kelengkapan jawabannya, keterbacaan tulisan, kesesuaian jawaban.

2. Coding

Membuat buku kode secara manual yang berisikan keterangan

mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian, yang meliputi buku

kode variabel karakteristik umum untuk semua sampel dan buku kode

variabel khusus (variabel independen). Buku kode tersebut selanjutnya

dipindahkan ke komputer, ke dalam lembar variabel program SPSS.

3. Processing

Data selanjutnya diinput ke dalam lembar kerja program SPSS,

untuk masing-masing lembar variabel. Urutan input data berdasarkan

nomor subyek dalam formulir pengumpulan data.

4. Cleaning data

Cleaning dilakukan pada semua lembar kerja untuk

membersihkan kesalahan yang mungkin terjadi selama proses input data.

Proses ini dilakukan melalui analisis frekuensi pada semua variabel. Data

missing dibersihkan menginput data yang benar.

F. Analisis dan Penyajian Data

41
Untuk memudahkan proses analisis, data yang telah diolah kemudian

dianalisis melalui program SPSS ver. 17 adapun tahap analisis data yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Analisa Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi dan

presentase dari tiap variabel bebas dengan variabel terikat dengan rumus

f
X = xk
n

Keterangan :

X = Variabel yang diteliti

f = Frekuensi variabel yang diamati

n = Jumlah sampel keseluruhan

k = Konstanta (100 %) (Chandra B, 2008)

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menguji ada tidaknya

hubungan antara variabel bebas (ketidaknyamanan fisik, lingkungan) dan

variabel terikat (Gangguan pola tidur) menggunakan rumus Chi Square,

hasil perhitungan manual akan diperiksa ulang dengan menggunakan

program komputer dengan bantuan perangkat computer program SPSS

Versi 17.

42
Untuk perhitungan Chi Square secara manual dilakukan langkah

sebagai berikut :

a. Membuat tabel silang 2x2 (dua baris x dua kolom)

Gangguan Pola Tidur


Ketidaknyamanan Jumlah
Tidak
Fisik Terganggu Sampel
Terganggu
Ada A b a+b
Tidak ada C d c+d
Total a+c b+d n

b. Menghitung nilai chi square

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut

n (ad – bc)2
X2 =
((a+b)(c+d)(a+c)(b+d))

Keterangan :

X = Chi – kuadrat

n = Jumlah Sampel

a, b, c, d = Frekuensi yang di observasi (Sugiyono, 2009)

Pengujian ditetapkan pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05)

dengan derajat bebas: (k-1) (b-1), k = kolom dan b = baris, kriteria

pengujian:

Terima Ho jika X2 hitung < X2 tabel;

Tolak Ho jika X2 hitung > X2 tabel.

Pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan

sebagai berikut :

43
1). Jika X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel atau nilai p > α 0,05,

maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang berarti tidak ada

hubungan antara variabel independent dengan variabel

dependent.

2). Jika X2 hitung lebih besar dari X2 tabel atau nilai p ≤ α 0,05,

maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti ada hubungan

antara variabel independent dengan variabel dependent.

3. Uji Kofisien

Jika Ha diterima kemudian dilanjutkan Uji keeratan hubungan

dilakukan dengan kontigensi phi (φ) :

𝑋2
φ = √
𝑛

Ket :

φ = Koefisien phi

X2 = X2 Hitung

n = Besar Sampel

Syarat penggunaan Uji Keeratan hubungan jika Ha diterima

dengan ketentuan:

Nilai 0,010 - 0,199 = Hubungan Sangat Rendah

Nilai 0,200 - 0,399 = Hubungan Rendah

Nilai 0,400 - 0,599 = Hubungan Sedang

Nilai 0,600 - 0,799 = Hubungan Kuat

Nilai 0,800 - 1,000 = Hubungan sangat kuat (Syarifudin, 2009).

44
G. Etika Penelitian

Menurut Azis Alimul Hidayat (2007), etika penelitian meliputi :

1. Informed Consent

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan

diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian

dan manfaat penelitian, bila subjek menolak maka peneliti tidak

memaksa dan tetap menghormati hak-hak subjek.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan

nama responden tetapi lembar tersebut diberi kode.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Menjelaskan masalah-masalah responden yang harus dirahasiakan

dalam penelitian. Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan

dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset.

45
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis

Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe

berkedudukan di Ibukota Kabupaten Konawe di Kelurahan Tuoy

Kecamatan Unaaha yang berjarak + 80 km dari pusat kota Kendari

Provinsi Sulawesi Tenggara. ditengah-tengah kota Unaaha Kabupaten

Konawe dengan batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan jalan Nusa Indah 2

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Diponegoro (jalan poros

Kendari Kolaka)

c. Sebelah Timur dengan Pemukiman Penduduk

d. Sebelah Barat dengan pemukiman Penduduk

2. Lingkungan Fisik

Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe berdiri di

atas lahan seluas 45.000 m2 dengan luas bangunan 10.000 m2

menyediakan fasilitas pelayanan medik rawat jalan, rawat inap, Unit

Gawat Darurat, Kamar Operasi (OK), ICU Unit Penunjang Medis

(Laboratorium, Radiologi, Rehabilitasi Medik, Apotik), Unit Penunjang

Non Medis (Gizi/dapur, IPS-RS, Sanitasi, Loundry, dan Kamar Mayat).

3. Status

46
Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Konawe merupakan

salah satu Rumah Sakit Umum Daerah di wilayah Kabupaten Konawe

yang dalam operasionalnya memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat KabupatenKonawe dan Sekitarnya.

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Konawe didirikan pada

tahun 1988 dan diresmikan pada tanggal 28 Agustus 1989 dengan nama

Rumah Sakit Umum Unaaha Kabupaten Kendari dengan klasifikasi Type

D. BLUD Rumah Sakit Kabupaten Konawe yang berdiri di atas tanah

45.000 m2 dengan luas bangunan 10.000 m2, merupakan wadah

pelayanan publik (public service) yang dalam operasionalnya bertugas

memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat kabupaten konawe

dan sekitarnya, oleh karena besarnya tuntutan masyarakat akan

diperolehnya pelayanan kesehatan secara optimal yang kemudian

ditingkatkan kelasnya menjadi Type C berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 1240/MENKES/SK/X/1997.

Sejak awal Tahun 2004 seiring dengan perubahan nama

Kabupaten Kendari menjadi Kabupaten Konawe, maka dengan

sendirinya RSU Unaaha yang awalnya dengan nama RSU Unaaha

Kabupaten Kendari menjadi RSU Unaaha Kabupaten Konawe. Dengan

demikian RSUD Kabupaten Konawe merupakan ruamh sakit dengan

status kepemilikan Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe.

47
4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di BLUD Rumah Sakit

Kabupaten Konawe terdiri dari :

a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan

Poliklinik Umum, Poliklinik Kesehatan Gigi, Poliklinik

Bedah, Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Poliklinik

Jantung, Poliklinik Anak, Poliklinik THT, Poliklinik Penyakit

Dalam, Poliklinik Syaraf dan Jiwa, Poliklinik Ortopedi, Poliklinik

KIA/KB, Unit Gawat Darurat (UGD).

b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap

Rawat inap Khusus VIP, Rawat Inap Khusus Penyakit Bedah,

Rawat Inap Khusus Penyakit Dalam, Rawat Inap Khusus Anak,

Rawat Inap Khusus Kebidanan dan Penyakit kandungan, Intensive

Care Unit (ICU), Ruang Isolasi.

c. Unit Penunjang Medis

Laboratorium, Apotik, Radiologi, Fisioterapi, Instalasi Gizi,

Sanitasi Lingkungan, Kamar Mayat.

d. Unit Penunjang Non Medis

Gizi/Dapur, IPS/RS, Sanitasi, Kamar Pemulasaran Jenazah,

Binatu/Laundryman.

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

a. Distribusi Karakertistik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

48
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Ruang
Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase
(%)
1. Laki-laki 18 43,9
2. Perempuan 23 56,1
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.5 di atas dari 41 responden lebih banyak yang berjenis

kelamin perempuan yaitu 23 orang (56,1%) dan yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 18 orang (43,9%).

b. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Ruang
Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Kelompok Umur Frekuensi (f) Persentase
(%)
1. 15 – 24 4 9,76
2. 25 – 34 9 21,93
3. 35 – 44 15 36,60
4. 45 – 54 8 19,51
5. 55 – 64 5 12,20
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.6 di atas menunjukkan terbanyak adalah responden

yang berada di kelompok umur 35-44 tahun sebanyak 15 orang

(36,6%), umur 25-34 tahun sebanyak 9 orang (21,93%), umur 45-54

tahun sebanyak 8 orang (19,51%), umur 55-64 tahun sebanyak 5

orang (12,2%), dan terendah umur 15-24 tahun sebanyak 4 orang

(9,76%).

c. Distribusi Karekteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

49
Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Ruang
Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Tingkat Pendidikan Frekuensi (f) Persentase
(%)
1. SD 16 39,02
2. SMP 10 24,40
3. SMA 8 19,51
4. Sarjana 7 17,07
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa responden berada pada

tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 16 orang (39,02%), SMP 10

orang (24,4%), SMA sebanyak 8 orang (19,51%), Sarjana 7 orang

(17,07%).

d. Distribusi Karekteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 5.8
Distribusi Jenis Pekerjaan Responden di Ruang
Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Jenis Pekerjaan Frekuensi (f) Persentase
(%)
1. PNS 7 17,07
2. Petani 11 26,83
3. Wiraswasta 5 12,19
4. Belum/Tidak Bekerja 3 7,32
5. IRT 15 36,59
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.8 di atas menunjukkan bahwa terbanyak adalah jenis

pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebanyak 15 orang

(36,59%), petani sebanyak 11 orang (26,83%), PNS sebanyak 7

(17,07%), Wiraswasta 5 orang (12,19%) dan yang belum/tidak bekerja

3 orang (7,32%).

50
2. Analisis Univariat

a. Distribusi frekuensi berdasarkan Ketidaknyamanan Fisik

Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Ketidaknyamanan Fisik di
Ruang
Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Ketidaknyamanan Fisik Frekuensi (f) Persentase
(%)
1. Ada 26 63,4
2. Tidak ada 15 36,6
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.9 di atas menunjukkan bahwa dari 41 responden yang

memiliki keluhan ketidaknyamanan fisik akibat penyakit medik

sebanyak 26 orang (63,4%) dan yang tidak memiliki keluhan

ketidaknyamanan akibat penyakit medik sebanyak 15 orang (36,6%).

b. Distribusi frekuensi berdasarkan Lingkungan


Tabel 5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Lingkungan di Ruang
Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Lingkungan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Kondusif 14 34,1
2. Tidak Kondusif 27 65,9
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.10 di atas menunjukkan bahwa dari 41 responden yang

dinyatakan memiliki ketidaknyamanan karena faktor lingkungan

perawatan sebanyak 27 orang (65,9%) dan sebanyak 14 orang (34,1%)

dinyatakan tidak ada masalah dengan ketidaknyamanan karena faktor

lingkungan perawatan.

51
c. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gangguan Pola Tidur

Tabel 5.11
Distribusi Responden Yang Mengalami Gangguan Pola Tidur
di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
No Gangguan Pola Tidur Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Terganggu 26 63,4
2. Tidak Terganggu 15 36,6
Jumlah (n) 41 100
Sumber : Data primer Diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.11 di atas menunjukkan bahwa dari 41 responden yang

mengalami gangguan pola tidur sebanyak 26 orang (63,4%) dan yang

tidak mengalami gangguan pola tidur sebanyak 15 orang (36,6%).

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Ketidaknyamanan Fisik dengan Gangguan Pola Tidur

Tabel 5.12
Hubungan Ketidaknyamanan Fisik dengan Gangguan Pola Tidur
di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
Gangguan Pola Tidur
Ketidak Hasil Koefisien
Tidak Jumlah
nyamanan Terganggu Uji Chi Kontigensi
Terganggu
Fisik Square Phi (φ)
n % n % n %
Ada 25 61 1 2,4 26 63,4 X2 hit =
Tidak ada 1 2,4 14 34,2 15 36,6 32,833 Phi (φ) =
Total 26 63,4 15 36,6 41 100 P value 0,667
0.000
Sumber : Data primer diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.12 di atas menunjukkan bahwa dari 26 responden yang

memiliki keluhan ketidaknyamanan fisik akibat penyakit medik,

terdapat 25 orang (61%) yang menderita gangguan pola tidur dan

hanya 1 orang (2,4%) tidak mengalami gangguan pola tidur.

Sementara dari 15 responden yang tidak memiliki keluhan

ketidaknyamanan fisik akibat penyakit medik hanya 1 orang (2,4%)

52
yang menderita gangguan pola tidur dan sebanyak 14 orang (34,2%)

tidak mengalami gangguan pola tidur.

Hasil uji statistik berdasarkan hasil analisis menggunakan

SPSS versi 17 menunjukkan bahwa nilai X² hitung 32,833 lebih besar

dari X² tabel 3,841 (32,833 > 3,841) atau nilai p value = 0,000 (p <

0,05), maka hipotesis penelitian Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada

hubungan antara ketidaknyamanan fisik dengan gangguan pola tidur

pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe tahun 2014.

Hasil analisis diperoleh nilai koefisien kontigensi phi (φ)

sebesar 0,667 dan masuk pada interval koefisien 0,600 – 0,799 dengan

kategori kuat, hal ini menunjukan tingkat hubungan antara

ketidaknyamanan fisik dengan gangguan pola tidur mempunyai

hubungan yang kuat.

b. Hubungan Lingkungan dengan Gangguan Pola Tidur

Tabel 5.13
Hubungan Lingkungan dengan Gangguan Pola Tidur
di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2014
Gangguan Pola Tidur
Hasil Koefisien
Tidak Jumlah
Lingkungan Terganggu Uji Chi Kontigensi
Terganggu
Square Phi (φ)
N % n % n %
Kondusif 1 2,4 13 31,7 14 34,1 X2 hit =
Tidak kondusif 25 61 2 4,9 27 65,9 29,016 Phi (φ) =
P value 0,644
Total 26 63,4 15 36,6 41 100 0.000
Sumber : Data primer diolah Juni Tahun 2014

Tabel 5.13 di atas menunjukkan bahwa dari 27 responden yang

mengalami ketidaknyamanan akibat lingkungan, terdapat 25 orang

(63,4%) yang menderita gangguan pola tidur dan sebanyak 2 orang

53
(4,9%) tidak mengalami gangguan pola tidur. Sementara dari 14

responden yang merasa nyaman dengan lingkungan terdapat 1 orang

(2,4%) yang menderita gangguan pola tidur dan sebanyak 13 orang

(31,7%) tidak mengalami gangguan pola tidur.

Hasil uji statistik berdasarkan hasil analisis menggunakan

SPSS versi 17 menunjukkan bahwa nilai X² hitung 29,016 lebih besar

dari X² tabel 3,841 (29,016 > 3,841) atau nilai p value = 0,000 (p <

0,05), maka hipotesis penelitian Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada

hubungan antara lingkungan dengan gangguan pola tidur pasien di

Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe tahun 2014.

Hasil analisis diperoleh nilai koefisien kontigensi phi (φ)

sebesar 0,644 dan masuk pada interval koefisien 0,600 – 0,799 dengan

kategori kuat, hal ini menunjukan tingkat hubungan antara lingkungan

dengan gangguan pola tidur mempunyai hubungan yang kuat.

C. Pembahasan

1. Hubungan Ketidaknyamanan Fisik dengan Gangguan Pola Tidur

Penyakit merupakan stresor fisiologis maupun psikologis, dapat

mempengaruhi tidur. Setiap penyakit yang menyebabkan

ketidaknyamanan fisik (misalnya nyeri, kesulitan bernapas, batuk,

pusing, dan lain-lain) dapat menyebabkan gangguan pola tidur.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan hasil analisis menggunakan

SPSS versi 17, diperoleh nilai X² hitung 32,833 lebih besar dari X² tabel

3,841 (32,833 > 3,841) atau nilai p value = 0,000 (p < 0,05), maka

54
hipotesis penelitian Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada hubungan

antara ketidaknyamanan fisik dengan gangguan pola tidur pasien di

Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe tahun 2014.

Hasil analisis diperoleh nilai koefisien kontigensi phi (φ) sebesar

0,667 dan masuk pada interval koefisien 0,600 – 0,799 dengan kategori

kuat, hal ini menunjukan tingkat hubungan antara ketidaknyamanan fisik

dengan gangguan pola tidur mempunyai hubungan yang kuat.

Penyakit medik yang menyebabkan pasien di Ruang Melati

BLUD Rumah Sakit Konawe mengalami gangguan pola tidur yaitu

kondisi penyakit yang menyebabkan ketidaknyamanan fisik. Adapun

jenis penyakit yang diidentifikasi dari keluhan pasien berdasarkan

diagnosa medis yaitu hipertensi, infark miokard akut, asma bronchial,

demam typhoid, DBD dan gangguan pencernaan seperti gastroenteritis,

kolik abdomen, gastritis. Kondisi ini berdasarkan hasil pengamatan

peneliti benar-benar dialami oleh pasien yang menjalani perawatan di

Ruang Melati tempat penelitian.

Faktor pendukung utama terpenuhinya kebutuhan tidur adalah

adanya kenyamanan. Seseorang akan mudah untuk tidur apabila ia

merasa nyaman secara fisik. Pada orang sakit tentu mempunyai masalah

dengan kenyamanan fisik. Ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari suatu

penyakit baik itu berupa nyeri, sesak atau ketidaknyamanan fisik yang

lain akan menyebabkan pasien mengalami kesulitan tidur. Gangguan pola

55
tidur ini secara terus menerus akan terjadi apabila ketidaknyamanan fisik

tersebut tidak segera diatasi.

Tabel 5.12 di atas menunjukkan bahwa dari 26 responden yang

memiliki keluhan ketidaknyamanan fisik akibat penyakit medik, terdapat

25 orang (61%) yang menderita gangguan pola tidur dan hanya 1 orang

(2,4%) tidak mengalami gangguan pola tidur. Sementara dari 15

responden yang tidak memiliki keluhan ketidaknyamanan fisik akibat

penyakit medik hanya 1 orang (2,4%) yang menderita gangguan pola

tidur dan sebanyak 14 orang (34,2%) tidak mengalami gangguan pola

tidur.

Sebagian besar pasien di Ruang Melati yang mengalami

gangguan pola tidur mengeluhkan beberapa ketidaknyamanan fisik

seperti nyeri pada dada, nyeri pada abdomen, nyeri pada bokong, nyeri

pinggang, sesak napas, seringnya berkemih pada pasien yang tidak

terpasang kateter, demam (suhu tubuh meningkat), pusing, batuk-batuk,

frekuensi BAB yang sering. Identifikasi adanya gangguan pola tidur ini

diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden dan diperoleh

hasil sebagian besar mengalami jenis gangguan pola tidur insomnia.

Berkurangnya jumlah jam tidur < 6 jam, frekuensi terbangun di malam

hari lebih dari 3 kali, sulit untuk memulai tidur setelah terbangun

merupakan tanda-tanda gangguan pola tidur yang didapatkan dari hasil

wawancara.

56
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Irma Ramadhani (2008)

di RSU Sawerigading Kabupaten Luwu yang mana memperoleh hasil

bahwa Sampel dengan respon sakit sebagian besar (62,9%) mempunyai

gangguan tidur, sedangkan sampel respon tidak sakit sebagian besar

(37,1%) tidak mempunyai gangguan tidur. Dari hasil analisa statistik

dengan uji Chi Square didapatkan p value sebesar 0,000 < 0,05 maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

respon terhadap penyakit dengan gangguan tidur.

Hasil penelitian Irma Ramadhani (2008) ini memperkuat hasil

penelitian yang peneliti peroleh. Dari perbandingan kedua hasil

penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa ketidaknyamanan fisik

sangat berhubungan erat dengan timbulnya gangguan pola tidur pasien

karena dari kedua hasil penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna

antara ketidaknyamanan fisik dengan gangguan pola tidur pasien.

Menurut Lueckenotte (2006) nyeri merupakan hal yang sering

menyebabkan gangguan pola tidur. Hal yang menyebabkan timbulnya

nyeri ini adalah penyakit dan posisi tubuh yang tidak tepat. Orang dengan

keadaan sakit akan memerlukan lebih banyak tidur untuk mengembalikan

kesehatan tapi akibat respon penyakit akan membuat tidur tidak nyenyak

dan lebih sering terbangun.

Lebih lanjut Craven (2008) menegaskan bahwa baik akut atau

kronisnya penyakit, seseorang akan kehilangan tahap 3 fase tidur NREM

yang normalnya merupakan tahap dari keadaan tidur nyenyak dan sulit

57
dibangunkan. Begitu juga pada orang dengan penyakit fibromialgia yang

ditandai dengan nyeri hebat pada otot serta kelelahan, akan mengalami

gangguan tidur dan adanya kekacauan gelombang alfa – delta (Golden,

2009).

Sementara itu pada gangguan bernapas seperti hipoksia juga akan

mengurangi fase tidur REM, sehingga menyebabkan pasien mudah

terbangun karena kesulitan bernapas. Selain itu adanya peningkatan asam

lambung yang menyerang sistem pencernaan dapat menimbulkan rasa

nyeri.

2. Hubungan Lingkungan dengan Gangguan Pola Tidur

Faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi tidur adalah suhu

ruangan yang panas atau dingin, kelembaban yang berubah-ubah,

kurangnya privasi, pencahayaan (terlalu terang atau gelap),

kegaduhan/kebisingan, bau yang berbahaya, restrein fisik, pasangan

tidur, dan perlengkapan tidur yang asing biasanya menyebabkan

terjadinya gangguan pola tidur pada pasien yang dirawat di lingkungan

perawatan.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan hasil analisis menggunakan

SPSS versi 17, diperoleh nilai X² hitung 29,016 lebih besar dari X² tabel

3,841 (29,016 > 3,841) atau nilai p value = 0,000 (p < 0,05), maka

hipotesis penelitian Ha diterima dan H0 ditolak artinya ada hubungan

antara lingkungan dengan gangguan pola tidur pasien di Ruang Melati

BLUD Rumah Sakit Konawe tahun 2014.

58
Hasil analisis diperoleh nilai koefisien kontigensi phi (φ) sebesar

0,644 dan masuk pada interval koefisien 0,600 – 0,799 dengan kategori

kuat, hal ini menunjukan tingkat hubungan antara lingkungan dengan

gangguan pola tidur mempunyai hubungan yang kuat.

Faktor lingkungan yang menyebabkan pasien di Ruang Melati

BLUD Rumah Sakit Konawe mengalami gangguan pola tidur yaitu

kondisi lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan seperti suhu

ruangan yang panas, obrolan dari keluarga-keluarga pasien yang

menemani, pencahayaan yang terang dan kenyamanan tempat tidur.

Kondisi ini berdasarkan hasil pengamatan peneliti dialami oleh sebagian

besar pasien yang menjalani perawatan di Ruang Melati tempat

penelitian.

Tabel 5.13 di atas menunjukkan bahwa dari 27 responden yang

mengalami ketidaknyamanan akibat lingkungan, terdapat 25 orang

(63,4%) yang menderita gangguan pola tidur dan sebanyak 2 orang

(4,9%) tidak mengalami gangguan pola tidur. Sementara dari 14

responden yang merasa nyaman dengan lingkungan terdapat 1 orang

(2,4%) yang menderita gangguan pola tidur dan sebanyak 13 orang

(31,7%) tidak mengalami gangguan pola tidur.

Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe adalah bangsal

perawatan yang terdiri dari 3 kelas perawatan. Kelas IA, B, C, kelas II A,

kelas III A (perempuan), IIIB (laki-laki), IIIC (perempuan), III D (laki-

laki). Ruang kelas I dan kelas II masing-masing memiliki satu tempat

59
tidur, sedangkan kelas III masing-masing memiliki 6 tempat tidur.

Gangguan pola tidur lebih banyak dialami oleh pasien ruang kelas III.

Identifikasi adanya gangguan pola tidur ini diperoleh dari hasil

wawancara langsung kepada responden dan diperoleh hasil sebagian

besar mengalami jenis gangguan pola tidur insomnia. Berkurangnya

jumlah jam tidur < 6 jam, frekuensi terbangun di malam hari lebih dari 3

kali, sulit untuk memulai tidur setelah terbangun merupakan tanda-tanda

gangguan pola tidur yang didapatkan dari hasil wawancara.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Irma Ramadhani (2008)

di RSU Sawerigading Kabupaten Luwu yang mana memperoleh hasil

bahwa sampel dengan lingkungan yang tidak nyaman sebagian besar

(76,6 %) mempunyai gangguan tidur. Dari hasil analisa statistik dengan

uji Chi Square didapatkan p value sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lingkungan

dengan gangguan pola tidur.

Hasil penelitian Irma Ramadhani (2008) ini memperkuat hasil

penelitian yang peneliti peroleh. Dari perbandingan kedua hasil

penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa faktor lingkungan sangat

berhubungan erat dengan timbulnya gangguan pola tidur pasien karena

dari kedua hasil penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara

faktor lingkungan perawatan dengan gangguan pola tidur pasien.

Pendapat ini didukung oleh Alexandria (2010) bahwa lingkungan

yang dapat mendukung terpenuhinya tidur terdiri dari empat faktor yaitu;

60
penerangan, ketenangan, suhu dan kenyaman tempat tidur. Namun pada

penelitian ini belum tergali adanya faktor gangguan tidur akibat tempat

tidur dan kenyamanan tempat tidur yang dapat mempengaruhi terjadinya

gangguan tidur pasien.

61
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan yang kuat antara ketidaknyamanan fisik dengan gangguan

pola tidur pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe nilai X²

hitung 32,833 lebih besar dari X² tabel 3,841 (32,833 > 3,841) atau nilai

p value = 0,000 (p < 0,05).

2. Ada hubungan yang kuat antara lingkungan dengan gangguan pola tidur

pasien di Ruang Melati BLUD Rumah Sakit Konawe nilai X² hitung

29,016 lebih besar dari X² tabel 3,841 (29,016 > 3,841) atau nilai p value

= 0,000 (p < 0,05).

B. Saran

1. Bagi Pihak Rumah Sakit, sebaiknya mengupayakan perbaikan tatanan

pelayanan kepada pasien terutama di Ruang Perawatan BLUD Rumah

Sakit Konawe, perawat perlu memperhatikan adanya masalah

ketidaknyamanan fisik yang dialami pasien, merencanakan tindak lanjut

baik secara mandiri maupun kolaboratif, termasuk salah satunya upaya

menciptakan lingkungan ruangan yang tenang dan nyaman untuk dapat

memenuhi kebutuhan istirahat tidur pasien di ruang rawat inap.

2. Bagi Profesi Keperawatan, perlu mengevaluasi sejauh mana proses

keperawatan di ruangan rawat inap telah diterapkan serta mengupayakan

peningkatan mutu pelayanan keperawatan terutama pada pasien dengan

masalah gangguan pola tidur.

62
3. Bagi institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya Kendari

diharapkan untuk terus meningkatkan kualitas berlajar mengajar kepada

mahasiswa dalam menambah wawasan keilmuan terutama riset dan

metodologi keperawatan sehingga penelitian keperawatan terus

berkembang.

4. Bagi Peneliti selanjutnya, disarankan agar kedepan penelitian ini dapat

lebih dikembangkan dengan lebih baik dan lebih luas lagi cakupannya

mengidektifikasi masalah-masalah yang berhubungan dengan gangguan

pola tidur pasien.

63

Anda mungkin juga menyukai