Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN TUTORIAL KLINIK PADA NY.

N DENGAN
ISOLASI SOSIAL DI RUANG GIOK RSUD
Dr. H. MOCH ANSARI SALEH BANJARMASIN

Oleh:
SIVTI NOOR VITASI
ANIS SUNARTI
MAGFIRAH
NOORMAIDA
RABIATUL ADAWIYAN
JEAN FRANCISCA AURORA
NOOR FOTRIANI HAFIDZAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS B
BANJARMASIN, 2019
KASUS TUTORIAL KLINIK

Ny. M datang di bawa oleh keluarga dengan keluhan suka menyendiri kadang
mondar-mandir di rumah. Sebelum klien di rawat di rumah sakit ±10 tahun yang lalu,
saat itulah klien mulai menyendiri di kamar namun pihak keluarga tidak pernah
membawa klien ke pelayanan kesehatan. ± 2 tahun yang lalu klien di bawa ke
puskesmas untuk berobat, tetapi obat tidak di minum. ± 2 tahun yang lalu klien
mondar-mandir bahkan kabur dari rumah, pernah hilang selam 3 hari 3malam. Dan
klien mempunyai trauma melihat api kareana ada kebakaran di dekat rumah klien. ±1
tahun yang klien suka mengumpulkan plastik bekas makanan ketika di ambil
plastiknya klien menangis dan sedih. Adik klien mengatakan ada keluarga ibu yang
menderita penyakit gangguan jiwa juga. Awalnya klien di bawa ke puskesmas, dan
klien langsung di rujuk k rs ansari saleh, ansari saleh merujuk ke rumah sakit jiwa
sambaing lihum untuk di lakukan perawatan lebih lanjut.
Keluarga mengatakan pasien sering menyendiri. Pasien terlihat acuh tak acuh
terhadap lingkungan, sering menyendiri, jarang berinteraksi dengan orang-orang
disekitarnya, sering mengumpulkan sampah bekas makan/roti, Menarik diri dari
lingkungan, pasien tidak bersosialisasi dengan lingkungannya, saat diajak bicara
pasien lebih sering menunduk dan kontak mata kurang, pasien berpenampilan tidak
rapi, tidak menyisir rambut, rambut pasien tidak diikat, pasien tidak menggunakan
pupur yang telah disediakan dan pasien tidak menggunakan lipstik. Pasien
mengatakan tidak mau mandi
Tahapan Case Analysis Dengan Tutorial Klinik
Tahap I: pertemuan 1

PROBLEM HYPOTESIS MECHANISM MORE INFO DON’T KNOW LEARNING ISSUES


DS: 1. 1. 1.

DO:
1.
TUTORIAL KLINIK SESI II

A. Peran dan Fungsi Keluarga


Menurut Friedman dalam Suparyanto (2011) lima fungsi dasar keluarga adalah
sebagai berikut:
1. Fungsi afektif, adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih serta, saling
menerima dan mendukung.
2. Fungsi sosialisasi, adalah proses perkembangan dan perubahan individu
keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi social dan belajar berperan di
lingkungan social
3. Fungsi reproduksi, adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia
4. Fungsi ekonomi, adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan
5. Fungsi perawatan kesehatan, adalah kekampuan keluarga untuk merawat
anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.Kemampuan keluarga
melakukan asuhan keperawatan atau pemeliharaan kesehatan memengaruhi
status kesehatan keluarga dan individu.

B. Upaya Yang Dapat Dilakukan Keluarga Dalam Membantu Pemenuhan


Kebutuhan Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa
1. Setelah Kembali ke Rumah
Penderita gangguan jiwa yang di bawah ke rumah sakit jiwa akan
memperoleh pengobatan yang diperlukan untuk mengurangi gejala,
mencegah kekambuhan, dan menghilangkan gejala. Pertanyaannya adalah
apakah pengobatan di rumah sakit sudah cukup? Jawabannya adalah
pengobatan pasien di Rumah Sakit tidaklah cukup sampai di situ saja, begitu
di rawat dan kemudian dinyatakan sembuh total kemudian pasien pulang
dan dengan pengobatan dan penaganganan kontinu dirumah pasien
diharapkan memperkecil peluang untuk kambuh.
Pasien yang datang ke rumah sakit dengan diagnosa gangguan jiwa
memperoleh stressornya dari lingkungan sebelumnya yaitu rumah tinggal
atau lingkungan kerja dimana waktu sering di gunakan di situ, begitu pasien
datang ke rumah sakit, pasien memperoleh ’situasi dan suasana terapi’ yang
berbeda dengan situasi sebelumnya.
a. Menyadari Masa Transisi: Adaptasi keluarga
Begitu kembali ke rumah atau lingkungan semula maka segala hal di
rumah bisa menjadi trigger pada situasi mental dimana kemudian
memudahkan pasien untuk kembali mengalami gangguan jiwa. Karena itu
pengobatan dan pengelolaan pasien di rumah sangat penting. Beberapa
waktu begitu pasien tiba dirumah setelah diputuskan pulang merupakan
masa terapi transisi. Adanya terapi transisi ini hendaknya disadari oleh
keluarga bahwa mereka berfungsi sebagai ’terapist’ yang mengajari dan
membimbing pasien agar bisa beradaptasi secara mental di lingkungan
yang ada. Keluarga melakukan pengawasan yang hati-hati dan
mendeteksi situasi emosional dan kemampuan beradaptasi pasien.
Keluarga juga perlu melakukan perubahan lingkungan yang diduga atau
diyakini berkaitan dengan stressor pasien. Pasien juga diajari untuk
beradaptasi.
b. Memantau terapi farmakologi
Setelah pasien dinyatakan boleh dipulangkan dari Rumah Sakit umumnya
pasien tetap memperoleh terapi farmakologi yang perlu untuk diminum
dalam waktu tertentu kadang-kadang relatif lama untuk mencegah
kekambuhan. Pasien diberi tanggung jawab untuk melakukan ke-ajeg-an
minum obat. Ini merupakan bentuk ’kecil’ pengajaran tanggung jawab
yang berkonsekwensi ’besar’. Nah peran keluarga adalah memantau
sebarapa jauh tanggung jawab ini dapat ditunaikan oleh pasien. Pada titik
tertentu pasien teledor maka keluarga bukan sekedar memantau tetapi
memberikan penekanan ulang terhadap tanggung jawab ke-ajegan minum
obat ini secara persuasif untuk mencapai perubahan perilaku internal.
Pemaksaan terhadap suatu perilaku tertentu terhadap pasien hanya akan
memperoleh efek jangka pendek, bahkan pasien sering melakukan
manipulasi dengan pura-pura minum obat. Karena itu penyadaran
terhadap ke-ajegan minum obat ini penting sehingga pasien mampu
mengontrol diri sendiri, bukan keluarga.
c. Peka Terhadap Kemungkinan Reaksi Emosional Penderita
Keluarga adalah orang-orang terdekat. Saling melindungi dan mencintai
tumbuh tanpa disadari antar anggota keluarga. Interaksi paling intens
adalah keluarga sebagai orang terdekat. Setiap perilaku akan direspon
secara keseluruhan oleh anggota keluarga lain. Ada sebuah ungkapan
bahwa orang yang paling kita cintailah yang berpotensi besar melahirkan
sakit hati dan penderitaan pada seseorang. Artinya stressor terbesar dapat
dengan mudah kita temukan berasal dari dalam anggota keluarga sendiri.
Keluarga pasien gangguan mental perlu peka terhadap setiap keputusan,
tingkah laku dan sikap yang akan terespon secara emosional atau fisikal
oleh anggota keluarga yang sakit. Jadi harus diingat yang dimaksud
respon disini adalah bukan hanya gejala yang terlihat tetapi juga yang
bersifat laten. Jadi keluarga harus peka terhadap suasana emosional
pasien atas interaksi yang dihasilkan dengan anggota lainnya.
d. Garda Terdepan dan Tumbuhkan Keterbukaan
Kembali ke rumah setelah dinyatakan sembuh dari sakit jiwa berbeda
dengan pulang sembuh dari rumah sakit non jiwa. Beban lain perlu di
atasi oleh pasien yaitu rasa malu dan rendah diri karena stigma ’sakit
ingatan’ yang pernah diderita. Pasien merasa dirinya akan menjadi bahan
gunjingan, mungkin jadi bahan olokan, atau akan ditolak dalam kegiatan
sosial dan kekhawatiran lepasnya peran penting di masyarakat maupun
lingkungan kerja. Belum lagi terjadi semua hal tersebut, bayangan dan
perasaan negatif ini saja sudah cukup membebani pasien. Keluarga harus
segera menyadari hal ini dan melakukan perlindungan terhadap perasaan
negatif ini dengan menjadi yang terdepan memberi rasa aman, rasa
positif, rasa memerlukan pasien, bersikap terbuka. Perilaku minimal
adalah anda jangan berbisik-bisik dengan anggota keluarga lain atau
orang lain di depan pasien. Hal ini akan membuka peluang pasien untuk
menciptakan prasangka negatif tentang dirinya, menumbuhkan rasa
curiga, dan akhirnya suasana tidak sehat karena hubungan dan
interaksinya tumbuh berdasarkan prasangka. Perilaku yang didasari
prasangka pastilah salah. Perilaku yang salah cenderung akan direspon
salah jika tidak terjalin suasana terbuka.
e. Terbuka terhadap Lingkungan Sosial
Selanjutnya keluarga sebagai lingkaran terdalam dari interaksi pasien
bertanggung jawab untuk melakukan ’edukasi’ terhadap komunitas
lingkaran lebih luar dari interaksi pasien dengan melakukan pendekatan-
pendekatan melalui kemungkinan kesempatan yang ada ataupun
kesempatan yang direncanakan. Mengidentifikasi dan mengenali orang
penting pasien diluar keluarga dan mengoptimalkan perannya dalam
perubahan komunitas interaksi pasien. Sebelum pasien tiba di rumah
menjelaskan secara terbuka tentang apa yang terjadi dan peran yang
diharapkan atas mereka.
f. Geser Aspek Nilai Kehidupan ke Nilai yang Menguatkan
Keluarga berperan dalam memberikan harapan yang realistis terhadap
anggota keluarga. Harapan yang tidak realistik terlalu tinggi menjatuhkan
pasien secara mental. Jatuh dari tempat tinggi tentu lebih menyakitkan.
Harapan yang tinggi bisa menghancurkan mental pasien yang
memandang harapan tersebut adalah segala-galanya. Berikan alternatif
harapan lain, dan ajari untuk belajar bersyukur dan puas dengan apa yang
sudah diterima. Sandaran nilai agama juga merupakan alternatif utama.
Islam misalnya mengajarkan bahwa apa yang kita raih milik Allah dan
semua akan kembali lagi kepada pemilik-Nya. Begitu juga dengan nilai-
nilai agama lain tentunya mengajarkan nilai-nilai yang menguatkan.
g. Senantiasa Belajar dan Mengikuti Pengetahuan Baru
Pengetahuan senantiasa berkembang, cara-cara baru relatif lebih
sempurna. Peran keluarga adalah selalu belajar dan mencari pengetahuan
dari sumber yang bisa dipercaya dan pada bidangnya. Masyarakat tertentu
begitu mendewakan dan fanatik pada figur keagaaman tertentu
dimasyarakat sehingga segala hal ditanyakan dan konsultasi pada figur
agama tersebut. Masalah bisnis, masalah pekerjaan, masalah rumah
tangga, masalah jodoh, masalah rumah dikonsultasikan dan pamit pada
satu orang. Ini adalah kultur yang perlu di kikis agar tidak
menghancurkan. Pengalaman penulis bertemu dengan seorang yang
obesitas, dan perokok berat dan mengalami hipertensi kronis. Saya
berkata kepada orang tersebut dengan cara halus bahwa merokok
membahayakan dirinya. Dia malah menceritakan pengalamannya tentang
rasa pusing yang diderita setelah itu dia bertanya kepada seoranga figur
agama / tokok untuk mencari jalan keluar, dan memperoleh jawaban dari
tokoh tersebut agar dia merokok, karena merokok menghilangkan pusing.
Saat artikel ini ditulis, orang tersebut meninggal dunia karena penyakit
kardiovaskuler. Pengalaman ini mengharuskan saya untuk menyarankan
untuk menanyakan informasi dari ahlinya.
h. Meningkatkan Partisipasi Anggota Keluarga Lain sebagai Support
Perlu diingat bahwa riwayat sakit mental atau kekambuhan sakit mental
merupakan faktor resiko bunuh diri. Penelitian menunjukkan
bahwa orang yang bunuh diri atau usaha bunuh diri mempunyai riwayat
gangguan kejiwaan atau sudah pernah di rawat-inapkan di rumah sakit
(HIMH, 2012). Peran keluarga juga bertambah berkaitan dengan faktor
resiko bunuh diri ini. Peran keluarga sangat penting dan telah didukung
dengan berbagai penelitian mengenai peran keluarga ini antara lain
Knitzer,Steinbergh, & Fleich, (1993) yang menyatakan bahwa partisipasi
keluarga mendorong peningkatan fokus keluarga.
Secara singkat menurut Marsh et all (2012) peran keluarga dalam
menangani anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sbb:
a. Pendampingan pengobatan
b. Fahami dan normalkan pengalaman penderita
c. Pusatkan pada kelebihan-kelebihan dan kekuatan penderita
d. Pelajari tentang sakit jiwa dan sumber-sumber yang berkaitan
e. Ciptakan lingkungan yang mendukung penderita
f. Tingkatkan kemampuan memecahkan masalah
g. Bantu memulihkan perasaan sedih dan kehilangan penderita
h. Kembangkan harapan yang realistis

COMMUNITY MENTAL HEALTH NURSING (CMHN)

A. Definisi CMHN
Comunity Mental Health Nursing adalah upaya untuk ewujudkan pelayanan
kesehatan jiwa dengan tujuan pasien yang tidak tertangani di masyarakat akan
mendapatkan pelayanan yang lebih baik. (Keliat, dkk 2011)
CMHN adalah pelayanan keperawatan yang komprehensif, holistik, dan
paripurna, berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa, rentang terhadap stres dan
dalam tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan.
CMHN merupakan salah satu strategi berupa program peningkatan pengetahuan
dan keterampilan yang diberikan kepada petugas kesehatan melalui pelatihan
dalam rangka upaya membantu masyarakat menyelesaikan masalah kesehatan
jiwa akibat dampak tsunami, gempa maupun bencana lainnya.
Pelatihan yang dilakukan terdiri dari tiga tahapan yaitu Basic, Intermediate dan
Advance Nursing Training.

B. Dasar pembentukan CMHN


Konflik berkepanjangan disertai bencana tsunami dan gempa bumi tanggal 26
desember 2004 di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah berlalu, namun
dampaknya masih sangat dirasakan oleh semua masyarakat dengan berbagai
kondisi. Dampak tersebut dapat berupa kehilangan sanak saudara, kehilangan
harta benda, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Semua ini dapat menimbulkan berbagai masalah psikososial seperti ketakutan,
kehilangan, trauma paska bencana, bahkan timbul masalah kesehatan jiwa yang
lebih berat seperti depresi, perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Kondisi-kondisi seperti ini penanganan yang cepat, tepat dan akurat. Untuk
menangani masalah tersebut perlu dipikirkan serta pelayanan, sumber daya
manusia, kompetensi, maupun biayanya.
Saat ini sarana pelayanan keperawatan jiwayang ada di NAD adalah Badan
Pelayanan Keperawatan Jiwa (BPKJ) dengan bed occupation rate ( BOR ) 130%,
sumber daya manusia yang kurang dan anggaran yang juga tidsak memadai. Oleh
karena itu perlu ada strategi lain untuk memberikan pelayanan keperawatan
kesehatan jiwa kepada masyarakat dengan menggunakan pendekatan Comunity
Mental Health Nursing (CMHN) / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
(KKJK). KKJK merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu
masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak
konflik, tsunami, gempa maupun bencana lainnya.

C. Program CMHN
Membentuk desa siaga sehat jiwa, yaitu:
1. Pendidikan kesehatn jiwa untuk masyarakat sehat
2. Pendidikan kesehatan jiwa untuk resiko masalah psikososial
3. Resiko jiwa untuk mengalami gangguan jiwa
4. Terapi aktivitas bagi pasien gangguan jiwa mandiri
5. Rehabilitasi bagi pasien gangguan jiwa mandiri

D. Askep bagi keluarga pasien gangguan jiwa


Tujuan CMHN
1. Tujuan umum :
Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa bagi masyarakat
sehingga tercapai kesehatan jiwa masyarakat secara optimal.

2. Tujuan khusus :
a. Menjelaskan konsep keperawatan kesehatan jiwa komunitas
b. Menerapkan komunikasi terapeutik dalam memberikan pelayanan /
asuhan keperawatan jiwa
c. Menjelaskan peran dan fungsi perawat kesehatan jiwa dalam memberikan
pelayanan keperawatan
d. Bekerjasama dengan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan
keperawatan sesuai dengan peran dan fungsinya
e. Menerapkan konsep pengorganisasian masyarakat dalam memberikan
pelayanan keperawatan kesehatan jiwa
f. Memberikan asuhan keperawatan pada anak dan remaja dengan gangguan
jiwa : depresi dan perilaku kekerasan
g. Memberikan asuhan keperawatan pada usia dewasa yang gangguan jiwa
dengan masalah : harga diri rendah, perilaku
h. kekerasan, resiko bunuh diri, isolasi diri, halusinasi, waham dan defisit
perawatan diri
i. Memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan jiwa :
depresi dan demensia
j. Mendokumentasikan asuhan keperawatan jiwa komunitas

E. Kegiatan CMHN
1. Permainan (beberapa permainan)
2. Pelayanan Kesehatan Jiwa Melalui Pelayanan Kesehatan Dasar
Semua pemberi pelayanan kesehatan yang ada dimasyarakat yaitu praktik
pribadi dokter/ bidan/ psikolog, dan semua sarana pelayanan kesehatan
merupakan mitra kerja tim kesehatan jiwa. Untuk itu mereka memerlukan
penyegaran & penambahan pengetahuan tentang pelayanan kesehatan jiwa
agar dapat memberikan pelayanan kesehatan jiwa komunitas bersamaan
dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan.
Dan juga mereka dapat merujuk pasien dengan masalah kesehatan jiwa
kepada perawat kesehatan jiwa komunitas (community mental health nurses)
3. Pelatihan yang perlu diberikan adalah konseling, deteksi dini dan
pengobatan segera, keperawatan jiwa dasar. Penanggung jawab pelayanan
ini adalah penanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa komunitas di tingkat
Puskesmas.
4. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat
a. Tim kesehatan jiwa terdiri dari psikiater, psikolog klinik & perawat jiwa/
dalam kondisi tertentu dapat dokter umum plus, perawat plus & psikolog
plus. Tim berkedudukan ditingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.
Tim bertanggung jawab terhadap program pelayanan kesehatan jiwa di
daerah pelayanan kesehatan Kabupaten/ Kota.
b. Tim akan bergerak secara periodik ke tiap-tiap Puskesmas untuk memberi
konsultasi, supervisi, monitoring dan evaluasi. Pada saat tim mengunjungi
Puskesmas, maka penanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa komunitas
di Puskesmas
KONSEP ISOLASI SOSIAL

A. Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain atau menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993 Muhith A.,
2015). Menurut Townsend M.C (1998) dalam Muhith A., 2015, menarik diri
merupkakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Jadi menarik diri
merupakan keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lai secara langsung dapat
sementara atau menetap.

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan


atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Klien mungkin merasa ditlak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.

B. Rentang respon
Adaptif Maladaptif

Menyendiri Menyendiri Menarik diri


Otonomi Otonomi Ketergantungan
Bekerjasama Bekerjasama Manipulasi
Interdependen Interdependen curiga

Muhith, 2015

Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentan respon yang
adaptif sampai dengan maladaftif. Respon adaftif merupakan respon yang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku.
Sedangkan respon maladaftif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma sosial dan
budaya setempat. Respon sosial yang maladaftif sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari adalah menarik diri, tergantung, manipulasi, curuga, gangguan
komunikasi dan kesepian (Townsend M.C , 1998 dalam Muhith A., 2015)
C. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi (pendukung) terjadinya gangguan hubungan sosial
yaitu :
1. Faktor perkembangan, kemampuan membina hubungan yang sehat
tergantung dari pengalaman selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap
tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses,
karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan
menghambat masa perkembangan selanjutnya. Kurang stimulasi, kasih
sayang, perhatian, dan kehangatan dari orang tua/pengasuh akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
tidak puas.
2. Faktor sosial budaya, faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya
anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari orang lain
(lingkungan sosialnya).
3. Faktor biologis, genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan
jiwa. Kelainan struktur otak seperti atrofi, pebesaran venrikel, penurunan
berat badan dan volume otak serta perubahan limbic diduga dapat
menyebabkan skizofrenia (Muhith A., 2015).

D. Faktor Presipitasi
1. Stressor sosial budaya, stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota
keluarga yang labil yang dirawat dirumah sakit.
2. Stressor psikologis, tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan
menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbaasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah yakni akan menimbulkan
berbagai masalah gangguan berhubungan (menarik diri) (Muhith A., 2015).

E. Manifestasi klinis
Kurang spontan, apatis (acuh tak acuh terhadap lingkungan), ekspresi wajah
kurang berseri (ekspresi sedih), afek tumpul, tidak merawat dan memperhatikan
kebersihan diri, komunikasi verbal menurun atau tidak ada. Klien tidak bercakap-
cakap dengan klien lainperawat, mengisolasi diri (menyendiri), tidak atau kurang
sadar dengan lingkungan sekitarnya, pemasukan makan dan minuman terganggu,
retensi urine dan fases, aktivitas menurun, kurang energy, harga diri rendah,
posisi janin pada saat tidur, menolak berhubungan dengan orang lain (Townsend,
M.C., 1998 dalam Muhith A., 2015).

F. Patway

G. Proses keperawatan
1. Pengkajian
Untuk mengkaji pasien isolasi sosial dapat menggunakan wawancara dan
observasi kepada pasien dan keluarga, tanda gejala yang dapat ditemukan
saat wawancara antara lain :
a. Pasien menceritakan erasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Pasien mengatakan hubungannya tidak berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
e. Pasien tidak dapat berkonsentrasi dan membuat keputusan
f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
Pertanyan-pertanyaan berikut ini dapat ditanyakan pada waktu wawancara
untuk mendapatkan data subjektif :
a. Bagaimana pendapat pasien terhadap orang-orang disekitarnya
(keluarga atau tetangga)?
b. Apakah pasien mempunyai teman dekat? Bila punya siapa teman dekat
itu?
c. Apa yang membuat pasien tidak memiliki orang terdekat dengannya?
d. Apa yang pasien inginkan dari orang-orang di sekitarnya?
e. Apakah ada perasaan tidak aman yang dialami pasien?
f. Apa yang menghambat hubungan yang harmonis antara pasien dengan
orang sekitarnya?
g. Apakah pasien merasakan bahwa waktu begitu lama berlalu?
h. Apakah pernah ada perasaan ragu untuk bisa melanjutkan kehidupan?
Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat diobservasi
a. Tidak memiliki teman dekat
b. Menarik diri
c. Tidak komunikatif
d. Tindakan berulang dan tidak bermakna
e. Asyik dengan pikirannya sendiri
f. Tidak ada kontak mata
g. Tampak sedih, afek tumpul
(Muhith A., 2015)
2. Diagnosa keperawatan
a. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah
b. Perubahan sensori persepsi halusinasi b/d menarik diri
(Prabowo, 2014 dalam Teguh et al, 2017)
3. Rencana tindakan keperawatan
a. Diagnosa keperawatan: Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah
1) Tujuan umum : Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain
2) Tujuan khusus
a) TUK 1
Dapat membina hubungan saling percaya
(1) Kriteria hasil
Setelah ...x pertemuan, pasien dapat menerima
kehadiran perawat. Pasien dapat mengungkapkan
perasaan dan keberadaannya saat ini secara verbal :
(a) Mau menjawab salam
(b) Ada kontak mata
(c) Mau berjabat tangan
(d) Mau berkenalan
(e) Mau menjawab pertanyaan
(f) Mau duduk berdampingan dengan perawat
(g) Mau mengungkapkan perasaannya
(2) Intervensi
(a) Bina hubungan saling percaya dengan prinsip
komunikasi terapetik
(b) Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun
non verbal
(c) Perkenalkan diri dengan sopan
(d) Tanyakan nama lengkap pasien dan nama
kesukaan pasien
(e) Jelaskan tujuan pertemuan
(f) Buat kontrak interaksi yang jelas
(g) Jujur dan menepati janji
(h) Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa
adanya
(i) Ciptakan lingkungan yang tenang dan bersahabat
(j) Beri perhatian dan penghargaan : temani pasien
walau tidak menjawab
(k) Dengarkan dengan empati beri kesempatan bicara,
jangan buru-buru tunjukkan bahwa perawat
mengikuti pembicaraan pasien
(l) Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar
pasien
b) TUK 2
Pasien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
(1) Kriteria hasil
Setelah ...x pertemuan, pasien dapat menyebutkan
minimal satu penyebab menarik diri yang berasal dari:
(a) Diri sendiri
(b) Orang lain
(c) Lingkungan
(2) Intervensi
Tanyakan pada pasien tentang :
(a) Orang yang tinggal serumah/teman sekamar
pasien
(b) Orang terdekat pasien dirumah/ diruang
perawatan
(c) Apa yang membuat pasien dekat dengan orang
tersebut
(d) Hal- hal yang membuat pasien menjauhi orang
tersebut
(e) Upaya yang telah dilakukan untuk mendekatkan
diri dengan orang lain
(f) Kaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik
diri dan tanda-tandanya
(g) Beri kesemapatan pada pasien untuk
mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri
tidak mau bergaul
(h) Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik
diri, tanda serta penyebab yang muncul
(i) Berikan reinforcement (penguatan) positif
terhadap kemampuan pasien dalam
mengungkapkan perasaannya.
c) TUK 3
Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan
orang lain dan kerugian bila tidak berhubungan dengan
orang lain
(1) Kriteria hasil
Setelah ... pertemuan, pasien dapat menyebutkan
keuntungan berhubungan dengan orang lain, misal:
(a) Banyak teman
(b) Tidak kesepian
(c) Bisa diskusi
(d) Saling menolong
Setelah ...x pertemuan, pasien dapat menyebutkan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, misal:
(a) Sendiri
(b) Tidak punya teman, kesepian
(c) Tidak ada teman ngobrol
(2) Intervensi
(a) Kaji pengetahuan pasien tentang manfaat dan
keuntungan berhubungan dengan dengan orang
lain serta kerugiannya bila tidak berhubungan
dengan orang lain
(b) Beri kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan perasaannya tentang
berhubungan dengan orang lain
(c) Beri kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan perasaannya tentang kerugian
bila tidak berhubungan dengan orang lain
(d) Diskusikan bersama tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain dan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain
(e) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain dan kerugian bila
tidak berhubungan dengan orang lain
d) TUK 4
Pasien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
(1) Kriteria hasil
Setelah ...x interaksi, pasien dapat mendemonstrasikan
hubungan sosial secara bertahap
(2) Intervensi
(a) Observasi perilaku pasien saat berhubungan
dengan orang lain
(b) Beri motivasi dan bantu pasien untuk berkenalan/
berkomunikasi dengan orang lain melalui: pasien-
perawat, pasien-perawat-perawat lain, pasien-
perawat-perawat lain-11 pasien lain, pasien-
perawat-perawat lain-pasien lain-masyarakat
(c) Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang
telah dicapai
(d) Bantu pasien untuk mengevaluasi manfaat
berhubungan dengan orang lain
(e) Beri motivasi dan libatkan pasien dalam terapi
aktivitas kelompok sosialisasi
(f) Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan
bersama pasien dalam mengisi waktu luang
(g) Memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan jadwal yang telah dibuat
(h) Beri reinforcement atas kegiatan pasien dalam
memperluas pergaulan melalui aktivitas yang
dilaksanakan

e) TUK 5
Pasien dapat mengungkapkan perasaannya setelah
berhubungan dengan orang lain
(1) Kriteria hasil
Setelah ...x interaksi, pasien dapat mengungkapkan
perasaan setelah berhubungan dengan orang lain untuk
diri sendiri dan orang lain untuk untuk:
(a) Diri sendiri
(b) Orang lain
(c) Kelompok
(2) Intervensi
(a) Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaannya bila berhubungan dengan orang
lain/kelompok
(b) Diskusikan dengan pasien tentang perasaan
manfaat berhubungan dengan orang lain
(c) Beri reinforcement atas kemampuan pasien
mengungkapkan perasaannya berhubungan
dengan orang lain
f) TUK 6
Pasien dapat memberdayakan system pendukung atau
keluarga mampu mengembangkan kemampuan pasien untuk
berhubungan dengan orang lain
(1) Kriteria hasil
Setelah ...x pertemuan keluarga dapat menjelaskan
tentang
(a) Pengertian menarik diri dan tanda gejalanya
(b) Penyebab dan akibat menarik diri
(c) Cara merawat pasien dengan menarik diri
(2) Intervensi
(a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga:
salam, perkenalkan diri, sampaikan tujuan, buat
kontrak eksplorasi perasaan keluarga
(b) Diskusikan pentingnya peranan keluarga sebagai
pendukung untuk mengatasi perilaku menarik diri
(c) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang:
perilaku menarik diri , penyebab perilaku menarik
diri, akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik
diri tidak ditanggapi, cara keluarga menghadapi
pasien menarik diri
(d) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu
mengatasi pasien menarik diri
(e) Latih keluarga merawat pasien menarik diri
(f) Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara
yang dilatih
(g) Anjurkan anggota keluarga untuk memberi
dukungan kepada pasien untuk berkomunikasi
dengan orang lain
(h) Dorong anggota keluarga secara rutin dan
bergantian menjenguk pasien minimal satu kali
seminggu
(i) Beri reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai
keluarga
g) TUK 7
Pasien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
(1) Kriteria hasil
Setelah ...x interaksi, pasien menyebutkan:
(a) Manfaat minum obat
(b) Kerugian tidak minum obat
(c) Nama, warna, dosis, efek samping obat
Setelah ...x interaksi, pasien mampu
mendemonstrasikan penggunaan obat dan menyebutkan
akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter
(2) Intervensi
(a) Diskusikan dengan pasien tentang kerugian dan
keuntungan tidak minum, serta karakteristik obat
yang diminum (nama, dosis, frekuensi, efek
samping minum obat)
(b) Bantu dalam menggunakan obat dengan prinsip 5
benar (benar pasien, obat, dosis, cara, waktu)
(c) Anjurkan pasien minta sendiri obatnya kepada
perawat agar pasien dapat merasakan manfaatnya
(d) Beri reinforcement positif bila pasien
menggunakan obat dengan benar
(e) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa
konsultasi dengan dokter
(f) Anjurkan pasien untuk konsultasi dengan
dokter/perawat apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan
(Prabowo, 2014).

H. Strategi Pelaksanaan
STRATEGI PELAKSANAAN ISOLASI SOSIAL MENARIK DIRI
1. Tindakan keperawatan untuk pasien.
a. Tujuan: Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu
1) Membina hubungan saling percaya
2) Menyadari penyebab isolasi sosial
3) Berinteraksi dengan orang lain
b. Tindakan
1) Membina Hubungan Saling Percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan saling
percaya, adalah:
a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
b) Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama
panggilan yang Saudara sukai, serta tanyakan nama dan nama
panggilan pasien
c) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
d) Buat kontrak asuhan: apa yang Saudara akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana
e) Jelaskan bahwa Saudara akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi
f) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
Untuk membina hubungan saling percaya pada pasien isolasi sosial
kadang-kadang perlu waktu yang lama dan interaksi yang singkat dan
sering, karena tidak mudah bagi pasien untuk percaya pada orang
lain. Untuk itu Saudara sebagai perawat harus konsisten bersikap
terapeutik kepada pasien. Selalu penuhi janji adalah salah satu upaya
yang bisa dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan membuahkan
hasil. Bila pasien sudah percaya dengan Saudara program asuhan
keperawatan lebih mungkin dilaksanakan.
2) Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial
Langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan ini adalah sebagai
berikut:
a) Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi
dengan orang lain
b) Menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain
3) Membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dengan orang
lain
Dilakukan dengan cara mendiskusikan keuntungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka
4) Membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan
Dilakukan dengan cara:
a) Mendiskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan orang lain
b) Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik
pasien
5) Membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
Saudara tidak mungkin secara drastis mengubah kebiasaan pasien
dalam berinteraksi dengan orang lain, karena kebiasaan tersebut telah
terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu Saudara dapat
melatih pasien berinteraksi secara bertahap. Mungkin pasien hanya
akan akrab dengan Saudara pada awalnya, tetapi setelah itu Saudara
harus membiasakan pasien untuk bisa berinteraksi secara bertahap
dengan orang-orang di sekitarnya.
Secara rinci tahapan melatih pasien berinteraksi dapat Saudara
lakukan sebagai berikut:
a) Beri kesempatan pasien mempraktekkan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan di hadapan Saudara
b) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang (pasien,
perawat atau keluarga)
c) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah
interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya.
d) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
oleh pasien.
e) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan
keberhasilan atau kegagalannya. Beri dorongan terus menerus
agar pasien tetap semangat meningkatkan interaksinya.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna, dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta:
EGC.

Marsh., D. & Schenk, S. & Cook., A (2012) Families and Mental Illness . Diadaptasi
oleh National Alliance on Mental Illness / NAMI.

Muhith A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa, Teori Dan Aplikasi. Yogyakarta:


Andi.

Teguh K. (2017). Laporan pendahuluan asuhan keperawatan jiwa pasien dengan


masalah isolasi sosial (menarik diri). Banyuwangi: 2017
https://samoke2012.files.wordpress.com/2017/03/lpsp-isolasi-sosialb.pdf.

Banjarmasin, September 2019

Preseptor Akademik

( M. Anwari, Ns., M.Kep )

Anda mungkin juga menyukai