I. Pendahuluan
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai pada tahun 2001 merupakan tantangan
baru dalam manajemen ekonomi makro Indonesia. Beberapa negara, seperti India,
Brasil, Rusia, dan Cina, pernah menghadapi masalah stabilitas ekonomi makro yang
pelik dan berkepanjangan akibat kurang tepat mengelola pelaksanaan desentralisasi
fiskal. Salah satu akar permasalahan ini adalah perbedaan orientasi kebijakan ekonomi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah lebih menghadapi
masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi
(economic constraints) yang menjadi perhatian pemerintah pusat. Selain itu pemerintah
daerah (Pemda) lebih menaruh perhatian pada masalah alokasi daripada stabilisasi, yang
dianggap sebagai beban pemerintah pusat.
*
Ir. Bobby Hamzar Rafinus, MIA adalah sfat Deputi Bidang Ekonomi Makro Bappenas-red
1
A. Premchand, International Monetary Fund, Cetakan Keempat, Juli 1994.
2
Kompas, 9 Januari 2001.
3
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF, November 2000
4
Bagian ini bersumber dari tulisan Teresa Ter-Minassian, IMF Working Paper, 1997
Mekanisme tranfer dan bagi hasil yang didasarkan pada formula memang dapat
menjadi kendala bagi pemerintah pusat melakukan manajemen ekonomi makro yang
aktif. Upaya meningkatkan tarif pajak dan memperbaiki administrasi pengumpulan
pajak yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit anggaran atau mengerem permintaan
agregat yang berlebihan, secara otomatis akan meningkatkan bagian pendapatan Pemda.
Hal ini dapat dihindari apabila ada mekanisme yang memungkinkan tambahan
penerimaan pajak tersebut disimpan, misalnya dengan menetapkan tarif pajak yang
tetap untuk bagi-hasil pajak kepada Pemda.
Pada sejumlah negara, seperti Brasil, India, dan Rusia, pengumpulan pajak-pajak
berbasis luas ditugaskan pada Pemda untuk selanjutnya digunakan sendiri. Di Brasil,
pengumpulan PPN dilakukan oleh negara bagian. Sementara di India pajak penjualan
dipungut oleh negara bagian. Pemerintah daerah di Rusia mengumpulkan pajak
penghasilan perorangan dan beberapa cukai.
Bila basis pajak yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah luas dan
dinamis, sedangkan tanggung jawab pengeluaran pemerintah pusat tidak mudah ditekan
5
Devolusi adalah penyerahan kewenangan pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada
pemerintah daerah yang telah memiliki kemandirian di bidang politik. (Definisi ini dikutip dari Dennis
Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why ? World Bank, 1999.
6
Ulasan ini bersumber dari Vito Tanzi, IMF, 1995.
Di samping beberapa basis pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada Pemda, ada juga
basis pajak yang dibagi-hasilkan. Bentuk bagi hasil ini paling tidak ada dua macam.
Tingkat pemerintahan yang berbeda dengan basis pajak yang sama, atau suatu tingkat
pemerintahan mengumpulkan pajak dari basis tertentu dan berbagi pendapatannya
dengan tingkat pemerintahan yang lain.
Bila dua tingkat pemerintahan memungut pajak dengan basis yang sama,
masing-masing cenderung mempertahankan kebebasannya bertindak meskipun dengan
meningkatkan ketergantungannya pada basis pajak tersebut sehingga membatasi tingkat
pemerintahan yang lain mengenakan pajak pada basis tersebut. Pada tingkat Pemda,
terbentuknya batas tarif pajak efektif pada basis pajak tertentu akan didorong oleh
persaingan pajak dan mobilitas basis pajak.
Tipe bagi-hasil pajak yang kedua lebih umum dikenal. Beberapa negara seperti
Argentina, Brasil, Kolombia, Pakistan, dan Rusia menggunakan jenis ini. Pemerintah
pusat di Argentina mengumpulkan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai,
pajak perdagangan luar negeri, dan pajak bahan bakar minyak, pajak aset perorangan,
dan pajak penghasilan perusahaan. Sebagian dari pajak ini, seperti pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai, cukai, dan pajak aset dikenakan perlakuan bagi hasil dengan
Pemda. Pada tahun 1993, pendapatan pemerintah pusat sebelum dibagikan mencapai 81
persen dari penerimaan pajak. Sesudah pembagian-hasil pendapatan dan transfer
menjadi maka pendapatan pemerintah pusat berkurang menjadi 54 persen.
Rumusan bagi-hasil pajak meskipun hanya terbatas pada pajak tertentu juga
mempunyai implikasi efisiensi yang penting pada sisi penerimaan. Pemerintah pusat
yang merasa perlu untuk meningkatkan penerimaan pajaknya tapi juga harus membagi
penerimaan tersebut dengan Pemda akan terdorong untuk lebih fokus pada pajak yang
seluruhnya untuk pemerintah pusat. Hal ini akan mendistorsi struktur pajak, dan
menyebabkan bobot pajak yang tidak dibagi menjadi lebih besar meskipun mungkin
kurang efisien.
Ada sisi lain dari masalah ini. Pemerintah pusat dalam situasi tersebut di atas
akan cenderung memberikan pengecualian pembayaran pajak pada jenis pajak yang
memberikan penerimaan kecil. Hal ini terjadi di Pakistan yang menyangkut pajak
penjualan. Pemerintah pusat memiliki wewenang penuh atas jenis pajak ini, tapi harus
mengalihkan 80 persen penerimaan pajak tersebut kepada pemerintah daerah. Hal yang
sebaliknya mungkin saja terjadi bagi daerah yang harus menyerahkan sebagian besar
penerimaan pajaknya kepada pemerintah pusat. Masalah ini terjadi di Cina dan beberapa
provinsi di Argentina. Pada kasus ini hilangnya pendapatan sebagai masalah stabilisasi
bergabung dengan masalah efisiensi. Problem yang timbul pada kasus ini akan kurang
serius apabila bagi-hasil pajak ditetapkan pada seluruh penerimaan pajak daripada satu
atau dua jenis pajak.
3. Pinjaman Pemda
Ada banyak pengalaman berbagai negara dalam masalah pinjaman daerah. Sebagai
contoh adalah Argentina. Semua tingkat pemerintahan disana dapat melakukan
pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 1994, pemerintah provinsi di
Argentina membiayai defisitnya dengan pinjaman luar negeri sekitar 0,7 persen PDB.
Selain itu di di Brasil, dengan diijinkannya Pemda dapat melakukan pinjaman, maka
sebagai akibatnya Sao Paulo dilaporkan mempunyai hutang sekitar USD 40 miliar.7
Beberapa Pemda di beberapa negara seperti Pakistan, Meksiko, dan Italia dilaporkan
mengalami problem keuangan akibat pinjaman yang membengkak.
Ada beberapa alasan timbulnya masalah yang rumit tersebut. Pada beberapa
kasus, masalah ini terjadi karena tidak serasinya antara pembebanan pendapatan dengan
pembebanan pengeluaran. Beberapa penyebab lain yang potensial:
1. Tidak adanya sistem manajemen anggaran belanja yang baik pada tingkat daerah
guna memantau dan mencatat kewajiban dan komitmen hutang.
5. Adanya berbagai peluang untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman dapat berasal dari
pemerintah pusat, bank sentral, bank nasional maupun bank asing, bank daerah,
lembaga pembiayaan, pasar modal, dana pensiun, dan lainnya.
Desentralisasi di Spanyol didasarkan pada alasan politis yang berakar pada pengalaman
sejarah. Spanyol terdiri dari wilayah-wilayah yang heterogen, baik dari segi budaya,
bahasa, dan sejarahnya. Sepeninggal Jenderal Franco yang memerintah Spanyol secara
otokratis selama 36 tahun (1939 – 1975), transisi kepada kehidupan demokratis yang
damai hanya dapat dicapai dengan memberikan kewenangan politik pada beberapa
wilayah.
2. pengalihan kewenangan unit administrasi, termasuk pegawai dan aset sesuai dengan
pembagian wewenang yang baru; dan
Kejelasan dan konsensus tentang pelaksanaan ketiga tahapan ini penting untuk
menghindari tumpang-tindih kebijakan antartingkat pemerintahan dan konflik
antarwilayah, serta tercapainya transparansi dan akuntabilitas.
Pelajaran lain yang menarik adalah pada upaya koordinasi ekonomi makro dan
pinjaman daerah. Koordinasi kebijakan fiskal diperlukan untuk menjaga disiplin fiskal
pada tingkat nasional dan menetralkan efek negatif dari gangguan eksternal. Pada waktu
dimulainya desentralisasi fiskal, pemerintah Spanyol sedang berupaya mengurangi
defisit anggaran hingga ketingkat yang aman dalam jangka panjang. Untuk itu dibentuk
suatu dewan yang bertugas mengkoordinasikan kebijakan pinjaman pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka disusun aturan pinjaman daerah antara
lain sebagai berikut:
1. Pemda dapat melakukan pinjaman jangka pendek hanya untuk tujuan pengelolaan
kas.
3. Jumlah pembayaran hutang tidak boleh melebihi 25 persen dari pendapatan tahun
anggaran berjalan.
Sebagai negara yang baru memulai pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka pengalaman
negara lain merupakan informasi berharga yang perlu kita simak. Mengacu deskripsi
pengalaman beberapa negara seperti yang diuraikan di atas, berikut ini disampaikan
uraian beberapa masalah pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mungkin timbul di
Indonesia. Informasi yang digunakan dalam uraian ini terbatas hingga triwulan pertama
tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal.9
Untuk tahun 2001, sebagaimana diatur dalam UU nomor 35 tahun 2000 tentang
APBN 2001, disediakan dana perimbangan sebesar Rp 81,7 triliun, dengan rincian
sebagaimana pada tabel 2. Realisasi dana tersebut mungkin berbeda karena
perkembangan ekonomi yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan,
misalnya terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak dan
tingkat inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan dana perimbangan terkait
langsung dengan hasil pelaksanaan manajemen ekonomi makro. Sebagai contoh
tercapainya stabilitas ekonomi, seperti tercermin dari inflasi yang rendah, merupakan
kondisi yang kondusif untuk meningkatnya penerimaan pajak, yang pada giliran
selanjutnya menaikkan dana perimbangan.
24
20
16
% PDB
12
8
4
0
2000 2001 2002 2003
Untuk itu penggunaan dana perimbangan dalam periode 2001-2004 perlu diarahkan
pada kegiatan yang tidak bersifat mendorong peningkatan permintaan agregat
berlebihan. Arahan ini menjadi penting karena porsi anggaran pembangunan pemerintah
pusat cenderung menurun dalam periode tersebut.11 Sementara besarnya dana
perimbangan akan sedikit meningkat sesuai dengan proyeksi penerimaan negara (lihat
gambar Perkiraan Anggaran Negara).12 Pemantauan pelaksanaan operasi keuangan
pemerintah daerah perlu dilakukan, karena dampaknya terhadap perekonomian
cenderung meningkat.
10
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
11
Berdasarkan proyeksi APBN dalam Propenas 2000-2004, pengeluaran pembangunan akan menurun
(dalam persentase PDB) dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen. Jika besarnya dana perimbangan diasumsikan
sekitar 25 persen dari penerimaan negara dan hibah, maka porsi pengeluaran pemerintah pusat dalam
periode 2001-2004 akan turun.
12
Dalam gambar tersebut data untuk tahun 2000 merupakan realisasi anggaran, data tahun 2001
merupakan APBN, sedangkan periode 2002 –2003 bersumber dari perkiraan APBN dalam Nota
Keuangan dan Rancangan APBN tahun 2001.
13
Penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah pusat meliputi Bagian Daerah dan Dana Alokasi. Porsi
Dana Alokasi mencapai sekitar 60 persen pada tingkat provinsi dan sekitar 80 persen pada tingkat
kabupaten/ kota.
14
Kompas, 15 Januari 2000, Kompas 9 Januari 2000, dan Kompas 5 Januari 2000.
15
Untuk daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, dana anggaran
pembangunannya berlebih sehingga dapat memiliki Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP), Kompas,
9 Januari 2000
Disamping ketiga masalah di atas yang berkaitan dengan sisi pendapatan operasi
keuangan pemerintah, gambaran terbatasnya sumber-sumber pendapatan dari luar
daerah diperkirakan mendorong timbulnya masalah yang dampaknya lebih luas yaitu
kecenderungan Pemda menggali sumber-sumber pendapatan internal. Berdasarkan UU
nomor 34 tahun 2000 Pemda kabupaten/kota diijinkan menerbitkan jenis pajak baru
selain dari yang telah ditetapkan dengan menggunakan Perda. Meskipun dalam undang-
undang tersebut sudah ditentukan kriteria yang harus dipenuhi untuk menerbitkan suatu
jenis pajak baru, namun keleluasaan ini dapat dipastikan mendorong jumlah pajak
daerah akan bertambah.
Tabel 1
Dana Perimbangan APBN 2001 (miliar rupiah)
16
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
17
Belajar dari pengalaman Spanyol, maka koordinasi pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sangatlah penting. Suatu dokumen perencanaan pinjaman yang terpadu diperlukan sebagai acuan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dokumen semacam ini disebut Local Government Financial
Plan di Jepang yang diajukan setiap tahun ke parlemen bersamaan dengan pengajuan anggaran
pemerintah pusat. Indikasi larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda
disampaikan oleh Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001.
18
Menurut Gubernur Z.B. Palaguna konsep otonomi sudah dikenal sejak UU nomor 5 tahun 1974, namun
gagal dalam pelaksanaannya karena semua kewenangan tersentralistik. Kompas ,12 Januari 2001.
V. Penutup
19
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF, November 2000
20
Kompas, 11 Januari 2000.
21
Klasifikasi otonomi daerah disusun dengan rincian persyaratan bagi suatu daerah untuk tercatat pada
kelas tertentu. Pengklasifikasian ini berfungsi sebagai instrumen monitoring pemerintah pusat.
22
Indikasi larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda disampaikan oleh
Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001. Kompas, 6 Februari 2001.
1. Semakin luas tingkat devolusi anggaran pendapatan dan pengeluaran, maka semakin
penting adanya dialog yang aktif antara pemerintah pusat dan Pemda, serta
keterlibatan Pemda dalam manajemen ekonomi makro24. Rakorbangnas mungkin
dapat diarahkan menjadi forum dialog tersebut.
4. Bagi daerah yang memiliki kelebihan anggaran baik di awal tahun anggaran maupun
dalam tahun anggaran disarankan untuk membentuk Cadangan Anggaran
Pembangunan (CAP) ketimbang menggunakannya. Dana ini akan berguna apabila
dana dari pemerintah pusat mengalami perlambatan atau pengurangan. Selain itu
juga dapat menjadi alternatif sumber pinjaman bagi daerah lain.
5. Kriteria alokasi dana kontijensi dalam rangka desentralisasi fiskal sekitar Rp. 6
triliun pada tahun 2001 perlu disusun agar penggunaannya efektif dan transparan.
Keberhasilan pemerintah pusat mengalokasikan dana ini secara adil akan
meningkatkan kredibilitas pemerintah pusat dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal
tahun-tahun yang akan datang.
23
Vito Tanzi, IMF, November 2000
24
Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, IMF, 1997
Dennis Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why ? World Bank,
1999.
Vito Tanzi, Fiscal Federalism and Decentralization : A Review of Some Efficiency and
Macroeconomic Aspects, Annual World Bank Conference on Development
Economics 1995.
Vito Tanzi, On Fiscal Federalism : Issues To Worry About, IMF, November 2000.
Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, Control of Sub National Borrowing, bab 7 dari
buku Fiscal Federalism – in Theory and Practice, editor Teresa Ter-Minassian,
IMF, 1997
Kompas, Kaltim Sediakan Dana CAP Sekitar Rp. 1,2 Trilyun, 9 Januari 2000
Kompas, Anggaran PNS Bali Kurang Rp. 100 Milyar, 9 Januari 2001
Kompas, Sebagian Besar DAU Sumbar untuk Gaji Pegawai, 15 Januari 2001
Kompas, Pinjaman Pemda dan RUU BI Jadi Perhatian IMF, 6 Februari 2001