Anda di halaman 1dari 15

Desentralisasi Fiskal dan

Manajemen Ekonomi Makro

Bobby Hamzar Rafinus *

I. Pendahuluan

Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai pada tahun 2001 merupakan tantangan
baru dalam manajemen ekonomi makro Indonesia. Beberapa negara, seperti India,
Brasil, Rusia, dan Cina, pernah menghadapi masalah stabilitas ekonomi makro yang
pelik dan berkepanjangan akibat kurang tepat mengelola pelaksanaan desentralisasi
fiskal. Salah satu akar permasalahan ini adalah perbedaan orientasi kebijakan ekonomi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah lebih menghadapi
masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi
(economic constraints) yang menjadi perhatian pemerintah pusat. Selain itu pemerintah
daerah (Pemda) lebih menaruh perhatian pada masalah alokasi daripada stabilisasi, yang
dianggap sebagai beban pemerintah pusat.

Kekhawatiran Indonesia akan mengalami masalah ekonomi makro akibat


pelaksanaan desentralisasi fiskal disampaikan IMF dalam proses penyusunan Letter of
Intent pada akhir tahun 2000.2 Timbulnya kekhawatiran tersebut bisa jadi tidak terlepas
dari hasil diskusi yang berlangsung pada Konperensi Desentralisasi Fiskal yang
diadakan IMF pada akhir November 2000. Salah satu makalah mengenai desentralisasi
fiskal di Indonesia3 yang disajikan dalam konperensi tersebut menyatakan bahwa
dorongan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia lebih karena keinginan masyarakat
untuk mendapatkan otonomi atas sumber daya alam, politik, dan hukum di wilayahnya
masing-masing. Dorongan ini berbeda dengan di banyak negara, khususnya negara
maju, yaitu desentralisasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat memperoleh
pelayanan umum yang lebih baik dari pemerintah.

Dalam rangka mengantisipasi kekhawatiran IMF tersebut, pada bagian awal


tulisan ini disampaikan deskripsi pengaruh desentralisasi fiskal terhadap manajemen
ekonomi makro dan pengalaman pelaksanaan desentralisasi di Spanyol yang merupakan
kompilasi gagasan beberapa tulisan ekonom IMF. Pada bagian selanjutnya akan diulas
beberapa titik kemungkinan terjadinya gangguan ekonomi makro dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Di bagian akhir tulisan disampaikan beberapa gagasan
guna mengupayakan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang kondusif dengan langkah-
langkah manajemen ekonomi makro.

*
Ir. Bobby Hamzar Rafinus, MIA adalah sfat Deputi Bidang Ekonomi Makro Bappenas-red
1
A. Premchand, International Monetary Fund, Cetakan Keempat, Juli 1994.
2
Kompas, 9 Januari 2001.
3
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF, November 2000

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 1


II. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Manajemen Ekonomi Makro 4

Secara umum perubahan kewenangan pengeluaran maupun penerimaan anggaran,


sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan
pemerintah pusat melakukan kebijakan ekonomi makro melalui anggaran negara.
Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada sejumlah pajak atau pengendalian
atas sejumlah anggaran belanja akan banyak mengurangi ruang geraknya, seperti
menaikkan pajak atau mengurangi belanja guna mengatasi melonjaknya permintaan
dalam negeri. Kasus ini menjadi penting apabila kewenangan pemerintah pusat atas
anggaran belanja hanya terbatas pada anggaran yang jumlahnya sudah pasti, seperti
pembayaran bunga hutang dalam negeri dan pembayaran yang bersifat rutin lainnya.
Jika demikian halnya maka desentralisasi keuangan akan menyebabkan operasi
keuangan oleh pemerintah daerah akan memiliki efek ekonomi makro yang penting.
Selanjutnya jika tidak diikuti dengan koordinasi maka dapat terjadi efek yang
berlawanan dengan upaya pemerintah pusat menjaga stabilisasi.

Anggaran belanja Pemda yang meningkat dapat mendorong permintaan


domestik, dan mempengaruhi keseimbangan anggaran bila efek multiplier dari
pengeluaran daerah jauh melebihi multiplier rata-rata pendapatannya. Sebagai contoh
bila anggaran belanja Pemda terbatas jumlahnya karena sempitnya kewenangan yang
dimilikinya untuk mengenakan pajak dan memperoleh pinjaman, maka perubahan
komposisi belanja yang lebih banyak kepada pekerjaan umum dan subsidi akan
mendorong permintaan total naik meskipun pemerintah pusat mencoba menahannya.

Stabilitas ekonomi makro tidak hanya terpengaruh oleh tingkat desentralisasi


namun juga tahapan pelaksanaan desentralisasi. Pola tahapan desentralisasi pada
umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dan kelembagaan daripada
ekonomi. Pada banyak negara, desentralisasi kewenangan pengeluaran lebih dulu
dilaksanakan untuk mengakomodasi tekanan politik dan perlunya efisiensi. Pada
beberapa negara yang sedang melakukan transisi ke perekonomian pasar (seperti
negara-negara Eropa Timur) dan sedang mengalami kesulitan keuangan, pemerintah
pusat umumnya mudah melimpahkan kewenangan pengeluaran tanpa kewenangan
pendapatan yang mencukupi. Sebaliknya pada beberapa negara Amerika Latin,
pengalihan anggaran pendapatan pemerintah pusat ke Pemda dilaksanakan seperti yang
telah ditetapkan dalam undang-undang, sebelum kewenangan pengeluaran Pemda
dirumuskan dengan jelas.

Pola-pola tersebut tidak mendorong terjadinya disiplin anggaran.


Ketidakseimbangan vertikal yang condong pada pemerintah pusat cenderung
meningkatkan transfer pusat ke daerah, atau menutup defisit dan akumulasi hutang
beberapa waktu kemudian. Namun bila ketidakseimbangan itu condong pada Pemda,
maka cenderung mendorong pengeluaran yang berlebihan untuk fungsi yang menjadi
bebannya, seperti kenaikan gaji yang berlebihan. Hal ini akan menyulitkan Pemda
mengatur kembali anggarannya jika kemudian diberikan tambahan fungsi.

Jadi sebaiknya disiplin fiskal pada semua tingkat pemerintahan diupayakan


dengan menyamakan pendapatan dengan tanggung jawab pengeluaran terlebih dahulu.
Keseimbangan vertikal ini tentunya perlu diikuti dengan rancangan mekanisme dana

4
Bagian ini bersumber dari tulisan Teresa Ter-Minassian, IMF Working Paper, 1997

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 2


perimbangan untuk mengatasi ketidakseimbangan horisontal yang menjadi masalah
umum di negara berkembang. Disain hubungan fiskal antartingkat pemerintahan
hendaknya memperhitungkan kenyataan bahwa peningkatan desentralisasi kewenangan
pengeluaran, baik karena pertimbangan efisiensi maupun politik, cenderung lebih cepat
daripada tingkat devolusi5 kewenangan pendapatan yang konsisten dengan pembebanan
pajak yang optimal.

Pada umumnya atas dasar pertimbangan efisiensi dan administrasi, beberapa


pajak besar tetap dikuasai pemerintah pusat, seperti PPh perusahaan, PPN, dan bea
masuk dan impor. Sedangkan PPh perseorangan dan pajak tertentu, dapat dibagi antara
pemerintah pusat dan Pemda. Bagi Pemda sudah semestinya diberikan pajak bumi dan
bangunan. Namun demikian prinsip pembebanan pendapatan semacam ini tidak akan
mengarah pada keseimbangan vertikal.

Untuk itu diperlukan disain transfer antartingkat pemerintahan yang mengarah


pula pada keseimbangan vertikal. Sistem transfer yang stabil dan transparan diperlukan
untuk mencapai keseimbangan ini. Penyusunan sistem transfer bukanlah hal yang
mudah karena harus memberikan insentif untuk pengumpulan pajak di satu sisi dan
mendorong pembiayaan yang efektif di sisi lain.

Mekanisme tranfer dan bagi hasil yang didasarkan pada formula memang dapat
menjadi kendala bagi pemerintah pusat melakukan manajemen ekonomi makro yang
aktif. Upaya meningkatkan tarif pajak dan memperbaiki administrasi pengumpulan
pajak yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit anggaran atau mengerem permintaan
agregat yang berlebihan, secara otomatis akan meningkatkan bagian pendapatan Pemda.
Hal ini dapat dihindari apabila ada mekanisme yang memungkinkan tambahan
penerimaan pajak tersebut disimpan, misalnya dengan menetapkan tarif pajak yang
tetap untuk bagi-hasil pajak kepada Pemda.

Ada beberapa kemungkinan desentralisasi keuangan mencetuskan problem


fiskal yang bersifat struktural, antara lain penugasan pengumpulan pajak-pajak besar
pada Pemda, bagi hasil dari pajak-pajak besar, dan pembayaran hutang Pemda.
Penjelasan tentang ketiga masalah tersebut sebagai berikut.6

1. Penugasan Pengumpulan Pajak Berbasis Luas

Pada sejumlah negara, seperti Brasil, India, dan Rusia, pengumpulan pajak-pajak
berbasis luas ditugaskan pada Pemda untuk selanjutnya digunakan sendiri. Di Brasil,
pengumpulan PPN dilakukan oleh negara bagian. Sementara di India pajak penjualan
dipungut oleh negara bagian. Pemerintah daerah di Rusia mengumpulkan pajak
penghasilan perorangan dan beberapa cukai.

Bila basis pajak yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah luas dan
dinamis, sedangkan tanggung jawab pengeluaran pemerintah pusat tidak mudah ditekan

5
Devolusi adalah penyerahan kewenangan pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada
pemerintah daerah yang telah memiliki kemandirian di bidang politik. (Definisi ini dikutip dari Dennis
Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why ? World Bank, 1999.
6
Ulasan ini bersumber dari Vito Tanzi, IMF, 1995.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 3


(seperti pembayaran hutang, pembayaran gaji dan pensiun, dan pengadaan infrastruktur
nasional), maka kesulitan ekonomi makro sering tidak terhindarkan. Brasil, India, dan
Rusia telah mengalami kesulitan ekonomi makro karena penyerahan wewenang pajak
yang tidak tepat kepada Pemda. Hal yang sama mungkin terjadi di Cina. Pemerintah
pusat, di Brasil dan India, tidak dapat meningkatkan penerimaan pajak karena tidak lagi
mengendalikan basis pajak yang penting. Pada situasi semacam ini, pemerintah pusat
dipaksa bertumpu pada basis pajak yang kurang efisien dan kurang produktif.

2. Bagi Hasil Basis Pajak

Di samping beberapa basis pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada Pemda, ada juga
basis pajak yang dibagi-hasilkan. Bentuk bagi hasil ini paling tidak ada dua macam.
Tingkat pemerintahan yang berbeda dengan basis pajak yang sama, atau suatu tingkat
pemerintahan mengumpulkan pajak dari basis tertentu dan berbagi pendapatannya
dengan tingkat pemerintahan yang lain.

Contoh yang pertama berlaku pada pajak penghasilan perorangan di Amerika


Serikat. Pajak ini dipungut oleh pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.
Pemerintahan kota memungut sekian persen di atas tingkat pajak penghasilan negara
bagian (piggy-back tax system).

Bila dua tingkat pemerintahan memungut pajak dengan basis yang sama,
masing-masing cenderung mempertahankan kebebasannya bertindak meskipun dengan
meningkatkan ketergantungannya pada basis pajak tersebut sehingga membatasi tingkat
pemerintahan yang lain mengenakan pajak pada basis tersebut. Pada tingkat Pemda,
terbentuknya batas tarif pajak efektif pada basis pajak tertentu akan didorong oleh
persaingan pajak dan mobilitas basis pajak.

Tipe bagi-hasil pajak yang kedua lebih umum dikenal. Beberapa negara seperti
Argentina, Brasil, Kolombia, Pakistan, dan Rusia menggunakan jenis ini. Pemerintah
pusat di Argentina mengumpulkan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai,
pajak perdagangan luar negeri, dan pajak bahan bakar minyak, pajak aset perorangan,
dan pajak penghasilan perusahaan. Sebagian dari pajak ini, seperti pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai, cukai, dan pajak aset dikenakan perlakuan bagi hasil dengan
Pemda. Pada tahun 1993, pendapatan pemerintah pusat sebelum dibagikan mencapai 81
persen dari penerimaan pajak. Sesudah pembagian-hasil pendapatan dan transfer
menjadi maka pendapatan pemerintah pusat berkurang menjadi 54 persen.

Pengalaman Argentina mengajarkan potensi problem yang timbul dengan jenis


bagi-hasil ini. Ketika ada kebutuhan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ekonomi
makro, pemerintah pusat Argentina melakukan pembaruan pajak-pajak besar dan
reformasi administrasi. Kebijakan ini telah meningkatkan dengan tajam proporsi pajak
terhadap PDB. Namun demikian peningkatan penerimaan pajak tidak mengurangi
defisit anggaran karena harus dibagi dengan Pemda, yang segera menggunakan
tambahan pendapatan ini. Kebijakan Pemda ini didasari pandangan bahwa stabilitas
ekonomi merupakan barang publik tingkat nasional yang menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat.

Selain itu pemerintah pusat Argentina telah mencoba mengurangi


pengeluarannya melalui privatisasi, pengurangan pegawai, dan cara-cara lain. Namun

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 4


pada waktu yang sama, sebagian karena peningkatan pendapatan, pemerintah daerah
meningkatkan jumlah pegawai dan pengeluaran lainnya. Pada akhirnya sangat marjinal
manfaat yang diperoleh dari upaya pemerintah tersebut. Rumusan bagi hasil pajak di
Argentina telah menimbulkan dua dampak negatif yaitu memaksa pemerintah pusatnya
bekerja keras untuk mengurangi defisit fiskal dan mengurangi efisiensi belanja negara.

Rumusan bagi-hasil pajak meskipun hanya terbatas pada pajak tertentu juga
mempunyai implikasi efisiensi yang penting pada sisi penerimaan. Pemerintah pusat
yang merasa perlu untuk meningkatkan penerimaan pajaknya tapi juga harus membagi
penerimaan tersebut dengan Pemda akan terdorong untuk lebih fokus pada pajak yang
seluruhnya untuk pemerintah pusat. Hal ini akan mendistorsi struktur pajak, dan
menyebabkan bobot pajak yang tidak dibagi menjadi lebih besar meskipun mungkin
kurang efisien.

Ada sisi lain dari masalah ini. Pemerintah pusat dalam situasi tersebut di atas
akan cenderung memberikan pengecualian pembayaran pajak pada jenis pajak yang
memberikan penerimaan kecil. Hal ini terjadi di Pakistan yang menyangkut pajak
penjualan. Pemerintah pusat memiliki wewenang penuh atas jenis pajak ini, tapi harus
mengalihkan 80 persen penerimaan pajak tersebut kepada pemerintah daerah. Hal yang
sebaliknya mungkin saja terjadi bagi daerah yang harus menyerahkan sebagian besar
penerimaan pajaknya kepada pemerintah pusat. Masalah ini terjadi di Cina dan beberapa
provinsi di Argentina. Pada kasus ini hilangnya pendapatan sebagai masalah stabilisasi
bergabung dengan masalah efisiensi. Problem yang timbul pada kasus ini akan kurang
serius apabila bagi-hasil pajak ditetapkan pada seluruh penerimaan pajak daripada satu
atau dua jenis pajak.

3. Pinjaman Pemda

Ada banyak pengalaman berbagai negara dalam masalah pinjaman daerah. Sebagai
contoh adalah Argentina. Semua tingkat pemerintahan disana dapat melakukan
pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 1994, pemerintah provinsi di
Argentina membiayai defisitnya dengan pinjaman luar negeri sekitar 0,7 persen PDB.
Selain itu di di Brasil, dengan diijinkannya Pemda dapat melakukan pinjaman, maka
sebagai akibatnya Sao Paulo dilaporkan mempunyai hutang sekitar USD 40 miliar.7
Beberapa Pemda di beberapa negara seperti Pakistan, Meksiko, dan Italia dilaporkan
mengalami problem keuangan akibat pinjaman yang membengkak.

Ada beberapa alasan timbulnya masalah yang rumit tersebut. Pada beberapa
kasus, masalah ini terjadi karena tidak serasinya antara pembebanan pendapatan dengan
pembebanan pengeluaran. Beberapa penyebab lain yang potensial:

1. Tidak adanya sistem manajemen anggaran belanja yang baik pada tingkat daerah
guna memantau dan mencatat kewajiban dan komitmen hutang.

2. Kurangnya insentif bagi Pemda untuk tidak meminjam. Pinjaman sering


memberikan manfaat segera bagi yang sedang berkuasa sementara biayanya dibayar
oleh rejim berikutnya.
7
Sebagai perbandingan stok hutang luar negeri pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2000 diperkirakan
mencapai sekitar 65,6 miliar USD (sumber : World Bank. Managing Government Debt and its Risks,
2000)

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 5


3. Adapula asumsi bahwa pemerintah pusat akhirnya yang akan membayar hutang.
Sepanjang pinjaman tersebut kepada pemerintah dan Pemda tetap yakin pemerintah
pusat akan turut campur, maka pelaksanaan anggaran akan longgar dan pinjaman
akan berlebihan.

4. Kelemahan sistem anggaran Pemda dalam mempersiapkan proyeksi pendapatan dan


pengeluaran.

5. Adanya berbagai peluang untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman dapat berasal dari
pemerintah pusat, bank sentral, bank nasional maupun bank asing, bank daerah,
lembaga pembiayaan, pasar modal, dana pensiun, dan lainnya.

Sepanjang kemungkinan pinjaman ada dan keyakinan bahwa pemerintah pusat


akan menghormati kewajiban hutang pemerintah daerah, serta ada pula insentif bagi
Pemda untuk belanja lebih besar, maka desentralisasi tetap dapat mengakibatkan
instabilitas.

III. Pelajaran dari Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Spanyol8

Desentralisasi di Spanyol didasarkan pada alasan politis yang berakar pada pengalaman
sejarah. Spanyol terdiri dari wilayah-wilayah yang heterogen, baik dari segi budaya,
bahasa, dan sejarahnya. Sepeninggal Jenderal Franco yang memerintah Spanyol secara
otokratis selama 36 tahun (1939 – 1975), transisi kepada kehidupan demokratis yang
damai hanya dapat dicapai dengan memberikan kewenangan politik pada beberapa
wilayah.

Atas dasar pertimbangan politik, maka dirancang proses desentralisasi yang


bersifat asimetris. Ada dua asimetris yang menjadi ciri evolusi desentralisasi di Spanyol.
Pertama adanya keragaman kewenangan fiskalantar daerah. Ada dua wilayah yang
diijinkan tetap menjalankan perangkat fiskal setempat. Kedua wilayah ini dapat
mengumpulkan pajak dan mengeluarkan beberapa peraturan tertentu serta wajib
memberikan kontribusi kepada pemerintah pusat untuk biaya kegiatan pertahanan dan
hubungan luar negeri. Wilayah-wilayah lain mendapatkan dana transfer dari pemerintah
pusat dan kewenangan yang terbatas dalam pengumpulan pajak. Asimetri yang kedua
pada sisi pengeluaran, yaitu diadakannya pembedaan pemberian otonomi penuh (self-
government) kepada suatu wilayah. Ada wilayah yang segera memperoleh otonomi
penuh, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, karena faktor historis disebut
fast broad track (FBT). Sementara ada pula wilayah yang harus menunggu lima tahun
untuk mencapai otonomi penuh disebut slow narrow track (SNT).

Proses desentralisasi di Spanyol dilaksanakan secara tergesa-gesa karena


tuntutan politik dari beberapa wilayah yang memiliki kekhasan sejarah nasional. Ada
tiga wilayah yang pada tahun 1977 diprioritaskan untuk pelaksanaan desentralisasi
administrasi. Pembedaan ketiga wilayah ini tidak menimbulkan masalah politik
antarwilayah karena proses desentralisasi selanjutnya dilaksanakan secara bertahap,
luwes, sukarela, dan umum. Status otonomi penuh (self-government) dapat dicapai oleh
setiap wilayah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
8
Tulisan ini bersumber dari makalah Julio Vinuela,, IMF, 2000

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 6


Hal menarik yang dapat dipelajari dari desentralisasi fiskal di Spanyol adalah
meletakkan penyelesaian problem kewenangan pengeluaran lebih dahulu daripada
problem kewenangan pendapatan. Desentralisasi pengeluaran dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu:

1. pengalihan kewenangan perumusan kebijakan dan fungsi pelaksanaan kepada tiap


tingkat pemerintahan;

2. pengalihan kewenangan unit administrasi, termasuk pegawai dan aset sesuai dengan
pembagian wewenang yang baru; dan

3. perhitungan sumber daya keuangan daerah sebagai dasar penetapan kewenangan


pendapatan.

Kejelasan dan konsensus tentang pelaksanaan ketiga tahapan ini penting untuk
menghindari tumpang-tindih kebijakan antartingkat pemerintahan dan konflik
antarwilayah, serta tercapainya transparansi dan akuntabilitas.

Pelajaran lain yang menarik adalah pada upaya koordinasi ekonomi makro dan
pinjaman daerah. Koordinasi kebijakan fiskal diperlukan untuk menjaga disiplin fiskal
pada tingkat nasional dan menetralkan efek negatif dari gangguan eksternal. Pada waktu
dimulainya desentralisasi fiskal, pemerintah Spanyol sedang berupaya mengurangi
defisit anggaran hingga ketingkat yang aman dalam jangka panjang. Untuk itu dibentuk
suatu dewan yang bertugas mengkoordinasikan kebijakan pinjaman pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

Di samping dalam rangka menciptakan disiplin fiskal, pengendalian pinjaman


Pemda dilaksanakan untuk menjaga tingkat solvency suatu wilayah guna mencegah
perlunya bantuan keuangan dari wilayah lain. Selain itu dengan adanya pengendalian
pinjaman memungkinkan Pemda memiliki acuan merencanakan kombinasi besarnya
pendapatan dan pinjaman yang diperlukan. Penentuan besarnya pinjaman pemerintah
daerah oleh pemerintah pusat dihitung atas dasar upaya menciptakan keseimbangan
beban antargenerasi.

Untuk mencapai sasaran tersebut, maka disusun aturan pinjaman daerah antara
lain sebagai berikut:

1. Pemda dapat melakukan pinjaman jangka pendek hanya untuk tujuan pengelolaan
kas.

2. Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk pembiayaan investasi.

3. Jumlah pembayaran hutang tidak boleh melebihi 25 persen dari pendapatan tahun
anggaran berjalan.

Sebagai hasil koordinasi pinjaman Pemda, maka defisit Pemda sebagai


persentase PDB turun dari 1,1 persen tahun 1993 menjadi 0,2 persen tahun 1999.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 7


IV. Beberapa Masalah Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Sebagai negara yang baru memulai pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka pengalaman
negara lain merupakan informasi berharga yang perlu kita simak. Mengacu deskripsi
pengalaman beberapa negara seperti yang diuraikan di atas, berikut ini disampaikan
uraian beberapa masalah pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mungkin timbul di
Indonesia. Informasi yang digunakan dalam uraian ini terbatas hingga triwulan pertama
tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal.9

Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, Pemda belum


diberikan kewenangan untuk mengumpulkan pajak yang berbasis luas. Pengumpulan
pajak PPh, PPN, PBB, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, serta Cukai
masih merupakan wewenang pemerintah pusat. Pemda kabupaten/kota, berdasarkan UU
Nomor 34 tahun 2000, dapat mengadakan pajak baru dengan memenuhi kriteria
tertentu. Sedangkan pemerintah provinsi sudah ditetapkan jenis pajaknya.

Dari hasil pengumpulan pajak tersebut baru kemudian sebagian dibagikan


kepada pemerintah daerah. Pembagian tersebut melalui penyediaan dana perimbangan
yang penggunaaanya ditentukan oleh pemerintah daerah. Ada tiga komponen dana
perimbangan yaitu dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi
khusus (DAK). Penyediaan DAU telah ditentukan sebesar 25 persen dari penerimaan
dalam negeri. Sedangkan penyediaan DBH ditetapkan secara proporsional terhadap
penerimaan pajak tertentu dan sumber daya alam. Rumusan porsi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tersebut dapat dilihat pada tabel 1 terlampir. DAK dalam tahun
anggaran 2001 berasal dari dana reboisasi.

Untuk tahun 2001, sebagaimana diatur dalam UU nomor 35 tahun 2000 tentang
APBN 2001, disediakan dana perimbangan sebesar Rp 81,7 triliun, dengan rincian
sebagaimana pada tabel 2. Realisasi dana tersebut mungkin berbeda karena
perkembangan ekonomi yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan,
misalnya terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak dan
tingkat inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan dana perimbangan terkait
langsung dengan hasil pelaksanaan manajemen ekonomi makro. Sebagai contoh
tercapainya stabilitas ekonomi, seperti tercermin dari inflasi yang rendah, merupakan
kondisi yang kondusif untuk meningkatnya penerimaan pajak, yang pada giliran
selanjutnya menaikkan dana perimbangan.

Dengan demikian perlu kiranya dipahami bahwa penciptaan stabilitas ekonomi


merupakan tanggungjawab semua tingkat pemerintahan. Dengan kata lain pelaksanaan
desentralisasi fiskal perlu diikuti dengan peningkatan peranserta pemerintah daerah
dalam manajemen ekonomi makro. Mengenai bentuk peranserta tersebut dapat
berangkat dari upaya bersama mengatasi tiga potensi penyebab gangguan manajemen
ekonomi makro dari pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana telah dijelaskan pada
uraian bagian II di atas.

Masalah yang pertama, yaitu yang disebabkan oleh adanya pembagian


kewenangan pengumpulan pajak berbasis luas, belum akan terjadi karena pemerintah
pusat masih berwenang penuh dalam masalah tersebut. Masalah kedua, yaitu dari bagi
9
Dengan demikian disadari bahwa uraian ini akan sedikit dengan fakta pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Uraian yang disampaikan merupakan perkiraan masalah yang mungkin timbul sejauh peraturan yang ada.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 8


hasil pajak mungkin saja terjadi konflik dalam manajemen ekonomi makro khususnya
dalam periode 2001-2004. Dalam periode ini pemerintah pusat akan berupaya
meningkatkan penerimaan pajak sebagaimana tercantum dalam perkiraan penerimaan
pajak dari 12,3 persen pada tahun 2001 menjadi 16,0 persen pada tahun 2004.10
Proyeksi penerimaan pajak ini disusun dengan asumsi tingkat inflasi yang menurun dari
6-8 persen menjadi 3-5 persen. Asumsi ini mengindikasikan perlunya pola penggunaan
anggaran belanja yang tidak konsumtif dan lebih banyak berupa investasi guna
mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Proyeksi Anggaran Negara

24
20
16
% PDB

12
8
4
0
2000 2001 2002 2003

Pendapatan Negara Dana Perimbangan


Belanja Pembangunan Pusat Belanja Rutin Pusat

Untuk itu penggunaan dana perimbangan dalam periode 2001-2004 perlu diarahkan
pada kegiatan yang tidak bersifat mendorong peningkatan permintaan agregat
berlebihan. Arahan ini menjadi penting karena porsi anggaran pembangunan pemerintah
pusat cenderung menurun dalam periode tersebut.11 Sementara besarnya dana
perimbangan akan sedikit meningkat sesuai dengan proyeksi penerimaan negara (lihat
gambar Perkiraan Anggaran Negara).12 Pemantauan pelaksanaan operasi keuangan
pemerintah daerah perlu dilakukan, karena dampaknya terhadap perekonomian
cenderung meningkat.

Pemantauan ini juga diperlukan dalam rangka mencegah berkembangnya


masalah yang timbul dari pinjaman daerah, sebagai potensi masalah ketiga. Masalah ini
tidak terlepas dari kondisi keuangan Pemda di Indonesia yang sangat tergantung kepada
transfer dari pemerintah pusat. Pada tingkat provinsi, sekitar 50 persen penerimaan

10
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
11
Berdasarkan proyeksi APBN dalam Propenas 2000-2004, pengeluaran pembangunan akan menurun
(dalam persentase PDB) dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen. Jika besarnya dana perimbangan diasumsikan
sekitar 25 persen dari penerimaan negara dan hibah, maka porsi pengeluaran pemerintah pusat dalam
periode 2001-2004 akan turun.
12
Dalam gambar tersebut data untuk tahun 2000 merupakan realisasi anggaran, data tahun 2001
merupakan APBN, sedangkan periode 2002 –2003 bersumber dari perkiraan APBN dalam Nota
Keuangan dan Rancangan APBN tahun 2001.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 9


daerah merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Sedangkan pada tingkat
kabupaten dan kota, dana transfer pemerintah pusat mencapai lebih dari 80 persen.13

Peta kondisi keuangan tersebut menunjukkan besarnya peran dana perimbangan


dalam operasi keuangan pemerintah daerah. Dana perimbangan diharapkan dapat
menggantikan komponen anggaran yang lama, yaitu bagian daerah, dana alokasi rutin,
dan dana alokasi pembangunan. Alokasi DAU untuk tahun anggaran 2001 kepada
Pemda tingkat I dan Pemda tingkat II telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden nomor
181 tahun 2000.

Selama satu bulan pelaksanaan desentralisasi beberapa daerah, seperti provinsi


Sumatera Barat, Jambi, dan Bali mengeluh bahwa sebagian besar DAU telah terpakai
untuk membayar gaji pegawai, khususnya dengan adanya tambahan pegawai pusat yang
dialihkan ke daerah. Kondisi keuangan semacam ini diperkirakan terjadi dalam dua
tahun mendatang.14 Hal ini mengindikasikan porsi anggaran rutin akan meningkat
dalam beberapa tahun mendatang, yang selama ini telah mencapai sekitar 60 persen dari
total anggaran Pemda. Jika perkiraan ini yang terjadi maka anggaran pembangunan akan
relatif kecil pada beberapa wilayah, terutama yang tidak memperoleh pendapatan yang
cukup besar dari Dana Bagi Hasil.15 Sebagai akibatnya Pemda mungkin menghadapi
kesulitan dalam menyediakan dana pemeliharaan dan peningkatan pelayanan dasar.

Dengan adanya indikasi penurunan porsi anggaran pembangunan dalam APBD


beberapa tahun mendatang, dapat mendorong Pemda untuk melakukan pinjaman
daerah. Pinjaman daerah, menurut PP nomor 107 tahun 2000, merupakan pelengkap
dari sumber-sumber penerimaan lain dan ditujukan untuk membiayai pengadaan
prasarana. Dalam PP tersebut sudah dirumuskan prosedur dan pagu pinjaman daerah,
sehingga kecil kemungkinan terjadi hutang Pemda yang berlebihan jika ketentuan ini
dipatuhi. Namun sebagaimana pengalaman negara lain, misalnya Pakistan, ketentuan
pinjaman daerah ini dapat saja tidak berjalan efektif. Beberapa penyebabnya telah
disampaikan pada bagian II butir 3, seperti belum adanya sistem manajemen anggaran
belanja yang efektif.

Pengendalian pinjaman daerah memang perlu mendapatkan perhatian serius,


karena dalam rangka manajemen ekonomi makro pemerintah pusat dihadapkan pada
rencana penurunan stock hutang pemerintah. Seperti tercantum pada Kerangka Ekonomi
Makro dalam PROPENAS 2000-2004, maka stok hutang pemerintah direncanakan
menurun persentasenya terhadap PDB dari 99,2 persen tahun 2000 menjadi 45,7 persen

13
Penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah pusat meliputi Bagian Daerah dan Dana Alokasi. Porsi
Dana Alokasi mencapai sekitar 60 persen pada tingkat provinsi dan sekitar 80 persen pada tingkat
kabupaten/ kota.
14
Kompas, 15 Januari 2000, Kompas 9 Januari 2000, dan Kompas 5 Januari 2000.
15
Untuk daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, dana anggaran
pembangunannya berlebih sehingga dapat memiliki Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP), Kompas,
9 Januari 2000

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 10


tahun 2004.16 Dengan target indikatif ini maka pagu pinjaman daerah diperkirakan
relatif kecil, bahkan mungkin ditiadakan.17

Disamping ketiga masalah di atas yang berkaitan dengan sisi pendapatan operasi
keuangan pemerintah, gambaran terbatasnya sumber-sumber pendapatan dari luar
daerah diperkirakan mendorong timbulnya masalah yang dampaknya lebih luas yaitu
kecenderungan Pemda menggali sumber-sumber pendapatan internal. Berdasarkan UU
nomor 34 tahun 2000 Pemda kabupaten/kota diijinkan menerbitkan jenis pajak baru
selain dari yang telah ditetapkan dengan menggunakan Perda. Meskipun dalam undang-
undang tersebut sudah ditentukan kriteria yang harus dipenuhi untuk menerbitkan suatu
jenis pajak baru, namun keleluasaan ini dapat dipastikan mendorong jumlah pajak
daerah akan bertambah.

Tabel 1
Dana Perimbangan APBN 2001 (miliar rupiah)

Klasifikasi APBN 2001 Persen thd. PDB


I. Dana Bagi Hasil 20.259,2 1,4
1. Sumber Daya Alam 11.708,0 0,8
a. Kabupaten/ Kota 9.203,4 0,6
i. Minyak bumi 4.611,5 0,3
ii. Gas Alam 2.965,1 0,2
iii. Pertambangan umum 594,0 0,0
iv. Kehutanan 799,5 0,1
v. Perikanan 233,4 0,0

2. Bagi Hasil PBB dan BPHTB 5.447,6 0,4


a. Kabupaten/Kota 4.498,9 0,3
i. PBB 3.511,5 0,2
ii. BPHTB 987,4 0,1

16
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
17
Belajar dari pengalaman Spanyol, maka koordinasi pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sangatlah penting. Suatu dokumen perencanaan pinjaman yang terpadu diperlukan sebagai acuan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dokumen semacam ini disebut Local Government Financial
Plan di Jepang yang diajukan setiap tahun ke parlemen bersamaan dengan pengajuan anggaran
pemerintah pusat. Indikasi larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda
disampaikan oleh Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 11


b. Propinsi 948,7 0,1
i. PBB 760,6 0,1
ii. BPHTB 188,1 0,0

3. PPh Perseorangan 3.103,6 0,2


a. Kabupaten/Kota 1.862,2 0,1
b. Propinsi 1.241,4 0,1

II. Dana Alokasi Umum 60.516,7 4,2


a. Kabupaten/Kota 54.465,0 3,8
b. Propinsi 6.051,7 0,4

III. Dana Alokasi Khusus 900,6 0,1


1. Dana Reboisasi 900,6 0,1
2. Dana Non-Reboisasi - -

Jumlah 81.676,5 5,7


Sumber : Nota Keuangan dan Rancangan APBN tahun anggaran 2001

Penambahan jumlah pajak ini dapat menjadi gangguan dalam manajemen


ekonomi makro jika jumlahnya tidak terkendali. Daya tarik Indonesia bagi penanaman
modal asing dan penanaman modal dalam negeri dapat menjadi berkurang. Harga
komoditi ekspor dapat menjadi lebih mahal. Jumlah pajak daerah yang tak terkendali
akan menimbulkan ‘high cost economy’ bagi dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi
menjadi lebih rendah.

Upaya membangun kerjasama dalam manajemen ekonomi makro akan


menghadapi tantangan yang sangat berat mengingat motivasi pelaksanaan desentralisasi
Indonesia lebih karena tuntutan daerah untuk mendapatkan kewenangan yang lebih
besar dalam pengelolaan pendapatan dari sumber daya alam, pengambilan keputusan
politik dan hukum, serta pemerintahan. Selama beberapa dekade kewenangan tersebut
dilaksanakan secara sentralistik sehingga menimbulkan rasa tidak puas daerah.18 Hal ini
yang mungkin mendorong pengaturan pengalihan kewenangan menjadi mengemuka
daripada pengaturan yang berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Kecenderungan tersebut tercermin dari beberapa rumusan dalam dua undang-


undang yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi, yaitu UU no. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU no. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU PKPD). Dalam UU
PKPD jelas terlihat adanya akomodasi terhadap tuntutan daerah penghasil sumber daya
alam agar mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Sementara itu dalam UU Pemda,
tuntutan kewenangan politik dan pemerintahan yang lebih besar diakomodasi dengan
pemberian kewenangan DPRD dalam pemilihan pimpinan daerah dan dibatasinya
bidang tugas pemerintahan pusat. Kedua undang-undang tersebut tidak secara jelas

18
Menurut Gubernur Z.B. Palaguna konsep otonomi sudah dikenal sejak UU nomor 5 tahun 1974, namun
gagal dalam pelaksanaannya karena semua kewenangan tersentralistik. Kompas ,12 Januari 2001.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 12


merumuskan konsekuensi pengalihan kewenangan pendapatan yang lebih besar dengan
peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat.19

Penjabaran lebih jauh kedua undang-undang tersebut dalam Peraturan


Pemerintah nampak juga kurang memberikan perhatian terhadap masalah penyediaan
pelayanan umum. Hal ini terbukti dari belum dikeluarkannya Pedoman Standar
Pelayanan Umum (PSPM) hingga Januari 2001.20 Padahal pedoman ini mengatur
standar pelayanan minimal yang harus dilakukan Pemda kepada masyarakat dalam
rangka mewujudkan otonomi. Pemahaman tentang otonomi daerah yang tidak hanya
berarti meningkatkan pendapatan asli daerah namun juga perlunya peningkatan
pelayanan kepada masyarakat nampaknya perlu disebarluaskan.

Potensi masalah desentralisasi fiskal di Indonesia juga dapat timbul dari


ketentuan yang seragam untuk semua wilayah, baik dari sisi pembebanan pendapatan
maupun sisi pembebanan pengeluaran. Beberapa wilayah yang mempunyai keunikan
sejarah pemerintahan, seperti Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, serta Sumatera Barat mungkin perlu mendapatkan
perlakuan khusus, berupa kewenangan pengeluaran yang lebih luas daripada wilayah
lain. Untuk itu referensi klasifikasi otonomi daerah nampaknya perlu disusun untuk
mengetahui sejauhmana posisi suatu daerah dibanding daerah lain dalam hal
kewenangan pemerintahannya.21

V. Penutup

Kekhawatiran IMF akan dampak desentralisasi fiskal terhadap ekonomi makro


Indonesia memang beralasan. Beban berat yang timbul akibat pembayaran hutang pada
APBN dan pembayaran gaji pada APBD dalam jangka menengah menyebabkan
ketatnya ruang gerak operasi keuangan pemerintah. Kondisi ini dapat menimbulkan
ketidakselarasan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan upaya manajemen ekonomi
makro.

Ketidakselarasan tersebut dapat timbul dari dorongan untuk melakukan


pinjaman daerah akibat terbatasnya anggaran pembangunan dalam APBD. Sementara
pada sisi ekonomi makro diharapkan pengurangan pinjaman cukup tajam dalam jangka
menengah ini. Selain itu juga mungkin timbul dari pola anggaran belanja Pemda yang
berlebihan sehubungan dengan upaya pemerintah pusat meningkatkan penerimaan dari
pajak dan melonjaknya penerimaan dana bagi hasil daerah pemilik sumber daya alam.
Pola anggaran semacam ini tidak mendukung terciptanya tingkat inflasi yang
diharapkan semakin rendah.

Ketatnya mekanisme pinjaman daerah22 selanjutnya dapat mendorong Pemda


mengembangkan sumber pendapatan asli daerah, khususnya melalui penerbitan pajak

19
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF, November 2000
20
Kompas, 11 Januari 2000.
21
Klasifikasi otonomi daerah disusun dengan rincian persyaratan bagi suatu daerah untuk tercatat pada
kelas tertentu. Pengklasifikasian ini berfungsi sebagai instrumen monitoring pemerintah pusat.
22
Indikasi larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda disampaikan oleh
Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001. Kompas, 6 Februari 2001.

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 13


baru. Kecenderungan ini jika mengakibatkan jumlah pajak daerah berlebihan akan
mengganggu kegiatan pasar di dalam negeri. Desentralisasi dikhawatirkan cenderung
menjadi faktor ‘market constraining’ daripada ‘market enhancing’. 23

Kondisi anggaran pembangunan Pemda yang ketat dapat mengurangi alokasi


dana untuk penyediaan pelayanan dasar masyarakat. Jika kondisi ini berlangsung lama,
khususnya di daerah terpencil, akan menyebabkan kualitas hidup masyarakat menurun.
Pada giliran selanjutnya kesenjangan horisontal akan semakin lebar.

Untuk meminimalkan ekses negatif dari proses desentralisasi fiskal maka


disampaikan gagasan sebagai berikut:

1. Semakin luas tingkat devolusi anggaran pendapatan dan pengeluaran, maka semakin
penting adanya dialog yang aktif antara pemerintah pusat dan Pemda, serta
keterlibatan Pemda dalam manajemen ekonomi makro24. Rakorbangnas mungkin
dapat diarahkan menjadi forum dialog tersebut.

2. Pemda didorong untuk melaksanakan disiplin anggaran yang ketat, melalui


monitoring dan supervisi yang komprehensif, transparan, dan efektif oleh
pemerintah pusat. Pembatasan hutang, sebagaimana yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 107 tahun 2000, perlu dilaksanakan secara tegas. Agar
langkah ini efektif, maka penyempurnaan formulasi dana perimbangan secara
kontinyu seyogyanya dilakukan agar hasilnya semakin mengarah pada penciptaan
keseimbangan vertikal maupun keseimbangan horisontal .

3. Pemantauan akan kecukupan penyediaan pelayanan dasar di tingkat daerah


hendaknya menjadi perhatian khusus dalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi
fiskal. Penurunan kapasitas penyediaan pelayanan ini mungkin terjadi pada beberapa
daerah dengan sumber pendapatan terbatas. Untuk itu perlu penajaman alokasi
anggaran pemerintah pusat ke daerah.

4. Bagi daerah yang memiliki kelebihan anggaran baik di awal tahun anggaran maupun
dalam tahun anggaran disarankan untuk membentuk Cadangan Anggaran
Pembangunan (CAP) ketimbang menggunakannya. Dana ini akan berguna apabila
dana dari pemerintah pusat mengalami perlambatan atau pengurangan. Selain itu
juga dapat menjadi alternatif sumber pinjaman bagi daerah lain.

5. Kriteria alokasi dana kontijensi dalam rangka desentralisasi fiskal sekitar Rp. 6
triliun pada tahun 2001 perlu disusun agar penggunaannya efektif dan transparan.
Keberhasilan pemerintah pusat mengalokasikan dana ini secara adil akan
meningkatkan kredibilitas pemerintah pusat dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal
tahun-tahun yang akan datang.

23
Vito Tanzi, IMF, November 2000
24
Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, IMF, 1997

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 14


Daftar Bacaan

Dennis Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why ? World Bank,
1999.

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000


Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.

Julio Vinuela, Fiscal Decentralization in Spain, IMF, 2000

Vito Tanzi, Fiscal Federalism and Decentralization : A Review of Some Efficiency and
Macroeconomic Aspects, Annual World Bank Conference on Development
Economics 1995.

Vito Tanzi, On Fiscal Federalism : Issues To Worry About, IMF, November 2000.

Teresa Ter-Minassian, Decentralization and Macroeconomic Management, IMF


Working Paper, 1997

Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, Control of Sub National Borrowing, bab 7 dari
buku Fiscal Federalism – in Theory and Practice, editor Teresa Ter-Minassian,
IMF, 1997

A. Premchand, Government Budgeting and Expenditure Controls – Theory and


Practice, International Monetary Fund, Cetakan Keempat, Juli 1994.

Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, Indonesia: Managing Decentralization, Fiscal


Affairs Department-IMF, November 2000

World Bank. Managing Government Debt and its Risks, 2000

Kompas, Sebagian Besar PAD untuk Biaya Rutin, 5 Januari 2001,

Kompas, Kaltim Sediakan Dana CAP Sekitar Rp. 1,2 Trilyun, 9 Januari 2000

Kompas, Soal Keberatan atas Desentralisasi Pemerintah Sayangkan Mengapa Dulu


IMF Diam, 9 Januari 2001

Kompas, Anggaran PNS Bali Kurang Rp. 100 Milyar, 9 Januari 2001

Kompas, Mendesak Standar Pelayanan Otonomi Daerah, 11 Januari 2001

Kompas. Hadapi Otoda, Gubernur Tuntut Otonomi Penuh, 12 Januari 2001

Kompas, Sebagian Besar DAU Sumbar untuk Gaji Pegawai, 15 Januari 2001

Kompas, Pinjaman Pemda dan RUU BI Jadi Perhatian IMF, 6 Februari 2001

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc # 15

Anda mungkin juga menyukai