Disusun Oleh :
Resume asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnose Cidera Kepala di RSUP Dr.
Sardjito. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas individu Praktik Klinik
Keperawatan Gawat Darurat semester V, disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat :
Praktikan
Menik Lansiatun
Pembimbing Lahan (CI) Pembimbing Akademik
A. Pengertian
Cidera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik, intelektual, emosional, dan sosial. Trauma
tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status
kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, dan emosional
(Judha & Rahil, 2011).
Cidera kepala yaitu deformasi berupa penyimpangan bentuk atua
penyimpangan garis pada tulang tengkorak. Percepatan dan perlambatan
yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi
yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan ( Rendy & Magareth, 2012).
B. Etiologi
Berikut adalah serangkaian aktivitas atau situasi yang dapat
meningkatkan risiko cedera kepala:
1. Jatuh dari ketinggian atau terpeleset di permukaan yang keras.
2. Kecelakaan lalu lintas.
3. Cedera saat berolahraga atau bermain.
4. Kekerasan dalam rumah tangga.
5. Penggunaan alat peledak atau senjata dengan suara bising tanpa alat
pelindung
6. Shaken baby syndrome, atau sindrom yang terjadi saat bayi diguncang
secara kasar atau berlebihan.
C. Klasifikasi
Menurut PERDOSSI Pekan baru (2011), cedera kepala bisa
diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis
klasifikasi, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta
berdasar morfologi. Klasifikasi cedera kepala, yaitu:
1. Berdasarkan mekanisme:
a. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2. Berdasarkan beratnya:
a. Ringan (GCS 14-15)
b. Sedang (GCS 9-13)
c. Berat (GCS 3-8)
3. Berdasarkan morfologi
a. Fraktura tengkorak
Kalvaria
1) Linear atau stelata
2) Depressed atau nondepressed
3) Terbuka atau tertutup
Dasar tengkorak
1) Dengan atau tanpa kebocoran CNS
2) Dengan atau tanpa paresis N VII
b. Lesi intracranial
Fokal
1) Epidural (Hematoma Epidural)
Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling
sering terletak di regio temporal atau temporal parietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder
dari perdarahan venapada sepertiga kasus. Kadang-kadang
hematoma epidural mungkin akibat robeknyasinus vena,
terutama di regio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau
hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus
selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak
segera.Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena
cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi.
Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak
koma, 9%pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma
dalam.Sub dural Hematoma sub dural (SDH) adalah perdarahan
yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih
sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering
akibat robeknya venabridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun dapat juga berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada
atautidak. Selain itu kerusakan otak yang mendasari hematoma
subdural akut biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%,
namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera dan pengelolaan medis agresif.
2) Intra serebral
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural.
Mayoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,
walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intra
serebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secaralambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim)otak. Perdarahan terjadi akibat adanya
laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
dan luas perdarahan.
Difusa
1) Komosio ringan
2) Komosio klasik
3) Cedera aksonal difusa
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut
Mansjoer (2010) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS
dan dikelompokkan sebagai berikut:
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
1. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
6. Tidak adanya kriteria cedera kepala sedang-berat
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
1. Amnesia pasca trauma
2. Muntah
3. Tanda kemungkinan fraktur cranium (Battle sign, racoon eyes,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
1. Penurunan kesadaran sacara progresif
2. Tanda neorologis fokal
3. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
E. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera
otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan
hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Muttaqin, 2008).
F. Pathway
Trauma kepala, benturan akselerasi, deselerasi
Laserasi
Resiko
infeksi
Aliran darah ke otak menurun
Aliran darah ke
otak bertambah TIK Penurunan kemampuan
kognitif, motorik, afektif
Fatique
mening
6. Glukokortikoid (dexamethazone)
Berfungsi untuk mengurangi demam. Obat ini diberikan 10 mg untuk
dosis awal, pada hari ke 2 – 3 diberikan 5 mg/8 jam, hari ke 4 diberi-
kan 5 mg/12 jam, dan pada hari ke 5 diberikan 5 mg/24 jam.
7. Diuretic osmotic (manitol)
Berfungsi untuk mengeluarkan kristal– kristal mikroskopik. Diberikan
melalui jarum dan filter.
8. Obat paralitik (pancuronium)
Digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk mengontrol
kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko peningkatan
TIK.
9. THAM (Tris – Hidroksi – metil – aminometana)
Adalah suatu buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf pusat dan
secara teoritis lebih superior daripada natrium bikarbonat dan dalam hal
ini diharapkan dapat mengurangi TIK.
J. Komplikasi
Komplikasi menurut Agus & isak (2006) komplikasi yang bisa terjadi:
1. Pendarahan tulang
2. Kebocoran cairan otak
3. Infeksi pada luka atau sepsis
4. Timbulya edema serebri
5. Timbulnya edema pulmonal neorogenik akibat peninggian TIK
6. Nyeri kepala setelah penderita sadar
7. Konvulsi
Komplikasi secara umum :
1. Edema pulmonal
Mungkin berasal dari gangguan neurologist atau akibat sindrom
distress pernapasaan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing
yang disebabkan oleh peningkatan TIK yang berakibat terjadinya
peningkatan respon simpatis. Peningkatan vasokontriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru. Perubahan
permiabilitas pembuluh darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan disfusi oksigen dan karbon dioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut :
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut.tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat
diazepam namun, hati-hati terhadap efek pada system pernapasan, pantau
selama pemberian obat, frekuensi dan irama pernapasaan. Obat lain
seperti fenabarbital atau fenitoin, hati-hati selama penggunaan obat ini
dapat menekan jantung waspadai perubahan irama dan frekuensi jantung.
3. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur didaerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak bersiliarbagian petrosus dari tulang temporal merobek
meninges sehingga CSS akan keluar. Bila rinorea atau otorea telah
dideteksi area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap.
Cukup diberi bantalan steril dibawah hidung atau telinga.
4. Tekanan intracranial meningkat
Tekanan intrakranial adalah tekanan yang dikeluarkan oleh
kombinasi volume dari tiga komponen intra kranial : jaringan otak, cairan
serebrospinal, dan darah. Peningkatan TIK lebih dari 15 mmHg
dipertimbangkan sebagai akibat herniasi dengan gagal pernapasaan dan
gagal jantung serta kematian.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
3. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
4. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
5. Sistem saraf
6. Kesadaran GCS.
7. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
8. Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
9. Sistem pencernaan
10. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
11. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
12. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
13. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
14. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
a. Resiko Infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
c. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intracranial
d. Defisit Perawatan Diri
e. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
C. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1 Resiko infeksi NOC: Setelah a. Observasi daerah
berhubungan dilakukan asuhan kulit yang
dengan gangguan keperawatan pasien mengalami
itegritas kulit mampu untuk kerusakan
a. Bebas tanda – tanda b. Beri perawatan
infeksi aseptik
b. Mencapai c. Anjurkan klien
penyembuhan luka untuk
tepat waktu mempertahankan
c. Suhu tubuh dalam nutrisi dan
batas normal mencegah hidrasi
d. Batasi
pengunjung yang
dapat menularkan
infeksi
e. Kolaborasi
pemberian
antibiotik sesuai
indikasi
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
2. Perubahan perfusi Setelah dilalukan 1. Kaji tingkat
jaringan serebral tindakan keperawatan , kesadaran.
berhubungan diharapkan perfusi 2. Pantau status
dengan edema jaringan serebral neurologis
serebral dan kembali normal secara teratur,
peningkatan Kiteria Hasil: catat adanya nyeri
tekanan intrakranial 1. Kien melaporkan kepala, pusing.
tidak ada pusing 3. Tinggikan posisi
atau sakit kepala kepala 15-30
2. Tidak terjadi derajat
peningkatan 4. Pantau TTV,
tekanan TD, suhu, nadi,
intracranial input dan output,
3. Peningkatan lalu catat hasilnya.
kesadaran, GCS ≥ 5. Kolaborasi
13 pemberian
4. Fungsi sensori oksigen.
dan motorik membaik, 6. Anjurkan orang
tidak mual, tidak ada terdekat untuk
mutah berbicara dengan
klien.
3. Nyeri akut Setelah dilakuan 1. Teliti keluhan
berhubungan tindakan keperawatan, nyeri, catat
dengan agen cidera rasa nyeri dapat intensitasnya,
fisik. berkurang/ hilang lokasinya dan
dengan lamanya.
Kriteria Hasil: 2. Catat
1. Sekala nyeri kemungkinan
berkurang 3-1
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
2. Klien mengatakan patofisiologi yang
nyeri mulai berkurang, khas,
ekspresi wajah klien misalnya adanya
rileks infeksi,
trauma servikal.
3. Berikan tindakan
kenyamanan,
misal pedoman
imajinasi,
visualisasi, latihan
nafas dalam,
berikan
aktivitas hiburan,
kompres
4. Kolaborasi
dengan pemberian
obat anti nyeri,
sesuai indikasi misal,
dentren (dantrium)
analgesik; antiansietas
misal diazepam
(valium).
4. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Kaji status nutrisi
Nutrisis Kurang asuhan keperawatan pasien
dari kebutuhan diharapkan pemenuhan 2. Penting untuk
tubuh kebutuhan pasien mengetahui
tercukupi dengan karakteristik mual
kriteria hasil : dan faktor-faktor
yang
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
NOC Label >> menyebabkan
Nutritionl status mual. Apabila
Intake karakteristik mual
nutrisi dan faktor
tercukupi. penyebab mual
Asupan diketahui maka
makanan dapat menetukan
dan cairan intervensi yang
tercukupi diberikan
NOC Label >> Nausea 3. Delegatif
dan vomiting severity pemberian nutrisi
Penurunan yang sesuai
intensitas dengan kebutuhan
terjadinya pasien : diet pasien
mual diabetes mellitus.
muntah 4. Anjurkan pasien
Penurunan makan sedikit
frekuensi demi sedikit tapi
terjadinya sering.
mual
muntah
DAFTAR PUSTAKA
Agus & isak. 2016. Keperawatan medical bedah asuhan keperawatan klien dengan
gangguan sistem perapasan. Yogyakarta; fitramaya
Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan System
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2011. Simposium trauma kranio-serebral tanggal
3 November 2007. Pekanbaru
Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Soetomo.2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :EGC
Wijaya & Putri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa).
Yogyakarta : Nuha Medika