Disusun Oleh :
T.A 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur patut kita naikan kepda Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya
saya dapat meneylesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini saya menyadari banyak kekurangan baik dalam teknis
penulisan maupun materi yang saya susun. Mengingat kemampuan saya yang masih dalam
proses pembelajaran. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari dosen
dan rekan-rekan sekalian sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syok paling sering timbul setelah terjadi perdarahan hebat (syok hemoragik).
Perdarahan eksternal akut akibat trauma tembus dan perdarahan hebat akibat
kelianan gastrointestinal merupakan 2 penyebab syok hemoragik yang paling
sering ditemukan. Syok hemoragik juga bisa terjadi akibat perdarahan internal
akut ke dalam rongga toraks dan rongga abdomen. Penyebab utama perdarahan
internal adalah terjadinya trauma pada organ dan ruptur pada aneurysme aortic
abdomen. Syok bisa merupakan akibat dari kehilangan cairan tubuh lain selain
dari darah dalam jumlah yang banyak. Contoh syok hipovolemik yang terjadi
akibat kehilangan cairan lain ini adalah gastroenteritis refraktrer dan luka bakar
hebat. Objektif dari keseluruhan jurnal ini adalah terfokus kepada syok
hipovolemik yang terjadi akibat perdarahan dan pelbagai kontroversi yang timbul
seputar cara penanganannya.
Kebanyakan trauma merbahaya ketika terjadinya perang sekitar tahun 1900an
telah memberi kesan yang angat signifikan pada perkembangan prinsip
penanganan resusitasi syok hemoragik. Ketika Perang Dunia I, W.B. Cannon
merekomendasikan untuk memperlambat pemberian resusitasi cairan sehingga
penyebab utama terjadinya syok diatasi secara pembedahan. Pemberian kristalloid
dan darah digunakan secara ekstensif ketika Perang Dunia II untuk menangani
pasien dengan keadaan yang tidak stabil. Pengalaman yang di dapat semasa
perang melawan Korea dan Vietnam memperlihatkan bahawa resusitasi cairan
dan intervensi pembedahan awal merupakan langkah terpenting untuk
menyelamatkan pasien dengan trauma yang menimbulkan syok hemoragik. Ini
dan beberapa prisip lain membantu dalam perkembangan garis panduan untuk
penanganan syok hemoragik kaibat trauma. Akan tetapi, peneliti-peneliti terbaru
telah mempersoalkan garis panduan ini, dan hari ini telah timbul pelbagai
kontroversi tentang cara penanganan syok hemoragik yang paling optimal.
B. Tujuan khusus
Mahasiswa dapat mengetahui : pengertian syock, penyebab terjadinya syok,
patofisiologi terjadinya syock, tanda dan gejala syock, manifestasi kllinis syock,
jenis-jenis syock, penatalaksanaan syock, dan komplikasinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat
tergantung pada 3 faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus
vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain
tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah
arteri normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika
syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika
hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis
laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan
otot jantung (Mansjoer, 1999).
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan fungsi akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakckupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
mekanisme homeostatis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang
fisiologi keadaan syok dan homeostatis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan
terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi
intensif (Ashadi, 1999).
B. Etiologi
1. Syok Hipovolemik
b. Kehilangan plasma
Luka bakar
Dermatitis eksfoliatif
2. Syok Kardiogenik
a. Disritmia
3. Syok Obstruktif
a. Tension pneumothorax
b. Penyakit perikardium
4. Syok Distributif
a. Syok septik
b. Syok anafilaktik
c. Syok neurogenik
d. Obat-obatan vasodilator
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik, 2000):
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler.
Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran
darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang
kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan
menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk
mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase
kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk
menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi
alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara
regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan
darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh.
Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi
sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri
menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,
metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi
kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi
sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi
sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali
ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat
terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia
dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan
(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan
integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas
mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh.
Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi
sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri
menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,
metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi
kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi
sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi
sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali
ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat
terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia
dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan
(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan
integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas
mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
D. Manifestasi Klinik
5. Asidosis metabolik.
Pemantauan hemodinamik :
E. Penatalaksanaan
Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.
3. Mengembalikan cairan
F. Derajat Syok
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot
rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah,
tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak
terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak
ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-
organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit
dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan
asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi
untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat,
gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung
menurun).
G. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit
mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui
kejadiannya, cari :
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit
Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena
begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik
dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
b. Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita
yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)
c. Status jantung
d. Status respirasi
e. Status Mental
f. Fungsi Ginjal
g. Fungsi Metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik
dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat
takipnea
h. Sirkulasi
Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok
kardiogenik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum,
kreatinin, glukosa darah.
c. EKG
H. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.
I. Pengkajian
4. Curah jantung 2,2 l/mnt, penurunan fraksi ejeksi, penurunan indeks jantung
7. Takikardia nadi radialis halus, nadi perifer tidak ada atau berkurang
15. Status ginjal haluaran urine di bawah 20 ml/jam, kreatinin serum mening
kat, nitrogen urea serum meningkat
Kriteria hasil :
c. Pertahankan terapi parenteral sesuai dengan program terapi, seperti darah lengk
ap, plasmanat, tambahan volume
e. Hubungkan kateter pada sistem drainase gravitasi tertutup dan lapor dokter bi
la haluaran urine kurang dari 30 ml/jam
f. Berikan obat-
obatan sesuai dengan program terapi dan kaji efek obat serta tanda toksisitas
Kriteria hasil :
Perbaikan mental
Rencana tindakan
Kriteria hasil :
Paru-paru bersih
Rencana tindakan :
4. Asietas / takut berhubungan dengan ancaman biologis yang aktual atau potens
ial
Rencana tindakan
b. Jelaskan seluruh prosedur dan pengobatan serta berikan penjelasan yang ringkas
bila klien tidak memahaminya
f. Biarkan keluarga dan orang terdekat untuk tetap tinggal bersama klien jika kondi
si klien memungkinkan
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Price, A, Sylvia & Lorraine M. Willson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. (Edisi 4). EGC, Jakarta.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8, Vol.3). EGC,
Jakarta.