Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

ANASTESI SPINAL PADA SECTIO

Disusun oleh :

Luvianti 1102013158

Fitri annisah 1102014105

M. Tanwirul Q 1102013176

Putri Justicarici N 1102014213

Sri Maryana 1102013280

Rafa Assidiq 1102014218

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

1
BAB I
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS

Nama Pasien : Ny. D


Tanggal lahir : 31 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Cipinang
Masuk RS : 6 agustus 2019

Nama Suami : Tn.A


Umur : 35 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Cipinang

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Mules

Anamnesa Khusus
G6P2A3 merasa hamil 9 bulan datang ke RS dengan keluhan mules, namun tidak sering.
Cairan yang keluar dari jalan lahir (-), darah (-), lender (-). Riwayat SC 1x, abortus 3x.

2
PEMERIKSAAN FISIK
KU : Compos mentis
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5 C
Kepala : Conjunctiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Leher : Tiroid : tidak ada kelainan
KGB : tidak ada kelainan
Thorak : Cor : BJ I dan II murni reguler
Pulmo : Sonor, VBS kanan=kiri
Abdomen : Cembung lembut
Hepar : Sulit dinilai
Lien : Sulit dinilai
Ekstremitas : Edema dan varises tidak ada pada kedua kaki

PEMERIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM)


Tanggal 2 Agustus 2019
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin : 12,1 g/dL (12-14)
Hematokrit : 36% (37-43)
Lekosit : 10500/mm3 (5000-10.000)
Trombosit : 251.000/mm3 (150.000-400.000)
Waktu perdarahan : 1’30’’ (1-6)
Wktu pembekuan : 10’ (10-15)
SGOT : 10 (<31)
Cr : 0.5 (0.2-1.3)
GDS : 84

3
HBs Ag : non reaktif
Anti HIV : non reaktif

DIAGNOSIS (ASSESMENT)
G6P2A3 39 minggu dengan BSC 1x

LAPORAN OPERASI
Operator : dr.Reino Sp.OG
Ahli Anestesi : dr. Asep, Sp.An
Jenis Anestesi : Spinal
Diagnosa Pra Bedah : G6P2A3 39 minggu dengan BSC1x
Indikasi Operasi : Bekas SC 1kali
Jenis Operasi : SC
Laporan Operasi Lengkap :
- Pasien telentang dimeja operasi
- Antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
- Insisi mengikuti parut luka lama
- SBU disayat dan dilebarkan
- Bayi lahir perempuan BB 3000g PB 51cm AS 8/9
- Air ketuban jernih
- Plasenta dan fundus lahir lengkap
- SBU dijahit seulujur 1 lapis dengan safil No1, dipastikan tidak ada perdarahan
- Dilakukan eksplorasi kedua tuba dan ovarium
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Regional Anestesia

Dalam praktek anestesi, ada tiga jenis anestesia yang diberikan pada pasien yang
akan menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, anestesia lokal, dan anestesia
regional. Anestesia regional sendiri merupakan tindakan analgesia yang dilakukan
dengan cara menyuntikan obat anestika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi
region terntentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer. Adapun jenis-jenis anestesia regional yaitu:

 Blok saraf
 Blok fleksus brakhialis
 Blok spinal sub arakhnoid
 Blok spinal epidural
 Blok regional intravena

Anastesia Spinal

Anastesia spinal merupakan bagian dari anastesia regional yang terdiri dari blok
spinal sub arakhnoid dan blok spinal epidural. Blok spinal menghasilkan blokade sistem
saraf simpatis, analgesia atau anastesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung
pada dosis, konsentrasi atau volum anastetika lokal setelah pemberian melalui jarum
plana ke neuroaksial. Anastesia spinal dan epidural terkenal mampu menumpulkan
tanggapan terhadap stress terhadap pembedahan, menurunkan kehilangan darah
intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli pascabedah dan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien yang beresiko tinggi.

Kekurangan tekhnik ini terutama di periode awal penggunannya adalah risioko


toksisitas kepada sel saraf dan sistemik. Seiring dengan perkembangan zaman ditemukan
teknik-tekhnik dan generasi anastetika lokal baru dengan profil keamanan lebih baik
disertai dengan prosedur-prosedur untuk mencegah kejadian yang membahayakan ini.

5
Pengetahuan mengenai barisitas larutan anastetika lokal dan penerapannya dengan
penambahan glukosa sehingga ketinggian blok bisa diperkirakan. Pengembangan pada
teknik meliputi ukuran jarum spinal dan penggunaan kateter baik intra tekhal maupun
intra epidural.3

Blok spinal subarachnoid

Analgesi spinal sub arakhnoid adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

Persiapan anestesia spinal subaracknoid

Sebelum dilakukan anestesi perlu dipersiapkan

1. peralatan monitor (tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG)


2. peralatan resusitasi atau anestesia umum
3. jarum spinal (jarum tajam atau jarum pinsil)
4. Obat anastetik lokal
5. Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan
6. Sarung tangan dan masker steril
7. Perlengkapan desinfeksi, duk, dan kasa penutup steril 2,4

Tata laksana anestesi spinal subarakhnoid

1. Pasang peralatan monitor yang diperlukan


2. Atur posisi pasien, sesuai dengan indikasi
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol
4. Lakukan pungsi lumbal dengan jarum spinal pada celah interspinosum L2-3, L3-
4 atau L4-5 sampai keluar cairan cerebrospinal. Sebagai panduan, perpotongan
antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung
ialah L4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap
medulla spinalis. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G,23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan utuk jarum kecil 27G
atau 29G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) , yaitu jarum

6
suntik biasa 10cc. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah
sefal, kemudian masukan jarum spinal ke lubang jarum tersebut.
5. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat anastetik lokal dan obat dimasukan pelan-pelan (0,5
ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik.
6. Tutup luka tusukan dengan kasa steril
7. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala sedemikian rupa agar posisi
kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan
8. Nilai ketinggian blok dengan skor “bromage”
9. Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.2

Indikasi

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum-perineum
4. Bedah obstetri-ginekologi
5. Badah urologi
6. Bedah abdomen bawah

Kontra Indikasi Relatif

1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)


2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah yang memakan waktu yang lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis

7
Kontra Indikasi Absolut

1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia.2

Cairan Serebrospinal (CSS) dan Barisitas

Cairan serebrospinalis (CSS) adalah produk ultrafiltrasi plasma yang dihasilkan oleh
pleksus koroidalis lateral, ventrikel III dan ventrikel IV. Cairan ini diserap oleh vili
arakhnoidea dengan kecepatan penyerapan normalnya sama dengan kecepetan
produksinya,yaitu 0,35 mL/menit atau kurang lebih 500 mL/hari. Total volum cairan
serebrospinalis adalah 120 sampai 150 mL, yang didistribusi merata ke kranial dan spinal.
Tekanan cairan serebrospinalis normalnya pada daerah lumbal pada daerah horizontal
adalah 60 sampai 80 mmH2O. Berat jenis cairan serebrospinalis ini (densitas dalam
gram/mL per densitas air) adalah 1,0006 ± 0,0003 pada suhu 37oC.

Suatu larutan obat anastetik lokal disebut hiperbarik bila barisitasnya (perbandingan jenis
larutan anastetika lokal dibandingkan berat jenis CSF) lebih besar dari 1,0; dan isobarik
bila berat jenisnya hampir sama dengan 1,0; dan hipobarik bila kurang 1,0. Pada
penggunaan klinis, larutan hiperbarik dibuat dengan menambahkan larutan dekstrosa 7,5
atau 10% dan larutan hipobarik dibuat dengan menambahkan H2O destilasi steril. Larutan
hiperbarik digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarakhnoid. Contoh
larutan hiperbarik adalah Bupivacain 0,5% yang telah dikemas khusus untuk blok
subarakhnoid oleh pembuatnya.

Posisi pasien

8
Ada tiga posisi yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anastetika lokal pada
anastesia spinal yaitu lateral dekubitus, duduk dan tengkurap. Pemilihan posisi pasien ini
tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.1

Jarum spinal dan penuntun


(Introduver)

Jarum spinal yang baik permukaan


ujungnya tertutup dan bentuknya
cocok serta mudah dipindah-
pindahkan posisinya. Hal ini agar saat
lumbal pungsi dilakukan sel-sel epitel
kulit dan bahan-bahan lain tidak

masuk ke dalam ruang subarakhnoid.


Dipasaran jarum spinal tersedia dalam ukuran Gauce 16-30, dan menurut jenis bentuk
jarum spinal ini terdapat 5 bentuk, yaitu : standart cutting atau Quinckle needle,
directional Tuohy needle; pencil-point needle, Greene, Whitacre, dan Sprotte 1

9
Menguji keberhasilan blokade

Lima menit setelah dilakukan anastesia spinal, sebaiknya dilakukan pengujian. Pada saat
ini blok sensorik dan motorik sudah tercapai. Tes blokade motorik dapat diuji dengan cara
menyuruh pasien mengangkat kakinya dalam keadaan lurus. Ketidakmampuan
mengangkat kaki dalam keadaan lurus merupakan tanda keberhasilan blokade motorik
pada dermatom lumbalis. Sensorik lapangan operasi sebaiknya diuji dengan jarum
tumpul. Jika setelah lima menit tidak ada tanda-tanda yang secara objektif menunjukan
keberhasilan blokade, maka kita harus mengulangi melakukan anastesi spinal, atau
tekhnik anestesia diganti menjadi anestesia umum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam cairan


serebrospinal:

 Umur : Pada usia tua,penyebaran obat anastesi lokal lebih ke sefalad akibat dari
ruang subarachnoid dan epidural menjadi lebih kecil dan terjadi penurunan
progresif jumlah cairan serebrospinal
 Tinggi badan: Makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volum
cairan serebrospinal dibawah L2 makin banyak sehingga pasien memerlukan
dosis yang lebih besar daripada yang pendek
 Berat badan : Pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan serebrospinal
berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural sehingga
mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam ruang subarachnoid
 Jenis kelamin : Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran
obat anastesia lokal dalam cairan serebrospinal
 Anatomi kolumna vertebralis : Lekukan kolumna vertebralis mempengaruhi
penyebaran obat anastesi lokal dalam ruang subarachnoid
 Tempat penyuntikan : Penyuntikan obat pada ketinggian L2-3 atau L3-4
memudahkan penyebaran ke arah cranial, sedangkan penyuntikan pada L4-5
karena bentuk vertebra memudahkan obat berkumpul di daerah sacral
 Kecepatan penyuntikan : Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat
analgesia yang tercapai

10
 Berat jenis : Penyebaran obat hipobarik dan hiperbarik dalam cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama dan sesudah
penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien
 Konsentrasi larutan : Pada umumnya intensitas analgesia meningkat dengan
bertambah pekatnya konsentrasi larutan obat anastesi lokal
 Manuver valsava : Mengejan akan meningkatkan tekanan cairan serebrospinalis,
sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi,terutama bila dilakukan oleh pasien
segera setelah penyuntikan obat kedalam rongga subarachnoid.1

Awitan dan Durasi

Sebagian pasien merasakan awitan blok spinal dalam beberapa menit setelah injeksi obat.
Bupivacain membutuhkan lebih dari 20 menit untuk mencapai tinggi blok puncak.

Blokade spinal tidak berhenti serta merta setelah periode waktu tertentu. Blokade ini akan
hilang secara bertahap mulai dari dermatom paling sefalad sampai ke paling kaudal.
Anastesi spinal untuk pembedahan bertahan lebih lama di tingkat sacral dibandingkan di
tingkat toraks. Durasi anastesi pada lokasi pembedahan sangat berbeda dengan durasi
yang dibutuhkan blok sampai hilang sepenuhnya. Durasi pertama penting untuk
mengukur anastesia pembedahan sementaran durasi kedua penting untuk mengetahui
waktu pemulihan. Penentuan durasi utama ialah anastesi lokal yang digunakan seperti
bupivakain adalah agen durasi yang panjang. Penentuan selanjutnya ialah dosis obat dan
tinggi blokade. Dosis anastesi lokal bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan
durasi blok spinal. Apabila dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan
beregresi lebih cepat dibandingkan blok yang lebih rendah. Larutan anastetik lokal
isobarik akan menghasilkan blok lebih panjang daripada larutan hiperbarik dengan dosis
yang sama. Penyebaran sefalad yang lebih jauh akan menyebabkan konsentrasi obat yang
lebih rendah dalam CSS dan spinal nerve root. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhk

an untuk konsentrasi anastesi lokal untuk turun dibawah konsentrasi efektef minimal
menjadi lebih singkat.

Efek Fisiologis Anastesia Regional

11
Penghentian transmisi otonom eferen pada serat sarap spinal menghasilkan blockade
simpatis dan beberapa serat parasimpatis. Sistem saraf simpatis keluar dari batang otak
setinggi daerah thorakolumbalis, sedangkan parasimpatis keluar setinggi kraniosakral.
Serat saraf preganglion simpatis keluar melalui saraf spinal dari level T1 sampai L2.
Sebaliknya serat preganglion simpatis keluar dari saraf kranialis dan sakralis. Anastesia
neuroaksial tidak dapat memblok saraf vagus (parasimpatis), tetapi hanya memblok
simpatis dan menimbulkan respon fisiologis yang bervariasi. Penurunan aktivitas
simpatis akan menyebabkan dominannya aktivitas parasimpatis.

 Efek pada Sistem Kardiovaskular

Biasanya akan terjadi penurunan tekanan darah akibat penurunan frekuensi laju jantung
dan kontraktilitas miokard. Ini adalah efek yang normal terjadi akibat blok simpatis yang
keluar dari T5-L1 untuk kemudian mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blokade
berkas saraf ini menyebabkan vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah vena, penurunan
pengisian darah dan penurunan venous return ke jantung. Di perifer juga akan terjadi
penurunan resistensi vascular sistemik (SVR) akibat vasodilatasi arterial.

 Efek pada Sistem Respirasi

Blok neuroaksial mempengaruhi fungsi respirasi secara minimal. Meskipun pada level
blok yang tinggi volume tidal tidak berubah. Penurunan kapasitas vital hanya akan terjadi
sedikit akibat lumpuhnya otot-otot abdomen kekuatan eksipirasi berkurang.

 Efek pada Gastrointestinal

Sistem saraf simpatis yang keluar dari T5-L1 mengakibatkan penurunan peristaltik,
mengatur tonus sfinkter dan menyeimbangkan aktivitas vagal.

 Efek pada Traktus Urinarius

Aliran darah ginjal dipertahankan lewat mekanisme autoregulasi. Fungsi renal


dipengaruhi minimal akibat blok neuroaksial. Anastesia regional pada level lumbal atau
sakral akan memblok saraf simpatis dan parasimpatis yang mengatur fungsi ginjal.

12
Kehilangan kontrol otonom dari kandung kemih akan menyebabkan retensi urin sampai
blokadea hilang.

 Efek pada Metabolik dan Sistem Endokrin

Trauma pembedahan menimbulkan respons neuroendokrin, diantaranya yaitu :


peningkatan hormon adenokortikotropin, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopressin
lainnya serta aktivasi sisten rennin-angiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis
intraoperatif dan postoperatif termasuk hipertensi, takikardia, hiperglikemia, katabolisme
protein, penekanan respons imun dan perubahan fungsi renal. Blok neuroaksial
mendepresi sebagian (selama pembedahan mayor) respon stress ini.

Mekanisme kerja anastetika lokal

Obat anastesi lokal secara reversible akan memblok konduksi potensial aksi. Tempat
kerja anastetika lokal adalah di intraseluler. Anastetika lokal harus berdifusi terlebih
dahulu melalui membrane saraf yang lipofilik. Anastetika lokal biasanya berada dalam
sediaan yang asam sehingga menyebabkan sebagian besar obat berada dalam keadaan
terionisasi yang bersifat lipofobik. Oleh karenanya obat harus dikonversikan dahulu
menjadi bentuk tidak terionisasi dalam yang cukup untuk bisa masuk melalui membrane
saraf. Hal ini bergantung pada pKa obat anstetika lokal tersebut dan pH jaringan. Begitu
berada dalam sel, pH yang rendah akan mengkonversikan kembali obat tersebut menjadi
bentuk yang terionisasi, yang kemudian akan memblok kanal natrium. Kanal natrium
yang terblok akan menghalani influks natrium dan karenanya depolarisasi akan
melambat. Bila sejumlah kanal natrium telah terblok, ambang potensial aksi tidak akan
tercapai dan potensial aksi tidak akan terjadi, tanpa mempengaruhi baik potensial
membran saraf (yang besarnya tidak bergantung pada kanal natrium voltage gated)
maupun besarnya threshold potensial aksi sendiri.

Obat anastetika lokal memiliki afinitas berbeda dengan tempat terikatnya, bergantung
pada keadaan kanal natrium, sesuai dengan keadaaan siklus potensial aksi. Afinitias
terbesar bila kanal dalam keadaan terbuka (aktif atau inaktif) dan kurang bila kanal dalam
keadaan tertutup (deaktif atau istirahat). Semakin besar frekuensi stimulus semakin

13
banyak kanal natrium dalam keadaan terbuka, sehingga semakin banyak obat anastetika
lokal yang dapat diikat. Keadaan ini menenunjukan bahwa akses anastetika lokal terhadap
tempat terikatnya berbeda-beda, bergantung pada frekuensi stimuli saraf yang disebut
sebagai ”state dependent block”. Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk
memanfaatkan hal ini untuk mempengaruhi kualitas anastetik blok lokal.

Selain keadaan kanal natrium, obat-obatan anastetika lokal sendiri memiliki perbedaan
sifat dalam berikatan dengan kanal natrium. Bupivakain berdisosiasi lebih lambat
dibandingkan dengan lidokain. Perbedaan ini tidak begitu bermakna mempengaruhi
kondisi saraf akan tetapi sangat berperan dalam hal toksisitas kardiak.

Konduksi impuls kardiak dimediasi oleh kanal natrium voltage gated. Bupivakain
berdisosiasi lebih lambat sehingga blok yang bergantung pada frekuensi akan lebih nyata.
Dapat terjadi perlambatan konduksi kardiak dan aritmia yang mematikan akibat
bupivakain. 1

Komplikasi

 Hipotensi

Hipotensi terjadi pada 8,2-33 % pasien akibat anastesia spinal, namun sebesar 81 %
mengalami episode hipotensi ketika hambatan sensorik melebihi T5. Anastesia spinal
menyebabkan hambatan simpatis yang menyebabkan dilatasi arterial dan bendungan
vena (penurunan tahanan vascular sistemik) dan hipotensi. Bendungan di vena
menyebabkan penurunan aliran balik ke jantung, penurunan curah jantung
menyebabkan hipotensi. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat penurunan
tekanan darah adalah usia dan keadaan fungsi jantung pasien, volum intravascular,
dan ketinggian hambatan simpatis.

Hipotensi ini dapat diatasi dengan memberikan bolus cairan intravena sampai 500 mL
larutan kristaloid seiring dengan dilakukannya blok spinal atau dengan koloid
sebelum dilakukan spinal. Jika tekanan darah tetap menurun dapat diberikan obat-
obat vasopresor seperti efedrin 5-10 mg intravena. Keuntungannya selain membuat
vasokonstriksi juga meningkatkan curah jantung. Usaha lainnya untuk mencegah

14
terjadinya hipotensi adalah dengan mengelevasi kaki tapi hati-hati dengan penyebaran
hiperbarik kearah cefalad yang menyebabkan level blokade yang lebih tinggi.
Alternatifnya ialah dengan mengubah posisi operasi menjadi agak fleksi.

 Bradikardia

Kejadian bradikardia akibat anastesi spinal berkisar 8,9-13% namun bisa melebihi
75% jika ketinggian hambatan lebih dari T5. Jika serabut simpatis kardioakselator
yang berasal dari T1-T5 dihambat maka tonus vagal parasimpatis menjadi dominan
menyebabkan bradikardia ringan sampai sedang. Bradikardia dapat muncul akibat
penurunan aliran balik vena atau stimulus seperti tarikan peritoneum namun pada
beberapa kasus tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Faktor resiko terjadinya bradikardia adalah (laju nadi<50x/menit) adalah laju nadi
basal (<60x/menit), penggunaan beta bloker dan status fisiologis ASA 1. Henti
jantung akibat hipotensi berat dan bradikardia jarang terjadi.

 Total Spinal atau blok spinal tinggi


Istilah yang mendeskripsikan tindakan anastesia spinal ketika obat menyebar terlalu
jauh ke sefalad sampai ke region servikal. Blokade setinggi ini biasanya tidak
disengaja, akibat tidak diantisipasinya gerakan-gerakan pasien sesaat setelah obat
dimasukkan, salah pengaturan posisi pasien atau ketidaksesuaian dosis obat yang
diberikan. Karena kecilnya dosis anastetika lokal yang digunakan pada anastesia
spinal, komplikasi ini lebih tinggi resikonya pada epidural dengan pungsi dura tidak
sengaja.Pada anastesia spinal, kejadian serupa dinamakan blok spinal tinggi dengan
klinis yang biasanya sedikit lebih baik.
Gejala utama biasanya terjadi hilangnya kesadaran, bradikardia, hipotensi dan henti
napas. Meskipun obat menyebar sampai sefalad, namun konsentrasi obat yang lebih
jauh menyebar ke posisi sefalad tersebut sudah mengalami dilusi, sehingga paralisis
motorik hanya terbatas dan durasi berlangsung sebentar. Penanganan bersifat suportif
misanya dengan bantuan ventilasi dan sirkulasi, baik dengan obat-obatan maupun
tanpa obat-obatan. Pencegahan berhunungan dengan teknik penyuntikan, obat yang
digunakan dan pengaturan posisi pasien.

15
 Nyeri Punggung
Faktor penting yang mempengaruhi nyeri punggung pasca operasi adalah lamanya
prosedur dan tidak bergantung dari jenis/teknik anastesia (umum, spinal, atau
epidural). Kejadian nyeri punggung setelah anastesi spinal berkisar 0,8% ini
dipengaruhi oleh jenis jarum dan jumlah pungsi/penyuntikan. Nyeri punggung
pada tempat suntikan dapat dihubungkan dengan trauma pada periostealnya.
Penyebab lainnya mungkin karena peregangan ligamentum atau karena meja
operasi yang keras.
 Mual Muntah Pasca Bedah ( Post Operative Nausea and vomiting / PONV)
Mual (nausea) juga merupakan efek samping yang sering muncul pada anastesia
spinal. Faktor resiko diantaranya wanita, ketinggian hambatan sensorik yang lebih
tinggi, dan premedikasi opioid. Hipotensi meningkatkan resiko mual muntah pada
pasien dengan anastesia spinal.
 Menggigil Pasca-Anastesia Spinal
Menggigil merupakan efek samping yang sangat tidak nyaman untuk pasien,
menyebabkan peningkatan konsumsi O2 ,produksi CO2 dan asidosis laktat.
Anastesia neuroaksial menganggu pusat pengaturan termuregulasi otonom sesuai
dengan tinggi atau penyebaran hambatan saraf yang terjadi. Hipotermia yang
terjadi pada anastesia neuroaksial disebabkan karena tiga mekanisme dalam tubuh
yaitu redistribusi panas tubuh dari pusat ke perifer, kehilangan panas yang
melebihi pembentukannya dan inhibisi pusat regulasi. Anastesia neuroaksial juga
menganggu respons perilaku pasien yang mengakibatkan pasien tidak mengeluh
kedinginan karena mereka tidak mampu merasakan hipotermia tetapi dapat
mencetuskan terjadinya menggigil.
Menggigil pasca anastesia dapat diobati dengan menghangatkan permukaan kulit.
Penatalaksanaan dengan farmakologi saat ini dengan mempergunakan berbagai
macam obat intravena yaitu pethidine ( 25mg ), klonidin (75-150 μg) dan
tramadol (0,5-2 mg/kg).1

16
Terapi Cairan

Tubuh manusia terdiri dari zat padat (40%) dan zat cair (60% dari berat badan).
Zat cair terdiri dari cairan intrasel (40%) dan cairan ekstrasel (20% berat badan). Cairan
ekstrasel terdiri dari cairan intravascular (5%) dan cairan interstisial (15% dari berat
badan)

Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit dalam intrasel dan ekstrasel . dalam intrasel
yang terpenting K+ dan PO4-, sedangkan dalam ekstrasel yang terpenting adalah Na+ dan
Cl- .Juga terlarut cairan non elektrolit yaitu glukosa (BM kecil), dan protein (BM besar).

Terapi cairan dan elektrolit merupakan langkah “life saving” pada pasien yang
menderita kehilangan cairan yang banyak. Tujuan terapi cairan yaitu untuk mengganti
cairan yang hilang, mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi
kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengoreksi dehidrasi.

Jenis Cairan dan Indikasinya

Cairan infus dapat digolongkan kedalam empat kelompok, yaitu:

1. Cairan pemeliharaan untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses,
paru, dan keringat.
Jumlah cairan yang hilang berbeda-beda sesuai dengan umur yaitu
Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak 2-4 ml/kg/jam
Bayi 4-6 ml/kg/jam
Neonatus 3 ml/kg/jam
Karena cairan yang hilang sedikit sekali mengandung elektrolit maka cairan
pengganti yang digunakan adalah hipotonis-isotonis dengan perhatian khusu
untuk natrium yaitu D5NaCl 0,9, D5NaCl 0,45, D5NaCl 0,225, Dextrouse 5%
dalam Ringer Laktat, Dextrose 5% dalam Ringer, dan Maltose 5% dalam ringer.
Selain itu dapat juga digunakan cairan non elektrolit misalnya Dextrose 5% atau
10% dalam air, Maltose 5% atau 10%.

17
2. Cairan pengganti yang bertujuan untuk mengganti kehilangakan air tubuh yang
disebabkan sekuestrasi atau proses patologi yang lain missal fistula,efusi pleura,
asites, drainase lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera.
Cairan yang digunakan adalah jenis kristaloud misalnya NaCl 0,9% dan Ringer
laktat, koloiid misalnya Dextrans 40 dan 70. Expafusin, Albumin, dan plasma.

3. Cairan untuk tujuan khusus, yang digunakan adalah kristaloid misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas untuk koreksi khusu terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit.

4. Cairan nutrisi. Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau
makan, tidak boleh makan, dan tidak bias makan peroral.

Terapi cairan Perioperatif

Terdapat tiga periode yang dialami oleh pasien apabila medapat tindakan
pembedahan, yaitu: pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah.

1. Terapi cairan prabedah


Tujuuannya adalah menggatikan cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah
akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat
hipovolemik atau dehidrasi.
Maintanance :
4ml x 10 BB pertama
2ml x 10BB pertama
1ml x (BB-20)
Puasa :
Jumlah jam puasa x maintance
2. Terapi cairan selama operasi
Tujuannya adalah koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti
perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ eksresi.
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum ataupun
keluar tubuh. Untuk menggantinya tergantung dari besar kecilnya pembedahan

18
Jenis Operasi :
6-8 ml/kgbb untuk bedah besar
4-6 ml/kgbb untuk bedah sedang
2-4 ml/kgbb untuk bedah kecil
Jumlah cairan diberikan saat operasi :
Jam pertama : Maintanance + Operasi + ½ Puasa
Jam kedua : Maintanance + Operasi + ¼ Puasa
Jam ketiga : Maintanance + Operasi + ¼ Puasa
3. Terapi cairan pasca bedah
Tujuannya adalah pemberian cairan pemeliharaan, nutrisi parenteral, koreksi
terhadap kelainan akibat terapi yang lain.2,3

1.2 Premedikasi

1.2.1 Ondansentron

Ondansentron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada reseptor


yang memediasi pusat muntah di otak (area post arema) dan juga lambung. Ondansentron
digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan
pascabedah terutama pada pasien dengan riwayat mual dan muntah. Dosis yang
direkomendasikan pada ondansentron adalah 4mg.1,4

1.3 Obat anastesi spinal

1.3.1 Bupivacain Spinal

Bupivacain disintesis pada 1957 oleh Ekstam dkk pada tahun 1957 dan digunakan
pertama kali di klinik oleh Telivou pada tahun 1963. Bupivacain memiliki spesifikasi
yaitu ikatan dengan HCl mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat di autoclave
berulang. Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali lidokain. Sifat
hambatan sesnsorisnya lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Bupivacaine HCl merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivacaine HCl mencegah
permulaan dan konduksi saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang
eksitasi electron, memperlambat perangsangan saraf dan menurunkan kenaikan potensial

19
aksi. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih banyak dibandingkan dengan yang bebas
dalam tubuh. Dikeluarkan dalam tubuh melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh
dab sebagian besar dalam bentuk metabolitnya. Untuk blok spinal digunakan larutan
0,5%-0,75% dengan dosis 1-2mg/kgBB.1,2,6

1.4 EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan Agonis alfa/beta adrenergik5
Indikasi : Hipotensi terkait dengan anestesi spinal
Kontra indikasi : Hipersensitivitas terhadap ephedrine/amine
simpatomimetik, wanita hamil dengan tekanan darah >130/80, penggunaan bersamaan
dengan agen simpatomimetik lainnya.
Cara kerja:
Mekanisme aksi : Efek beta-1 sedang dan efek alfa ringan yang
menyebabkan stimulasi alfa & beta adrenergic yang meningkatkan curah jantung &
tekanan darah, menurunkan perfusi renal & PVR yang bervariasi.
Farmakokinetika :
Waktu paruh : 2,5 - 3,6 jam
Onset : Hipotensi, langsung (IV), 10-20 menit (IM)
Durasi : Hipotensi, 60 menit (IV/SC)
Metabolisme : Secara minimal dimetabolisme dalam hepar
Metabolit :Asam benzoate, asam hipurat, norefedrin, p-Hydroxyephedrine
inaktif
Ekskresi : Urin (60-77%)
Dosis
Hipotensi terkait dengan anestesi spinal: 25-50 mg IM/SC 1-2x, atau 5-25 mg IV
selama 5-10 min jika diperlukan, tidak melebihi 150 mg/hari.
Efek samping
Hipertensi, takikardia, disritmia, cemas, anorexia, mual, muntah, tremor, dan
palpitasi5.

20
1.5 INDUXIN
Induxin merupakan golongan Oksitosin sintetik, uterotonik
Indikasi
1. Antepartum, untuk:
- induksi persalinan.cukup bulan dengan hipertensi akibat kehamilan, ketuban pecah
dini, korioamnionitis, diabetes mellitus maternal, retardasi pertumbuhan
intrauterine, dan kematian janin intrauterine.
- stimulasi atau memperkuat kontraksi persalinan, seperti pada inersia uteri.
- terapi tambahan pada abortus inkomplit ataupun abortus yang terjadi pada trimester
II.
2. Postpartum, untuk membantu menghasilkan kontraksi uterus pada kala III persalinan
sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum dan untuk merangsang laktasi
pada kasus kegagalan ejeksi ASI
Kontra indikasi
- Disproporsi sefalopelvik
- Kelainan letak yang diperkirakan tidak dapat lahir spontan pervaginam, misalnya
letak lintang
- Pada kasus-kasus gawat, dimana lebih baik melalukan tindakan operasi sectio
caesaria[
- Gawat janin
- Pemakaian terus menerus pada inersia uteri atau toksemia yang berat
- Kontraksi hipertonus
- Hipersensitif
- Induksi persalinan dimana persalinan secara spontan pervaginam merupakan
kontraindikasi, seperti ruptur tali pusat, plasenta previa totalis, vasa previa
Cara kerja
- Mekanisme kerja : Oxytocin bekerja selektif pada reseptornya di otot polos uterus
yang selanjutnya terbentuk siklik adenosine-5-monofosfat (cAMP).
Menyebabkan depolarisasi membrane sel myometrium sehingga terjadi kontraksi
ritmis pada uterus, meningkatkan frekuensi kontraksi yang telah ada, dan
meningkatkan tonus otot-otot uterus. Oxytocin terutama bekerja pada akhir

21
kehamilan, selama kehamilan dan segera setelah proses persalinan. Kepekaan
uterus terhadap oksitosin dipengaruhi oleh hormone estrogen, progesterone dan
reseptor oksitosin. Dengan semakin bertambah usia kehamilan, kepekaan uterus
terhadap oksitosin semakin meningkat akibat reseptor oksitosin yang semakin
banyak dan dominasi pengaruh estrogen yang meningkat. Oxytocin juga bekerja
pada reseptor-reseptor sel mioepitel payudara dan menstimulasi kontraksi sel-sel
ini, yang menyebabkan mengalirnya air susu ke duktus yang lebih besar, serta
memudahkan keluarnya air susu (reflex ejeksi ASI). Oksitosin bekerja pada
reseptor hormone antidiuretic dan menyebabkan peningkatan atau penurunan
tekanan darah diastolic yang mendadak akibat vasodilatasi serta menyebabkan
retensi air.
- Farmakokinetika :
Onset : Segera (IV)
Durasi : 20 menit (IV)
Waktu paruh : 1-9 menit
Metabolisme : Secara minimal dimetabolisme dalam hepar
Ikatan dengan protein: rendah
Dosis
1. Antepartum :
a. Untuk induksi atau stimulasi persalinan
Diberikan infus intravena per drip dengan dosis 1 mL (10 unit) dalam 1000 mL
cairan steril. Ini merupakan metode yang paling sesuai untuk induksi maupun
stimulasi persalinan. Larutan harus tercampur dengan baik.
b. Terapi pada abortus inkomplit atau kehamilan yang sudah tidak dapat
dipertahankan
Infus intravena per drip 10 unit oxytocin dalam 500 mL saline atau D 5%,
diberikan 20-40 tetes per menit.

2. Postpartum
Untuk mengontrol perdarahan postpartum. Diberikan 10-40 unit oxytocin dalam
1000 mL larutan steril infus intravena per drip dan diberikan seperlunya sesuai dengan

22
yang digunakan untuk mengontrol atonia uteri. Dapat pula diberikan secara
intramuskular 1 mL (10 unit) segera setelah plasenta lahir.

Efek samping
Mual, muntah, konstriksi pembuluh darah tali pusat, stimulasi yang berlebihan
pada uterus dan reaksi hipersensitif.

1.6 POSPARGIN
Pospargin merupakan golongan Metilergometrin maleat, uterotonik
Indikasi
- Mencegah dan mengobati pendarahan pasca persalinan dan pasca abortus, termasuk
pendarahan uterus karena sectio caesaria.
- Penanganan aktif kala III pada partus.
- Pendarahan uterus setelah placenta lepas, atoni uterus, subinvolusi (mengecilnya
kembali rahim sesudah persalinan hampir seperti bentuk asal), lokiometra
(pembendungan getah nifas di dalam rongga rahim).
Kontra indikasi
Induksi partus sebelum persalinan., hipertensi, termasuk hipertensi karena
kehamilan (pre-eklampsia, eklampsia), abortus iminens, inersia uterus primer dan
sekunder, kehamilan, hipersensitivitas serta gangguan fungsi hati atau ginjal.
Cara kerja
- Mekanisme aksi : Metilergometrina maleat merupakan amina dengan efek
uterotonik yang menimbulkan kontraksi otot uterus dengan cara meningkatkan
frekuensi dan amplitudo kontraksi pada dosis rendah dan meningkatkan tonus
uterus basal pada dosis tinggi. Mekanisme kerjanya merangsang kontraksi otot
uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik sehingga
menghentikan perdarahan uterus. Dibandingkan dengan alkaloid golongan
ergotamina, maka efek pada pembuluh darah perifer lemah dan jarang
meningkatkan tekanan darah.
- Farmakokinetika :
Onset : 30-60 detik (IV)

23
Durasi : 120 menit (IV)
Ikatan dengan protein plasma : 35%
Metabolisme : Secara minimal dimetabolisme dalam hepar
Eliminasi : Melalui empedu, dikeluarkan bersama feces
Dosis :
- Sectio caesarea : setelah bayi dikeluarkan secara ekstraksi, i.m.1 mL atau i.v. 0,5-1
mL (0,2 mg).
- Penanganan aktif kala III : i.m. 0,5-1 mL (0,1 - 0,2 mg) setelah kepala atau bahu
interior keluar atau selambat - lambatnya segera setelah bayi dilahirkan.
- Kala III pada partus dengan anestesi umum : i.v. 1 mL (0,2 mg).
- Atoni uterus : i.m. 1 mL atau i.v. 0,5-1 mL.
- Subinvolusi, lokhiometra : 1 atau 2 tablet 3x/hari, atau i.m. 0,5 - 1 mL / hari
Efek samping
Pada pemberian dosis yang besar, dapat terjadi mual, muntah dan sakit perut. Pada
penyuntikan IV yang cepat, dapat terjadi hipotensi.

1.7 Tramadol

Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid menghasilkan efek
melalui interaksinya dengan reseptor opoid di susunan saraf dan saluran gastrointestinal.
Opioid menghasilkan hiperpolarisasi sel saraf,inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi
prasinap dan pelepasan neurotransmitter. Opioid mempunyai beberapa efek klinis yaitu:

 Analgesia

Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia, rasa


mengantuk, perubahan mood dan mental. Opioid menghilangkan nyeri dengan
meningkatkan ambang nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang paling penting
dengan mengubah persepsi nyeri di otak. Efek analgesia yang ditimbulkan tidak
berhubungan dengan hilangnya kesadaran. Proses menghilangkan nyeri oleh opioid
adalah selektif, tidak mempengaruhi kekuatan sensoriknya. Pasien masih merasakn nyeri

24
namun perasaan yang ditimbulkan lebih nyaman. Nyeri nosiseptif lebih berespon
terhadap efek analgesia dari opioid dibandingkan nyeri neuropati.

 Respirasi

Opioid menyebabkan depresi pernafasan dengan cara menurunkan sensitivitas neuron


pusat pernafasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah mencapai kadar tertentu dan
akan meningkat dengan peningkatan dosis.

 Emesis

Opioid menstimulasi secara langsung chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area
postrema yang menyebabkan muntah.

 Kardiovaskular

Opioid tidak terlalu mempengaruhi tekanan darah kecuali pada dosis yang sangat tinggi.
Dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan bradikardia. Tekanann serebrospinal dapat
meningkat karena vasodilatasi pembuluh serebral akibat depresi pernafasan dan retensi
CO2.

Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat pasca operasi dengan
cara drip infus100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20 menit,bila perlu sampai 250 mg
pada satu jam pertama. Dosis maintenance 50 – 100 mg setiap 4-6 jam. Dosis maksimal
adalah 600 mg per hari.7

1.8 Ketoprofen (Pronalges)

Ketoprofen merupakan analgetik yang termasuk dalam golongan NSID.


Ketoprofen digunakan untuk mengatasi nyeri pasca operasi, mengobati reumathoid
arthritis atau osteoarthritis dan gout arthritis. Ketoprofen menghambat sintesis
prostalglandin dengan menghambat enzim 2 cyclooxygenase isoenzim, cyclooexygenase-
1 (COX-1) dan -2 (COX-2).Obat ini mempunyai onset kurang dari 30 menit dengan
durasi sampai 6 jam. Untuk penggunaan ketoprofen dalam bentuk supposutoria dapat
diberikan dua kali dalam satu hari.8

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT
Indeks.
2. Listiarini, Dian Ayu, Mohamad Sofyan Harahap, and Uripno Budiono.
"Penentuan Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0, 5% Berdasarkan Tinggi
Badan Untuk Bedah Sesar Dengan Blok Subarakhnoid." Jurnal Anestesiologi
Indonesia 6.1 (2014).
3. Said A. Latief, Kartini A Suryadi, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk
PraktisAnestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anstesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
4. Ondansetron: Medscape reference. Ondansetron. [Online]. Updated January
2014. Available at http://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-
ondansetron-342052. Accessed 19 June, 2014.
5. Efedrin: Medscape Reference. Ephedrin. [Online]. Updated January 2014.
Available at http://reference.medscape.com/drug/ephedrine-342436. Accessed 19
June, 2014
6. Bupivacaine: Medscape Reference. Bupivacaine. [Online]. Updated January
2014. Available at http://reference.medscape.com/drug/marcaine-sensorcaine-
bupivacaine-343360. Accessed 19 June, 2014.
7. Gronds S, Sablotzki A.Clinical Pharmacology of Tramadol. Clin
Pharmacokinet.2004;43(13):876-923
8. Medscape. Ketoprofen. [cited August 10, 2014]. Available at:
http://reference.medscape.com/drug/ketoprofen-343291

26

Anda mungkin juga menyukai