Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI /

HYPERTENSIVE HEART DISEASE (HHD)

Disusun oleh:
Alika Rizki Pratami
NPM: 1102015017

Pembimbing:

dr. Donny Gustiawan, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KABUPATEN BEKASI
PERIODE SEPTEMBER - NOVEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada
pemeriksaan yang berulang. Hingga saat ini hipertensi masih merupakan tantangan
terbesar di Indonesia, hal ini terjadi karena hipertensi merupakan kondisi yang umum
ditemukan pada pelayanan kesehatan primer (Lukito et al, 2019).
Hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi dan
terus meningkat. Hasil riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi hipertensi
adalah 25,8% dan mengalami peningkatan prevalensi menjadi 34,1% pada tahun
2018. Data dari WHO 2015 menunjukkan sekitar 1,13 miliar orang di dunia menderita
hipertensi. Artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis menderita hipertensi, hanya
36,8% di antaranya yang minum obat. Jumlah penderita hipertensi di dunia terus
meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada 2025 akan ada 1,5 miliar orang yang
terkena hipertensi. Diperkirakan juga setiap tahun ada 9,4 juta orang meninggal akibat
hipertensi dan komplikasi (Riskesdas, 2018).
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama
(persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal, jantung dan otak bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Perjalanan penyakit
hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala
selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai
terjadi kerusakan organ yang bermakna.
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk hipertensi
idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti tampaknya sangat
kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel. Mungkin pula terdapat predisposisi
genetik. Faktor risiko mayor yang berperan untuk kejadian komplikasi kardiovaskular
adalah hipertensi, usia (laki-laki >55 th, perempuan >65 th), diabetes melitus,
kolestrol total/LDL yang meningkat atau kolesterol HDL yang rendah, LFG
<60ml/menit, riwayat keluarga dengan kematian kardiovaskular prematur (usia laki-
laki <55 tahun, perempuan <65 tahun), obesitas, inaktifitas fisik, dan merokok
terutama sigaret (Yogiantoro, 2014). Untuk itu tujuan pembuatan referat ini adalah
melihat kepustakaan dalam penegakan diagnosis hypertensive heart disease.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015,
penyakit jantung hipertensi merupakan sejumlah kondisi kelainan klinis atau
struktural jantung (yang dapat terjadi pada ventrikel kiri, atirum kiri dan arteri
koroner) karena disebabkan oleh hipertensi arterial. Kelainan tersebut dapat
berkembang menjadi gagal jantung yang ditandai dengan adanya hipertrofi ventrikel
kiri (Tackling et al, 2019).
Menurut González et al, 2018 penyakit jantung hipertensi didefinisikan
dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri atau disfungsi sistolik dan diastolic pada
ventrikel kiri dengan manifestasi klinis seperti aritmia dan gagal jantung simtomatis
yang muncul pada pasien hipertensi.

Menurut Zipes et al 2019, penyakit Jantung Hipertensi dikalsifikasikan


berdasarkan beratnya komplikasi yang terjadi.

1. Kelas 1 : Disfungsi diastolik Subklinis berdasarkan pemeriksaan


echocardiografi tanpa hipertrofi ventrikel kiri / Pasien asimtomatis dengan
relaksasi abnormal atau kekakuan ventrikel kiri berdasarkan pemeriksaan
Doppler echocardiografi. Sering ditemukan pada pasien hipertensi usia >65
tahun
2. Kelas 2 : Hipertrofi Ventrikel Kiri
2A : dengan kapasitas fungsional yang normal
2B : dengan kapasitas fungsional yang abnormal
3. Kelas 3 : Gagal jantung dengan reduced EF ; contoh: disfungsi sistolik
4. Kelas 4 : Gagal jantung dengan preserved EF ; contoh: disfungsi diastolik

Gambar 1. Klasifikasi Penyakit Jantung Hipertensi


(Sumber: Zipes, et al. 2019)

2
2.2 Etiologi

Penyakit jantung hipertensi disebabkan oleh hipertensi kronik yang


meningkatkan beban kerja jantung dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat
menyebabkan penebalan otot jantung terutama di ventrikel kiri (Hipertrofi Ventrikel
Kiri) karena jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada
pembuluh darah. Penebalan otot jantung yang terjadi dapat mengganggu fungsi
sistolik dan diastolik pada jantung.

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi adalah


usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi garam (> 3 g/hari),
kurangnya aktifitas fisik, konsumsi alkohol, penyakit komorbid (diabetes melitus,
CKD), faktor genetik, dan faktor lingkungan (Tackling et al, 2019 ; González et al,
2018)

2.3 Epidemiologi

Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling


umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati
40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang.
Menurut data dari studi Framingham, 90% orang yang berumur diatas 55 tahun akan
mengalami hipertensi selama masa hidupnya. Hal ini menggambarkan masalah
kesehatan publik karena hipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular, seperti gagal jantung kongestif (Lilly et al, 2016 ; Waty dan Hasan,
2013).

Peningkatan tekanan darah salah satunya dipengaruhi oleh usia, peningkatan


ini paling banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan sebelum usia menopause
(<55 tahun), tetapi prevalensinya meningkat saat perempuan sudah memasuki usia
menopause. Pada studi Meta-analisis menunjukkan hubungan antara peningkatan
tekanan darah dengan risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat karena usia.
• Pada pasien usia 45-54 th à 36,1% laki-laki dan 33,2% perempuan
• Pada pasien usia 55-64 th à 57,6% laki-laki dan 55,5% perempuan
• Pada pasien usia 65-74 th à 63,6% laki-laki dan 65,8 % perempuan
• Pada pasien >75 th à 73,4% laki-laki dan 81,2% perempuan

3
Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan hipertensi diderita oleh
26,5 % penduduk Indonesia usia ≥18 tahun, namun meningkat pada tahun 2018
menjadi 34,1%. Berdasarkan sebaran, wilayah yang tinggi populasi hipertensi adalah
Kalimantan Selatan (44,1%) dan wilayah yang rendah populasi hipertensi adalah
Papua (22,2%). (Tackling et al, 2019 ; Riskesdas, 2018)

2.4 Patofisiologi

Gambar 2. Patofisiologi Komplikasi Hipertensi


(Sumber : Lilly, L. 2016)

4
Hipertensi kronik dapat menyebabkan komplikasi ke beberapa organ target
seperti pada tabel berikut :
Organ Target Manifestasi
Jantung • Hipertrofi Ventrikel Kiri
• Gagal jantung
• Iskemik jantung dan infark
Cerebrovaskular • Stroke
Aorta dan Vaskular perifer • Aneurisma aorta dan/atau diseksi
aorta
Ginjal • Nefroskelrosis
• Gagal Ginjal
Retina • Papiledema
• Arterial Narrowing
Tabel 1. Komplikasi Hipertensi Kronik ke Organ Target
(Sumber: Kasper, D. et al. 2019)

Pada jantung terjadi hipertrofi ventrikel kiri karena kompensasi jantung


menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang
ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi
diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri,
kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan
simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan
terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik)
(Panggabean, 2014).

Hipertrofi ventrikel kiri terjadi akibat respons dari miosit yang terstimulasi
karena peningkatan tekanan sistemik. Stimulasi kaskade intraselular mengaktifkan
ekspresi gen dan mendorong sintesis protein sehingga meningkatkan kandungan
protein, ukuran kardiomiosit dan mengaktifkan sarkomer yang menyebabkan
meregangnya kardiomiosit. Selain itu mekanisme humoral lokal juga teraktivasi
seperti sekresi hormon katekolamin dan angiotensin II yang dilepaskan pada keadaan
tekanan tinggi dapat memainkan peran dalam mengaktifkan ekspresi gen yang
menyebabkan hipertrofi kardiomiosit melalui reseptor membran yang spesifik.

5
Gambar 3. Patofisiologi Myocardial Remodelling pada Jantung karena Hipertensi
(Sumber : Gonzales, A. et al. 2018)

Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan gangguan fungsi endotel


merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi. Iskemia miokard
(asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll) dapat terjadi karena kombinasi
akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard
akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Peningkatan afterload sekunder karena hipertensi
mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan transmural, menghambat aliran
darah koroner saat diastol. Selanjutnya, pada pasien dengan hipertensi,
mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan tidak
dapat mengkompensasi peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen
Perkembangan dan progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit jantung
koroner, adalah kerusakan arteri terus-menerus karena peningkatan tekanan darah.
Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan disfungsi endotel, dan menyebabkan
kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit oxide. Penurunan kadar nitrit
oxide menyebabkan dan mempercepat proses arteriosklerosis dan penumpukan plak
(González et al, 2018).

2.5 Gejala Klinis

Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:

6
• Peningkatan tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang
(dizzy), dan impoten
• Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas, sakit
dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut.
Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur
karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic.
• Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria,dan
kelemahan otot pada aldosteronism primer; peningkatan BB dengan emosi
yang labi pada sindrom Cushing. Phaeocromositoma dapat muncul dengan
keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang
saat berdiri (Tackling et al, 2019 ; Panggabean, 2014).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkap dan


pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-
faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder
hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas
lain, memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.

Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang
dapat dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular
dianggap sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya
pada pasien dengan hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada
waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital.

Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan


darah antara lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi.
Ketika gejala-gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi sekunder. Tabel berikut
mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki dalam perolehan riwayat dari
pasien hipertensif.

7
Riwayat Relevan Pasien
Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam merokok,
diabetes, inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan;
kelemahan otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku
mendengkur, somnolens siang hari; gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme;
penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien; angina,
infark miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain
Tabel 2. Riwayat Relevan Pasien dengan Hipertensi
(Sumber : Kasper et al, 2015)

2.6.2 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum, tinggi, berat badan
dan memperhatikan keadaan khusus, seperti: Cushing, Phaeocromositoma,
perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering
ditemukan pada koartasio aorta.
Pengukuran tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik
pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi
postural. Sebelum pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5
menit dalam kondisi hening dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang
nyaman. Bagian tengah cuff harus berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus setara
dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar lengan. Penempatan cuff, penempatan
stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik) penting untuk diperhatikan.
Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-kurangnya dua
ketukan suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik adalah titik di mana
suara Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi
umumnya dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis,
menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat

8
pembacaan setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik
tidaklah sering digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi
pasien yang dicurigai mengalami white coat hypertension. JNC 7 juga telah
merekomendasikan pengawasan ambulatorik untuk resistensi terhadap penanganan,
hipotensi simptomatik, kegagalan otonom, dan hipertensi episodik.
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk
menilai hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Hipertropi ventrikel
kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan, dan
bertempat di lateral. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan
katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4
(gallop atrial atau sistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium
kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila S3
dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah
ada suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau ronkhi kering. Pemeriksaan perut
ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, lien, ginjal, dan ascites.
Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus (renal artey stenosis). Areteri
radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus diraba. Tekanan darah di betis
harus diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda (kurang dari 30 tahun)
(Panggabean, 2014).

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium awal:
• Elektrokardiografi : didapatkan Hipertrofi Ventrikel Kiri (Gelombang QRS di
V4-V6 tinggi lebih dari 3 kotak atau lebih dari 27 mm.
• Foto thorax : didapatkan Kardiomegali
• Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder
• Darah lengkap: leukosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit
• Elektrolit darah: kalium
• Ureum/kreatinin
• Gula darah puasa
• Total kolesterol

9
Apabila keuangan tidak menjadi kendala, maka diperlukan pemeriksaan :
• Ekokardiografi
Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan hipertrofi ventrikel kiri
lebih dini dan lebih spesifik. Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi
adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan
fungsi sistolik atau diastolik)
Ekokardiografi doopler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik
(gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal, atau tipe restriktif)
• Troponin, CK-MB atau NT-proBNP
• Kalsium dan fosfor
• Trigliserida, HDL, LDL
• TSH

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Non Farmakologis
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi
dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat
memperlambat ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1,
namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi obat pada pasien dengan HMOD atau
risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup sehat telah terbukti menurunkan tekanan
darah yaitu :

a. Pembatasan konsumsi garam


Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan hipertensi. Konsumsi
garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan
prevalensi hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak
lebih dari 2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh
garam dapur). Sebaiknya menghindari makanan dengan kandungan tinggi
garam.

10
b. Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang
mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu
rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak
zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh.
c. Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di Indonesia dari 14,8%
berdasarkan data Riskesdas 2013, menjadi 21,8% dari data Riskesdas 2018.

Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2),

dan mentargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan lingkar
pinggang <90 cm (laki-laki) dan <80 cm (perempuan).
d. Olahraga teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan
hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular.
Olahraga teratur dengan intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan
TD lebih kecil dibandingkan dengan latihan intensitas sedang atau tinggi,
sehingga pasien hipertensi disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit
latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging,
bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
e. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status merokok
harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang
merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok.

2.7.2 Farmakologis

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan
menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa
prinsip dan algoritma terapi telah dikembangkan untuk memberikan rekomendasi
praktis pengobatan hipertensi, yaitu:
A. Bila memungkinkan berikan dosis obat tunggal, pada pasien hipertensi derajat 1
dengan risiko rendah (TDS < 150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-

11
tinggi dan berisiko sangat tinggi, pasien dengan usia lanjut ( ≤ 80 tahun) atau
ringkih.
B. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua obat.
C. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (Renin
angiotensin system blocker) yakni ACEi (ACE inhibitor) atau ARB Angiotensin
Receptor Blocker), dengan CCB (Calcium Channel Blocker) atau diuretic.
D. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau ARB) ,
CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
E. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten, kecuali ada
kontraindikasi.
F. Kombinasi dua obat penghambat RAS tidak direkomendasikan
G. Lakukan pemantauan efek samping obat dengan teratur.

Salah satu pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah nilai


atau ambang tekanan darah. Target tekanan darah yang dicapai setelah pemberian
obat antihipertensi ditentukan berdasarkan usia dan dengan atau tanpa adanya
penyakit penyerta. Selain itu perlu juga dipertimbangkan hal lain seperti harga obat,
efek samping obat serta frekuensi dan dosis obat agar mencapai target terapi yang
efektif dan efisien (Lukito et al, 2019 ; Kasper et al, 2015).

Gambar 4. Ambang Batas Tekanan Darah untuk Inisiasi Obat


(Sumber : Lukito, A. et al. 2019)

12
Gambar 5. Target Tekanan Darah berdasarkan Usia dan Penyakit Penyerta
(Sumber: Lukito, A. et al. 2019)

Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan hipertensi


saat ini adalah dengan menggunakan terapi kombinasi pada sebagian besar pasien,
untuk mencapai tekanan darah sesuai target. Bila memungkinkan dalam bentuk single
pill combination (SPC), untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh


darah ditujukan pada pencegahan kematian, infark miokard, stroke, pengurangan
frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala.

Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines


memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi
secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension 2013.

13
Gambar 6. Algoritma Tatalaksana Hipertensi secara umum
(Sumber : Barack et al, 2015)

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya penyakit jantung


koroner maupun non koroner yang dapat menjadi gagal jantung. Penggunaan obat-
obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan yang sangat besar dalam
pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan usia lanjut. Hal ini telah
banyak diteliti pada penggunaan diuretic, betablocker, ACEi dan ARB, dimana
penggunaan CCB paling sedikit memberikan keuntungan dalam pencegahan gagal
jantung.

14
Pada penyakit jantung koroner, terbagi menjadi :

1. Angina Pektoris Stabil

Gambar 7. Rekomendasi Tatalaksana pada Angina Pektoris Stabil


(Sumber : Barack et al, 2015)

15
2. Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NST)
Tatalaksana awal meliputi tirah baring, monitor EKG dan
hemodinamik, oksigen, nitrogliserin dan bila angina terus berlanjut dengan
pemdapat diberikan morfin sulfat. Perlu di ingat bahwa pemberian nirat selama
angka panjang tidak direkomendasikan oleh berbagai guidelines sampai saat ini.
Pasien dengan kondisi hipertensi berat dengan edema pulmonal akut
dapat disertai juga dengan peningkatan biomarker enzim jantung, sehingga jatuh
dalam kelompok sindromakoroner akut. Terapi awal yang direkomendasikan
pada pasien dengan kondisi ini meliputi furosemide, ACEi dan nitrogliserin (IV)
dan selanjutnya dapat ditambahkan obat lain dibawah pengawasan yang ketat.
Bila presentasi utama pasien adalah iskemia atau takikardia, maka
dianjurkan untuk pemberian betabocker dan nitroglycerin (IV). Tekanan darah
harus diturunkan sesegera mungkin, dengan monitor ketat pada kondisi iskemia
dan serebral (25% dari Mean aterial Pressurepada 1 jam I, dan bertahap selama
24 jam mencapai target tekanan darah sistolik yang diinginkan)

16
Gambar 8. Rekomendasi Tatalaksana pada Angina Pektoris Tidak Stabil
(Sumber : Barack et al, 2015)

3. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST)


Seperti pada IMA-NST, dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien
dengan sindroma koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan.

17
Gambar 9. Rekomendasi Tatalaksana pada Infark Miokard Akut dengan elevasi
segmen ST (IMA-ST)
(Sumber : Barack et al, 2015)

Selain itu, hipertensi juga dapat menyebabkan penyakit jantung non coroner
seperti fibrilasi atrial. Pasien yang mengalami hal ini harus dinilai kemungkinan
terjadinya tromboemboli dengan sistim scoring yang telah dijabarkan pada guidelines
ESC dan sebagian dari pasien tersebut harus mendapatkan terapi antikoagulan,
kecuali bila terdapat kontraindikasi. Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi
atrial, ternyata memiliki laju ventrikel yang cepat. Hal ini mendasari rekomendasi
pemberian betblocker atau CCB golongan non dihidropiridin pada kelompok pasien
ini.

18
Peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular sangat berkaitan dengan
Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVK) terutama pada tipe konsentrik. Banyak studi
komparatif yang menyimpulkan bahwa pemberian ACEi, ARB dan CCB lebih
memiliki efek penurunan tekanan darah serta perbaikan HVK dibandingkan dengan
pemberian betablocker.

Gambar 10. Rekomendasi Obat pada penyakit jantung non koroner


(Sumber : Barack et al, 2015)

Pada pasien hipertensi yang sudah mengalami gagal jantung, banyak yang
merekomendasikan dan mendukung pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA
(mineralocaoticoid receptor antagonist), dimana pemberian obat-obat ini lebih
ditujukan untuk memperbaiki stimulasi simpatis dan sitim renin angiotensin yang
berlebihan terhadap jantung, daripada penurunan tekanan darah. Hipertensi lebih
banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi fraksi ejeksi yang masih
baik daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri.

19
Beberapa efek samping dari obat antihipertensi, adalah sebagai berikut :

Gambar 11. Efek Samping Obat Anti Hipertensi


(Sumber : Lukito, A. et al. 2019)

2.8 Prognosis
Penyakit Jantung Hipertensi merupakan penyakit kronik progesif yang dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular yang mematikan. Prognosis keseluruhan
penyakit jantung hipertensi bervariasi tergantung pada berbagai faktor salah satunya
manifestasi spesifik dari penyakitnya dan penyakit komorbid lainnya. Manifestasi
spesifik dari HHD seperti gagal jantung atau atrial fibrilasi dapat menyebabkan
peningkatan risiko kematian. Tetapi, dengan pengobatan hipertensi dapat mengurangi
kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-
obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat
mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien
dengan gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga,
penyakit jantung hipertensi adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko
kematian mendadak (Tackling et al, 2019).

20
2.9 Komplikasi
Hipertensi berkepanjangan dengan pembesaran ventrikel kiri dapat
menyebabkan gagal ginjal (sistolik dan diastolik). Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik
menyebabkan peningkatan permintaan oksigen pada miokardium yang membuat
munculnya gejala angina ataupun iskemik jantung. Hipertrofi juga dapat
menyebabkan gangguan pada kelistrikan jantung yang bisa menyebabkan munculnya
atrial fibrilasi (Tackling et al, 2019).

21
DAFTAR PUSTAKA

Barack, R. et al. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit


Kardiovaskular. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.
Gonzales, A. et al. 2018. Myocardial Remodelling in Hypertension. Sumber:
https://www.ahajournals.org/journal/hyp Diakses pada tanggal 19 September
2019.
Kasper, D. et al. 2019. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 19. New
York : Mc Graw Hill.
Lilly, L. 2016. Pathophysiology of Heart Disease. Edisi 6. Philadelphia : Wolters
Kluwer.
Lukito, A. et al. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI).
Panggabean, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Penyakit Jantung Hipertensi.
Edisi VI jilid I. Jakarta : Interna Publishing.
RISKESDAS, 2018.
Tackling, G. dan Borhade, M. 2019. Hypertensive Heart Disease. Sumber :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539800/ NCBI Bookshelf. Diakses
pada tanggal 20 September 2019.
Waty, M. dan Hasan, H. 2013. Prevalensi Penyakit Jantung Hipertensi pada Pasien
Gagal Jantung Kongestif di RSUP H. Adam Malik. E-Journal FK USU. 1(1)
:1-5.
Yogiantoro, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Pendekatan Klinis Hipertensi.
Edisi VI jilid I. Jakarta : Interna Publishing.
Zipes, et al. 2019. Braunwald’s Heart Disease : Hypertension Heart Disease. Edisi
11. Philadelphia : Elsevier.

22

Anda mungkin juga menyukai