PENDAHULUAN
Dalam dunia pertambangan ilmu ukur tambang adalah ilmu yang sangat
penting dipelajari karena berhubungan dengan konstruksi, eksplorasi dan
eksploitasi dalam dunia pertambangan. Ilmu ukur tambang erat kaitannya dengan
ilmu ukur tanah. Ilmu Ukur Tanah dianggap sebagai disiplin ilmu teknik dan seni
yang meliputi semua metode untuk mengumpulan dan pemprosesan informasi
tentang permukaan bumi sebagai bidang datar, sehingga dapat ditentukan posisi
relatif atau absolut titik-titik pada permukaan tanah, di atasnya atau di bawahnya,
dalam memenuhi kebutuhan seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif suatu
daerah. Titik hasil pengukuran yang telah didapatkan tersebut dapat disajikan
dalam bentuk peta.
Pada saat sekarang ilmu ukur tambang sudah mulai banyak dikembangkan
dan sudah mulai menggunakan alat- alat yang modern dan canggih. Melihat
pesatnya ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu ukur tambang yang
sekarang banyak dipelajari di perguruan tinggi dengan memadukan alat yang
canggih serta berbagai macam software yang menunjang dalam memecahkan
masalah yang menyangkut dalam aktifitas pertambangan.
Ilmu Ukur Tambang digunakan pada saat survei atau pada saat
dilakukannya pemetaan topografi untuk mendapatkan gambaran tentang
permukaan bumi. Survei topografi dapat menghasilkan peta topografi. Survei
sangat bermanfaat dalam pembuatan peta dasar (peta topografi daerah tambang)
yang dapat digunakan untuk mengetahui sebaran atau cebakan bahan galian.
Survei juga dapat digunakan dalam evaluasi kemajuan tambang sehingga dapat
diketahui berapa volume dari cadangan yang telah di tambang dan sisa cadangan.
Dari evaluasi survei tersebut kita dapat melihat arah kemajuan tambang dan dapat
merencanakan kegiatan penambangan berikutnya.
1
segitiga diketahui, maka semua sudut dan jarak dari segitiga tersebut dapat
ditentukan. Dengan demikian untuk mendapatkan koordinat suatu titik dapat
dilakukan dengan cara mengukur sudut dan jarak dari titik yang sudah diketahui
koordinatnya.
Dalam pengukuran di lapangan sering kali terjadi kesalahan-kesalahan
yang berasal dari faktor alat, faktor manusia, dan faktor alam. Maka dari itu
melalui praktikum ilmu ukur tambang ini kita bisa menyikapi dan mengatasi
kesalahan-kesalahan tersebut agar tidak terjadi kerancuan dalam memperoleh
data. Sehingga untuk ke depannya kami bisa menerapkan praktik ilmu ukur
tambang ini dalam dunia kerja dengan sebaik mungkin.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2. Definisi Jarak dan Sudut
4
b) Sudut Jurusan, yaitu besarnya sudut mendatar pada suatu titik tertentu
dengan berpedoman pada sumbu Y positif dari sumbu Kartesian XOY.
Disini sudut Y sebagai arah utara peta dan penghitugan sudut jurusan
menurut arah jarum jam, dimulai dari arah utara peta.
c) Sudut Azimuth, adalah besarnya sudut mendatar pada suatu titik dengan
berpedoman pada arah utara Geografi dan besarnya dihitung menurut arah
putaran jarum jam dimulai dari arah utara Geografi sebagai titik nol
sampai ke titik tertentu.
d) Sudut Vertikal, yaitu sudut yang dihitung dari bidang vertical (Sasongko,
2014).
5
P Q
Keterangan :
Dalam ilmu ukur tanah posisi titik di muka bumi, misalnya titik Ao pada
bidang datarnya dinyatakan oleh absis XA dan ordinat YA dalam sistem
koordinat kartesian. Sebagai sumbu Y dalam sistem kartesian adalah dipilih
garis meridian yang melalui satu titik. Pada gambar di atas, meridian yang
dipilih adalah meridian melalui titik O. Titik ini selanjutnya ditetapkan
sebagai titik awal (titik nol) sistem koordinat dengan sumbu X adalah garis
yang tegak lurus dengan sumbu Y di titik nol.
6
tempat titik-titik diatas permukaan bumi terhadap satu sama lainnya, untuk
mendapatkan hubungan mendatar titik-titik yang diukur di atas permukaan
bumi perlu dilakukan pengukuran mendatar yang disebut dengan istilah
pengukuran kerangka dasar horizontal. Jadi untuk hubungan mendatar
diperlukan data sudut mendatar yang diukur pada skala lingkaran yang
letaknya mendatar (Yuliawan, 2012).
Pada gambar di atas, sudut mendatar di Ao adalah sudut yang dibentuk oleh
bidang-bidang normal Ao-Bo-B-A dengan Ao-Co-C-A. Sudut BAC disebut
sudut horizontal (BAC = β).
7
2.5.2. Metode Tak Langsung
Pengukuran jarak tak langsung dilakukan dengan menggunakan
bantuan alat-alat ukur optis seperti total station, water pass, theodolite, dan
peralatan lainnya.
2.6. Pengukuran Sudut Dengan Metode Seksi Tunggal dan Metode Seri
Rangkap
Keterangan :
α = sudut ABC
A, C = titik bidik
B = tempat berdirinya alat
8
Garis lintang (latitude) terbagi menjadi dua yakni Lintan
9
Gambar 2.5. Sistem Koordinat Geografis.
10
pekerjaan dan pengukuran jarak, sudut, dan koordinat titik pada foto udara
juga diperlukan suatu instrumen pengukuran yang prosedurnya untuk
mengupayakan kesalahan yang kecil dan jika diantara kesalahan itu terjadi
maka pengukuran dan pengumpulan data harus di ulang (Wongsotjitro,
1980).
Selain kesalahan dalam pengukuran juga terdapat dalam Kesalahan
dalam pengamatan, adapaun kesalahan dalam pengamatan dapat digolongkan
menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Kesalahan kasar atau kesalahan besar (mistake atau blunders), kesalahan
ini terjadi karena kurang hati-hati, kurang pengalaman, atau kurang
perhatian. Dalam pengukuran, jenis kesalahan ini tidak boleh terjadi,
sehingga dianjurkan untuk mengadakan self-checking dari pengamatan
yang dilakukan. Apabila diketahui ada kesalahan kasar maka dianjurkan
untuk mengulang seluruh atau sebagian pengukuran tersebut. Contoh
kesalahannya adalah salah baca (6 dibaca 9, 3 dibaca 8), salah mencatat
data ukuran, dan salah dengar dari si pencatat. Untuk menghindari
terjadinya kesalahan kasar, dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu
kali.
b) Kesalahan sistematik (sistematic error), disebabkan oleh alat-alat ukur
sendiri seperti panjang pita ukur yang tidak standar, pembagian skala
yang tidak teratur pada pita ukur, dan pembagian skala yang tidak teratur
pada pita ukur dan pembagian teodolit yang tidak seragam. Kesalahan ini
juga dapat terjadi karena cara-cara pengukuran yang tidak benar. Sifat
kesalahan ini dapat dihilangkan dengan cara, sebagai berikut:
- Sebelum digunakan untuk pengukuran, alat dikalibrasi terlebih
dahulu.
- Dengan cara-cara tertentu, misalnya pengamatan biasa dan luar
biasa dan hasilnya dirata-rata.
- Dengan memberikan koreksi pada data ukuran yang didapat.
- Koreksi pada pengolahan peta.
c) Kesalahan random (accidental error), terjadi karena hal-hal yang tak
terduga (Purwaamijaya, 2008).
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
12
Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan pada saat praktikum.
13
3.3.2. Pengukuran Jarak Dengan Metode Tak Langsung
a) Pengukuran Pergi
- Dipasang tripod dan dilakukan centering pada titik BM yang telah
ditentukan. Proses centering tripod harus tepat diatas dititik BM atau
patok. Tinggi tripod disesuaikan dengan tinggi pengamat dan dudukan
theodolite harus rata pada ketiga sisi kaki tripod.
- Dipasang theodolite yang sudah dilengkapi dengan tribach pada
dudukan tripod, kemudian dikunci dengan cara memutar sekrup yang
ada pada tripod hingga pas mengikat bagian bawah tribach.
- Dilakukan centering pada theodolite. Titik BM atau patok dilihat dari
optical plumment harus pas ditengah dan menyentuh bidikan optical
plumment tersebut. Jika posisi patok tidak berada di tengah bidikan,
maka harus dikendurkan sekrup pengunci theodolite dan dilakukan
penggeseran sehingga posisi patok yang terlihat dari optical plumment
tepat berada ditengah bidikannya dan kemudian sekrup dikunci
kembali.
- Dilakukan centering bullseye’s bubble pada tribach dengan cara
memutar ketiga leveling screw yang ada pada tribach hingga posisi
gelembung tepat ditengah lingkaran bullseye.
- Dilakukan centering batang waterpass diketiga sisi kaki tripod dengan
cara memutar leveling screw pada tribach yang berada disebelah
kanan dari setiap sisi.
- Setelah seluruh proses centering selesai, dilakukan pembidikan ke
arah rambu ukur yang telah pas diletakkan pada titik A. Dipastikan
teropong theodolite berada diposisi 90o dengan cara diatur sekrup
makro dan mikro sumbu vertikalnya, kemudian dikunci dengan cara
memutar sekrup makro sumbu vertikalnya hingga mentok. Begitu pula
dengan posisi horizontalnya, diatur dengan cara memutar badan
theodolite dan kemudian dikunci dengan cara memutar sekrup makro
sumbu horizontalnya hingga mentok. Digunakan sekrup mikro baik
pada sumbu vertikal maupun horizontal untuk menggeser teropong
theodolite secara halus hingga bidikan tepat mengenai rambu ukur.
14
- Dibaca nilai Benang Atas (BA), Benang Bawah (BB), dan Benang
Tengah (BT) pada bidikan teropong theodolite di rambu ukur,
kemudian dicatat nilai-nilai tersebut pada form pengukuran ataupun
buku catatan.
- Catatan : selama proses pengukuran, theodolite harus selalu dipayungi
karena sangat sensitif terhadap terik sinar matahari.
b) Pengukuran Pulang
- Setelah pengukuran dari titik BM ke titik A selesai dilakukan,
selanjutnya dipindahkan theodolite ke titik A dan dilakukan proses
centering yang disesuaikan dengan titik tersebut.
- Dilakukan langkah-langkah yang sama seperti pada poin 1 sampai
poin 5 pada pengukuran pergi dengan menyesuaikan posisi theodolite
dengan titik A.
- Setelah seluruh proses centering terhadap titik A selesai, dilakukan
pembidikan ke arah rambu ukur yang telah pas diletakkan pada titik
BM. Dipastikan teropong theodolite berada diposisi 90o dengan cara
diatur sekrup makro dan mikro sumbu vertikalnya, kemudian dikunci
dengan cara memutar sekrup makro sumbu vertikalnya hingga
mentok. Begitu pula dengan posisi horizontalnya, diatur dengan cara
memutar badan theodolite dan kemudian dikunci dengan cara
memutar sekrup makro sumbu horizontalnya hingga mentok.
Digunakan sekrup mikro baik pada sumbu vertikal maupun horizontal
untuk menggeser teropong theodolite secara halus hingga bidikan
tepat mengenai rambu ukur.
- Dibaca nilai Benang Atas (BA), Benang Bawah (BB), dan Benang
Tengah (BT) pada bidikan teropong theodolite di rambu ukur,
kemudian dicatat nilai-nilai tersebut pada form pengukuran ataupun
buku catatan.
- Catatan : selama proses pengukuran, theodolite harus selalu dipayungi
karena sangat sensitif terhadap terik sinar matahari.
15
3.3.3. Pengukuran Sudut Dengan Metode Seksi Tunggal
- Dipasang tripod dan dilakukan centering pada titik BM yang telah
ditentukan. Proses centering tripod harus tepat diatas dititik BM atau
patok. Tinggi tripod disesuaikan dengan tinggi pengamat dan dudukan
theodolite harus rata pada ketiga sisi kaki tripod.
- Dipasang theodolite yang sudah dilengkapi dengan tribach pada
dudukan tripod, kemudian dikunci dengan cara memutar sekrup yang
ada pada tripod hingga pas mengikat bagian bawah tribach.
- Dilakukan centering pada theodolite. Titik BM atau patok dilihat dari
optical plumment harus pas ditengah dan menyentuh bidikan optical
plumment tersebut. Jika posisi patok tidak berada di tengah bidikan,
maka harus dikendurkan sekrup pengunci theodolite dan dilakukan
penggeseran sehingga posisi patok yang terlihat dari optical plumment
tepat berada ditengah bidikannya dan kemudian sekrup dikunci
kembali.
- Dilakukan centering bullseye’s bubble pada tribach dengan cara
memutar ketiga leveling screw yang ada pada tribach hingga posisi
gelembung tepat ditengah lingkaran bullseye.
- Dilakukan centering batang waterpass diketiga sisi kaki tripod dengan
cara memutar leveling screw pada tribach yang berada disebelah
kanan dari setiap sisi.
- Setelah seluruh proses centering selesai, selanjutnya ditentukan titik
R1. Setelah bidikan teropong theodolite tepat pada titik R1, dikunci
sekrup makro sumbu horizontal pada theodolite sehingga bacaan nilai
sudut horizontal yang ditampilkan pada display theodolite tidak
berubah-ubah lagi.
- Kemudian nilai sudut horizontal di set menjadi 0 dengan cara
menekan tombol OSET pada display theodolite. Dicatat nilai sudut
horizontal pada titik R1 ialah 0o.
- Dibuka kembali sekrup makro sumbu horizontal dan arahkan teropong
theodolite tepat ke titik R2, kemudian dikunci kembali sekrup makro
16
sumbu horizontal. Dicatat nilai sudut horizontal yang muncul pada
display theodolite.
- Selanjutnya dibuka kembali sekrup makro sumbu horizontal dan
arahkan teropong theodolite ke titik R3, kemudian dikunci kembali
sekrup makro sumbu horizontalnya dan dicatat nilai sudut horizontal
yang muncul pada display theodolite.
- Ditandai koordinat titik R1,R2, dan R3 dengan menggunakan GPS
dan kemudian dicatat nilainya.
3.3.4. Pengukuran Sudut Dengan Metode Seri Rangkap
- Dilakukan langkah yang sama seperti yang dilakukan pada
pengukuran sudut dengan metode seksi tunggal untuk mendapatkan
nilai sudut dengan kedudukan Biasa (B).
- Diputar 180o teropong theodolite secara vertikal dan diputar 180o
theodolite secara horizontal untuk mendapatkan kedudukan Luar
Biasa (LB).
- Dibidik kembali ke arah titik R3 untuk mendapatkan nilai sudut
horizontal dengan kedudukan Luar Biasa (LB). Dikunci sekrup makro
sumbu horizontalnya dan dicatat nilai sudut horizontal di titik R3 yang
muncul pada display theodolite.
- Dilakukan perlakuan yang sama pada titik R2 dan R1 untuk
mendapatkan nilai sudut horizontal dengan kedudukan Luar Biasa
(LB).
- Didapatlah nilai ketiga sudut R1,R2, dan R3 dengan kedudukan Luar
Biasa (LB) sehingga keterangannya menjadi R1’,R2’, dan R3’.
17
BAB IV
DATA HASIL PENGUKURAN DAN PEMBAHASAN
18
4.1.4. Pengukuran Sudut Dengan Metode Seri Rangkap
Tabel 4.4. Tabel data hasil pengukuran sudut dengan metode seri rangkap pada
sudut A.
Arah Konversi
Kedudukan Sudut Bacaan Sudut
Bidikan Derajat
R1 Biasa 0o 0o
R2 Biasa 63o34’39” 63,5768o
R1’ Luar Biasa 180o01’27” 180,1735o
R2’ Luar Biasa 243 o34’50” 243,57988o
Tabel 4.5. Tabel data hasil pengukuran sudut dengan metode seri rangkap pada
sudut B.
Arah Konversi
Kedudukan Sudut Bacaan Sudut
Bidikan Derajat
R2 Biasa 63o34’39” 63,5768o
R3 Biasa 94o34’40” 94,611o
R2’ Luar Biasa 243 o34’50” 243,57988o
R3’ Luar Biasa 274 o36’40” 274,611o
19
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 = 100 𝑥 (𝐵𝐴 − 𝐵𝐵) 𝑥 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃
Keterangan :
BA = bacaan benang atas
BB = bacaan benang bawah
20
- Pada sudut A
(R2 − R1) + (R2′ − R1′ )
Besar ∠ A =
2
- Pada sudut B
(R3 − R2) + (R3′ − R2′ )
Besar ∠ B =
2
21
4.4. Pembahasan
Ilmu ukur tambang ialah suatu disiplin ilmu teknik dan seni yang
meliputi semua metode untuk pengumpulan dan pemprosesan informasi
tentang permukaan bumi sebagai bidang datar, sehingga dapat ditentukan
posisi relatif atau absolut titik-titik pada permukaan tanah, di atasnya atau di
bawahnya, dalam memenuhi kebutuhan seperti pemetaan dan penentuan
posisi relatif suatu daerah. Ilmu ini digunakan dalam bidang surveying yang
bertujuan untuk mendapatkan informasi pada semua tahap dari prospeksi
untuk eksploitasi dan memanfaatkan kandungan mineral, baik berada pada
permukaan maupun pada bawah tanah yang berkaitan dengan eksploitasi
ekonomi, penyelidikan dan negosiasi hak pertambangan, membuat dan
merekam perhitungan pengukuran survei kartografi tambang, investigasi dan
prediksi dampak tambang yang bekerja pada permukaan dan dibawah
permukaan serta perencanaan tambang dalam konteks lingkungan setempat
dan rehabilitasi setelah ditambang.
Praktikum yang telah dilakukan ialah suatu simulasi pengukuran jarak
dan pengukuran sudut sebagai penerapan dari ilmu ukur tambang. Pada
pengukuran jarak, praktikan melakukan pengukuran dari titik bench mark
yang telah ditentukan koordinatnya dengan menggunakan GPS ke suatu titik
(titik A) dengan metode langsung melalui penggunaan pita ukur dan metode
tak langsung melalui penggunaan alat ukur optik berupa theodolite.
Pengukuran yang dilakukan dengan dua metode berbeda bertujuan untuk
membandingkan hasil pengukuran dan perbedaan nilai yang muncul dari
penerapan kedua metode tersebut. Setiap pengukuran juga dilakukan dalam
dua kali pengulangan, yaitu pengukuran pergi dengan titik awal pengukuran
di titik BM ke titik A dan pengukuran pulang dengan titik awal pengukuran di
titik A ke titik BM.
Hasil yang didapatkan dari pengukuran dan penghitungan jarak
dengan metode langsung bernilai 49,5 m dan pengukuran jarak dengan
metode tak langsung bernilai 50 m. Kedua hasil pengukuran dengan dua
metode yang berbeda tersebut menghasilkan beda nilai sebesar 0,5 m.
22
Selanjutnya pada pengukuran sudut, praktikan melakukan pengukuran
terhadap sudut horizontal pada tiga titik (R1, R2, dan R3) yang kemudian
akan menghasilkan dua buah nilai sudut yaitu sudut A (sudut horizontal
antara titik R1 dan R2) dan sudut B (sudut horizontal antara titik R2 dan R3).
Pada pengukuran ini juga dilakukan dua buah metode pengukuran yang
berbeda, yaitu dengan metode seksi tunggal dan metode seri rangkap. Metode
seri rangkap sendiri merupakan pengukuran berulang dari metode seksi
tunggal, sehingga muncul 2 buah komponen sudut berupa sudut dengan
kedudukan Biasa (B) dan sudut dengan kedudukan Luar Biasa (LB).
Kedudukan LB didapat dengan cara membalikkan kedudukan vertikal dan
horizontal dari theodolite sebesar 180o dan membidik kembali ketiga titik R1,
R2, dan R3 sehingga menghasilkan komponen R1’, R2’ dan R3’.
Hasil yang didapat dari pengukuran dan penghitungan sudut dengan
metode seksi tunggal pada sudut A bernilai sebesar 63,5768o dan pengukuran
dengan metode seri rangkap bernilai sebesar 63,491605o. Kedua hasil
pengukuran dengan metode yang berbeda tersebut menghasilkan beda nilai
pada pengukuran terhadap sudut A sebesar 0,0852250. Kemudian, pada
pengukuran dan penghitungan sudut dengan metode seksi tunggal pada sudut
B bernilai 31,03417o dan pengukuran dengan metode seri rangkap bernilai
31,03112o, sehingga beda nilai yang timbul pada sudut B dari kedua metode
tersebut ialah 0,001525o. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengukuran pada sudut B memiliki tingkat akurasi atau ketepatan yang lebih
tinggi, karena menghasilkan beda nilai yang lebih kecil dari pada beda nilai
yang dihasilkan dari pengukuran terhadap sudut A.
Beda nilai yang muncul dari proses pengukuran disebabkan adanya
faktor eror atau kesalahan pada saat pengukuran. Faktor eror tersebut dapat
berupa kesalahan yang timbul dari kurangnya ketelitian dan keahlian
praktikan, kesalahan yang bersumber dari alat (seperti adanya komponen
yang rusak, tidak terkalibrasi dengan baik ataupun tidak standar), serta
kesalahan yang diakibatkan oleh faktor alam seperti cuaca ataupun kondisi
topografi lingkungan pengukuran yang relatif tidak datar.
23
BAB V
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dari praktikum yang sudah dilakukan, dapat
diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Nilai pengukuran jarak dengan metode langsung ialah 49,5 m.
2. Nilai pengukuran jarak dengan metode tak langsung ialah 50 m.
3. Beda nilai antara pengukuran jarak dengan metode langsung dan tak
langsung adalah sebesar 0,5 m.
4. Nilai pengukuran pada sudut A dengan metode seksi tunggal ialah
63,5768o dan dengan metode seri rangkap ialah sebesar 63,491605o.
5. Beda nilai antara pengukuran sudut dengan metode seksi tunggal dan
metode seri rangkap pada sudut A adalah sebesar 0,0852250.
6. Nilai Pengukuran pada sudut B dengan metode seksi tunggal ialah
31,03417o dan dengan metode seri rangkap ialah sebesar 31,03112o
7. Beda nilai antara pengukuran sudut dengan metode seksi tunggal dan
metode seri rangkap pada sudut B adalah sebesar 0,001525o.
8. Adanya faktor kesalahan baik dari segi keadaan alam, kesalahan pada alat,
maupun kesalahan pada pengukur ataupun pengamat menyebabkan nilai
pengukuran menjadi kurang akurat.
9. Ketelitian menjadi faktor yang sangat penting untuk mendapatkan nilai
pengukuran dengan tingkat keakuratan yang tinggi.
5.2. Saran
Praktikum yang telah dilakukan memberikan informasi yang membawa
banyak manfaat bagi praktikan maupun pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Namun masih banyak sekali kekurangan yang ada selama proses pengerjaan,
seperti peralatan praktikum yang kurang lengkap serta keadaan alat yang kurang
baik atau tidak standar. Maka dari itu diharapkan kedepannya peralatan untuk
praktikum bisa lebih diperlengkap lagi dan untuk alat yang dalam keadaan kurang
baik diharapkan untuk bisa segera diperbaiki.
24
LAMPIRAN
50 𝑚 + 49 𝑚
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 =
2
= 49,5 𝑚
II. Menghitung nilai pengukuran jarak dengan metode tak langsung
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 = 100 𝑥 (𝐵𝐴 − 𝐵𝐵) 𝑥 𝑐𝑜𝑠 2 𝜃
*nilai 𝜃 dianggap sebesar 90𝑜
- Data hasil pengukuran :
Arah Bacaan Rambu (dm)
Keterangan
Bidikan BA BT BB
Titik A 16,3 13,8 11,3 Pengukuran pergi
Titik BM 18,8 16,3 13,8 Pengukuran pulang
25
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖 + 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 =
2
50 𝑚 + 50 𝑚
=
2
= 50 𝑚
IV. Konversi nilai sudut dari satuan DMS (Degree, Minute, Second) ke
derajat
Diketahui : 1o = 60 detik = 3600 detik
- Data hasil pengukuran :
a. R1 = 0o
b. R1’ = 180o01’27”
= 180 + (01/60) + (27/3600)
= 180 + 0,566 + 0,0166
= 180,5826o
c. R2 = 63o34’39”
= 63 + (34/60) + (39/3600)
= 63 + 0,566 + 0,0108
= 63,5768o
d. R2’ = 243o34’50”
= 243 + (34/60) + (50/3600)
= 243 + 0,566 + 0,0138
= 243,5798o
e. R3 = 94o34’40”
= 94 + (34/60) + (40/3600)
= 94 + 0,566 + 0,011
= 94,577o
26
f. R3’ = 274o36’40”
= 274 + (36/60) + (40/3600)
= 274 + 0,6 + 0,011
= 274,611o
- Pada sudut A
∠ A = R2 − R1
= 63,5768𝑜 − 0𝑜
= 63,57680𝑜
- Pada sudut B
∠ A = R3 − R2
= 94,577𝑜 − 63,5768𝑜
= 31,0002𝑜
27
- Data hasil pengukuran pada sudut A
Arah
Kedudukan Sudut Bacaan Sudut
Bidikan
R1 Biasa 0o
R2 Biasa 63,5768o
R1’ Luar Biasa 180,5826o
R2’ Luar Biasa 243,5798o
- Perhitungan sudut A
(R2 − R1) + (R2′ − R1′ )
Besar ∠ A =
2
(63,5768 − 0𝑜 ) + (243,5798𝑜 − 180,5826𝑜 )
𝑜
=
2
63,5768𝑜 + 62,9972𝑜
=
2
𝑜
126.574
=
2
Besar ∠ A = 63,287𝑜
28
VII. Menghitung beda nilai pada pengukuran sudut
- Pada pengukuran sudut A
𝐵𝑒𝑑𝑎 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 = 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
= 63,5768𝑜 − 63,287𝑜
= 0,2898𝑜
- Pada pengukuran sudut B
𝐵𝑒𝑑𝑎 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 = 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
= 31,0157𝑜 − 31,0002𝑜
= 0,0155𝑜
29