Anda di halaman 1dari 14

SERTIFIKASI HALAL

Untuk Melengkapi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Good Manufacturing Practice yang Diampu Oleh
Dosen :

Disusun Oleh:
Elmadhita Anzani
11161137
3FA3

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG


PROGRAM PENDIDIKAN STRATA I
PROGRAM STUDI FARMASI
2018
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini .

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
makalah ini. Makalah ini takkan terwujud tanpa adanya bantuan berbagai pihak baik bantuan secara
langsung maupun tidak langsung.

Atas segala bantuan yang diberikan penulis mengucapkan terima kasih dan penulis memohon
maaf atas banyaknya kekurangan yang dimiliki dalam makalah ini sehingga dengan adanya makalah ini
dapat menjadi ilmu bagi yang membacanya.

Bandung, 2 November 2018

Hormat Saya,

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sejarah sertifikasi halal di Indonesia bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Tri
Susanto, Dosen di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur pada sekitar tahun
1990an. Penelitian dilakukan terhadap beberapa produk makanan, seperti susu, mie, snack dan
lain sebagainya. Penelitian ini menemukan bahwa produk-produk tersebut mengandung gelatin,
shortening dan lecithin dan lemak yang kemungkinan berasal dari babi. Penelitian ini kemudian
dimuat dalam Buletin Canopy yang diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang pada bulan Januari 1988. Buletin ini tersebar luar ke beberapa
wilayah di Jawa Timur. Kemudian penelitian ini juga dikaji oleh Asosiasi Cendekiawan Muslim
Al-Falah Jawa Timur. Berawal dari kajian Asosiasi inilah kemudian timbul kegoncangan yang
merebak di tengah kaum Muslimin di Provinsi Jawa Timur dan terus meluas ke provinsi-provinsi
lainnya di Indonesia. Maka terjadilah demo besar-besaran yang dilancarkan warga muslim
Indonesia yang memprotes adanya bahan-bahan dari babi pada berbagai produk tersebut. Protes
kaum muslimin seperti ini baru pertama kali terjadi sejak Republik Indonesia merdeka tahun
1945.

Momen inilah yang menjadi babak awal dibentuknya lembaga Lembaga Pengkajian
Pangan Obat-obatan dan Kosmetika – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). LPPOM MUI
merupakan lembaga yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menjalankan tugas MUI
dalam menjaga ketenteranaman umat melalui mengkonsumsi makanan, obat dan kosmetika yang
jelas kehalalannya. Melalui pertemuan antara Ketua Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama
dan Menteri Kesehatan yang diadakan tanggal 1 Desember 1988 yang isinya memberi himbauan
kepada para produsen makanan, termasuk yang dihidangkan di hotel dan restoran agar
memproduksi, memperdagangkan dan menghidangkan makanan dan minuman yang sungguh-
sungguh bersih dari bahan-bahan haram.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana mekanisme sertifikasi halal kedepan, utamanya setelah terbentuknya BPJPH?
2. Apakah LPPOM MUI masih tetap eksis?
3. Bagaimana sertifikasi sediaan farmasi?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui mekanisme sertifikasi halal kedepan, utamanya setelah terbentuknya
BPJPH?
2. Untuk mengetahui apakah LPPOM MUI masih tetap eksis
3. Untuk mengetahui bagaimana sertifikasi sediaan farmasi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PROSEDUR SERTIFIKAT HALAL LPPOM MUI


Produsen mengajukan permohonan sertifikat halal ke sekretariat LPPOM MUI dengan
mengisi Barang, mendaftarkan seluruh produk, lokasi produksi, pabrik pengemasan dan tempat
makan, menu yang dijual, gerai, dapur serta gudang. Bagi Rumah Potong Hewan mendaftarkan
tempat penyembelihan. Borang yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnnya dikembalikan
ke sekretariat. LPPOM MUI memeriksa kelengkapannya dan bila belum lengkap perusahaan
harus melengkapi. LPPOM MUI melakukan audit melalui Tim auditor melakukan
pemeriksaan/audit kelokasi produsen pada saat memproduksi produk. Hasil pemeriksaan/audit
dan hasil laboratorium dievaluasi dalam rapat auditor LPPOM MUI. Hasil audit yang belum
memenuhi persyaratan diberitahukan kepada perusahaan. Jika telah memenuhi persyaratan,
auditor membuat laporan untuk diajukan pada sidang Komisi Fatwa MUI. Sidang Komisi Fatwa
MUI dapat menolak laporan hasil audit, jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan dan
hasilnya dikembalikan kepada produsen. Sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia setelah ditetapkan status kehalalanya oleh Komisi Fatwa MUI.
Setelah penerbitan sertifakat halal, maka sertifikat halal yang diperoleh dari LPPOM-MUI
berlaku selama 2 (dua) tahun.32 Hal ini berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 42
ayat (1) UUJPH yang menentukan sertifikat halal yang dikeluarkan BPJPH berlaku selama 4
(empat) tahun. Adapun sertifikat halal wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan
pembaruan sertifikat halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal
berakhir.
Pengawasan dalam jaminan produk halal yang dilakukan oleh MUI meliputi pengawasan
terhadap pelaku usaha (produsen), distribusi dan peredaran produk halal. Pengawasan yang
selama ini dilakukan oleh MUI terbatas pada pengawasaaan terkait ketatan pelaku usaha
(produsen) dalam menerapkan sistem jaminan halal. Selain itu pengawasan juga dilakukan secara
parsial dan tempores melalui metode sampling. Lemahnya pengawasan banyak terjadi terkait
dengan sertifiksi yang sudah kadaluarsa yang tidak memperjang sertifikasi halal serta pemalsuan
logo halal. Praktik penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia terkait dengan pemberlakuan
UUJPH menentukan bahwa selama BPJPH belum terbentuk sertifikasi halal tetap dilaksanakan
oleh LPPOM- MUI. Penyelenggaraan sertifikasi halal yang dilaksanakan oleh LPPOM-MUI
pada dasarnya bersifat tidak wajib. Pengaturan sertifikasi halal suatu produk pada dasarnya
merupakan kewajiban dari pelaku usaha apabila pelaku usaha mencantumkan label halal dalam
kemasan produknya. Sertifikasi halal bagi pelaku usaha sebelum pemberlakuan UUJPH ini
tidaklah diwajibkan bagi pelaku usaha. Obyek sertifikasi halal selama ini hanya tidak meliputi
semua produk barang dan jasa, namun hanya dikhususkan pada produk barang. Kondisi
demikian tentunya belum dapat memberikan kepastian hukum jaminan produk halal bagi
konsumen muslim di Indonesia.

2.2 Mekanisme Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) dalam


Penyelenggaraan Sertifikasi Halal di Indonesia

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan lembaga yang akan
dibentuk yang diberikan kewenangan untuk penyelenggaran jaminan produk halal di Indonesia.
Tujuan dari penyelenggaraan jaminan produk halal yakni untuk memberikan kenyamanan,
keamanan, keselamatan dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat. BPJPH ini
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. BPJPH dalam
penyelenggaran jaminan produk halal memiliki kewenangan antara lain merumusan dan
mentapkan jaminan produk halal, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria jaminan
produk halal serta menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal. BPJPH dalam
melaksanakan kewenangannya itu bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

UUJPH terlahir sebagai upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada


konsumen dalam menggunakan dan mengkonsumsi produk halal sesuai dengan ajaran agama
Islam. Bahwa dalam penyelenggaran jaminan kehalalan dilaksanakan melalui proses yang
panjang. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka (3) UUJPH yang menentuka bahwa jaminan
kehalalan suatu produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusiaan, penjualan dan penyajian dari produk tersebut. Sehingga dalam
penyelenggaraan jaminana produk halal memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan
kementerian dan lembaga terkait. Kerjasama ini didasarkan kepada tugas, fungsi dan
kewenanganyang dimiliki oleh kementerian dan lembaga terkait. Dengan adanya kerjasama dan
koordinasi ini diharapkan penyelenggaraan jaminan produk halal dapat terlaksana. Dalam bagan
di atas dapat dijelaskan hubungan koordinasi dan kerjasama antara BPJPH yang ada di bawah
Kementrian Agama dengan kementrian dan lembaga terkait. Adapun hubungan koordinasi dan
kerjasama antara BPJPH dengan kementerian atau lembaga terkait adalah sebagai berikut:

A. BPJPH dengan Kementerian Perdagangan:


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Perdagangan yakni terkait dengan
Peredaran Barang dan Jasa. Pelaksana dalam kerjasama dengan Kementerian. Perdagangan
dalam hal ini adalah Direktorat Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (Direktorat SPK).
Direktorat SPK sebagai pihak yang memiliki kewenangan terkait dengan peredaran barang
dan/atau jasa oleh pelaku usaha. Selain itu bentuk koordinasi dan kerjasama antara BPJPH
dengan Kementerian Perdagangan yakni dalam hal menentukan kewajiban bagi para pelaku
usaha yang ada di Indonesia maupun produk yang berasal dari luar negeri yang akan masuk ke
Indonesia untuk melaksanakan sertifikasi dan labelisasi produk terkait dengan kehalalan suatu
produk.

B. BPJPH dengan Kementerian Kesehatan:


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Kesehatan yakni terkait dengan
penetapan cara produksi dan distribusi terkait dengan obat-obatan, kosmetik dan alat-alat
keseahatan. Kerjasama BPJPH dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan pengawasan
terhadap bahan obat-obatan dan alat-alat kesehatan.

C. BPJPH dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM):


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan yakni terkait
dengan pemeriksaan dan pengujian produk halal. Kerjasama yang dapat dilakukan terkait dengan
kewenangan BPOM dalam pengawasan produk yang beredar di masyarakat. BPOM dapat
melakukan pemerikasaan dan pengujian produk barang (makanan) yang telah beredar
dimasyarakat baik yang sudah bersertifikasi halal maupun belum bersertifikasi halal.
Pemeriksaan dan pengujian ini terkait kompisisi bahan yang terkandung dalam produk tersebut.

D. BPJPH dengan Kementerian Perindustrian:


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Perindustrian yakni terkait dengan
pembinaan pelaku usaha. Kementerian Perindustrian dalam hal ini melakukan pembinaan kepada
pelaku usaha terkait pengadaan bahan baku, proses produksi harus memenuhi standar dan
ketentuan kehalalan suatu produk.

E. BPJPH dengan Kementerian Keuangan


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Keuangan yakni terkait dengan
penentuan tarif dan pengelolaan keuangan BPJPH sebagai Badan Layanan Umum (BLU).
BPJPH sebagai BLU dalam penentuan tarif atau pemungutan dana dari masyarakat serta dalam
pengelolaan keuangan harus berkoordinasi dengan Direktorat Jendral Perbendaharaan c.q.
Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Ditjen
Perbendaharaan c.q. Direktorat PPK-BLU dapat memberikan bimbingan, asistensi, dan
konsultasi dalam penyusunan tarif/pola tariff dan menyampaikan rekomendasi kepada Menteri
Keuangan mengenai penetapan usulan tarif/ pola tarif.

F. BPJHP dengan Kementerian Pertanian


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Pertanian yakni terkait dengan
pengendalian bahan pangan dan hewan. Tujuan dari pengendalian bahan pangan yaitu terkait
dengan penggunaan zat-zat kimia produk pangan yang menggandung unsur yang tidak halal,
antara lain misanya pemanfaatan vaksin zat-zat rekasaya genetika/ ilmu pengetahuan yang
memungkinkan adanya pencampuran antara bahan yang halal dan yang tidak halal baik di
sengaja maupun yang tidak disengaja. Adapun terkait pengendalian terhadap hewan dapat
dilaksanakan terkait dengan pemiliharaan hewan yang menggunakan zat-zat atau vaksin yang
belum jelas kehalalannya maupun dalam proses pemotongan di Rumah Potong Hewan harus
memenuhi standar kehalalan.

G. BPJPH dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Badan Standarisasi Nasional
(BSN):
Hubungan koordinasi BPJPH dengan KAN dan BSN yakni terkait dengan standar
akreditasi dan sertifikasi. Koordinasi terkait standarisasi kehalalan suatu produk dilaku kan
dalam rangka penyusunan standar akreditasi yang akan dilakukan oleh BPJPH maupun akreditasi
terhadap LPH. Koordinasi penyusunan standarisasi prosedur/ proses sertifikasi halal,
pelaksanaan akreditasi terhadap LPH diperlukan guna memenuhi standar yang telah di tentukan
oleh BSN.

H. BPJPH dengan Kementerian Koperasi dan UMKM:


Hubungan koordinasi BPJPH dengan Kementerian Koperasi dan UMKM yakni terkait
dengan pembinaan dan pengembangan UMKM. Maksud dari pembinaan dan pengembangan ini
adalah memberikan kesadaran kepada pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikasi halal suatu
produk. Koordinasi juga terkait dengan fasilitasi kepada koperasi dan UMKM terkait dengan
pembiayaan sertifikasi halal.
Bentuk kerjasama BPJPH dengan Majelis Ulama Indononesia (MUI) dalam
penyelenggaran jaminan produk halal dilaksanakan dalam rangka sertifikasi Auditor Halal,
penetapan fatwa halal, serta akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). MUI dalam
menetapkan fatwa halal atas produk yang dimintakan sertfikasi halalnya kepada BPJPH, maka
akan dilaksanakan sidang fatwa halal yang akan menghasilkan penetapan kehalalan suatu
produk. Dalam sidang fatwa halal, MUI mengikut sertakan pakar, unsur kementerian dan
lembaga terkait. Penetapan halal ini akan menjadi dasar BPJPH untuk penerbitan sertifikasi
halal.
Bentuk kerjasama BPJPH dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dilaksanakan dalam
rangka pemeriksaan dan pengujian produk. LPH sebelum diberikan kewenangan untuk
melaksanakan pemeriksaan dan pengujian produk terlebih dahulu harus dilakukan akreditasi oleh
BPJPH. Dalam pemeriksaan dan pengujuan produk oleh LPH, pemeriksaan dan pengujian
dilaksanakan oleh auditor halal LPH. Persoalan perlindungan konsumen muslim terkait dengan
sertifikasi halal tidak hanya dilihat dalam kontek BPJPH saja. Namun dalam konteks
penyelenggaraan sertifikasi halal ini harus juga dilihat keterkaitan dengan kementerian dan
lembaga terkait. Persoalan penyelenggaran jaminan produk halal tidak semata membicarkan
persoalan mengenenai sertifikasi halal saja, namun banyak hal yang terkait dengan
penyelenggaran jaminan produk halal. Penyelenggaraan jaminan produk perlu didukung dengan
tindakan-tindakan persuasif maupun peningkatan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
sertifikask halal, baik dari segi hak konsmen maupun dari segi pelaku usaha. Hal yang demikian
tentunya membutuhkan sosialisasi kepada pelaku usaha dengan bantuan dari pihak kementerian
terkait.
Selain itu pada tahap pasca penerbitan sertifikat halal perlu adanya pengawasan yang
efektif agar menjamin ketaatan pelaku usaha. Pengawasan seperti ini akan lebih efektif dan
efisien jika dilaksanakan dengan lembaga/ badan terkait. Hubungan koordinasi dan kerjasama
atara BPJPH dengan kementerian dan lembaga terkait tugas, fungsi dan kewenangan yang
dimiliki oleh kementerian dan lembaga terkait. Dalam beberapa hal BPJPH dapat melaksanakan
koordinasi dan kerjasama berkaitan dengan penyelenggaraan jamin an produk halal.

Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara mensinergikan tugas, fungsi dan kewenangan
kementerian dan lembaga terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh BPJPH. Upaya-upaya
ini perlu ditempuh untuk mewujudkan tujuan dari penyelenggaraan jaminan produk halal yakni
memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian ketersedian produk halal bagi
masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk. Selain itu, juga dapat
meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.
Penyelengaraan jaminan produk halal oleh BPJPH yang efektif dan efesien tentunya akan
berimbas kepada meninggkatnya perlindungan terhadap konsumen, terutama bagi konsumen
muslim. Dengan demikian tujuan dari perlindungan konsu men dapat tercapai.
2.3 SERTIFIKASI HALAL SEDIAAN FARMASI

Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat,
kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang
dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat (UU JPH, No 33/2014, Pasal 1). Produk
Halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan Syariat Islam. Status kehalalan
suatu produk dinyatakan dalam bentuk Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BP JPH) berdasarkan fatwa halal dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat
halal (Pasal 4, UU JPH). Pasal 4 ini mengubah praktik penyelenggaraan proses sertifikasi halal
yang bersifat sukarela (voluntary) yang dilakukan oleh MUI (sampai BPJPH terbentuk) menjadi
wajib (mandatory) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh BPJPH. Kewajiban bersertifikat halal
untuk semua produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia akan dilaksanakan lima
tahun setelah diundangkannya UUJPH (tahun 2019).
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik (UU RI No 36
tahun 2009, Kesehatan).
1) Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia (UU Kesehatan)
2) Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan
dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi (UU
Kesehatan).
3) Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
4) Produk biologi adalah vaksin, imunosera, antigen, hormon, enzim, produk darah dan produk
hasil fermentasi lainnya (termasuk antibodi monoklonal dan produk yang berasal dari
teknologi rekombinan DNA) yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka pencegahan , penyembuhan, pemulihan dan
peningkatan kesehatan (Per KBPOM No HK 03.1.23.10.11.08481, tahun 2011).
5) Sediaan Farmasi (pharmaceutical dosage forms) adalah bentuk produk farmasi hasil
manufaktur suatu formulasi obat seperti tablet, kapsul, suspensi, larutan, salep, krim,
supositoria, ovula, dll.Komposisi Sediaan Farmasi :Bahan Aktif Farmasi, Eksipien (Bahan
tambahan).
Bahan Aktif Farmasi (Active Pharmaceutical Ingredient) adalah zat atau bahan yang
digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi yang memberikan aktivitas farmakologi pada
sediaan farmasi tersebut, atau Zat yang memberikan aktivitas farmakologi atau efek langsung
pada diagnosis, penyembuhan, mitigasi, pengobatan atau pencegahan suatu penyakit atau yang
mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh.
Bahan Eksipien adalah bahan-bahan selain bahan aktif farmasi yang terdapat dalam sediaan
farmasi dan telah dievaluasi keamanannya yang digunakan dalam suatu sistem penghantaran
obat untuk: Membantu dalam proses manufaktur sediaan farmasi. Melindungi, mendukung atau
meningkatkan stabilitas, ketersediaan hayati atau keberterimaan pasien. Membantu dalam
identifikasi sediaan farmasi. Meningkatkan sifat keamanan dan keefektifan sediaan selama
penyimpanan atau penggunaan.

A. MENGAPA SEDIAAN FARMASI HARUS HALAL


Obat merupakan campuran bahan-bahan yang dimungkinkan berasal dari bahan yang
haram atau najis, atau pada saat pembuatannya terkontaminasi dan tercampur dengan bahan
haram atau najis. Penggunaan obat yang tidak jelas status kehalalannya akan menjadikan tubuh
pengguna yaitu ummat Islam terkontaminasi bahan yang mungkin haram atau najis. Penggunaan
barang haram atau najis akan berdampak negatif pada ibadah pengguna yaitu tidak sah,
berdosa, sia-sia dan terancam masuk neraka.
Memperoleh dan menggunakan obat halal bagi setiap Muslim adalah hak yang dijamin
konstitusi. Hukum mengkonsumsi obat disamakan dengan hukum mengkonsumsi produk
pangan. Obat halal memberikan jaminan kesembuhan dan keberkahan dari Alloh SWT seperti
yang dinyatakan Hadits. Obat Halal diyakini pasti terjamin aman, berkhasiat dan berkualitas
(tersedia dan terjangkau).

B. DEFINISI FARMASI HALAL


Telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam (UU No 33 Tahun 2014, Jaminan
Produk Halal) Memenuhi persyaratan mutu, aman dan berkhasiat (UU No 36 Tahun 2009,
Kesehatan). Memenuhi Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 30 tahun 2013, tentang Obat dan
Pengobatan. Tidak dibuat dari atau bercampur dengan bahan haram atau najis (haram and najis
free materials) Pada saat diproduksi, penyimpanan dan distribusi tidak terkontaminasi oleh
bahan berasal dari babi (pork freefacility and process).

C. TITIK KRITIS KEHALALAN PRODUKSI OBAT


• Bahan aktif , bahan eksipien dan bahan penolong yang digunakan harus halal.
• Fasilitas produksi hanya digunakan untuk produk halal saja.
• Tidak ada peluang tercampur dan terkontaminasi dengan bahan yang haram dari bahan
tambahan, bahan penolong atau dari fasilitas yang digunakan.
• Bahan pengemas yang digunakan harus halal.
• Pencucian dan pensucian peralatan harus sesuai syariat.

D. TITIK KRITIS KEHALALAN BAHAN DAN PROSES


Ada berbagai macam produk dan proses dalam produksi farmasi yang samar-samar
status kehalalannya (syubhat) dalam arti meragukan dan tidak jelas antara halal dan haram.Titik
kritis atau titik kontrol kehalalan (HCP=Halal Critical/Control Point) produk adalah suatu
tahapan dalam proses pengolahan atau produksi yang dapat diduga menggunakan atau dapat
terkontaminasi bahan-bahan haram. Titik kritis kehalalan dapat ditentukan dari sumber bahan,
alur proses produksi bahan atau produk olahannya.
E.YANG TERLIBAT DALAM SERTIFIKASI OBAT HALAL
1. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
2. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dengan Auditor Halal (yang sudah operasional
adalahLPPOM-MUI)
3. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan status kehalalan obat melalui sidang
komisi fatwa.
4. Industri Farmasi dengan Penyelia Halal (yang mendaftarkannya ke BPJPH).
5. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) dan Kementerian Kesehatan RI.
6. Pihak lain yang terkait.
F. IMPLEMENTASI UU JPH: SERTIFIKASI HALAL UNTUK OBAT
Sertifikasi halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal , melalui kegiatan
beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan system jaminan halal
pelaku usaha telah memenuhi persyaratan/standar halal yang telah ditetapkan. Menurut UU JPH,
Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH
berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Kewajiban bersertifikat halal bagi
Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan (2019).

G. PENYIAPAN SERTIFIKASI HALAL


1. Menyiapkan dokumen: Organisasi, Tim Manajemen Halal dan Penyelia Halal terlatih,
Bahan-bahan, Produk, Prosedur, Suplier, Bangunan, Fasilitas : produksi, kontrol,
penyimpanan, SOP semua kegiatan, dll.
2. Menyusun Sistem Manajemen Halal.
3. Pendaftaran Sertifikasi Halal: langsung atau on line.
4. Menerima Visitasi dan Audit dari LPH yang ditunjuk BP JPH.

H. PENTAHAPAN SERTIFIKASI HALAL


Sediaan Farmasi beragam klasifikasi dan fungsi.
Sesuai dengan pasal 67 ayat 2, maka sertfikasi obat diusulkan dilakukan secara bertahap
dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan dan fungsi obat sesuai klasifikasinya .
Obat-obat yang bersifat live saving, tapi bahan haramnya belum bisa digantikan dengan yang
halal maka diusulkan tetap iproduksi dengan catatan khusus sesuai aturan.

I. PENTAHAPAN SERTIFIKASI HALAL


Tahapan proses sertifikasi adalah berurutan dimulai dari:
Obat Herbal, OHT dan Fitofarmaka
Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas
Obat Keras
Obat “live saving” dan program: Respiratory, Cardiovascular, Endocrine, Pain killer, ATM
(anti AIDS, Tuberkulosa dan Malaria).
Biopharmaceutical products (vaksin, obat polipeptida)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN
Isi makalah dan beberapa pembahasan di atas tidak sepenuhnya sempurna, untuk itu
penulis mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan kritik dan saran yang baik. Harap
maklum jika terdapat adanya beberapa kejanggalan dan ketidaksempurnaan maklah. Atas
perhatianpara pembaca, penulis mengucapkan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai