Anda di halaman 1dari 17

MEMBANGUN AKUNTABILITAS PROFETIK

Amelia Indah Kusdewanti


1)

Husnul Hatimah
2)

Peneleh Research Institute, Jl. Warung Buncit Raya 405 Jakarta Selatan
1)

Universitas Tadulako Palu,  Jl. Soekarno Hatta KM. 9, Palu, Sulawesi Tengah
2)

Surel: ameliaindah15@gmail.com

http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2016.08.7018

Abstrak: Membangun Akuntabilitas Profetik. Artikel ini bertujuan


untuk memformulasikan konsep akuntabilitas profetik. Pendekatan yang
digunakan dalam artikel ini adalah filosofis-teoritis dengan menggu-
nakan filosofi perjalanan spiritual kehidupan dan konsep amanah seba­
gai puncak dari tujuan kemanusiaan (humanity) dalam Islam. Tiga tahap
perjalanan yakni fase fana akuntabilitas, fase kematian, dan menuju
kehidupan ketiganya merupakan basis konstruksi. Hasil penelitian ini
menunjukkan akuntabilitas profetik memiliki unsur ibadah, kehidupan
yang menghidupi, amar ma’ruf nahi mungkar, serta sacral genesis keila-
hian. Entitas dalam akuntabilitas profetik merupakan wadah manifestasi
realitas ilahi yang diwujudkan melalui interaksi insan di dalamnya.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma
JAMAL Abstract: Constructing Prophetic Accountability. This article aims to
Volume 7
Nomor 2
formulate the prophetic accountability. This article uses amanah concept as
Halaman 156-323 the culmination of a humanitarian purposes (humanity) in Islam as philo-
Malang, Agustus 2016 sophical-theoretical approach. Amanah is said to be culmination of human-
ISSN 2086-7603
e-ISSN 2089-5879
ity because the real human’s task with their faith is vicegerent on earth.
Three stages of path of accountability are mortal, death phase, and life as
Tanggal Masuk: construction base. The results of this study demonstrate that prophetic ac-
25 Juli 2016 countability has an element of worship, supporting other life, amar ma’ruf
Tanggal Revisi: nahi munkar, and sacral genesis divinity. Entities in prophetic account-
17 Agustus 2016
ability is a tool manifestation of divine reality which is realized through the
Tanggal Diterima:
interaction of human beings.
27 Agustus 2016

Kata kunci: Akuntabilitas profetik, Amanah, Khalifah, Divine manifesta-


tion.

To be Accountable to Someone Is in an im- Will you defend my human right of


portant sense self-defence?
To stand In Solidarity with Someone... When
When I bleed for your clothes, will you see my In other words
stains? Will you be accountable to me?
When I smile behind the counter, will you see (Molisa 2010)
my chains?
When I pick your bananas, will you see my Molisa (2010) memberikan suatu gam-
pain? baran menarik tentang akuntabilitas melalui
When I plant your coffee, will you see your puitisasi yang ada di atas dengan mengaju-
leaders’ cane? kan pertanyaan “will you accountable to me?”
When I break down the gates of firms to feed Ia membawa pada suatu pemikiran bahkan
my hungry family, “sindiran” bahwa akuntabilitas sebenarnya
Will you still stand by my side? tidak selalu secara teknis merujuk pada
When I reclaim my stolen land suatu pertanggungjawaban keuangan saja,
Will you recognize my silenced history? namun sebenarnya konsep ini dapat melam-
When I arm myself against police brutality paui hal tersebut. “Sindiran” yang dibawa

223
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 224

oleh Molisa (2010) menggambarkan realitas masi untuk melegalkan tindakan tersebut
sesungguhnya dari akuntabilitas yang tidak tanpa memperhatikan sesama.
mampu bersentuhan dengan dimensi selain Hal ini secara jelas menunjukkan bah-
materi sebagai suatu konsekuensi logis. wa ada suatu keterkaitan yang sa­ngat men-
Konsekuensi logis atas akuntabilitas tentu- dasar atara nilai (esensi), realitas, akuntabi­
nya didapatkan dari “rahim” kelahirannya litas, organisasi, serta tatanan peradaban.
yang juga memiliki tujuan-tujuan dan pe­ Salah satu concern persoalan akuntabilitas
ngaruh atas visi realitas, kebenaran, dan eti- adalah dari mana hal ini diturunkan yang
ka yang dibawanya. Kelahiran teori apapun tentu saja pada akhirmya memiliki kon-
di akuntansi tidak mungkin bisa lepas dari sekuensi terhadap peradaban karena ketika
sisi kelekatan nilai akibat dari “rahim” yang sebuah praktik langgeng, maka terbentuk-
melahirkannya (Baydoun dan Willett 1993; lah diskursus-diskursus akuntansi dan
Kamla 2009; Sulaiman dan Willet 2001). Se- pada akhirnya membentuk realitas puka.
lain itu akuntabilitas yang lahir dari rahim Materialisme sudah merupakan “gen” eco-
dari modernitas merupakan turunan dari nomic rationality (Lehman 2005). Economic
model principal-agent, biaya transaksional rationality lebih menekankan pada sisi ma-
,serta mekanisme monitoring (Toms 2006) terialisme serta keuntungan yang berasal
dengan visi penguasaan atas manusia dan western materialist phylosophy. Ciri dari
didasarkan atas egoisme. Hal ini tentunya filsafat materialisme ini adalah penekanan
memiliki konsekuensi logis atas pembentuk­ pada sisi material, begitu pula halnya pada
an serta penanaman nilai-nilai individualis- economic rationality yang memiliki sifat yang
tik dalam organisasi, sehingga menjadi logis demikian. Sisi persaingan, egoisme serta
bahwa atas refleksi realitas ekonomi yang rasionalisme yang berlebihan merupakan
dibawa secara “turun-temurun” tersebut sisi economic rationality. Implikasi nilai pa-
hanya selalu berpusara pada realitas materi, da akhirnya masuk pada tataran realitas
tidak menyentuh ranah spiritualitas, alam, praktik, termasuk akuntabilitas. Rasionali-
tas ekonomi menjadi salah satu wujud dari
lingkungan, dan yang paling pen­ting adalah
pemisahan atau adanya dikotomi agama
Tuhan. Pada akhirnya karena egoisme dari
dan ilmu (Sulaiman dan Willet 2001). Kami
visi realitas materilisme, maka akuntabilitas
berfikir bahwa kemunculan dari akuntansi
tidak bisa dilepaskan dari agenda harmon-
dan Islam bukan sekedar sebagai pemenuh­
isasi akuntansi dengan menciptakan “ac-
an kebutuhan umat muslim saja, namun
countable world order” (lehman 2005) yang
juga sebagai jawaban atas keresahan yang
ditujukan untuk “para pengendali” yakni
sifatnya fundamental. Agama sebagai teologi
kaum pemegang kapital. Tatanan ini berada
pembebasan harus keluar dari sisi materi-
di bawah “satu tangan”. Akuntan (dan bah-
alisme yang ada pada akuntansi (Gallhofer
kan masyarakat) pada akhirnya dibuat buta
dan Haslam 2004). Detail pada permasalah-
akan “kebenaran” pada bentuk satu akunt-
an fundamental ini akan didiskusikan pada
abilitas (Djamhuri 2011). bagian hasil dan pembahasan.
Akuntansi memang dipandang se­bagai Berdasarkan permasalahan funda-
teknologi yang tak mungkin bebas nilai mental di atas, maka urgensi utama dari
(Burchell et al. 1980). Seperti yang ditunjuk- penelitian ini adalah nilai yang bersumber
kan pada perusahaan senjata di US sekitar dari agama sebagai sebuah pembebasan
abad ke 18 dimana industri tumbuh subur, atas keterkungkungan pada dunia materi.
akuntabilitas merupakan alat yang sangat Agama dapat memengaruhi visi realitas, ke-
powerfull untuk “memaksa” dan mendisi­ benaran, serta etika pada akuntansi (Kam­
plinkan para pekerja agar dapat menghasil- la 2009). Pengangkatan kajian budaya dan
kan output lebih banyak (Hoskin dan Macve spiritualitas merupakan salah satu jalan
1988). Hal ini menujukkan bahwa sebenar­ untuk memasukkan ruh baru akuntabilitas.
nya dalam tataran mikro (perusahaan) tu- Kajian budaya (kearifan lokal) dan spiritual
juan yang muncul adalah hal pengendalian. merupakan satu urgensi utama yang harus
Secara ide (esensi) ini berawal dari material- dilakukan untuk menelusuri kembali nilai-
isme yang secara substansi membentuk re- nilai yang akan menjadi basis fundamental
alitas ekonomi dan masuk ke dalam tatanan akuntabilitas serta sebagai jalan untuk me-
praktik sebagai mekanisme pengendalian. lepaskan diri dari genggaman materialisme
Ketika realitas yang dituju adalah material, dan rasionalisme. Praktik akuntabilitas pa-
maka akuntansi berperan sebagai alat legiti- da zaman Bali kuno menunjukkan adanya
225 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

nilai kepercayaan dari rakyat pada raja, ser- gai bentuk dikotomi yang ada serta sebagai
ta tanggung jawab raja pada kesejahteraan jalan ibadah kepada Sang Haqq.
hidup rakyat (Budiasih 2014). Upacara adat
pemakaman Aluk Rambu Solo’ juga memun- METODE
culkan bentuk akuntabilitas sosio-kultural Pada penelitian ini kami menggunakan
sebagai bentuk cinta kasih pada Sang Pen- pendekatan konseptual dengan mengguna­
cipta (Paranoan 2015). Pemaknaan akunta­ kan konsep amanah. Konsep amanah dija-
bilitas pada gereja mengungkapkan adanya dikan sebagai basis landasan filosofis untuk
nilai-nilai ketundukan, keharmonisan, serta membangun akuntabilitas profetik. Amanah
dimensi sosial (Patty and Irianto 2013a). memiliki basis ontologis Tauhid sebagai pa-
Penelitian mengenai keterkaitan akuntabili- yung untuk membangun keutuh­ an ilmu-
tas dan spiritualitas juga dilakukan Randa wan. Paparan mengenai konsep amanah ini
et al. (2011) Salle (2015) Widati et al. (2011). selengkapnya akan dibahas pada hasil dan
Kesemuanya merupakan usaha untuk mem- pembahasan. Konsep amanah akan diinte-
bebaskan diri melalui penelusuran nilai-nilai grasikan dengan filosofi perjalanan spiritual
yang sesungguhnya ada, namun terabaikan. sebagai jalan konstruksi akuntabilitas.
Penelitian ini juga dilakukan untuk Konstruksi akuntabilitas sendiri diam-
memberikan satu alternatif lain terkait de­ bil dari filosofi perjalanan spiritual menuju
ngan bentuk akuntabilitas dalam perspektif puncak kehidupan yang sesungguhnya. Per-
Islam mengingat “…the nature and origins of jalanan spiritual ini diambil dari Kusdewanti
Western materialist philosophy and contrast et al. (2016) yang digunakan untuk “mema-
the belief structure of Islam with the West tikan” agency theory serta menghidupkan
(Sulaiman dan Willett 2001), yang terletak kembali jiwa baru akuntansi melalui fase
tersebut untuk mencapai kehidupan yang
pada esensi. Sebuah hal yang tidak dipung-
sesungguhnya. Meskipun kematian men-
kiri, bahwa hal tersebut merupakan suatu
jadi hal yang menakutkan, namun hal ini
jurang pemisah antara pemikiran Barat dan
hanya­lah sebagai tahapan awal dalam men-
Islam. Jurang ini disebut dengan esensi
capai kehidupan. Dengan demikian, filosofi
yang menghasilkan nilai dan meresap dalam
perjalanan spiritual yang dihadirkan dalam
praktik. Hal tersebut menjadi urgensi dari
artikel ini adalah filosofi kehidupan yang se-
pemikiran Islam. Ketika muncul kegelisahan
belumnya telah dilakukan oleh Kusdewanti
terhadap pemikiran barat yang meninggal-
et al. (2016).
kan sisi transedental, Islam menjadi alterna- Filosofi kehidupan ini diadaptasi Kus-
tive (Masyhuri 2013). Terlebih lagi Islam telah dewanti et al. (2016) dari pemikiran serta
menunjukkan cakupan universal dengan perjalanan Sunan Kalijaga, yang tertu-
memperbaiki pola hidup, baik dalam bentuk ang dari beberapa tembang, suluk, serta
interaksi horizontal maupun vertikal (Dja- gunung­an wayang yang merupakan refleksi
laluddin 2012). Cakupan universalitas Islam atas pemikiran beliau. Ada tiga fase dalam
inilah yang akan menjadi dasar atau fondasi perjalanan spiritual ini, pertama, tahap ke-
utama dalam membangun kembali akun­ hampaan, dimana hidup di dunia, namun
tabilitas yang berketuhanan. Hal tersebut mengalami kehampaan. Kedua, fase kema-
dikarenakan adanya urgensi atas pandang­ tian Kematian merupakan sebuah proses
an sekuleritas, dualitas, serta terpecah-pe- untuk kembali pada kesadaran akan adanya
cahnya akuntansi modern yang berasal dari sacral genesis. Fase ketiga adalah kehidu-
logika ekonomi neoklasik. Logika ekonomi pan setelah kematian.
neoklasik serta akuntansi yang berbasis pa- Fase perjalanan ini (integrasi amanah-
da entity theory menyebabkan akuntabilitas perjalanan spiritual) digunakan untuk mem-
yang sifatnya keuangan akan selalu terpisah bangun konsep akuntabilitas profetik yang
dari akuntabilitas dari sisi humanis, so­ dimulai dari tujuan serta landasan dasar
sial, serta relijius. Maka dari itu, kami tidak serta proses dari hal tersebut. Hal ini sa­
berniat berangkat dari dikotomi agama dan ngat diperlukan guna meluruhkan segala
ilmu serta menyatukannya. Kami mendasar- tujuan yang berbau self interest dan meng­
kan Islam dan Tauhid sebagai pandangan ubahnya menjadi soul interest atau malah
utama untuk menjadikan ilmu (akuntansi) melampauinya. Kami menyebutnya sebagai
sebagai bagian dari agama. Berdasar pada soul interest karena self adalah bagian yang
penjelasan di atas, maka tujuan penelitian menyeluruh setelah pertemuan antara ruh,
ini adalah membangun akuntabilitas yang jiwa, dan tubuh (pertalian esensi, substansi,
baru sebagai jalan pembebasan dari berba­ dan bentuk).
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 226

Perjalanan jiwa ini secara filosofis ti- akuntabilitas nantinya di dalam alam yang
dak mengarah dan terhenti di tataran self, tidak lagi terpisah dari tatanan dunia sosial
namun pada umat dan alam secara menye­ dan lainnya, namun malah menyatukan un-
luruh dengan konteks amanah. Seperti yang tuk berjalan pada esensi.
tertera pada pendahuluan di atas tujuan Pada Gambar 1, anak panah yang men-
hidup manusia adalah ibadah. Maka perjala- garah keluar dari esensi merupakan aliran
nan menyusuri kehidupan melalui kematian nilai mengaliri substansi, dan bentuk, yang
ini pula mengubah tujuan material menjadi pada akhirnya pada aspek sosial, ekonomi,
spiritual. Hal ini bukan berarti bahwa materi politik, dan budaya dan umat. Anak panah
bukanlah hal yang dibutuhkan, namun ke- dari umat yang mengarah ke dalam meru-
butuhan ini bukan sampai pada tingkat ori- pakan gerak dari umat menuju esensi. Arti-
entasi utama, melainkan sebagai kehidup­an nya nilai yang keluar dari esensi turut mem-
yang menghidupi. Ketiga fase perjalanan bentuk umat serta menjadi dasar peradaban
spiritual ini akan teraplikasi pada hasil dan yang berketuhanan.
pembahasan dimulai pada fase fana, kema- Namun demikian aliran ini tidak ter-
tian, kemudian kehidupan setelah kematian. jadi pada akuntabilitas modern karena tidak
bersumber pada esensi. Gerak peradaban
HASIL DAN PEMBAHASAN seharusnya tidak mengarah menuju esensi
Esensi sacral genesis. Chua (1986) tunggal. Karena peradaban modern hanya
mengungkapkan bahwa akuntansi modern mendasarkan diri pada realitas materi dan
(tak terkecuali akuntabilitas) memosisikan tidak menyentuh esensi, aliran nilai yang
diri terpisah dari dunia sosial, politik, serta menuju umat tidak menembus dimensi
ekonomi. Selain pemosisian tersebut, epis- spiritual. Karena hal tersebut untuk memo-
temologi dan metodologi pengetahuan pun sisikan kembali sebagai jalan menuju Tuhan
hanya didesain untuk menangkap apa yang serta menggerakkan peradaban padaNya,
diyakini sebagai “realitas” karena mendasar- maka pembangunan akuntabilitas harus
kan diri pada hal empiris (lihat Chua 1986). menapaki tiga fase perjalanan spiritual yang
Oleh karena itu realitas materi yang menjadi sekaligus membentuk genesis baru yakni
dasar pandangan akuntansi dan seluruh sacral genesis dengan aliran nilai dari esensi.
konsepnya, maka konsekuensinya akun­ Fase fana, akuntabilitas dalam
tabilitas mejadi terpisah pula dari realitas kerangka rasionalitas dan agenda ac-
yang lebih tinggi. countable world order. Fase pertama dari
Fase perjalanan spiritual mengungkap perjalanan spiritual ini adalah fase fana,
bagaimana realitas sesungguhnya berasal kehampaan dalam sebuah kehidupan. Kita
dari sebuah esensi tunggal. Esensi inilah mengetahui bahwa hidup ini adalah sebuah
yang kemudian merupakan sebuah sumber kesementaraan. Meskipun demikian bu-
dari seluruh nilai yang ada sebelum meresap kan berarti yang dimaksud kehidupan yang
ke dalam substansi dan ke dalam bentuk hampa ini adalah sesuatu yang semu. Kese­
akuntabilitas sendiri. Perjalanan spritual mentaraan ini hanya diketahui oleh setiap
melewati beberapa fase yang ini menunjuk- insan yang mampu melihat bahwa segala
kan eksistensi lapisan realitas tinggi yang tujuan akhir adalah Allah SWT saja. Namun
muncul tentunya juga secara ontologis me- apabila kehidupan yang sementara ini diang-
miliki kehadiran di dalam bentuk. gap sebagai akhir dari segala orientasi, maka
Kehadiran esensi nantinya pada akunt- di sinilah kehampaan terjadi. Dunia ini dan
abilitas yang terbangun akan mengaliri se- seisinya merupakan wujud dari manifestasi
tiap susbtansi dan bentuk yang memiliki ilahiah. Alam merupakan tempat belajar
posisi konkret dengan keterikatan dunia di untuk mengungkap nama-namaNya yang
sekitarnya yakni politik, ekonomi, sosial, agung (Chittick 1998).
serta budaya. Aliran yang bersumber dari Pada fase perjalanan spiritual ini, kami
esensi ini adalah nilai atau values yang akan menjabarkan fase kefanaan karena ketidak-
masuk ke dalam substansi dan bentuk, mampuan untuk melihat realitas yang lebih
hingga menuju umat sebagai pembentuk tinggi. Ketika realitas ini dipahami sebagai
peradaban. Begitu pula sebaliknya, umat suatu yang berdiri sendiri, maka sesung-
peradaban yang teraliri oleh nilai ini akan guhnyalah kita telah hilang dari jati diri
berjalan menuju esensi. Aliran esensi ini ter- yang sebenarnya. Sesungguhnya realitas diri
gambar pada Gambar 1. Hal ini tentu me- serta alam semesta ini merupakan pancaran
miliki konsekuensi logis dalam pemosisian dari realitas yang Tunggal. Pembahasan di
227 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

Umat & alam

Politik

bentuk

bentuk
subtansi

substansi

Esensi
Ekonomi Sosial

Esensi

Budaya

Gambar 1. Aliran nilai yang bersumber dari Esensi

bawah ini merupakan penjabaran sisi fana pada akhirnya melepaskan diri pula dari
dari akuntabilitas. aspek spiritual, nilai, serta etika yang meli-
Akuntabilitas sulit didefinisikan (An- putinya. Dalam hubungan yang berasal dari
drew 2007; Toms 2006), namun demikian principal-agent, akuntabilitas muncul kare-
akuntabilitas dapat dilihat sebagai bentuk na ketidakmampuan principal untuk mem-
pertanggungjawaban dengan menggunakan berikan pengawasan secara terus menerus
teknik-teknik pengukuran serta rasionalitas kepada agen di perusahaan. Mekanisme
(Andrew 2007). Akuntabilitas tak dipungkiri pengawasan ini tentu saja berasal dari pan-
sebagai mekanisme yang muncul karena dangan dysfunctional behavior yang Chua
bentuk dualisme (pemisahan kepemilikan) (1986) sebut sebagai salah satu bukti bahwa
korporasi modern. Konsekuensi logis yang akuntansi mainstream memisahkan diri dari
muncul adalah akuntabilitas sebagai suatu lingkungan sekitar. Dysfunctional behavior
mekanisme kontrol (Rowlinson et al. 2006) berpandangan bahwa suatu bentuk motivasi
dengan menggunakan ukuran materi, di- yang memengaruhi individu direduksi pada
mensi etis dan moral (Andrew 2007). tataran personal saja, serta bebas dari pe­
ngaruh interaksi sosial, politik, serta religi.
“...technical or hierarchical ap-
Sama dengan apa yang telah Andrew (2007)
proach to accountability has en-
jelaskan, ada keterputusan hubungan de­
abled “administrative evil” in
ngan dimensi moral melalui (reduksi) proses
which a social actor is discon-
teknik yang melekat dalam akuntabilitas.
nected from the moral community
Kelanggengan atas teknik ini dikukuhkan
through technical processes” (An-
oleh berbagai diskursus dalam akuntansi.
drew 2007:879).
Shearer (2002:541) mengungkapkan
Ada reduksi yang teramat besar dalam bahwa “...that the discourse of neoclassical
dimensi akuntabilitas. Akuntabilitas yang economics that informs accounting practice
direduksi hanya pada tataran teknis saja constructs the identity of the accountable en-
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 228

tity such that it is obligated to pursue only its menggunakan economic rationality sebagai
own good.” Setiap diskursus yang muncul jalan. Faham ini merupakan bagian dari
dalam ekonomi neoklasik beserta mekanisme pandangan mekanistik yang terpisah dan
di dalamnya merupakan sebuah cara untuk mengabaikan realitas yang dianggap tidak
mempertahankan sistemnya sendiri. Hal ini memiliki pe­ng­a­­ruh apapun serta merupa­
berarti diskursus tersebut digunakan untuk kan mekanisme yang bersifat self sufficient
mempertahankan ideologi kapitalisme yang sama halnya de­ngan pandangan darwinisme
ada. sosial, dimana yang kuatlah yang menang
Pada ideologi ekonomi neoklasik, pasar dalam tatanan ini. Capra (1983) menyebut-
terlihat gemerlap, janji standar hidup yang kan bahwa tatanan ekonomi yang berang-
meningkat, gaji, upah karyawan dan buruh kat dari pandangan yang sangat mekanis-
juga akan terlihat meningkat serta akan ter- tik tak mampu menyentuh permasalahan
cipta adanya sebuah persamaan (equality). utama. Pengukur­ an-pengukuran yang ada
Namun semua hanyalah sebuah retorika se- pada akuntabilitas ini hanyalah suatu ben-
mata yang digaungkan untuk mendapatkan tuk reduksi atas permasalahan yang sangat
sebuah posisi dalam pasar bebas. Kooptasi kompleks.
serta hegemoni korporasi (pada sisi makro) Pengukuran-pengukuran yang ada
menggunakan akuntabilitas sebagai sebuah dalam akuntabilitas merupakan salah satu
alat legitimasi yang sah (lihat lehman 2005 bentuk dari rasionalitas ekonomi. Perma-
dan Shearer 2002). Butuh akuntabilitas yang salahan human right di atas merupakan
lebih dari sekedar ukuran-ukuran keuang­ konsekuensi logis dari penggunaan dan
an. Tatanan dunia yang akuntabel serta ge- penekanan rasionalitas ekonomi yang sa­
merlap ini hanyalah sisi gelap dari banyak ngat berlebihan dalam akuntabilitas. Rasio­
sekali hak asasi manusia yang dilanggar nalitas ekonomi mendasarkan segala pun-
hanya dengan akuntabilitas reduksionis (li- cak pencapaian pada ukuran materi, yakni
hat Chetty 2011; Everett dan Friesen 2010; profit (Sulaiman dan Willet 2001). Mengingat
Gallhofer et al. 2011). Sebuah entitas hanya bahwa akuntabilitas diturunkan dari dasar
akuntabel untuk tujuan-tujuan entitas itu pandangan ini, maka hal ini merupakan
sendiri. Kemudian bagaimana dengan sisi salah satu hasil dari fragmentasi ilmu barat
kemanusiaan, sosial, serta terutama pada yang berasal dari pandangan dunia me-
akuntabilitas yang bersifat transendental? kanistik (Chua 1986).
Bagi Multinational Corporation (MNC) mereka Jika demikian seperti yang disebutkan
tidak perlu akuntabel bagi masyarakat dan di atas, maka manusia telah kehilangan sisi
bahkan negara, sebaliknya masyarakat dan kemanusiaannya karena puncak dari hal
negaralah yang harus akuntabel pada MNC tersebut adalah melaksanakan amanah Al-
(Shearer 2002) inilah yang disebut sebagai lah SWT. Satu-satunya jalan keluar yang
accountable world order. Hal ini memerlukan harus ditempuh adalah dengan kembali
pemecahan masalah secepatnya. Roberts pada suatu bentuk keutuhan, yakni Tauhid.
(1991) dan Lehman (2005) juga mengung- Tauhid menjadi satu ordinat utama untuk
kapkan cita-cita accountable world order. mewujudkan akuntabilitas yang mencirikan
nilai-nilai islam. Tauhid merupakan sebuah
“The dominant perspective on in-
pandangan menyeluruh, tidak hanya pan-
ternational accounting, it is argued,
dangan tentang manusia saja, namun juga
is based on principles of economic
mengenai kosmos yang memiliki keterkaitan
rationality which are designed
yang sangat erat dengan manusia. Sesuai
to achieve global harmonisation,
tugas yang diemban manusia, maka puncak
thereby creating win–win financial
humanitas atau kemanusiaan adalah mewu-
and political opportunities, togeth-
judkan rahmatannil alamin. Apabila lepas
er with an open and accountable
dari tujuan tersebut, maka hilanglah sama-
world order (Lehman 2005:976).”
sekali tujuan kemanusiaan manusia.
Accountable world order inilah yang Dalam ranah ontologis, seperti la­
ingin diwujudkan oleh “penguasa”. Lalu, yaknya pandangan-pandangan dalam akun-
siapakah penguasa ini? Tentu saja pen- tansi mainstream lainnya, pandangan dunia
guasa ini adalah pusat dari tujuan account yang dibawa adalah mekanistik. Pandangan
yang harus dilakukan oleh para pelaksana ini menjabarkan bahwa segalanya dianggap
akun­tabilitas, para pemegang kapital. Tu- sebagai mesin raksasa yang dalam kiner-
juan tersebut dapat diwujudkan dengan janya sangat terpecah pecah. Akuntansi di-
229 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

pandang sebagai sesuatu yang terpisah dari yang sangat signifikan dalam perkemban-
realitas yang ada di sekitarnya (Chua 1986). gan akuntansi Islam (Sulaiman dan Wil-
Akuntabilitas pada sisi moral dan etik yang let 2001). Namun sebelum itu, kami akan
meliputinya telah tereduksi sedemikian rupa menguraikan terlebih dahulu dari sudut
sehingga akuntabilitas pun mengklaim ada­ pandang yang muncul pada kedua film The
nya keterpisahan akan dimensi-dimensi lain, giver sebagai jembatan atau metafora atas
semisal, politik, budaya, sosial, serta reliji. realitas akuntabilitas. Kedua judul di atas
Akuntabilitas tidak seharusnya ter- tidak terlihat adanya unsur akuntabilitas.
pisah-pisah menjadi beberapa jenis, se­perti Namun hal tersebut terjadi apabila kita ha­
akuntabilitas keuangan, akuntabilitas so- nya melihat akuntabilitas dari sisi “lahiriah”
sial, akuntabilitas dan hak asasi manusia. nya saja, dalam tataran bentuk yang sudah
Kesemuanya tersebut seharusnya mampu teraplikasi dalam organisasi.
direfleksikan secara utuh dalam akuntan- Film merupakan sebuah media pe-
si. Namun yang terjadi tidaklah demikian. nyampai ide dan sekaligus menjadi refleksi
Semuanya tidak mampu menjadi sesua­ atas ide-ide yang muncul dalam diri pen-
tu akuntabilitas yang utuh karena pada ciptanya. Contoh nyatanya adalah muncul-
dasarnya laporan keuangan tidak mampu nya berbagai karya seni yang menjadi jalan
melakukan pengungkapan akuntabilitas pembuka atas zaman modern atau pembuka
yang berada di luar lingkaran material. Hal zaman rennaisance. Karya seni baik lukisan
tersebut tidaklah lepas dari kepentingan be- maupun patung merupakan perlambangan
berapa atau bahkan satu pihak saja yang atas perlawanan terhadap gereja pada ma-
memiliki “kuasa” atas terbentuknya bottom sa itu (Bertens 2005). Begitu pula dengan
line akuntansi. gerakan-gerakan seni pembuka zaman post-
Akuntabilitas seharusnya mampu ma- modern yang dimulai dari seni arsitektur,
suk ke dalam akuntansi tanpa menghirau- lukisan, serta film pada masa itu (Bertens
kan atau terpecah-pecah dalam beberapa 2005) dan munculah sebuah the sound of
jenis dalam akuntansi. Refleksi atas pan- silence. Karena hal tersebut, pengangkatan
dangan ini terlihat pada bentuk dari laporan film dalam artikel ini sebagai jembatan meta-
keuang­ an sendiri, yang sama sekali tidak fora pun dirasa sangat dibutuhkan dalam
mampu menjadi wadah kepentingan bagi memudahkan dalam memaparkan realitas
hak asasi manusia, sosial, dan lingkungan. yang ada.
Contoh paling sederhana dari gambaran ini Pertama-tama kami akan menguraikan
adalah laporan laba-rugi yang menghasil- kisah dari film tersebut. Film yang memiliki
kan laporan akhir berupa laba. Beban yang genre Sci-Fi atau science fiction ini memang
ditandingkan pada periode itu jika meng- tidak berkisah tentang agama. Namun, pem-
hasilkan pendapatan. Maka akhirnya hal bahasan akan kami kaitkan dengan agama
lain yang dianggap tidak mampu menghasil- sebagai refleksi kami sebagai penulis. The
kan sebuah pendapatan tidak dimasukkan Giver merupakan film yang sangat men-
ke dalam laporan laba-rugi karena realitas arik. Film ini bercerita tentang perlawanan
yang muncul L/R hanyalah realitas ekono- terhadap dominasi kuasa yang ada di neg-
mi. Karena hal tersebutlah muncul gugatan ara tempat mereka dikisahkan. The Giver
terhadap bottom line akuntansi dan mem- berce­rita tentang sang penerima, penengah,
pertanyakan apakah hal ini benar-benar ataupun penerus dari kenangan. Dunia tak
merepresentasikan realitas (lihat Lehman lagi berwarna, tak mengenal perbedaan, dan
2006) Ini adalah refleksi dari pandangan pilihan. Semuanya berada dalam kesetaraan
patologis sehingga sebenarnya persoalan yang bahkan bersifat absolut. Dunia tempat
mendasar yang harus diselesaikan adalah mere­ ka tinggal dibatasi dengan dinding-
tataran nilai sebagai akar dari pembentukan dinding yang sangat tinggi dan tebal, setiap
akuntabilitas. penduduk tak diizinkan untuk melewati
“The giver”: refleksi atas kuasa vis a dinding tersebut. Mereka hanya tahu bahwa
vis agama sebagai pembebas. Agama dan di luar sana ada dunia yang sangat asing
etika memiliki satu keterkaitan yang sa­ dan mungkin berbahaya. Ini disebut else
ngat erat. Agama menjadi fondasi dari etika where. Seluruh nasib penduduk bahkan
dan happiness (lihat Al Attas 2001), tentu dapat dikatakan secara absolut ditentukan
saja happiness yang dimaksud bukanlah oleh sang penguasa di negeri tersebut. Ke-
kebahagiaan materi seperti pada akuntabili- tika kisah ini bermula, seluruh dunia hanya
tas saat ini. Seperti yang telah kami bahas memiliki dua warna, yakni hitam dan putih
pada pendahuluan, agama memiliki peran semata.
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 230

Namun, hitam putih dunia tersebut menegaskan sebuah “pemaksaan” yang se­
tak dimiliki oleh seorang anak bernama sungguhnya tidak bisa dilakukan. Kehidup­
Jonas. Ia mampu melihat warna-warna di an rakyat, masyarakat luas dalam hubung­
sekitarnya, warna hijaunya daun, birunya an akuntabilitas ini bahkan dapat disebut
langit, coklatnya rambut orang yang di- sangat transparan, dan akuntabel bagi pe­
kasihinya. Meskipun demikian Jonas tak nguasa. Namun apa daya jika tak ada rasa
mampu mengucapkan bahkan ia merasa percaya yang melandasi hubungan kedua­
tak mengetahui warna-warna tersebut. Ia nya. Pada film tersebut kesadaran akan hal
kebingungan sekalligus ketakutan karena yang lebih dalam dari sekedar “persamaan”
kebanyakan orang tak mampu melihat hal- sesungguhnya membawa pada konsekuen­
hal yang dilihat. Ia takut karena sebenarnya si atas ketidakpercayaan yang amat men-
dunia tempatnya tinggal tak mengizinkan ia dalam, sehingga mekanisme pengendalian
melihat warna-warna tersebut. Ketika setiap yang bersifat mendominasi dilakukan untuk
anak mencapai kedewasaan maka penguasa menerapkan accountable human being demi
akan menentukan nasib mereka, apakah terwujudnya accountable world order.
menjadi seorang perawat, Ibu, tentara, dan Hal ini adalah refleksi bahwa dalam
yang terpenting menjadi sang penerima ke- penerapan akuntabilitas harus ada rasa
nangan, the giver. Jonas terpilih menjadi kepercayaan. Namun kenyataan menunjuk-
seorang the giver. Ia akan mewarisi seluruh kan bahwa akuntabilitas sendiri merupakan
kenangan yang dipegang oleh the giver se- salah satu produk dari positive accounting
belumnya. Ketika ia menerima kenangan theory dengan menggunakan agency theory
tersebut, ia merasa bahagia. Ada suka cita, sebagai basis pengembangan akuntabilitas
tawa, dan tarian gembira, pesta pernikahan, (Shearer 2002). Hal ini menunjukkan bahwa
cinta, generasi-generasi masa depan yang tidak ada basis kepercayaan di dalamnya
riang. Jonas bahkan mampu melihat warna mengingat bahwa agency theory tidak mem-
dari sebuah apel, namun ia tak mampu me- berikan ruang bagi kepercayaan.
nyebutkan warnanya. Hal ini berlangsung Seseorang tak bisa hidup dalam
hingga sang pemberi kenangan mengajarkan kekang­ an diri sendiri. Dalam jiwanya se­
bahwa warna apel itu adalah merah. sungguhnya telah ada berbagai macam
Pada akhirnya semakin lama ia juga fakultas yang membedakan mana yang re-
semakin menginginkan orang-orang juga alitas dan mana yang bukan realitas (lihat Al
merasakan apa yang ia rasakan. Namun Attas 2001). Akuntansi dan manusia men-
penguasa tak menginginkan hal tersebut jadi hal yang tak terpisahkan. Akuntansi
terjadi. Hal yang lebih miris lagi adalah tidak merupakan produk dari manusia, sekaligus
ada kata “cinta” dalam kosa kata sehari-hari mampu membentuk manusia itu sendiri
mereka. Film ini secara implisit mengisah- dalam tataran ide.
kan kesetaraan absolut yang tak ada sama Djamhuri (2011) menegaskan bah-
sekali perbedaan. Namun demikian berma- wasanya akuntabilitas tak bisa disama-
cam-macam daun yang berwarna warni, hi- ratakan dalam berbagai konteks yang ber-
jau, merah, serta merah muda sebenarnya beda. Hal tersebut juga menjadi refleksi
malah kehilangan arti hidup dan nilai yang bahwa akuntabilitas pun sangat bisa di-
sebenarnya. Akhir dari film ini mengisah- pengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan,
kan bahwa perasaan sedih, bahagia, serta maupun sisi agama (lihat beberapa peneli-
pendekatan dengan Tuhan merupakan se- tian sebelumnya seperti Salle 2015; Randa
buah anugerah dan menjadi ruh kehidupan 2011; Widati 2011). The Giver mengisahkan
itu sendiri. pula bagaimana “menderitanya” masyarakat
Jika diamati lebih jauh, keinginan secara batin tanpa adanya nilai-nilai serta
penguasa untuk menjadikan kehidupan ini keyakinan yang menjadi pegangan kehidup­
sama, tanpa agama, tanpa rasa, yang pada an. Sekalipun kehidupan mereka sangat
akhirnya tanpa sebuah nilai, membawa ditunjang dengan teknologi canggih dan sa­
pada tujuan tersembunyi. Bagi penguasa se- ngat memudahkan, namun di balik semua
tiap kesamaan merupakan sebuah tatanan itu yang ada hanyalah kehampaan, kosong,
yang penuh dengan pengendalian. Konteks tak memiliki makna mendalam, dan bahkan
akuntabilitas yang mucul dari film terse- kehilangan jati dirinya sebagai seorang ma-
but, pertama tentang kekuasaan. Seluruh nusia. Pada akhirnya sisi teknologi canggih
mekanisme kehidupan yang ada di dalam- yang menunjang kehidupan mereka digu-
nya diisolasikan dari dunia luar yakni else nakan untuk penguasaan demi terwujudnya
where. Isolasi yang lebih bersifat absolut ini human accountability.
231 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

Sulaiman dan Willet (2001) serta Bay- (lihat Jensen dan Meckling 1976). Secara
doun dan Willet (1993) menyatakan bahwa konsekuensi, bentuk akuntabilitasnya pun
teori-teori akuntansi Islam harus berasal dari tidak dilandasi oleh rasa percaya sedikitpun,
sisi normatif dan bukan seperti pada akun- karena sifatnya yang sangat transaksional.
tansi mainstream saat ini yang berasal dari Maka agama menjadi suatu pembebas dari
teori positif. Hal ini berkaitan dengan agama keterkekangan rasionalitas serta materiali-
sebagai fondasi utama dari setiap nilai serta tas yang berlebihan.
sisi etika pembentukan ilmu pengetahuan. Fase pertama ini memang menggam-
Hal ini adalah akuntabilitas. Seperti yang bakan sebuah kehampaan atau kefanaan
diungkapkan oleh Al Faruqi (1998) bahwa nilai dan realitas. Perjalanan spiritual ini di-
Allah is source of normativeness, segala yang alami oleh Sunan Kalijaga yang dikisahkan
normatif bersumber dari segala sumber, dengan menggunakan sebuah suluk yang
yakni Allah SWT. Begitu pula ketika Sunan berjudul Suluk Linglung. Suluk linglung ini
Kalijaga (Chodjim 2013:265) dalam pesan- berkisah tentang perjalanan seorang salik
nya ketika menjalani tahapan spiritual: yang bernama Syekh Malaya yang sedang
“Allah adalah sumber kebahagia- dalam pencarian hakekat hidup itu sendiri
an. Sumber kedamaian. Sumber (lihat Khaelany 2014). Ia dalam perjalanan
keselamatan. Meskipun demiki- menuju kota Mekah untuk berhaji, bertemu-
an, rasa di dalam batinlah yang lah dengan Nabi Khiddir, beliau menasihat-
bisa menangkap kebahagiaan itu. kan kepadanya bahwa yang namanya per-
Hakikat rasa adalah tumbuhnya jalanan, pertama-tama haruslah mengeta-
kemampuan untuk merasakan hui tujuannya sendiri, kedua harus mampu
kehadiran Tuhan. Kemampuan keluar dari nafsu yang mneguasai diri ma-
untuk melihat wajahNya. Kemam- nusia untuk mencari ingsun sejati de­ ngan
puan untuk menghadap hadirat- tidak tertipu berbagai warna yang ada di
Nya. Sehingga sang jiwa menjadi dalam diri manusia. Warna-warna tersebut
madeg dan mantep dalam meng­ merupakan penggambaran masing-masing
arungi kehidupan ini. Madeg nafsu manusia, beliau menasihatkan untuk
arti­
nya menyadari sepenuhnya tidak terjebak pada gemerlapnya warna-war-
bahwa hidup kita telah memiliki na tersebut.
potensi sejak lahir. Mantep artin- Akuntabilitas terjebak dalam penggam-
ya menjadi orang yang tidak ragu- baran warna-warna tersebut, akuntabilitas
ragu dalam hidup ini.” juga belum mampu untuk menundukkan
Sumber inilah yang harus ditemukan warna-warni nafsu yang menguasai. Hal
melalui pendalaman akan hakikat rasa un- tersebut memunculkan suatu hijab yang
tuk menghadirkanNya di dalam “diri”. Se­ tebal untuk mencari dari pancaran warna
sungguhnya tanpa rasa, hilanglah semua sejati, sumber dari segala nilai dan realitas
jalan menuju kehadiratNya. Apa yang terjadi ciptaan, yakni esensi. Maka dari itu akun­
ketika kita tidak merasa, seperti cuplikan tabilitas harus “mematikan” dirinya untuk
dari film the giver di atas, adalah kekosong­ keluar dari jeratan serta tipu daya warna-
an dan hampa. Diri manusia ibarat hanya warni dunia tersebut melalui penapakan
seonggok daging yang hidup karena pom- kedua pada perjalanan spiritual ini, yakni
paan darah dari jantung menuju ke selu- fase kematian.
ruh tubuh. Anggapan hidup karena me- Fase kematian menuju kehidupan,
kanisme ini merupakan sebuah cerminan pembentukan sacral genesis. Orientasi
yang mendasari bangunan keilmuan serta material yang absolut haruslah dihilangkan.
bentuk akuntabilitas saat ini. Keterpisahan Ketika menginjakkan kaki pada fase ini,
akan segala nilai serta sisi etika pada ak­ maka yang harus diingat bahwa kehidupan
hirnya membawa pada kesengsaraan bagi yang terbebas dari belenggu kefanaan su-
masyarakat, namun keuntungan bagi pe- dah menanti. Sunan Kalijaga dalam Suluk
megang kuasa. Inilah salah satu kelemahan Linglung1 menjelaskan bahwa sebenarnya
dari bentuk akuntabilitas yang diturunkan seseorang harus mengalami kematian dalam
dari dua hubungan yakni principal-agent hidupnya. Tahapan pendakian spritual
yang menganggap bahwa seuatu organisasi ini adalah fana dan baka (Chodjim 2013)
hanya sebagai seperangkat kontrak semata atau mengosongkan diri. Sunan Kalijaga
menjelaskan (Chodjim 2013:264):
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 232

“Sunan Kalijaga berkata. Me- ku­ning, hitam, serta warna putih. Keempat-
maparkan pengetahuannya. nya merupakan warna yang mampu mem-
Hendaknya waspada pada yang berikan manusia kehidupan. Warna-warna
berikut ini. Jangan ragu-ragu. Li- ini yang merupakan kehidupan bagi manu-
hatlah Tuhan secara jelas! Tapi, sia itu sendiri. Namun bukan berarti warna-
bagaimana melihat-Nya. Karena warna ini kemudian dibiarkan menguasai
Tuhan itu tidak memiliki rupa. manusia. Sunan Kalijaga mengisahkan
Tuhan tidak berarah dan tidak bahwa sebenarnya warna-warna ini juga
berwarna. Tidak ada wujudNya. memiliki kelemahan pada diri manusia. Jika
Tidak terikat oleh waktu dan terjebak ke dalam warna ini, maka manusia
tempat. Sebenarnya Ada-Nya itu tak akan mampu menemukan cahaya yang
tiada. Seandainya Dia tidak ada, sesungguhnya dicari dalam kehidupannya.
maka alam raya ini kosong dan Fase ini harus dilalui dalam rangka
tak ada wujudnya.” untuk menundukkan hawa nafsu yang
meli­puti manusia. “Hawa nafsu” ini men-
Fase ini dilakukan untuk menyusuri jadi bagian yang harus ditundukkan dalam
“tangga” menuju realitas tertinggi. Dengan konteks akuntabilitas. Kami menggunakan-
demikian seorang ketika melalui perja­lanan nya se­bagai jembatan analogi yang mungkin
ini akan memunculkan kehadiran-Nya sa­
ngat perlu ketika mendudukkan akun­
dalam rasa, sebagai basis ontologis. Setelah tabilitas ini dalam filosofi jalan kehidupan
itu kemudian tak hanya sampai disitu, sese­ ini. Kusdewanti et al (2016:69) menjabarkan
orang juga akan menuruni tangga untuk kematian jiwa akuntansi sebagai berikut:
“kembali turun” dengan membawa bentuk
kesadaran sacral genesis dalam pembentuk­ “Fase kedua adalah fase “kema-
an akuntabilitas ini. tian”, di mana unsur-unsur dari
Sacral genesis berarti bahwa dalam ta- jiwa akuntansi (AT) dimataikan
hap perjalanan turun telah membawa kesa­ atau mengalami kematian. Fase
daran ketuhanan yang menjalar keseluruh ini adalah fase ketiadaan, fase
bangunan tubuhnya. Ibarat sebuah darah dalam sebuah keadaan hampa
yang mengalir ke seluruh tubuh membawa dan kosong, secara raga ia ma-
serta oksigen dalam setiap gerakan kehidup­ sih ada, namun secara batin ia
annya. Fana dalam artian ini merupakan telah menembus batasan-batasan
keadaan yang tidak tanpa kesadaran. Ke­ jasmaninya”
sadarannya serta raganya ada, namun pada Kusdewanti et al. (2016) menjelaskan
saat itu pula seakan-akan seluruh ruang ada tiga langkah yang dilakukan dalam
dan waktu menjadi luruh tak berbatas. fase ini, yakni peluruhan nafsu akuntansi,
Semuanya akan menjadi sebuah ruang uni- menegasikan raga, kemudian yang terakhir
versal tanpa sekat, sehingga betul pula yang adalah menggenggam tiga jagad. Peluruhan
dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwasanya, nafsu, atau menundukkan nafsu pada unsur
seorang dalam keadaan ini mampu meng- yang lebih tinggi. Penundukan ini dilakukan
hadirkan sebuah rasa. dengan cara menundukkan sisi materia­
Pada alam fana, “tubuh” akuntabilitas lisme, mengganti oritentasi serta tujuan dari
masih dapat dimetaforakan sebagai sebuah akuntabilitas sendiri. Akuntabilitas seperti
“daging”. Tanpa aliran darah dari sacral pada pembahasan sebelumnya berakar dari
ge­nesis ini, maka ia hanya merupakan hubungan keagenan yang memiliki dasar
“seonggok” daging tak bernyawa yang tidak materialitas dan rasionalitas yang berlebih­
mampu untuk memahami apa itu realitas. an (lihat Shearer 2002).
Ada sifat-sifat yang melekat di dalam daging, Terkait dengan tahap ini, sebelumnya
ada nafsu yang mampu menguasai. Nafsu juga dibahas berbagai orientasi-orientasi
dalam tubuh manusia ini dalam Suluk Lin- yang dibawa oleh akuntabilitas. Meskipun
glung Sunan Kalijaga digambarkan dengan secara sederhana akuntablitas merupakan
cahaya yang berwarna-warni, yakni merah, mekanisme pertanggungjawaban yang di­

1 Suluk merupakan ajaran spiritual menganai seorang jalanan spiritual dari Syekh Malaya. “Inilah kisah
salik, yakni pejalan spiritual. Khaelany (2014:129) seorang alim ulama yang cerdik pandai, yang su-
menyebutkan bahwa suluk merupakan sebuah per- dah dapat merasakan mati, mati dalam hidup...”
jalanan untuk membawa seseorang mendekat den- (Khaelany 2014:131)
gan Tuhannya. Suluk Linglung mengisahkan per-
233 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

laporkan dari pihak bawah kepada pihak buah ibadah (worshipness) pada Yang Maha
atas yang memiliki suatu kekuasaan. Kami Kuasa. Hal ini juga berlaku bagi amanah
menyebutkan kekuasaan, karena sebenar­ yang di emban olehnya. Maka dari itu de­
nya dua pihak yang terpisah memiliki suatu ngan kekuatan yang telah diberikan, refleksi
bentuk asimetri of power yang sebenarnya ontologis dari akuntabilitas harus diubah
menjadi suatu jurang yang amat lebar dian- jalannya. Ia tak lagi sebagai bentuk pengen-
tara kedua belah pihak ini, kita sebut saja dalian yang membawa pada kekayaan dan
antara pihak principal-agent. Hal ini dikare- orientasi materi, namun kembali sbagai iba-
nakan akar dari akuntabilitas adalah hubun- dah. Secara ontologis akuntabilitas muncul
gan keagenan, sehingga hal ini tak mampu karena refleksi ilahiah. Dengan demikian ia
untuk dipisahkan. Maka orientasi-orientasi sama sekali tidak melepaskan diri dari nilai
yang bersifat “kedirian” atau self harus di- yang tunggal, karena merupakan pancaran
tundukkan dan diganti menjadi soul. dari realitas tersebut.
Al Attas (2001) menyebutkan dalam Tahapan kedua fase ini adalah penega-
pembahasan The Nature of Man and The sian raga dari akuntansi, dalam konteks ini
Psychology of Human Soul bahwa manusia adalah akuntabilitas. Mari kita lihat kem-
terdiri dari baik itu tubuh dan jiwa sehingga bali “raga” dari akuntabilitas. Akuntabilitas
mengakibatkan sifat-sifat malaikat, seka­ muncul karena suatu kebutuhan dalam
ligus binatang. Namun demikian apa yang kontek organisasional ataupun entitas.
menjadikannya seorang khalifah serta seka- Namun kemunculannya juga disebabkan
ligus pemegang amanah adalah seseorang karena adanya bentuk interaksi keagenan
yang mampu melihat serta membedakan re- dalam satu bentuk organisasi. Kami menelu-
alitas dan non-realitas. Bahkan Allah telah suri bahwa induk dari persoalan ini adalah
mengajarkannya nama-nama (Q.S. Al Baqa- kesepakatan atas satu bentuk organisasi
rah ayat 31). atau entitas dalam akuntansi. Pemikiran ini
tentunya tidak dapat dilepaskan dari akar
“Moreover, God has equipped him
firm dan definisinya. Firm dipopulerkan oleh
with intellegence to know and dis-
Coase (1937) kemudian dijadikan landasan
tinguish reality and non-reality,
dalam pembentukan teori keagenan (lihat
truth from falsehood, and rectitude
Jensen dan Meckling 1976). Firm didefinisi-
from error; and even tough his in-
kan sebagai sebuah nexus of contract, arti-
tellegence-or rather his imaginative
nya perusahaan atau organisasi atau enti-
and estimative faculties-might con-
tas merupakan sekumpulan orang-orang
fuse him, and provided he is sin-
yang diikat dengan kontrak dalam tugasnya.
cere and true to his noble nature,
Namun persoalan adalah pada kontrak itu
God, out of His bounty, mercy, and
sendiri. Hunt III dan Hogler (1990) menye-
grace, will aid and guide him to at-
butkan bahwa yang muncul adalah suatu
tain to truth and right conduct.” (Al
mekanisme bersifat ekuilibrium, serta di-
Attas 2001:145).
anggap merefleksikan suatu interaksi sosial
Perlu ditegaskan kembali bahwa akun- yang kompleks (Fama 1980). Hal ini berim-
tansi bukanlah fenomena yang bersifat berdiri plikasi bahwa ada keterlepasan hubungan
sendiri, namun merupakan suatu bentukan- dengan dunia sosial, politik, serta ekonomi
bentukan baik ideologis maupun reflektif yang ada, bahkan malah menjadi salah keti-
(dengan tidak mengelompokkan diri dalam ka entitas dikaitkan dengan tanggung jawab
berbagai paradigma) (lihat Chua 1986). Kami lingkungan dan masyarakat ketika menggu-
sangat sepakat dengan pandang­an tersebut, nakan logika kontrak ini (lihat Kusdewanti
bahkan akuntansi Islam sekalipun harus et al. 2016).
menyadari bahwa adaptasi-adaptasi teoritis Dengan demikian jika tahapan yang
dari akuntansi konvensional haruslah dicer- dilakukan Kusdewanti et al. (2016) adalah
mati. Kelahirannya tak bisa dilepaskan dari menegasikan raga dalam konteks mengham-
bentuk lingkungan yang meliputi akuntansi pakan diri, kami melakukan langkah lebih
sebagai rahim (lihat Triyuwono 2012; Bay- jauh dalam rangka menegasikan raga, yakni
doun dan Willet 1997). menghampakan diri untuk kemudian meng-
Kita kembali pada penjelasan Al Attas hambakan diri dengan mengganti raga yang
(2001). Manusia sebenarnya tidak terlepas baru. Pergantian raga ini akan memiliki kon-
sama sekali dari dimensi keilahian. Seluruh sekuensi logis atas bentuk serta pola dari
kegiatan yang dilakukan merupakan se- interaksi yang tidak hanya dengan sesama
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 234

manusia, namun juga bagaimana memo- Allah sebagai pusat serta tujuan puncak.
sisikan akuntabilitas dalam kerangka yang Dalam bingkai amanah, setiap pihak dalam
le­
bih luas lagi yakni dalam tatanan keter- organisasi memanifestasikan kehadiran Tu-
aturan semesta (kosmos). han sebagai puncak dari kegiatannya. De­
Penggantian dalam konteks orga­ ngan demikian realitas yang muncul bukan
nisasional ini akan didefinisikan kembali. saja realitas ekonomi, sosial, politik, budaya
Pembahasan di atas sudah memaparkan yang terpisah-pisah, namun keempatnya
bagaimana akuntabilitas menundukkan merupakan sub-ordinat dari kesatuan ordi-
nafsu untuk berada pada sisi “kehidupan” nat Tauhid yang tunggal.
yang benar-benar hidup, tidak berhenti di Realitas ontologis amanah. Amanah
situ saja, namun bagaimana hal ini menjadi merupakan divine manifestation, atau mani-
hidup dan memberikan “kehidup­an” untuk festasi ilahi. Amanah merupakan sebuah
yang lain. Kembali berbicara raga, sebuah realitas yang terkonstruksi secara ilahi,
entitas bisnis bukan lagi menjadi tempat sedangkan manusia di bumi mewujudkan
yang transaksional, namun memiliki nuansa manifestasi tersebut kepada seluruh alam
ibadah pada Allah SWT. Dalam konteks yang dengan amalannya. Amanah merupakan
demikian, Triyuwono (2012) menyebutkan suatu bentuk kewajiban atau keharusan
bahwa realitas yang ada bukan lagi realitas yang dilakukan oleh manusia di bumi ini.
ekonomi. Namun realitas yang ada dalam or- Bahkan Nasr menyebutkan bahwa puncak
ganisasi sejatinya adalah realitas zakat. dari kemanusiaan dari manusia itu sendiri
Sebagai konsekuensi atas penunduk­an adalah amanah. Tanpa amanah, manusia
dimensi material yang dimetaforakan dengan berada pada titik yang sangat rendah. Allah
“hawa nafsu” dari akuntabilitas organisasi dalam Q.S. Annisa ayat 58 memerintahkan
maupun entitas bisnis, kami memberikan manusia untuk menjalankan amanahnya.
satu bentuk baru mengenai apa itu organ-
“…sesungguhnya Allah memerin-
isasi ataupun entitas bisnis. Dengan mem-
tahkan kalian untuk menunaikan
berikan entitas bisnis atau organisasi kon-
amanah-amanah kepada pemi-
teks sacral genesis, maka organisasi atau
liknya; dan apabila kalian mene-
entitas bisnis memiliki “gen” ilahiah di mana
tapkan hukum di antara manusia
hal tersebut diwujudkan oleh insan yang
hendaklah kalian menetapkan
berinteraksi di dalam organisasi atau entitas
hukum dengan adil…” (Q.S An-
bisnis tersebut. Maka firm dalam hal ini ti-
Nissa; 58).
dak lagi didefinisikan sebagai sebuah nexus
of contract, namun kami memberikan mak- Ayat di atas menunjukkan tentang
na sebagai sebuah wadah dari manifestasi amanah. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebut-
ilahiah (mengambil sebagian ide dari Kusde- kan bahwa amanah meliputi seluruh ama-
wanti et al. 2016), yang di dalamnya memuat nah yang wajib yang merupakan hak Allah
unsur ibadah (worshipness), penghambaan, terhadap para hamba-Nya.3 Shihab (1998)
serta kehidupan yang menghi­dupi. Dengan juga menyebutkan amanah juga meliputi
demikian akuntabilitas de­ ngan raga baru perlakuan adil. Adil yang dimaksud tidak
ini menjadi benar ketika pada konsekuen- hanya adil terhadap sesama manusia, na-
sinya memiliki pemosisian yang jelas dalam mun juga seluruh makhluk yang ada di alam
semesta. ini. Shihab (1998:208) menjelaskan amanah
Menggenggam tiga jagad, adalah pemo- sebagai:
sisian akuntabilitas yang tak lagi di luar ja-
“...sesuatu yang diserahkan kepa-
ringan semesta. Penjabaran ini berasal dari
da pihak lain disertai dengan rasa
keharmonisan kosmik akuntansi dengan
aman dari pemberinya karena
tiga alam2, yakni bawah, tengan, dan atas
kepercayaannya bahwa apa yang
(Kusdewanti et al. 2016). Artinya ia kembali
diamanatkan itu, akan dipelihara
terhubung dengan Allah sebagai realitas ter-
dengan baik, serta keberadaan-
tinggi, alam, serta umat. Pada tataran ini
nya aman di tangan yang diberi
ketiganya terhubung menjadi satu unsur
amanat itu...”
dalam akuntabilitas dengan menempatkan

2 Ketiga alam yang dimaksud (bawah, atas, dan ten-


gah) merupakan alam raga, alam batin, dan alam
tertinggi.
235 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

Allah memberikan amanah kepada ngan ini, kedua realitas ini (baik mikrokos-
manusia yang langit, bumi, dan gunung mos yakni manusia dan makrokosmos, ja­
pun tak sanggup untuk menerima amanah gad raya) merupakan manifestasi dari Sang
tersebut4. Amanah tidak sekedar sebuah Tunggal. Setiap alam mengandung suatu
penerimaan sebuah tangggung jawab. Na- manifestasi ilahi, jiwa manusia menjadi
mun seperti yang telah Shihab ungkapkan kunci untuk mengungkap dan mewujudkan
di atas, amanah pastilah memuat nilai-nilai manifestasi ilahi ini (Lihat Chittick 1993).
dari kepercayaan yang amat mendalam dari Baik manusia dalam konteks teologi
pemberinya, dalam hal ini Sang Pemberi maupun kosmologi, terdapat manusia yang
tersebut tentulah Allah SWT sendiri. Mari satu. Dalam jaring-jaring hubungan terse-
melihat lebih dalam dari perspektif sang but, amanah sebagai tali pengikat untuk
penerima, yakni manusia. Dalam hal ini, merajut manifestasi dari realitas amanah
penerima amanah tidak sekedar menerima, yang ditasbihkan pada manusia. Realitas
namun percaya dalam konteks manusia ini tersebut bukanlah terkonstruksi dari bawah,
adalah kepercayaan mendalam melalui iman namun disebut “realitas” karena manifestasi
yang dimilikinya pada Allah. Allah telah dari Allah SWT. Seperti yang telah Al Attas
menciptakan manusia dengan berbagai ke- (2001) sebutkan di atas ada pula “non-real-
mampuan untuk melihat realitas dan “bu- itas” yang diharapkan manusia mampu me-
kan” realitas, benar dan salah, semua unsur lihat “non-realitas” tersebut. “Non-Realitas”
yang ada pada diri manusia diberikan untuk (Kamayanti 2016) disebut sebagai realitas
melaksanakan tugasnya menjadi pemeliha- yang terpisah dari Realitas (“R” besar) yang
ra alam sebagai wakil dari Allah SWT serta Satu sendiri, yakni Allah SWT. Jadi apalah
pengemban amanah yang amat besar ini (Li- arti dari realitas semu kalaulah tak mencer-
hat Al Attas 2001). Ini adalah konteks ama- minkan, bahkan terpisah dari Realitas itu
nah sebagai manusia atau insan. sendiri, Allah SWT adalah Realitas itu sen­
Penegakan hak-hak Allah SWT dalam diri. Kembali menuju Realitas berarti kem-
amanah ini merupakan sebuah perwujud­ bali pada kekosongan yang dianggap realitas
an dari penegasan dan penegakan akan itu sendiri (Kamayanti 2016).
ketauhidan oleh manusia. Hal ini memiliki Kusdewanti et al. 2016 menyatakan
satu konsekuensi logis pada posisi manu- bahwa ke”ada”an (akuntansi) saat ini adalah
sia nantinya yang akan menjadi basis dari keadaan yang kosong, hampa, untuk menu-
akuntabilitas sendiri sebagai jalan kembali ju kehidupan, maka yang diperlukan adalah
pada fitrah. Fitrah manusia sebagai hamba kematian dalam kehidupan untuk mampu
yang hanya menerima titipan dari Allah SWT menghadirkan realitas itu sendiri. Dengan
semata, bukan pemilik. Pergeseran ini ten- demikian dapat dikatakan bahwa basis kon-
tunya akan membawa pada suatu bentuk struksi dari akuntabilitas profetik adalah
dari akuntabilias baru yang hendak kami berasal dari rajutan keilmuan pandangan
bangun dalam konsep yang satu dan utuh, Tauhid sebagai landasan ontologis amanah
tidak terpecah-pecah. yang tentunya memiliki konsekuensi logis
Sebagai mikrokosmos, manusia juga terhadap nilai-nilai serta basis implikasi
harus mewujudkan realitas amanah ini ke- yang dihasilkan.
pada seluruh alam. Di dalam diri mikrokos- Akuntabilitas profetik. Akuntabili-
mos manusia, sesungguhnya juga terdapat tas yang kami bangun adalah akuntabilitas
makrokosmos yang merupakan gambaran profetik. Profetik bermakna kenabian, hal
alam besar. Jadi di satu sisi manusia adalah ini berkaitan dengan visi misi yang bersifat
mikrokosmos, namun di sisi lain manusia transendental sesuai dengan Allah pada Ra-
juga seorang makrokosmos. Dalam hubu­ sulullah SAW, yakni mewujudkan rahmatan

3 Hal itu mencakup seluruh amanah yang wajib bagi ditunaikan. Barangsiapa yang tidak melakukannya
manusia, berupa hak-hak Allah SWT terhadap para di dunia ini, maka akan dimintai pertanggungjawa-
hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, bannya di hari kiamat (Al Sheikh 2003:336).
nadzar dan selain dari itu,yang kesemuanya adalah 4 Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
amanah yang diberikan tanpa pengawasan hamba- kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
Nya yang lain. Serta amanah yang berupa hak-hak semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
sebagian hamba dengan hamba lainnya, seperti mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipi-
titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah kullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
amanah yang dilakukan tanpa pengawasan saksi. manusia itu amat zalim dan amat bodoh (Q.S. Al
Itulah yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk Ahzab, ayat 72).
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 236

lil alamin, mewujudkan kesejahteraan selu- tas dan kemudian memaafkan begitu saja.
ruh semesta, tidak hanya umat manusia, Namun, hal yang terpenting adalah tugas
namun juga makhluk lain selain manusia. transformasi menuju ketuhanan. Akunt-
Dengan demikian, suatu tatanan harmonis abilitas profetik merupakan suatu gerakan
yang berorientasi ilahiah dapat terwujud. transformasi sosial menuju ketuhanan. Pa-
Seperti yang telah disebutkan di atas da Tabel 1, kami menjabarkan secara ring-
untuk mewujudkan hal tersebut diperlu- kas perbedaan antara akuntabilitas profetik
kan pembangunan kembali berbasis sacral dengan modern.
genesis yang memiliki pancaran sinar nilai- Kami menghadap-hadapkan akunt-
nilai dari esensi utama. Karena hal terse- abilitas profetik dengan modern untuk mem-
but, akuntabilitas profetik ini mengemban berikan suatu kejelasan perbedaan antara
misi kemanusiaan berbeda, bukan untuk keduanya. Memang pembangungan akunt-
bertanggungjawab berdasar realitas eko- abilitas profetik tidak terlepas dari filosofi
nomi, namun “kemanusiaan” yakni menjadi perjalanan spiritual kehidupan yang me-
pengemban amanah atas tanggung jawab mang di ambil dari Kusdewanti et al. (2016).
besar yang diberikan oleh Allah. Pusat per- Pada pembahasan sub bab sebelumnya,
tanggungjawaban terletak pada Allah SWT. kami telah menjelaskan bagaimana genesis
Hal tersebut terwujud dalam pemeliharaan dari keduanya sangat berbeda. Pada fase
atas alam. Dengan demikian realitas yang fana, akuntabilitas modern masih sangat
tercermin dalam akuntansi memiliki kon- menekankan sisi materialitas serta pencip-
sekuensi lanjutan yakni pemosisian akun- taan accountability world order. Artinya ada
tansi jalan keharmonisan smesta dan men- hubungan-hubungan dominasi kuasa yang
jalin suatu keeratan kepada Allah, manusia, melandasi dalam akuntabilitas modern. Hal
dan alam. Maka kami memberikan definisi ini sebenarnya mematahkan anggapan bah-
terhadap akuntabilitas profetik sebagai: wa akuntabilitas pun sebagai “produk” kon-
tekstualisasi teori keagenan yang terbebas
“Suatu amanah sekaligus per-
dari segala nilai serta hubungan yang ada di
tanggungjawaban kepada Allah
dalamnya.
SWT sebagai bagian ibadah demi
Penjelasan di atas memang teramat
pengambilan keputusan akuntan-
sangat jelas bahwa akhirnya orientasi yang
si berkeadilan yang melibatkan
dibawa adalah diri dan materi. Berbeda de­
manusia dan semesta demi terwu-
ngan akuntabilitas modern, orientasi yang
judnya rahmatan nil alamin.”
dibawa adalah rahmatan lil alamin. Hal ini
Akuntabilitas profetik diharapkan berarti apa yang dilakukan adalah berori-
nantinya mampu memberikan sebuah trans- entasi untuk umat. Terkait dengan realitas
formasi akuntansi secara menyeluruh kare- pula, akuntabilitas profetik pada akhirnya
na berangkat dari suatu pandangan yang menjadi tidak relevan ketika hanya menggu-
utuh. Keutuhan ini akan menjadi langkah nakan realitas ekonomi semata. Melihat pola
awal untuk kembali pada yang satu. Akun­ hubungan yang ada serta definisi entitas
tabilitas profetik merupakan wujud dari yang telah diungkapkan pada pembahasan
penegakan amanah yang terbangun dari sebelumnya, realitas yang muncul adalah
realitas tunggal dan dilahirkan sepenuhnya realitas holistik. Dengan dimensi ontologis
dari pandangan Tauhid. “kehadiran” yang melandasi akuntabilitas
Akuntabilitas awalnya terlahir akibat profetik, bentuk dan pola hubungan dari
hubungan antara manajemen (agent) dan akuntabilitas profetik menjadi tidak ter-
pemilik (principal), dan (dianggap) dapat pisah-pisah. Hal ini berbeda dengan akun­
meningkatkan penyediaan informasi yang tabilitas modern yang mendasarkan realitas-
handal, akurat, dan terpercaya (Kholmi, nya hanya kepada ekonomi semata. Realitas
2010 dan Salle 2015). Namun, hak tersebut kehadiran, menghadirkan dan mewujudkan
belumlah merepresentasikan realitas yang nama-nama-Nya dalam lingkup entitas atau
utuh sehingga pada tataran ini keutamaan organisasi.
akuntabilitas profetik lebih mampu menang- Ada tiga pilar utama dalam akuntansi
kap realitas karena orientasi yang dibawa profetik yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahi
berdasarkan ibadah untuk semsesta dan munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (tran-
umat. Merujuk Kuntowijoyo (2007), ilmu sendensi). Tiga pilar ini muncul dari proses
sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha penapakan fase kematian dengan peluruhan
untuk menjelaskan atau memahami reali- nafsu yang disinggung di atas. Ketiganya
237 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

Tabel 1. Akuntabilitas Profetik vis a vis Akuntabilitas Modern

Akuntabilitas Profetik Akuntabilitas Modern


Amanah (soul) • Sacral genesis Self interest • Materialist genesys
• Berorientasi rahmatan • Berorientasi diri dan
lil alamin materi
• Realitas Ilahiah • Realitas ekonomi
(holistik) • Equality ekonomi
• Amar ma’ruf Nahi neoklasik
Munkar

merupakan pilar antitesis dari rasionalitas Tiga pilar ini mengarahkan akuntabili-
ekonomi akuntabilitas modern. Humanisasi tas menuju jalan ketuhanan. Gagasan ini di-
terwujud dari amanah yang menjadi salah ilhami dari peristiwa mi’raj Nabi Muhammad
satu fondasi pembangunan akuntabilitas SAW. Andaikata Nabi seorang mistikus atau
profetik. Kemanusiaan ini berarti kembali sufi, tentulah beliau tidak ingin kembali ke
kepada tugasnya sebagai seorang manu- bumi, karena telah bertemu Tuhan dan telah
sia di muka bumi ini yakni memakmurkan tentram di sisi-Nya. Kepulangan Nabi ke
semesta, baik itu manusia maupun makh- bumi bertujuan menggerakkan perubahan
luk lain sehingga tidak ada lagi eksploitasi sosial yaitu ketuhanan (Kuntowijoyo, 2007).
atas nama akuntabilitas sebagai klaim ter- Jika posisi itu diletakkan disini, pasti akan
wujudnya gambaran realitas ekonomi yang lebih baik…
sempurna. Nahhi munkar dimaknai sebagai Andaikata ditambah sedikit saja, pasti akan
liberasi, membebaskan pada orientasi- lebih indah…
orientasi materi yang nantinya dapat men- Andaikata ini didahulukan, pasti akan lebih
jauhkan gerak peradaban dari pusat esensi utama…
sebagaimana yang telah dibahas pada ba- Jika ini dimasukkan, pasti akan lebih
gian sebelumnya (lihat Gambar 1). Tujuan memesona…
dari amar ma’ruf (humanisasi) adalah me- Itu semua adalah pelajaran paling bermakna
manusiakan akuntabilitas, telah mengalami dan menjadi bukti bahwa semua itu serba
proses dehumanisasi tanpa wajah kema- kekurangan dan mempunyai keterbatasan…
nusiaan. Akuntabilitas hanya menjadi se- (Hidayat 2010)
buah manifestasi perusahaan, mesin-mesin
politik, serta alat pertanggungjawaban yang SIMPULAN
tidak memiliki pondasi keTuhanan. Tujuan Artikel ini merupakan satu langkah
nahi munkar (liberasi) adalah pembebasan awal untuk membangun akuntabilitas pro-
akuntabilitas dari kekejaman perusahaan, fetik. Tulisan ini merupakan jalan awal dan
struktural, dan pemerasan kelimpahan. hanya berada di tataran ide filosofis-teoritis.
Selama ini kita hanya terperangkap dalam Landasan dasar ini merupakan fondasi awal
ruang keangkuhan kapitalis dan kesada- yang akan digunakan untuk pengembangan
ran teknokratis. Pada akhirnya semua akan lebih jauh. Kami menganggap bahwa akunt-
menuju Tuhan. Inilah yang kami sebut se- abilitas modern tidak bisa dimasukkan ke
bagai transendensi, seperti pada definisi dalam akuntansi Islam karena berasal dari
akuntabilitas profetik sen­ diri bahwa pusat landasan yang sangat berbeda.
tanggung jawab serta amanah adalah Allah Berangkat dari ide bahwa agama mam-
SWT. Tujuan tu’minuna billah (transendensi) pu mendasari nilai serta bentuk akuntansi,
adalah penambahan dimensi transendental maka kami melakukan konstruksi akun­
tabilitas profetik yang lebih mengedepankan
dalam kebudayaan. Akuntabilitas sudah
nilai-nilai keislaman. Karena bagaimanapun
sangat terbelenggu arus materialisme se-
juga lingkungan sebagai rahim dari kelahir­
hingga harus dilakukan pembersihan yang
an ilmu turut melekan memengaruhi ilmu
menyadari fitrahnya, kembali ke jalan keTu-
itu juga. Begitu pula akuntabilitas, pada
hanan yang penuh rahmat. Akhir kata, se-
tataran nilai ia tidak lepas dari rahim terse-
gala kesempurnaan hanya milik Allah SWT
but. Maka, kami melihat perlu adanya satu
semata. Manusia hanya berusaha menuju konsep yang sesuai dengan akuntansi Islam
kepada-Nya dan berjalan di jalan-Nya. sendiri.
Kusdewanti, Hatimah, Membangun Akuntabilitas Profetik 238

Akuntabilitas profetik terbentuk dari masih bisa diperluas dengan menggunakan


tiga fase perjalanan spiritual kehidupan, rujukan mengenai kosmologi metafisika
yakni fana, mati, dan hidup. Pertama-tama yang mampu menjelaskan secara mendalam
fana merupakan keadaan saat ini dari antara hubungan manusia dengan alam se-
akuntabilitas modern yang dipenuhi oleh bagai manifestasi nama-nama agungNya.
hawa nafsu sehingga menutupi mata batin-
nya akan realitas yang lebih tinggi. Kedua, DAFTAR RUJUKAN
kematian. Kematian berarti menundukkan Al Attas, S.M.N. 2001. Prolegomena to The
dimensi nafsu, tidak lagi menjadi penuntun Metaphysics of Islam. International Ins­
jalan dalam hidupnya, namun harus ditun- titute of Islamic Tought and Civilization.
dukkan. Proses kematian sendiri terdiri dari Kuala Lumpur.
menghampakan lalu menghambakan diri Andrew, J. 2007. “Prisons, the Profit Motive
dengan penuh kesadaran untuk menyusuri and Other Challenges to Accountabi­
suatu sacral genesis yang akhirnya akan lity.” Critical Perspectives on Accounting,
dibawa turun. Turun dalam hal ini adalah Vol. 18, hlm 877–904.
dalam bangunan utuh akuntabilitas profe- Baydoun, N. and R. Willet. 1993. “Islamic
tik. Selanjutnya penegasian raga, hal ini di- Accounting Theory.” The AAANZ Annual
lakukan karena “raga” akuntabilitas adalah Conference, hlm 1–19.
wadah kontraktual yang terlepas dari segala Bertens, H. 2005. The Idea of Postmodern, A
hubungan yang ada di sekitarnya. Hal ini History. Taylor dan Francis. London.
tidak terlepas dari agency theory sebagai Budiasih, I.G.A.N. 2014. “Fenomena
akar dari akuntabilitas profetik. Selanjut- Akuntabilitas Perpajakan Pada Jaman
nya adalah kehidupan dalam pemosisiannya Bali Kuno: Suatu Studi Interpretif.”
pada alam semesta, hal inilah yang menjadi Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol.
landasan sebagai rahmatan lil alamin serta 5, No. 3, hlm 409–20.
ibadah lah yang akan dibawa oleh akun­ Burchell, S, C. Clubb, A. Hopwood, J.
tabilitas profetik. Hughes, dan J. Nahapiet. 1980. “The
Pada akhirnya kelahiran akuntabili- Roles of Acounting In Organizations
tas profetik menghasilkan tiga pilar penting and Society.” Accounting,Organization
yakni amar ma’ruf (humanisasi), nahi mung- and Society, Vol. 5, No. 1, hlm 5–21.
kar (liberasi), serta tuma’ninah billah. Keti- Chetty, K.R. 2011. “From Responsibility to
accountability—Social Accounting,
ganya merupakan pilar penting akuntabi-
Human Rights and Scotland.”
lias sebagai penggerak peradaban menuju
Critical Perspectives on Accounting,
e­sensi. Jika selama ini akuntabilitas modern
Vol. 22, No. 8, hlm 759–61. (http://
hanya berorientasi pada materi, memiliki
linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/
materialist genesis, self interest, maka de­
S1045235411001080).
ngan kehadiran tiga pilar penting ini tentu-
Chua, W.F. 1986. “Radical Development in
nya ia membawa realitas yang lebih holistik Accounting Thought.” The Accounting
dan lengkap, yakni realitas ilahiah dengan Review, Vol. 61, No. 4, hlm 601–32.
mewujudkan suatu tatanan rahmatan lil ala- Djamhuri. A. 2011. "Ilmu Pengetahuan
min sesuai dengan amanah yang diemban­ Sosial dan Berbagai Paradigma dalam
kan kepadanya (re-humanisasi) sebelumnya Kajian Akuntansi" jurnal Akuntansi
teruduksi dan terfragentasi dalam kekangan Multiparadigma. Vol. 2, No. 1. hlm 147-
pandangan dunia materialist philosophy. 135.
Inilah yang kami sebut juga sebagai suatu Everett, J and C. Friesen. 2010. “Humanitarian
pembebasan dengan pembangunan kembali Accountability and Performance in
akuntabilitas menjadi akuntabilitas profetik the Théâtre de l’Absurde.” Critical
dengan aliran sacral genesis yang bersum- Perspectives on Accounting, Vol. 21,
ber secara langsung dari esensi. Konsekue- No. 6, hlm 468–85. Retrieved May 13,
nsinya tentu saja posisi akuntansi sudah ti- 2014 (http://linkinghub.elsevier.com/
dak lagi berada pada tataran dunia mekanis, retrieve/pii/S1045235410000493).
namun pada harmonisasi alam. Gallhofer, S dan J. Haslam. 2004. “Accounting
Artikel ini masih jauh dari kata sem- and Liberation Theology.” Accounting,
purna karena keterbatasan sumber-sumber Auditing dan Accountability Journal,
kajian yang substansial dalam melakukan Vol. 17, No. 3, hlm 382–407. Retrieved
pembangunan terhadap konsep ini. Per- (http://www.emeraldinsight.com/doi/
soalan mengenai harmonisasi semesta pun abs/10.1108/09513570410545795).
239 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 223-239

Gallhofer, S., J. Haslam, dan S. van der Walt. Patty, A. C. and G. Irianto. 2013a.
2011. “Accountability and Transparency “Akuntabilitas Perpuluhan Gereja.”
in Relation to Human Rights: A Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol.
Critical Perspective Reflecting upon 4, No. 2, hlm 177–187.
Accounting, Corporate Responsibility Patty, Agustina Christina and Gugus
and Ways Forward in the Context of Irianto. 2013b. “Akuntabilitas
Globalisation.” Critical Perspectives on Perpuluhan Gereja.” Jurnal Akuntansi
Accounting, Vol. 22, No. 8, hlm. 765– Multiparadigma, Vol. 4, No. 2, hlm 177–
80 Retrieved May 14, 2014 (http:// 87.
linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/ Randa, F., I. Triyuwono, U. Ludigdo, and
S1045235411001031). E.G. Sukoharsono. 2011. “Studi
Hoskin, K.W. dan R.H. Macve. 1988. “The Etnografi: Akuntabilitas Spiritual
Genesis Of Accountability : The West Pada Organisasi Gereja Katolik Yang
Point Connections.” Accounting, Terinkulturasi Budaya Lokal.” Jurnal
Organizations and Society Vol. 13, No. Akuntansi Multiparadigma, Vol. 2, No.
1, hlm 37–73. 1, hlm 35–51.
Kamla, R. 2009. “Critical Insights into Rowlinson, M., S. Toms, dan J. Wilson.
Contemporary Islamic Accounting.” 2006. “Legitimacy and the Capitalist
Critical Perspectives on Accounting, Vol. Corporation: Cross-Cutting Perspectives
20, No. 8, hlm 921–32. on Ownership and Control.” Critical
Khaelany, M.J. 2014. Sunan Kalijaga Guru Perspectives on Accounting, Vol. 17, hlm
Orang Jawa. Araska. Yogyakarta. 681–702.
Kusdewanti, A. I., I. Triyuwono dan A. Salle, I. Z. 2015. “Akuntabilitas Manuntungi:
Djamhuri. 2005 Teori Ketundukan Memaknai Nilai Kalambusang Pada
Gugatan terhadap Agency Theory. Lembaga Amil Zakat Kawasan
Penerbit Yayasan Rumah Peneleh, Adat Ammatoa.” Jurnal Akuntansi
Jakarta. Multiparadigma, Vol. 6, No. 1, hlm 28–
Lehman, C.R. 2006. “The Bottom Line.” 37. Retrieved (http://www.jamal.ub.ac.
Critical Perspectives on Accounting, Vol. id/index.php/jamal/article/view/353).
17, hlm 305–22. Shearer, T. 2002. “Ethics and Accountability :
Lehman, G. 2005. “A Critical Perspective on From the for-Itself to the for-the-Other.”
the Harmonisation of Accounting in a Accounting, Organizations and Society,
Globalising World.” Critical Perspectives Vol. 27, hlm 541–573.
on Accounting, Vol. 16, No. 7, hlm 975– Toms, S. 2006. “Accounting for
92. Entrepreneurship: A Knowledge-Based
Molisa, P. 2010. “Accountability and View of the Firm.” Critical Perspectives
Solidarity : Will You Stand with Me ?” on Accounting, Vol. 17, hlm 336–567.
Critical Perspectives on Accounting, Vol. Widati, S, I. Triyuwono, and E. G.
21 hlm 524. Sukoharsono. 2011. “Wujud, Makna
Paranoan, S. 2015. “Akuntabilitas Dalam Dan Akuntabilitas ‘Amal Usaha’
Upacara Adat Pemakaman.” Jurnal Sebagai Aset Ekonomi Organisasi
Akuntansi Multiparadigma, Vol. 6, No. Religius Feminis.” Jurnal Akuntansi
2, hlm 214–223. Multiparadigma, Vol. 2, No. 3, hlm 369–
380.

Anda mungkin juga menyukai