Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Jantung

Jantung adalah organ yang memompa darah melalui pembuluh darah

menuju ke seluruh jaringan tubuh. Sistem kardiovaskular terdiri dari darah,

jantung, dan pembuluh darah. Darah yang mencapai sel-sel tubuh dan

melakukan pertukaran zat dengan sel-sel tersebut harus di pompa secara

terus-menerus oleh jantung melalui pembuluh darah. Sisi kanan dari

jantung, memompa darah melewati paru-paru, memungkinkan darah untuk

melakukan pertukaran antara oksigen dan karbondioksida (Tortora, 2012).

Ukuran jantung relatif kecil, pada umumnya memiliki ukuran yang

sama, tetapi memiliki bentuk yang berbeda seperti kepalan tangan setiap

orang. Dengan panjang 12cm, lebar 9cm, tebal 6cm, dan berat 250 gr pada

wanita dewasa dan 300 gr pada pria dewasa (Tortora, 2012)

Gambar 2.1 Anatomi jantung manusia


Jantung memiliki empat buah ruang, yaitu 2 buah atrium dan 2 buah

ventrikel. Antar atrium dipisahkan oleh septum interatrial, sedangka n

antara ventrikel dipisahkan oleh septum interventrikuler. Atrium dan

ventrikel sebelah kanan dipisahkan oleh katup trikuspid dan yang sebelah

kiri dipisahkan oleh katup biskupid atau yang lebih dikenal dengan katup

mitral. Katup trikuspid dan katup mitral berfungsi mencegah darah yang

telah dipompakan atrium ke ventrikel kembali lagi ke atrium ketika

ventrikel berkontraksi. Ujung-ujung katup ini diikat oleh korda tendinea ke

muskulus papillaris. Darah dari ventrikel kanan akan dipompa ke paru

melalui arteri pulmonaris. Sedangkan darah dari ventrikel kiri akan

dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta dan sebagian kecil akan

dipompakan ke jantung untuk menyuplai oksigen dan nutrisi untuk otot

jantung melalui arteri koroner.

Pembuluh darah jantung terdiri dari arteri koroner dan vena kardial,

dimana menyuplai sebagian besar darah ke dan dari miokardium.

Endokardium dan jaringan subendokardial mendapat oksigen dan nutrisi

dengan cara difusi atau mikrovaskuler dari ruang di jantung. Pembuluh

darah jantung normalnya tertanamdalam jaringan lemak dan melalui

permukaan jantung di dalam epikardium. Adakalanya, bagian dari

pembuluh darah ini menjadi tertanam dalam miokardium. Pembuluh darah

di jantung mendapat pengaruh inervasi dari sistem saraf simpatis dan

parasimpatis (Moore et al, 2010).

Suplai darah jantung berasal dari arteri koroner yang merupakan

cabang pertama aorta yang menyuplai darah ke miokardium dan


epikardium baik atrium maupun ventrikel, yang memiliki 2 cabang, yaitu

arteri koroner kanan dan kiri yang cabang utamanya terletak di sulkus

interventrikuler dan atrioventrikuler. Arteri koroner kanan muncul dari

sinus aorta anterior dan berjalan ke depan melalui trunkus pulmonaris dan

atrium kanan, serta menyelusuri sulkus atrioventrikuler bagian kanan

(Ellis, 2006).

Dekat dengan asalnya, arteri koroner kanan selalu memberikan

percabangan ke nodus sinoatrial (SA node) yang memberikan percabangan

ke nodus tersebut. Arteri koroner kanan kemudian berjalan turun melalui

sulkus koroner dan bercabang menjadi arteri marginalis kanan, yang

menyuplai darah ke bagian pinggir kanan jantung, dan berjalan ke apeks

jantung, tetapi tidak mencapainya. Setelah memberikan percabangan ini,

arteri koroner kanan berbelok ke kiri dan terus menyelusuri sulkus koroner

ke arah posterior jantung. Pada bagian posterior, dimana pertemuan antara

septum interatrial dan septum interventrikuler di antara 4 ruang jantung,

arteri koroner kanan memberikan percabangan ke nodus atrioventrikuler

(AV node) untuk menyuplai darah ke sana. Nodus sinoatrial dan

atrioventrikuler merupakan bagian dari sistem konduksi listrik di jantung.

Dominasi dari sistem arteri koroner berasal dari arteri koroner mana yang

memberikan cabang ke arteri posterior yang berjalan menurun (posterior

decending artery). Biasanya sistem arteri koroner ini didominasi arteri

koroner kanan sekitar 67%, arteri koroner kiri sekitar 15%, dan

kombinasinya sekitar 18%. Arteri koroner kanan memberikan cabang

interventrikuler posterior yang besar, yang berjalan turun di sulkus


interventrikuler posterior. Cabang ini memberi suplai darah ke kedua

ventrikel dan mengirim percabangan utuk menyuplai darah ke septum

interventrikuler. Kadang-kadang cabang ini juga menyuplai darah ke

jantung bagian diafragmatika (Moore et al., 2010).

Diameter arteri koroner kiri lebih besar dari diameter arteri koroner

yang kanan dan menyuplai darah lebih banyak ke miokardium termasuk

seluruh ruang jantung dan septum interventrikuler, kecuali yang right

dominance (dominan kanan) dimana arteri koroner kanan yang menyup lai

bagian posterior jantung memiliki 2 percabangan utama, yaitu arteri

sirkumfleksi dan arteri interventrikuler anterior. Arteri koroner kiri yang

keluar dar aorta jarang memberikan percabangan ke SA node dan ketika

mencapai sulkus atrioventrikuler, bercabang menjadi 2 atau 3 cabang

utama. Arteri interventrikuler anterior merupakan cabang pertamanya yang

sering digambarkan sebagai kelanjutan dari arteri koroner kiri. Arteri ini

berjalan ke bawah, oblik, depan, dan ke kiri di sulkus interventrikuler dan

mencapai apeks jantung. Adakalanya, terdapat variasi dari pembuluh darah

ini, yaitu arteri ini berjalan terus ke apeks dan bertemu dengan cabang

arteri interventrikuler posterior. Arteri ini juga bercabang menjadi cabang

ventrikuler anterior kanan-kiri dan cabang septum anterior. Sedangkan

arteri sirkumfleksi berjalan melalui sulkus atrioventrikuler, terus berjalan

mengitari sampai ke bagian posterior jantung, dan berakhir di sebelah kiri

dari pertemuan 4 ruang jantung. Arteri sirkumfleksi juga memiliki cabang,

yaitu arteri marginalis kiri yang menyuplai darah ke batas kiri ventrikel

kiri sampai ke apeks (Standring, 2008).


2.1.2 Fisiologi Jantung

1. Siklus Jantung

Siklus jantung adalah siklus yang dimulai dari satu detakan

jantung ke awal dari detakan selanjutnya. Setiap siklus dimulai dari

aksi potensial yang terbentuk spontan dari SA node, yang terletak di

dinding lateral superior dari atrium kanan dekat dengan pintu masuk

vena cava superior. Aksi potensial berjalan dari SA node melalui

kedua atrium dan kemudian melalui A-V bundle ke ventrikel. Karena

suatu sistem rancangan dalam sistem konduksi dari atrium ke

ventrikel, ada perlambatan lebih dari 0,1 detik dari hantaran listrik dari

atrium ke ventrikel. Ini memungkinkan atrium untuk berkontraksi

duluan untuk mengisi darah ke ventrikel sebelum kontraksi ventrikel

yang kuat dimulai.

Diastol merupakan suatu keadaan dimana jantung, terutama

ventrikel terisi darah diikuti periode kontraksi yang dikenal sistol

(Guyton & Hall, 2006). Selama sistol atrium yang terjadi 0,1 detik,

atrium mengalami kontraksi. Pada waktu yang sama, ventrikel

mengalami relaksasi. Depo larisasi SA node menyebabka n

depolarisasi atrium, yang ditandai gelombang P di elektrokardiografi

(EKG), kemudian menyebabkan sistol dari atrium. Ketika atrium

berkontraksi, atrium mendesak tekanan dari darah, yaitu melawan

tekanan dari darah yang melalui katup atrioventrikuler ke dalam

ventrikel. Sistol dari atrium menyumbang darah sebanyak 25 ml darah

ke dalam tiap ventrikel (kira-kira 105 ml). Pada akhir sistol dari
atrium juga merupakan akhir dari diastol ventrikel. Tiap ventrikel

telah berisi 130 ml pada akhir periode relaksasi dan volume darah

tersebut disebut volume akhir diastolik atau end-diastolic volume

(EDV). Kompleks QRS pada EKG menandakan awal dari depolarisasi

ventrikel. Setelah itu, dilanjutkan sistol dari ventrikel yang disebabkan

depo larisasi ventrikel.

Gambar 2.2 Siklus Jantung

Selama sistol ventrikel, yang berlangsung 0,3 detik, ventrike l

berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan, atrium mengalami

relaksasi pada diastol atrium. Ketika sistol ventrikel dimulai, tekanan

meningkat di dalam ventrikel dan mendorong darah melalui katup

atrioventrikuler sehingga katupnya tertutup. Untuk sekitar 0,05 detik,

baik katup semilunar dan atrioventrikuler tertutup.


Periode ini disebut kontraksi isovolumetrik. Kontraksi terus

menerus membuat tekanan dalam ventrikel terus meningkat dengan

tajam sampai melewati 80 mmHg pada ventrikel kiri dan 20 mmHg

pada ventrikel kanan. Pada saat itu, darah dari jantung mulai

dipompakan. Tekanan terus meningkat sampai 120 mmHg pada

ventrikel kiri dan 25-35 mmHg pada ventrikel kanan. Periode ketika

katup semilunar terbuka disebut ejeksi ventrikuler dan berlangsung

selama 0,25 detik. Darah yang dipompakan baik ke aorta maupun ke

arteri pulmonaris sebanyak 70 ml. Volume ini disebut volume

sekuncup (stroke volume) dan sisanya sebanyak 60 ml disebut volume

akhir sistol (end-systolic volume). Gelombang T dalam EKG

menandakan awal dari repolarisasi ventrikel (Tortora, 2009).

2. Aliran Darah Koroner (Coronary Blood Flow)

Aliran darah koroner yang normal pada manumur rata-rata sekitar 225

mililiter/menit, dimana jumlah ini sekitar 4-5% dari jumlah curah

jantung total. Selama aktivitas berat, jantung orang dewasa muda

meningkat curah jantungnya menjadi 4-7 kali lipat dan memompa

darah melawan tekanan arteri yang lebih tinggi dari normalnya.

Akibatnya, kerja jantung dalam kondisi yang berat meningkat 6-9 kali

lipat. Pada waktu yang sama, aliran darah koroner meningkat 3-4 kali

lipat untuk menyuplai nutrisi lebih banyak yang dibutuhkan jantung,

tetapi ini tidak sebanding dengan kerja jantung yang meningkat

dimana berarti rasio energi yang dikeluarkan jantung dengan aliran

darah koroner meningkat. Jadi, efisiensi energi oleh digunakan


jantung meningkat dan tidak sebanding dengan suplai darah yang

relatif kurang (Guyton & Hall,2006)

Gambar 2.3 Vaskularisasi Jantung pada Lapisan Epikardial,


Intramuskular, dan Subendokardial.

Nutrisi tidak dapat berdifusi cukup cepat dari darah di ruang

jantung untuk menyuplai seluruh lapisan sel yang menyusun dinding

jantung. Alasan inilah yang membuat miokardium memunyai jaringan

pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi aliran darah koroner (Tortora,

2009). Aliran darah koroner yang melewati ventrikel kiri menurun

sampai jumlah yang minimal ketika otot jantung berkontraksi karena

pembuluh darah kecil, terutama di daerah miokardium terkompresi

oleh kontraksi otot jantung. Aliran darah pada arteri koroner kiri

selama fase sistol hanya 10-30 % dari jumlah darah ketika fase diastol

dimana otot jantung mengalami relaksasi dan banyak aliran darah

terjadi. Efek kompresi dari sistol pada aliran darah koroner sangat

kecil pada atrium kanan sebagai akibat dari tekanan ventrikel yang

lebih rendah sehingga kompresi pada arteri koronernya sangat sedikit.

Perubahan aliran darah koroner selama siklus jantung pada orang yang

sehat tidak terlalu berdampak walaupun sewaktu aktivitas berat.


Berbeda dengan orang yang memiliki gangguan pada arteri koroner,

sedikit peningkatan denyut jantung yang mengurangi waktu diastol,

akan mengganggu aliran darah koroner. Otot jantung mendapat perfusi

nutrisi dari permukaan epikardial (luar) ke permukaan endokardial

(dalam). Selama sistol, gaya kompresi lebih berefek pada aliran darah

koroner pada lapisan miokardium dimana gaya ko mpresi lebih tingg i

dan tekanan pembuluh darah jantung lebih rendah sehingga aliran

darah koroner bagian miokardium menurun (Williams & Wilkins,

2013). Tetapi pembuluh darah besar pada pleksus subendokardial yang

normal dapat mengompensasi hal tersebut (Guyton & Hall,2006).

Menurut Guyton & Hall (2006), ada beberapa hal yang

mempengaruhi aliran darah koroner, yaitu:

1) Hasil metabolisme dari otot lokal: Aliran darah yang melalui

sistem koroner diregulasi oleh vasodilatasi arteriol lokal sebagai

respon dari kebutuhan otot jantung akan nutrisi. Ketika kebutuhan

akan nutrisi meningkat, maka akan terjadi vasodilatasi arteri

koroner untuk mencukupi kebutuhan itu.

2) Kebutuhan akan oksigen: Aliran darah koroner diregulasi juga

oleh proporsi kebutuhan oksigen. Normalnya, sekitar 70% oksigen

pada darah arteri koroner dipakai oleh otot jantung ketika istirahat

dan meningkat atau menurun seiring dengan aktivitas yang

dilakukan. Dengan meningkatnya aktivitas yang tidak diimbangi

oleh suplai oksigen, berbagai substansi, seperti adenosin, ATP, ion

kalium, ion hidrogen, karbon dioksida, bradikinin, prostaglandin,


dan nitrit oksida, terlepas dan menyebabkan vasodilatasi arteri

koroner.

3) Kontrol sistem saraf otonom: Pengaktifan sistem saraf simpatis

menyebabkan pelepasan norepnefrin dan epinefrin dan

merangsang reseptor α sehingga meningkatkan kontraksi dan

denyut jantung. Itu menyebabkan peningkatan hasil metabolisme

otot jantung dan mengakt ifkan mekanisme regulasi oleh hasil

metabolisme dan menyebabkan vasodilatasi. Sebaliknya,

pengaktifan sistem parasimpatis menyebabkan pengeluarkan

asetilkolin dan merangsang reseptor β sehingga menurunkan

kontraksi dan denyut jantung. Itu menyebabkan penurunan hasil

metabolisme otot jantung dan menyebabkan vasokonstriksi arteri

koroner.

2.2 Konsep Decompensasi Cordis

2.2.1 Definisi

Decompensasi cordis adalah suatu kondisi dimana jantung

mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan

sel-sel tubuh akan nutrient dan oksigen secara adekuat (Udjianti, 2010).

Decompensasi cordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan

kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi

pompa jantung (Price, 2016).

Gagal jantung (Decompensasi cordis) merupakan sindrom klinis

kompleks yang disebabkan oleh adanya gangguan baik fungsional maupun


struktural jantung sehingga mengurangi kemampuan ventrikel untuk

menerima dan memompa darah (Kusmatuti, 2014).

Kondisi dimana jantung tidak mampu mempertahankan cardiac

output/memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh

begitu juga dengan venous return. Cardiac output tidak bisa mencukupi

kebutuhan metabolik tubuh (kegagalan pemompaan), sedangkan tekanan

pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi, instrumen yang mendasar

tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktilitas jantung yang

berkurang dan vetrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak

yang masuk selama diastole. Hal ini menyebabkan volume pada saat

diastolic akhir ventrikel secara progresif bertambah (Nurarif, 2015).

2.2.2 Klasifikasi

Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,

gagal jantung terbagi:


1. Gagal Jantung Kiri
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatigue, orthopnea

dispnea nocturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama

derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan cheyne

stokes, takikardi, pulsusu alternans, ronkhi dan kongesti vena

pulmonalis.

2. Gagal Jantung Kanan


Pada gagal jantung kanan timbul edema, liver engorgement, anoreksia,

dan kembung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung

kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap antrium kanan, murmur,

tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat,


bunyi P2 mengeras, asites, hidrothoraks, peningkatan tekanan vena,

hepatomegali dan pitting edema.


3. Gagal Jantung Kongestif
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal

jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA)

membuat klafisikasi fungsional dalam 4 kelas :


a. Kelas 1: Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tanpa keluhan
b. Kelas 2: Bila paien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari

aktifitas sehari tanpa keluhan


c. Kelas 3: Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari

tanpa keluhan
d. Kelas 4: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas

apapun dan harus tirah baring. (NYHA, 2016).


2.2.3 Etiologi

Penggolongan penyebab gagal jantung menurut apakah gagal

jantung tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau gagal

dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri: penyakit jantung iskemik,

amiloidosis jantung, penyakit jantung hipertensi, penyakit katup aorta,

penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, keadaan curah tinggi

(anemia, tirotoksikosis, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan: gagal

jantung kiri, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), penyakit paru

kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, hipertensi

pulmonal, emboli pulmonal masif (Majid, 2017).

2.2.4 Manifestasi Klinis

Berikut adalah manifestasi klinis gagal jantung, (Majid, 2017):

1. Tanda dominan: Meningkatnya volume intravaskuler. Kongestif

jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat karena penurunan

curah jantung. Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada

kegagalan yang terjadi di ventrikel.

2. Gagal jantung kiri: Kongesti paru menonjol, hal ini disebabkan ketidak

mampuan ventrikel kiri memompa darah yang datang dari paru.

Manifestasi klinis yang terjadi yaitu:

1) Dispnea: Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan

mengganggu pertukaran gas, bisa juga terjadi ortopnea. Beberapa

pasien bisa mengalami kondisi ortopnea pada malam hari yang

sering disebut Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND).


2) Batuk.

3) Mudah lelah: Terjadi karena curah jantung berkurang dan

menghambat jaringan dari sirkulasi normal, serta terjadi penurunan

pada pembuangan sisa dari hasil katabolisme yang diakibatkan

karena meningkatnya energi yang digunakan saat bernafas dan

terjadinya insomnia karena distresspernafasan.

4) Kegelisahan dan kecemasan. Terjadi akibat gangguan oksigenasi

jaringan, stress akibat kesakitan saat bernafas dan pengetahuan

bahwa jantung tidak berfungsi bagaimana semestinya.

3. Gagal jantung kanan

1. Kongestif pada jaringan perifer dan jaringan viseral.

2. Edema ekstrimitas bawah, biasanya edema pitting, penambahan

berat badan.

3. Hepatomegali dan nyeri tekan pada abdomen di kuadran kanan

atas, terjadi karena adanya pembesaran vena di hepar.

4. Anoreksia dan mual. Terjadi karena adanya pembesaran vena dan

statis vena di dalam rongga abdomen.

5. Nokturia (sering kencing malam hari).

6. Kelemahan.

2.2.5 Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan

kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih

rendah dari normal. Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di


mana curah jantung (CO: Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung

(HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume).

Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah

jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi

jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme

kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang

memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan

diri untuk mempertahankan curah jantung.

Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap

kontraksi, yang tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim

dengan Hukum Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah

darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang

ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas

(mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel

dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar

kalsium); (3) Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang

harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang

ditimbulkan oleh tekanan arteriole).

Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang

terjadi baik pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua

ventrikel berkurang akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang

sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam

kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang

serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik


menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi

dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi

dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama

(kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi

sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan

menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema

sistemik.

Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan

tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa

sistem saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan

memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang

akan meningkatkan volume darah sentral yang selanjutnya meningkatkan

preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan

cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena

itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu

terjadinya iskemia pada pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya

dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.

Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi

perifer. Adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-

organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat meningkat malah akan

menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Salah satu efek penting

penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal dan

penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi

sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-aldosteron juga akan


teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler perifer

selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi

sodium dan cairan.

Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin

vasopresin dalam sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan

penghambat ekskresi cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan

peptida natriuretik atrial akibat peningkatan tekanan atrium, yang

menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek natriuretik dan

vasodilator.
2.2.6 Pathway

Ventrikel kanan gagal memompa

Cairan terdorong ke intertisiel


Pemeriksaan Penunjang

1. EKG Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia

san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia misal: takhikardi,

fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih

setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.


2. Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan

dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas

ventricular.
3. Scan jantung: Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan

pergerakan dinding.
4. Pemeriksaan laboratorium
5. Hemoglobin dan eritrosit menurun sedikit karena hemodilusi. Kadar

hemoglobin di bawah 5% sewaktu-waktu dapat menimbulkan gagal

jantung, setidaknya keadaan anemi akan menyebabkan bertambahnya

beban jantung. Jumlah leukosit dapat meninggi; bila sangat meninggi

mungkin terdapat superinfeksi, endokarditis atau sepsis yang akan

memberatkan jantung. Laju endap darah (LED) biasanya menurun,

bila gagal jantung dapat diatasi tapi infeksi atau karditis masih aktif

ada maka LED akan meningkat. Kadar natrium dalam darah sedikit

menurun walaupun natrium total bertambah. Keadaan asam basa

tergantung pada keadaan metabolisme, masukan kalori, keadaan paru,

besarnya shunt dan fungsi ginjal.


6. Urine: Jumlah pengeluaran urine berkurang, berat jenis meninggi,

terdapat albuminuria sementara.


7. Kateterisasi jantung: Tekanan bnormal merupakan indikasi dan

membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan

stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner.


Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran

bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.


8. Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung,

edema atau efusi fleura yang menegaskan diagnisa CHF.


9. EKG dapat mengungkapkan adanya takikardi, hipertrofi bilik jantung

dan iskemik (jika disebabkan oleh AMI) (Wilson Lorraine M, 2011).

2.2.7 Penatalaksanaan

1. Perawatan
1) Tirah baring/bedrest: Kerja jantung dalam keadaan decompensasi

harus benar-benar dikurangi dengan bederest, mengingat konsumsi

oksigen yang relatif meningkat.


2) Pemberian oksigen: Pemberian oksigen secara rumat biasanya

diperlukan dalam keadaan sianosis sekali dapat lebih tinggi.


3) Diet: Umumnya diberikan makanan lunak dengan rendah

(pembatasan) garam. Jumlah kalori sesuai kebutuhan, pasien

dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori tinggi protein.

Cairan diberikan 80-100 ml/kgBB/hari.

2. Pengobatan medicmedis
1) Digitalisasi: Digitalis akan memperbaiki kerja jantung dengan

memperlambat dan memperkuat kontraksi jantung serta

meninggikan curah jantung.


Dosis digitalis:
a. Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5–2 mg dalam 4–6

dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2–4

hari.
b. Cedilanid IV 1,2–1, 6 mg dalam 24 jam.

c. Dosis penunjang untuk gagal jantung:


d. Digoksin 0,25 mg sehari untuk pasien usia lanjut dan gagal

ginjal dosis disesuaikan.

e. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.

2) Diuretik
Diuresis dapat mengurangi beban awal (preload), tekanan pengisian

yang berlebihan dan secara umum untuk mengatasi retensi cairan

yang berlebihan. Yang digunakan : furosemid 40 – 80 mg.

pemberian dosis penunjang bergantung pada respon, rata-rata 20

mg sehari.
3) Vasodilator
Obat vasodilator menurunkan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri

dan menghilangkan bendungan paru serta beban kerja jantung jadi

berkurang.

3. Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain:
1) Revaskularisasi (perkutan, bedah).
2) Operasi katup mitral.
3) Aneurismektomi.
4) Kardiomioplasti.
5) External cardiac support.
6) Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung

biventricular.
7) Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
8) Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
9) Ultrafiltrasi, hemodialisis.

2.2.8 Komplikasi

Berikut komplikasi dari gagal jantung menurut (Wijaya & Putri, 2013)

antara lain:

1. Adema paru akut dapat terjadi akibat gagal jantung kiri.


2. Syok kardiogenik: Akibat penurunan dari curah jantung dan perfusi

jaringan yang tidak dekuat ke organ vital (jantung dan otak).

3. Episode trombolik: Thrombus terbentuk akibat imobilitas pasien dan

gangguan sirkulasi, trombus dapat menyebabkan penyumbatan

pembuluh darah.

4. Efusi pericardial dan tamponade jantung: Masuknya cairan ke kantung

pericardium, cairan dapat meregangkan pericardium sampai ukuran

maksimal. Cardiac output menurun dan aliran balik vena ke jantung.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Decompensasi Cordis

2.3.1 Pengkajian

1. Biodata

Gagal jantung dapat terjadi pada bayi, anak-anak, dan orang

dewasa dengan defek kongenital dan defek jantung akuisita (di dapat).

Kurang lebih 1% penduduk pada usia 50 tahun dapat terjadi gagal

jantung, sedangkan 10% penduduk berusia lebih dari 70 tahun

berisiko gagal jantung (Kowalak, 2011).

2. Keluhan utama

Keluhan utama yang paling sering menjadi alasan pasien untuk

meminta pertolongan kesehatan meliputi dispnea, kelemahan fisik,

dan edema sistemik (Muttaqin, 2012).

3. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang di dapat dengan adanya gejala-gejala kongestif

vaskular pulmonal adalah dyspnea, ortopnea, dyspnea nokturnal


paroksimal, batuk, dan edema pulmonal akut. Pada pengkajian

dyspnea (dikarakteristikkan oleh pernafasan cepat, dangakal, dan

sensasi sulit dalam mendapatkan udara yang cukup dan menekan

pasien) menyebabkan insomnia, gelisah, dan kelemahan (Muttaqin,

2012).
2) Riwayat penyakit dahulu
Pada pasien gagal jantung biasanya pasien pernah menderita infark

miokardium, hipertensi, DM, atau hiperlipidemia (Muttaqin, 2012).


3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbul pada usia

muda merupakan faktor risiko utama penyakit jantung iskemik

pada keturunannya sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal

jantung (Muttaqin, 2012).


4) Riwayat kebiasaan
Pada penyakit gagal jantung pola kebiasaan biasanya merupakan

perokok aktif, meminum alkohol, dan obat-obatan tertentu

(Muttaqin, 2012).
5) Psikososial
Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi

jaringan, stres akibat kesulitan bernafas, dan pengetahuan bahwa

jantung tidak berfungsi dengan baik (Muttaqin, 2012)

4. Pengkajian primer

A (Airway)
Pada pengkajian airway kaji ada tidaknya sumbatan jalan nafas

(Tabrani, 2007).

B (Breathing)
Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oksimeter, untuk

mempertahnkan saturasi > 92 %. Pada pasien decompensasi cordis

ditemukan adanya sesak nafas sehingga memerlukan oksigen, bisa


dengan nasal kanul, simple mask, atau non rebrithingmask sesuai

dengan kebutuhan oksigen (Mediana, 2012).


C (Circulation)
Pada pasien decompensasi cordis terdengar suara gallop. Pada pasien

decompensasai cordis berikan cairan melalui IV dan pemasangan

kateter untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh karena pada

pasien dengan decompensasi cordis mengalami kelebihan volume

cairan (Mediana, 2012)


D (Disability)
Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVP atau GCS. Jika

pasien mengalami penurunan kesadaran menunjukkan pasien masuk

kondisi ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis segera dan

membutuhkan perawatan di ICCU (Mediana, 2012).


E (Exposure)
Jika pasien stabil lakukan pemerksaan riwayat kesehatan dan fisik

lainnya (Mediana, 2012).

5. Pengkajian sekunder

Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Anamnesis dapat menggunakan format SAMPLE (sympthom,


alergi
, medikasi, past illness, last meal, dan environment).

S : Sympthom (tanda dan gejala)

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,

makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang

menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau

penyalahgunaan obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit

yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan

obat-obatan herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,

dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode

menstruasi termasuk dalam komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab syok (kejadian

yang menyebabkan adanya keluhan utama) (Emergency Nursing

Association, 2007)

Exposure

Kaji adanya jejas trauma, edema

Five Intervensi

Pada pasien dengan decompensasi cordis intervensi yang harus

dilakukan adalah pemeriksaan EKG, dan pemasangan kateter untuk

mengetahui adanya kelebihan volume cairan (Mediana, 2012).

 Pasang cardiac monitoring


 Pasang pulse oximetry
 Pasang kateter urin
 Pasang NGT
 Pemeriksaan laboratorium
Full Vital Sign
Tanda-tanda vital dengan mengukur:
 Tekanan darah
 Irama dan kekuatan nadi
 Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernafasan
 Suhu tubuh

Give Comfort
Tanda dan gejala yang diobservasi dan dirasakan klien alergi yang

dipunyai klien tanyakan obat yang telah diminum klien untuk

mengatasi nyeri riwayat penyakit yang diderita klien makan/minum

terakhir; jenis makanan, ada penurunan atau peningkatan kualitas

makan pencetus/kejadian penyebab keluhan.

Head to Toe
Pengkajian Head to Toe yang terfokus, meliputi:
a. Pengkajian kepala, leher dan wajah
a) Periksa rambut, kulit kepala dan wajahAdakah luka, perubahan

tulang kepala, wajah dan jaringan lunak, adakah perdarahan

serta benda asing


b) Periksa mata, telinga, hidung, mulut dan bibir Adakah

perdarahan, benda asing, kelainan bentuk, perlukaan atau

keluaran lain seperti cairan otak.


c) Periksa leher Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, trakhea

miring atau tidak, distensi vena leher, perdarahan, edema dan

kesulitan menelan.
b. Pengkajian dada
a) Inspeksi: kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas

(frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan

pernafasan), warna otot-otot kulit, lesi, bantu edema,

pembengkakan/penonjolan. Normal: simetris, bentuk dan postur

normal, tidak ada tanda-tanda distress pernapasan, warna kulit


sama dengan warna kulit lain, tidak ikterik/sianosis,tidak ada

pembengkakan/penonjolan/edema.
b) Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile

fremitus. (perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien

untuk mengucapkan angka “tujuh-tujuh” atau “enam-enam”

sambil melakukan perabaan dengan kedua telapak tangan pada

punggung pasien). Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri

tekan/massa/tanda-tanda peradangan, ekspansi simetris, taktil

vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.


c) Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan

satu sisi dengan satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola

berjenjang sisi ke sisi). Normal : resonan (“dug dug dug”), jika

bagian padat lebih daripada bagian udara=pekak (“bleg bleg

bleg”), jika bagian udara lebih besar dari bagian

padat=hiperesonan (“deng deng deng”), batas jantung=bunyi

rensonan (hilang- redup).


d) Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan

dengan menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1

dan 2, di atas manubrium dan diatas trachea). Normal: bunyi

napas vesikuler, bronchovesikuler, brochial, tracheal.


c. Pengkajian Abdomen dan Pelvis
a) Inspeksi: Pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen

membusung/membuncit atau datar saja, tepi perut menonjol atau

tidak, umbilicus menonjol atau tidak, amati apakah ada

bayangan vena, amati juga apakah didaerah abdomen tampak

benjolan- benjolan massa. Laporkan bentuk dan letakknya b.


b) Auskultasi : Mendengar suara peristaltic usus, normal berkisar

5-35 kali per menit : bunyi peristaltic yang yang keras dan

panjang disebut borborygmi, ditemui pada gastroenteritis atau

obstruksi usu pada tahap awal. Peristaltic yang berkurang

ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit tidak

terdengar suara peristaltic sama sekali maka kita katakana

peristaltic negative (pada pasien post operasi).


Pada jantung: Tekanan darah biasanaya menurun akibat

penurunan isi sekuncup. Tanda fisik yang berakitan dengan

gagal jantung kiri adalah adanya bunyi jantung ke 3 dan ke

empat (S3, S4) serta cracles pada paru-paru


c) Palpasi : Sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu

kepada pasien apakah daerah yang nyeri apabila ada maka harus

dipalpasi terakhir, palpasi umum terhadap keseluruhan dinding

abdomen untuk mengetahui apakah ada nyeri umum (peritonitis,

pancreatitis). Kemudian mencari dengan perabaan ada atau

tidaknya massa/benjolan (tumor).Periksa juga turgor kullit perut

untuk menilai hidrasi pasien. Setelah itu periksalah dengan

tekanan region suprapubika (cystitis), titik MC Burney

(appendicitis), region epigastrica (gastritis), dan region iliaca

(adnexitis) barulah secara khusus kita melakukan palpasi hepar.

Palpasi hepar dilakukan dengan telapak tangan dan jari kanan

dimulai dari kuadrant kanan bawah berangsur-angsur naik

mengikuti irama nafas dan cembungan perut. Rasakan apakah

ada pembesaran hepar atau tidak. Hepar membesar pada


keadaan : 1) Malnutrisi 2) Gangguan fungsi hati/radang hati

(hepatitis, thyroid fever, malaria, dengue, tumor hepar) 3)

Bendungan karena decomp cordis


d) Perkusi: 1) Untuk memperkirakan ukuran hepar, adanya udara

pada lambung dan usus (timpani atau redup) 2) Untuk

mendengarkan atau mendeteksi adanya gas, cairan atau massa

dalam perut 3) bunyi perkusi pada perut yang normal adalah

timpani, tetapi bunyi ini dapat berubah pada keadaan-keadaan

tertentu misalnya apabila hepar dan limpa membesar, maka

bunyi perkusi akan menjadi redup.


Pada jantung: Batas jantung ada pergeseran yang menandakan

adanya hipertrofi jantung atau kardiomegali


d. Pengkajian Ekstremitas
a) Tanda-tanda injuri eksternal
b) Nyeri
c) Pergerakan d. Sensasi keempat anggota gerak
d) Warna kulit
e) Denyut nadi perifer
e. Pengkajian Tulang Belakang Bila tidak terdapat fraktur, klien dapat

dimiringkan untuk mengkaji:


a) Deformitas
b) Tanda-tanda jejas perdarahan
c) Jejas
d) Laserasi
e) Luka
Inspeksi Back / Posterior Surface
Tidak ada tanda dan gejala.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Penurunan curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel kiri,

peningkatan afterload dan konduksi elektrikal.


2. Kelebiham volume cairan b.d retensi natrium dan air, serta penurunan

perfusi renal.
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke

otak dan jaringan dengan kebutuhan sekunder penurunan curah

jantung.
4. Gangguan pertukaran gas b.d edema pulmonal
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan

intake nutrisi, mual, muntah dan anoreksia.


6. Ansietas b.d penurunan status kesehatan dan sesak nafas.

2.3.3 Intervensi Keperawatan

a. Penurunan curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel


kiri, peningkatan afterload dan konduksi elektrikal.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
penurunan curah jantung dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Pasien akan melaporkan penurunan episode sesak nafas
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
3) CRT < 2 detik dan produksi urine > 30 ml/jam
4) Irama jantung teratur
Intervensi :
a) Beri penjelasana mengenai prosedur tindakan yang akan
dilakukan pada pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat
dan
pasien serta meningkatkan pengetahuan
pasien.
b) Observasi tekanan darah
Rasional : perbandingan tekanan darah dapat
memberikan
gambaran yang lengkap tentang keterlibatan masalah vaskular.
c) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
Rasional : dengan mencatat keberadaan, kulaitas
denyutan
sentral dan perifer akan diketahui adanya vasokonstriksi pada
pembuluh darah.
d) Kaji bunyi jantung
Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena
menurunnya
kerja pompa, irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan
sebagai aliran darah ke ventrikel yang mengalami distensi
murmur.
e) Anjuran pasien untuk istirahat atau tirah baring optimal
Rasional : melalui inaktivitas, kebutuhan pemompaan
jantung
diturunkan sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
f) Beri posisi semi fowler atau fowler
Rasional : mengurangi jumlah darah darah yang kembali
ke
jantung sehingga mengurangi kongesti paru.
g) Berikan lingkungan yang tenang
Rasional : stres emosi menghasilkan vasokontrikasi
sehingga
dapat meningkatkan tekanan tekanan darah dan kerja jantung.
h) Kolaborasi dengan dokter pemberian digoksin
Rasional : meningkatkan kontraksi miokardium dan
memperlambat frekuensi jantung dengan menurunkan volume
sirkulasi dan tahanan vaskular sistemik dan kerja ventrikel.

b. Gangguan Pertukaran gas b.d pengembangan paru tidak optimal,


dan edema paru.
Tujuan :
Setelah dilakukan tidakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
tidak terjadi perubahan pola nafas.
Kriteria hasil :
1) Pasien tidak sesak nafas
2) RR dalam batas normal (16-20 x/menit)
3) Respon batuk berkurang
Intervensi :
a) Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat pada pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat
dan
pasien serta meningkatkan pengetahuan
pasien.
b) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : peningkatan pernafasan dapat menunnjukkan
adanya ketidakefektifan pengembangan ekspansi paru.
c) Kaji bunyi nafas (cracles)
Rasional : indikasi adanya edema paru sekunder akibat
decompensasi jantung.
d) Beri posisi semi fowler atau fowler
Rasional : meningkatkan kemampuan usaha nafas
sehingga
sesak nafas berkurang.
e) Kolaborasi dengan dokter pemberian O2
Rasional : meningkatkan intake O2 dalam tubuh sehingga
kebutuhan O2 dalam tubuh terpenuhi.

c. Kelebiham volume cairan b.d retensi natrium dan air, serta


penurunan perfusi renal.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 24 jam
tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik.
Kriteri hasil :
1. Tidak terjadi edema ekstremitas
2. Tidak terjadi pitting edema dan sesak nafas berkurang
3. Produksi urine > 600 ml/hari
Intervensi :
a) Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat pada pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat
dan
pasien serta meningkatkan pengetahuan
pasien.
b) Observasi TTV
Rasional : takikardi dan peningkatan tekanan darah
menunnjukan kegagalan fungsi jantung serta mengetahui
peningkatan beban jantung.
c) Kaji distensi vena jugularis
Rasional : peningkatan cairan dapat membebani fungsi
ventrikel kanan yang dapat di pantu melalui pemeriksaan vena
jugularis.
d) Kaji intake dan output
Rasional : penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan
perfusi ginjal sehingga menurunkan haluaran urine.
e) Batasi cairan sesuai indikasi
Rasional : mengurangi kelebihan volume cairan dalam tubuh
f) Kolaborasi dengan dokter pemberian diuretik
Rasional : menurunkan volume plasma dan menurunkan
rentensi cairan di jaringan sehingga menurunkan terjadinya
edema paru.

2.3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku

keperawatan, dimana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk

mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan

(Haryanto, 2007).

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status

kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang

menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2011).

Implementasi keperawatan adalah kegiatan mengkoordinasikan

aktivitas pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan lain untuk

mengawasi dan mencatat respon pasien terhadap tindakan keperawatan

yang telah dilakukan (Nettina, 2002).

2.3.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan

seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan.

Penilaian peoses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan

proses mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan

evaluasi itu sendiri. (Ali, 2009)

Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai

apakah tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak


untuk mengatasi suatu masalah. Pada tahap evaluasi, perawat dapat

mengetahui seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan

pelaksanaan telah tercapai (Meirisa, 2013).

Diagnosis juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan

kelengkapannya. Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk

menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara efektif.

(Nursalam, 2008)

Anda mungkin juga menyukai