Anda di halaman 1dari 29

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334457232

MAKALAH PENJELASAN TEORI-TEORI KELUARGA

Article · July 2019

CITATIONS READS

0 1,272

1 author:

Ainina Qurota
Jakarta State University
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Teori Keluarga View project

All content following this page was uploaded by Ainina Qurota on 15 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MAKALAH PENJELASAN TEORI-TEORI KELUARGA

MATA KULIAH TEORI KELUARGA

Oleh

Nur’ainina Qurota A’yun

(NIM. 1504617029)

PENDIDIKAN VOKASIONAL KESEJAHTERAAN KELUARGA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

JULI, 2019
RINGKASAN

Keluarga merupakan sekelompok orang yang diikat oleh pernikahan, darah, dan
ataupun adopsi yang tinggal dalam satu rumah, saling berinteraksi dan berkomunikasi satu
dengan yang lain dalam menjalankan peran sosialnya (Burgess & Locke, 1945). Untuk
membahas tentang keluarga, terdapa berbagai macam teori yang dapat mewakilinya.

Yang pertama adalah teori Struktural Fungsional, teori ini menjelaskan bahwa tiap-
tiap anggota keluarga harus menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan yang
semestinya.

Lalu ada juga teori Sosial Konflik, teori ini berbanding terbalik dengan teori
Struktural, teori ini berpendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai
macam dinamika dan perubahan seiring berjalannya waktu, sebab itu, perubahan atau
pergantian fungsi dan peran sangatlah maklum terjadi dalam keluarga.

Yang ketiga adalah teori Ekologi, di teori ekologi ini, dibahas bahwa anggota
keluarga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dalam kehidupannya. Selanjutnya adalah teori
Pertukaran Sosial. Di dalam teori ini dijelaskan bahwa setiap hubungan dalam keluarga
dipengaruhi oleh pemikiran cost and benefit. Bahwa semua koneksi dapat diakhiri apabila
salah satu pihak sudah merasa tidak diuntungkan lagi.

Yang kelima adalah teori Feminis. Teori ini adalah teori yang paling sensitif untuk
dibahas karena terdapat perbedaan pandangan besar dalam masyarakat. Di satu sisi teori ini
memberikan kebahagiaan dan kebebasan kepada wanita, namun di lain sisi, teori ini
memberikan dampak buruk bagi ketahanan keluarga.

Turunan dari teori feminis ada teori Gender. Di teori Gender ini dibahas tentang
ketidaksetaraan yang dianggap tidak adil oleh kedua belah pihak. Dan yang terakhir terdapat
teori Perkembangan atau teori Development. Duvall sebagai penggagasnya, menganggap
bahwa keluarga harus melewati 8 tahapan dalam keluarga, barulah dapat disebut keluarga
yang sejahtera.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan kelompok individu terkecil dari masyarakat, walaupun begitu,


keluarga merupakan dasar landasan utama dari terbentuknya sumber daya manusia yang
dapat mempengaruhi keadaan masyarakat. Sebab itu penting sekali untuk memberi
penyuluhan yang baik bagi tiap-tiap anggotanya agar terwujud keluarga yang sesuai norma
dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Untuk memahami keluarga, tentu diperlukan ilmu dasar mengenai keluarga. Ilmu
keluarga sendiri merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari beberapa ilmu serupa ilmu
sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu biologi, ilmu manajemen, dan ilmu ekologi. Masing-masing
ilmu ini mewujudkan teori-teori yang membahas berbagai perbedaan ataupun pengertian dari
keluarga.

Agar dapat memahami keluarga lebih mendalam lagi, maka dibuatlah makalah
laporan ini untuk menuliskan penjelasan keluarga dari berbagai teori keluarga yang tersebar
menurut pemikiran para ahli.

1.2 Tujuan

Sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Keluarga, maka sangat penting untuk memahami
berbagai perbedaan pendapat dari beberapa ahli mengenai pengertian keluarga. Agar dapat
memahami keluarga lebih mendalam lagi, maka dibuatlah makalah laporan ini untuk
menuliskan penjelasan keluarga dari berbagai teori keluarga yang tersebar menurut pemikiran
para ahli.

1.3 Manfaat

Diharapkan makalah laporan ini dapat menambah wawasan pembaca tentang berbagai
pendapat menurut ahli terhadap pengertian dan pemikiran tentang keluarga.
BAB II

ISI

2.1 Teori Struktural Fungsional

Teori Struktural Fungsional sudah lama diterapkan sejak terbentuknya keluarga dari
zaman kerajaan di Indonesia. Dapat kita lihat dalam penuturan Anderson K. dalam Journal of
Marriage and Family (1997), dalam masa prasejarah, sebuah suku telah diorganizir oleh
seorang kepala suku yang berfungsi untuk mengembangkan pertanian, mengorganisir wilayah
dan peraturan dalam wilayah suku tersebut. Contoh kepala suku ini telah menggambarkan
posisi kepala suku yang notabene adalah laki-laki sebagai kepala keluarga, walaupun dalam
kasus ini tidak disebut demikian.
Teori ini menekankan kepada tiap-tiap anggota keluarga untuk menjalani hidupnya
sesuai dengan peran dan fungsi yang seharusnya ia jalankan dalam keluarga. Secara garis
besar adalah ayah sebagai bread-winner atau pencari nafkah, dan ibu sebagai caregiver atau
housewives. Peran yang dimaksud disini adalah suatu alokasi tugas dan aktivitas yang harus
dilakukan dalam keluarga. Sedangkan fungsi yang dimaksud adalah agar keseimbangan
sistem dapat tercapai, baik pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat.
Tujuan dari kajian-kajian struktural-fungsionalisme adalah untuk membangun suatu
sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengajian terhadap pola hubungan yang berfungsi
antara individu-individu, antara kelompok-kelompok, atau antara institusi-institusi sosial di
dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu. Struktural-fungsional adalah
penggabungan dari dua pendekatan, yang bermula dari pendekatan fungsional Durkheim,
kemudian digabungkan dengan pendekatan struktural R-B.

Pendekatan Fungsional Durkheim

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di


dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian
tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak
berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.
Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu
membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan


koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik
bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern,
Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena
sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang
menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada
fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.

Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat


merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu
bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain
masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap
memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi
sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu,
bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari kondisi
dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem
sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari
seluruh bagiannya. Dalam bukunya "The Division of Labour in Society", Durkheim meneliti
bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan
perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional
bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama,
dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat
tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran
individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Sedangkan
dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas
'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial
menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak
lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis',
misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama
oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik',
para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri
dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim
bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif.
Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.

Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua
peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok
masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d
kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang
sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.

Pendekatan Struktural R-B (Radcliffe-Brown)

Dalam konsep “struktural-fungsionalisme” model yang dapat digunakan adalah model


organisme tubuh manusia. Dalam model ini, R-B mengumpamakan sebuah masyarakat
sebagai sebuah organisme tubuh manusia, dan kehidupan sosial adalah seperti kehidupan
organisme tubuh tersebut. Satu organisme tubuh terdiri dari sekumpulan sel dan cairan yang
tersusun dalam suatu jaringan hubungan, sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah
keseluruhan kehidupan yang terintegrasi. Susunan hubungan antara unit-unit dalam
organisme tersebut, atau sistem hubungan yang mengikat keseluruhan unit, disebut struktur
dari organisme tersebut.

Sepanjang hidupnya organisme tubuh ini menjaga kesinambungan strukturnya. Meski


pun selama perjalanan hidup organisme ini terjadi pergantian sel, bagian, dan cairan tertentu,
namun susunan hubungan antar unit tetap sama. Jadi struktur dari organisme tubuh tersebut
relatif tidak berubah.Proses pembinaan kesinambungan struktur ini disebut proses kehidupan,
yaitu kegiatandan interaksi antara unit -unit dalam organisme, sedemikian rupa, sehingga
unit-unit tersebut tetap bersatu. Adanya proses kehidupan menjadi tanda dari berfungsinya
struktur organisme tersebut. Jadi fungsi dari sebuah unit sel adalah peranan yang dimainkan,
atau kontribusi yang diberikan, oleh unit sel tersebut bagi kehidupan organisme
secara keseluruhan. Fungsi perut, misalnya, adalah untuk mengolah makanan menjadi zat-zat
kimia tertentu yang kemudian dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh sehingga menjamin
kehidupan tubuh tersebut. Sekarang mari kita terapkan model organisme tubuh ini terhadap
masyarakat. Ambil contoh sebuah masyarakat dusun di Jawa. Dalam sebuah masyarakat
dusun kita mengenal adanya struktur sosial. Unitnya adalah individu-individu warga dusun
tersebut. Mereka berhubungan satu sama lain dalam satu pola hubungan yang diatur oleh
norma-norma hubungan sosial, sedemikian rupa, sehingga masyarakat dusun tersebut
membentuk sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Susunan hubungan sosial yang sudah
mapan antara warga dusun itu disebut struktur sosial masyarakat dusun tersebut.
Kesinambungan struktur masyarakat dusun tidak rusak oleh adanya warga yang
meninggal, lahir, atau pindah. Karena kesinambungan tersebut dijaga oleh proses kehidupan
sosial atau kegiatan dan interaksi antarwarga dusun. Jadi kehidupan sosial adalah struktur
sosial yang berfungsi atau bekerja. Fungsi dari setiap kegiatan warga desa yang berulang-
ulang adalah peranan yang dimainkannya dalam kehidupan masyarakat dusun secara
keseluruhan, atau kontribusi yang diberikannya untuk pembinaan kesinambungan
struktur masyarakat dusun tersebut. Di sinilah kita melihat bahwa konsep “fungsi” tidak
dapat dipisahkan dari konsep “struktur”.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Teori Struktural Fungsional adalah teori yang
menjelaskan bahwa tiap-tiap anggota keluarga harus menjalankan peran dan fungsinya
masing-masing terlepas dari hasrat pribadinya. Karena dengan hilangnya salah satu peran
dalam keluarga, maka fungsi-fungsi asli dari keluarga pun tidak dapat dilaksanakan dengan
baik dan tujuannya pun tidak akan tercapai. Dalam contoh kongkret, seperti hasil artikel
Hubungan Kelekatan Orangtua dengan Kemandirian Remaja (Maulida, Nurlaila, & Hasanah,
2018),orangtua memegang peranan penting atas keadaan psikologis anaknya. Orangtua yang
menjalankan fungsi dan perannya dengan sesuai dapat meningkatkan tingkat kemandirian
remaja secara baik.
2.2 Teori Sosial Konflik

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.
Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran
Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik
menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Tetapi sebetulnya telah
berkembang sejak Abad 17. Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari
ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan Robert K.
Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.

Beberapa kritikan terhadap teori struktural fungsional berkisar pada sistem sosial yang
berstruktur, dan adanya perbedaan fungsi atau diferensiasi peran (division of labor). Institusi
keluarga dalam perspektif struktural-fungsional dianggap melanggengkan kekuasaan yang
cenderung menjadi cikal bakal timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat. David Lockwood
(Klein dan White 1996) melontarkan kritik terhadap teori Parsons. Menurutnya, teori Parsons
terlalu menekankan keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap suatu pemaksaan bagi
individu untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan kelompok selalu terpenuhi.

Selanjutnya, individu harus selalu tunduk pada norma dan nilai yang melandasi
struktur dan fungsi sebuah sistem. Padahal menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu
mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumberdaya yang terbatas. Artinya, sifat
dasar individu dianggapnya cenderung selfish (mementingkan diri sendiri), daripada
mengadakan konsensus untuk kepentingan kelompok. Sifat pementingan diri sendiri menurut
Lockwood akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok
orang menindas kelompok lainnya.

Selain itu masing-masing kelompok atau individu mempunyai tujuan yang berbeda-
beda bahkan sering bertentangan antara satu dan lainnya, yang akhirnya akan menimbulkan
konflik. Perspektif konflik dalam melihat masyarakat dapat dilacak pada tokoh-tokoh klasik
seperti Karl Marx, Max Weber dan George Simmel.

Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terjadinya suatu aturan
atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usulnya terjadinya
pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berperilaku menyimpang. Perspektif
konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi
kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa konflik adalah fenomena sosial biasa dan merupakan kenyataan bagi masyarakat yang
terlibat di dalamnya. Konfllik dipandang sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari
tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang baru yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi masyarakat. Perspektif konflik dianggap sebagai “the new sociology” sebagai kritik
terhadap teori struktural fungsional yang berkaitan dengan sistem sosial yang terstruktur dan
adanya perbedaan fungsi dan diferensiasi peran (division of labor). Sosiologi konflik
mempunyai asumsi bahwa masyarakat selalu dalam kondisi bertentangan, pertikaian, dan
perubahan. Semua itu adalah sebagai bagian dari terlibatnya 10 kekuatan-kekuatan
masyarakat dalam saling berebut sumberdaya langka dengan menggunakan nilai-nilai dan ide
(ideologi) sebagai alat untuk meraihnya (Wallace dan Wolf 1986).

Asumsi dasar yang melandasi Teori Konflik Sosial (Klein dan White 1996) adalah:

(1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus,

(2) Manusia adalah individu otonom yang mempunyai kemauan sendiri tanpa harus tunduk
kepada norma dan nilai; Manusia secara garis besar dimotivasi oleh keinginannya sendiri.

(3) Konflik adalah endemik dalam grup sosial,

(4) Tingkatan masyarakat yang normal lebih cenderung mempunyai konflik daripada
harmoni,

(5) Konflik merupakan suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumberdaya yang
langka, konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti.

Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis


struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik
antara kelas atas dan kelas bawah. Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam
memahami teori konflik sosial, antara lain:

1. Kompetisi (atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan
sebagainya.

Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperti yang ditawarkan fungsionalisme, namun
lebih kepada kompetisi.

2. Terdapat ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan.


3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal.

4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interest) yang saling
berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan
revolusioner daripada evolusioner.

Namun, teori ini tidak banyak memberikan dampak positif bagi pengasuhan anak.
Teori yang berpusat pada kebahagiaan individual ini cenderung memberikan efek negatif
bagi anak di bawah umur, menurut artikel Pengaruh Manajemen Waktu Ibu Bekerja
Terhadap Kecerdasan Emosional Anak (Aisyah, Putri, & Mulyati, 2018), disimpulkan bahwa
peran ibu sangat dibutuhkan bagi perkembangan emosional anak karena seorang ibu memiliki
ikatan emosional dengan anak. Oleh karena itu ibu bekerja harus bisa menyeimbangkan dan
memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk keluarga dan pekerjaannya. Agar hasil
yang diinginkan bisa tercapai keluarga terutama anak tidak merasa terabaikan ibu menjadi
lebih mudah untuk menghabiskan waktu atau quality time bersama keluarga terutama anak
dan pekerjaan di luar rumah terselesaikan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Apabila ibu
yang bekerja ini tidak dapat mengatur waktunya dengan baik, maka anak akan terkena imbas
dampak buruknya.
2.3 Teori Ekologi

Urie Bronfenbrenner (1979, 1989, 1998, 2005) dalam artikel Peran Aktivitas
Pengasuhan pada Pembentukan Perilaku Anak sejak Usia Dini ; Kajian Psikologis
berdasarkan Teori Sistem Ekologis (Jurnal UNY), menjelaskan dalam beberapa tulisan hasil
kajiannya mengenai sebuah teori yang membantu memahami bagaimana individu
berkembang di dalam berbagai lapisan dalam konteks keunikan lingkungan atau ekologi.
Penjelasan ini di payungi dengan sebuah teori yang awalnya disebut dengan Teori Sistem
Ekologis.

Teori ekologi memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh konteks


lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan akan membentuk
tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat tinggal anak akan
menggambarkan, mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari lingkungan yang bervariasi.
Berofenbrenner menyebutkan adanya lima sistem lingkungan berlapis yang saling berkaitan,
yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.

Teori Ekologi Bronfenbenner


1. Mikrosistem adalah sub sistem yang mempunyai interaksi langsung dengan individu,
yaitu terdiri dari keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan.
Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini,
tetapi anak juga aktif membangun setting mikrosistem ini, artinya individu juga aktif
terlibat dalam interaksi dengan sub sistem ini. Karakteristik anak dan karakteristik
lingkungan berdampak tidak langsung pada perkembangan anak melalui proses
interaktif dalam kurun waktu perkembangan anak. Perkembangan anak ditentukan
oleh pengalamannya dalam regulasi dengan lingkungan mikrosistemnya.
Menurut Ecological Systems Theory, Mikrosistem merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan anak, hal ini dikarenakan tiap-tiap anggotanya berinteraksi secara
langsung dan memberi pengaruh yang signifikan besar bagi setiap pilihan hidupnya.

2. Mesosistem mencakup interaksi di antara mikrosistem di mana masalah yang terjadi


dalam sebuah mikrosistem akan berpengaruh pada kondisi mikrosistem yang lain.

3. Eksosistem merupakan sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak berfungsi
secara langsung. Sub sistemnya terdiri dari pengalaman-pengalaman dalam setting
sosial lain di mana anak tidak memiliki peran yang aktif tetapi mempengaruhi
perkembangan karakter anak.

4. Makrosistem merupakan lapisan terluar dari lingkungna anak. Sub sistemnya terdiri
dari kebudayaan, adat istiadat dan hukum di mana individu berada. Hal ini terjadi
karena kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua produk lain
dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi (Berk, 2000).
Prinsip-prinsip yang ada dalam lapisan makrosistem akan berpengaruh pada
keseluruhan interaksi semua lapisan.

5. Kronosistem mencakup pengaruh lingkungan dari waktu ke waktu beserta caranya


mempengaruhi perkembangan dan perilaku.

Contoh asli dari teori ekologi ini adalah fenomena berpacaran. Menurut artikel
Hubungan Konformitas Peer Group Dengan Perilaku Berpacaran Pada Remaja (Anindani,
Hasanah, & Cholilawati, 2018), dari 15 orang siswa, yang diwawancarai ditemukan fakta
adanya beberapa gejala kerusakan karakter atau perilaku yang terjadi karena konformitas peer
group yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku berpacaran remaja, banyak siswa yang
sudah kehilangan kontrol dalam peer group dengan cara berpacaran dengan teman sebayanya
hingga membuat pembicaraan yang terarah menuju penyimpangan perilaku dalam
berpacaran. Hasil ini memperjelas adanya hubungan antara lingkungan terhadap perilaku
menyimpang anak.
2.4 Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran sosial merupakan pemikiran dari seorang ahli beralumni pendidikan
sama dengan Parsons, bernama George Caspar Homans. Keduanya menekuni pendidikan
ekonomi walaupun berbeda universitas.

Dalam bukunya yang berjudul Social Behaviors Its Elementary Forms, Homans
menjelaskan teori-teorinya. Ia memberikan penjelasan bahwa setiap orang pasti mempunyai
harga diri, dan ketika ia memberikan keuntungan terhadap orang lain maka orang lain juga
akan memberikan keuntungan pula. Kedudukan mengakibatkan tanggung jawab, siapa
membenci maka ia yang akan mendapat ganjarannya dan seterusnya. Homans berkeinginan
untuk menyatakan kebenaran tersebut di dalam suatu rangkaian atau proposisi yang teoritis
kemudian ia mengujinya. Hal semacam ini membuat ia bukan hanya untuk sekedar
menggambarkan perilaku sosial yang mendasar namun ia juga dapat membuat asumsi untuk
membuat eksplanasi terhadapnya. Tindakan perilaku sosial yang dimaksudkan Homans
adalah tindakan yang berkenaan dengan suatu kemauan yang mengakibatkan adanya ganjaran
dan hukuman dari orang lain.

Unsur utama dari pertukaran sosial adalah cost (biaya), reward (imbalan), profit
(keuntungan). Cost adalah perilaku seseorang yang dianggap sebagai biaya Entah
mengharapkan imbalan atau tidak. Sedangkan reward adalah imbalan terhadap cost. Dari
reward yang didapat seseorang bisa saja mendapatkan kenutungan yang lebih besar dari cost
yang dikeluarkan. Keuntungan tersebut disebut profit. Namun tidak semua reward yang
didapat manghasilkan keuntungan bagi seseorang yang mengeluarkan reward. Sebab dalam
pertukaran sosial seseorang tidak terlalu mengutamakan profit yang banyak. Seseorang hanya
menginginkan reward atas cost yang dia keluarkan. Teori pertukaran sosial memandang
hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Dalam hubungan sosial
terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling mempengaruhi.

Apabila dihubungkan dengan kehidupan keluarga, ekonomi pernikahan merupakan


contoh yang dapat kita amati. Ekonomi pernikahan, dalam bahasan ini perjodohan merupakan
keluarga yang terbentuk atas dasar pertukaran sosial. Perjodohan ini pada awalnya memiliki
tujuan untuk meningkatkan utilitas masyarakat.

Pernikahan perjodohan ini biasanya disetujui oleh kedua belah pihak apabila
keduanya mendapatkan keuntungan dari terjadinya pernikahan tersebut. Untuk pandangan
ekonomi, hal ini dapat mendatangkan berbagai dampak. Dampak positif yang dihasilkan
adalah apabila kedua belah pihak yang menjalani perjodohan berakhir cocok, maka akan
keadaan keluarga masa depannya pun dapat terjamin kesejahteraannya dari berbagai aspek.
Perjodohan berbeda taraf ekonomi misalnya pun, dapat memperbaiki ekonomi rakyat
Indonesia, dalam hal ini memperkecil jumlah keluarga dengan ekonomi dibawah minimum.
Namun dengan adanya dampak positif tentu ada pula dampak negatifnya. Dampak negatif
dari perjodohan ini adalah apabila terdapat ketidak cocokan antara dua belah pihak yang
menjalani perjodohan tersebut, maka akan bertambah pula angka keluarga tidak sejahtera di
Indonesia dan meningkatkan angka perceraian.
2.5 Teori Feminis

Feminisme. Kata pertama yang terbayang ketika kita membicarakannya adalah bahwa
ini adalah sebuah ideologi terbaik bagi perempuan yang ingin terbang bebas tanpa hambatan
dan tanpa merasa diremehkan. Teori ini merupakan turunan dari teori sosial konflik, yakni
melawan apa yang dianggap tidak adil dan memperbaiki keadaan yang ada.

Pemikiran utama teori ini adalah memang memberdayakan perempuan.Membebaskan


perempuan untuk bersikap bebas sebebas-bebasnya. Teori feminisme memfokuskan diri pada
pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua
bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu
adanya konflik kelas, ras, dan terutama adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk
menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah yang dianggap lebih kuat. Lebih
jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak
sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki.

Isu-isu tentang perempuan yang diusung oleh feminisme di dalam teorinya


sebenarnya bukanlah gagasan baru, namun tidak dapat juga dikatakan sebagai ide yang telah
ada sejak awal mula perkembangan teori sosial. Teori feminis ini turut menyemarakkan
modernitas dan menyeruak di dunia akademis Barat sejak tahun 60-an dalam nuansa borjuis
liberal, dimana masyarakat mau tak mau harusmengubah pemahamannya tentang konsep
gender dan “warga negara” dalam menjawab tuntutan-tuntutan kaum feminis. Bersamaan
dengan berkembangnya kondisi sosial.

Dalam kenyataannya proses menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-nilai kultural


dan bukan oleh hakikatnya. Oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme berjuang agar nilai-
nilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok `yang lain`,
yang termarginalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan
dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah
gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti
akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya untuk menuntut persamaan hak,
dengan kata lain tuntutan emansipasi. Tujuan pokok dari teori feminisme adalah memahami
penindasan perempuan secara ras, gender, kelas dan pilihan seksual, serta bagaimana
mengubahnya.
Secara pribadi, saya menganggap teori ini sebagai pemikiran yang amat bagus dan
dapat memajukan nilai ekonomi dan kesejahteraan tiap individual di Indonesia. Hanya saja
dalam pelaksanaannya, teori ini cenderung melupakan hakikat wanita, yakni 3M; Menstruasi,
Melahirkan dan Menyusui. Apabila kita perhatikan, sekarang ini banyak sekali fenomena
Baby Blues, dimana perempuan lebih memilih menjadi wanita karir dan mengabaikan
memiliki anak ataupun menikah. Hal ini dapat kita kerucutkan sebagai buah tangan dari
pemikiran feminisme ini.

Pemikiran ini mengarahkan wanita untuk berpikir bahwa dirinya cukup dengan hidup
sendiri tanpa berkeluarga. Ataupun menghasilkan tingkat perceraian yang tinggi karena
perasaan mampu untuk hidup tanpa bantuan suami. Menyalahi perannya sebagai Caregiver,
pemikiran feminisme ini memberikan berbagai dampak dalam kehidupan berkeluarga.
Pemikiran yang saya pikir ‘egosentris’ ini hanya menyejahterakan individual tanpa
memikirkan efeknya bagi lingkungan. Kurangnya waktu yang ibu habiskan bersama anak,
akan mengurangi rasa kelekatan antara anak dan orangtua dan dapat berdampak besar bagi
masa depannya. Begitupun hubungan antara suami-istri, dengan status istri sebagai career
woman, maka akan terdapat kerenggangan antara keduanya, dan dapat menimbulkan masalah
kecurigaan, direndahkan, dan sebagainya.
2.6 Teori Gender

Gender bukanlah berdasarkan apa yang kita terlahir dengannya, bukan berdasarkan
apa yang kita miliki, tapi berdasarkan perilaku, berdasarkan apa yang kita tampilkan. (Butler
1990)

Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi
fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Seks atau jenis kelamin adalah perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender lebih berkonsentrasi kepada
aspek sosial, budaya, psikologi, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Gender ini digunakan
untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya.
Gender menjelaskan semua atribut, peran dan kegiatan yang terkait dengan “menjadi laki-
laki” atau “menjadi perempuan”.

Kajian gender lebih memperhatikan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau


feminitas (feminity) seseorang. Peran gender tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan
identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan
perempuan sebab terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari
sekedar perbedaan fisik biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam
masyarakat turut memberikan andil. Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender
dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan
ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan
budaya. Ketidakadilan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia bagi
perempuan atau laki-laki. Hak yang dimaksud adalah hak untuk menentukan diri sendiri
secara mandiri.

Jadi keadilan gender berarti suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan
laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Sedangkan
kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesampatan serta hak-haknya sebagai manusia. Sedangkan keadilan dan kesetaraan gender
yaitu terciptanya kesamaan kondisi dan status laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan dan menikmati hak-haknya sebagai manusia agar sama-sama berperan aktif
dalam pembangunan. Dengan kata lain, penilaian dari penghargaan yang sama oleh
masyarakat terhadap persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan serta pelbagai peran
mereka.

Dalam cakupannya, terdapat 2 pemikiran berupa Nature dan Nurture;

1. Nature

Karakteristik yang melekat pada individu sejak lahir.

Bersifat kodrati dan datangnya dari Tuhan.

2. Nurture

Karakteristik yang terbentuk akibat stereotype masyarakat.

Dapat berubah sesuai lingkungan hidup sedar kecil.


2.7 Teori Perkembangan

Setiap keluarga harus berkembang untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya.


Perkembangan yang dimaksud disini adalah ketika keluarga dapat melalui masalah dengan
baik tanpa hambatan berarti. Menurut Duvall, terdapat 8 tahapan perkembangan yang harus
dilalui keluarga (Eight-Stage Family Life Cycle), yaitu;

a) “Married couples (without children)” (Pasangan nikah dan belum memiliki anak).
b) “Childbearing Family (oldest child birth-30 month)” (Keluarga dengan seorang anak
pertama yang baru lahir).
c) “Families with preschool children (oldest child 2,5- 6 years)” (Keluarga dengan anak
pertama yang berusia prasekolah).
d) “Families with School Children (Oldest child 6-13 years )” (Keluarga dengan anak
yang telah masuk sekolah dasar).
e) “Families with teenagers (oldest child 13- 20 years)” (Keluarga dengan anak yang
telah remaja).
f) “Families launching young adults (first child gone to last child’s leaving home)”
(Keluarga dengan anak yang telah dewasa dan telah menikah).
g) “Middle Aged Parents (empty nest to retirement)” (Keluarga dengan orang tua yang
telah pensiun).
h) “Aging family members (retirement to death of both spouse)” (Keluarga dengan
orang tua yang telah lanjut usia).

Tugas Perkembangan Setiap Tahapan Keluarga

Terdapat perbedaan tugas perkembangan keluarga pada setiap tahap perkembangan keluarga:

a. Tahap “Married couples (without children)” (pasangan nikah dan belum memiliki
anak).
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
1. Membina hubungan intim dan memuaskan.
2. Membina hubungan dengan keluarga lain, teman dan kelompok sosial.
3. Mendiskusikan rencana memiliki anak. Keluarga baru ini merupakan anggota dari
tiga keluarga, yakni: keluarga suami, keluarga istri, dan keluarga sendiri.

b. Tahap Keluarga “Child bearing” (kelahiran anak pertama)


Tugas perkembangan keluarga yang penting pada tahap ini adalah:
1. Persiapan menjadi orang tua.
2. Adaptasi dengan perubahan anggota keluarga, peran, interaksi, hubungan seksual,
dan kegiatan.
3. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.

c. Tahap Keluarga dengan anak pra sekolah


Tugas perkembangan pada tahap ini ialah:
1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan tempat tinggal, privasi
dan rasa aman.
2. Membantu anak untuk bersosialisasi
3. Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak lain juga harus
terpenuhi.
4. Mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam keluarga maupun dengan
masyarakat.
5. Pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak.
6. Pembagian tanggung jawab anggota keluarga.
7. Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh kembang.

d. Keluarga dengan anak sekolah


Tugas perkembangan pada tahap ini yakni:
1. Membantu sosialisasi anak dengan tetangga, sekolah dan lingkungan.
2. Mempertahankan keintiman pasangan.
3. Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat, termasuk
kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan anggota keluarga.
Pada tahap ini anak perlu berpisah dengan orang tua, memberi kesempatan
pada anak untuk bersosialisasi dalam aktivitas baik di sekolah maupun di luar
sekolah.

e. Keluarga dengan anak remaja


Tugas perkembangan pada tahap ini yaitu:
1. Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab.
2. Mempertahankan hubungan yang intim dengan keluarga.
3. Mempertahankan komunikasi yang terbuka antara anak dan orang tua. Hindari
perdebatan, kecurigaan dan permusuhan.
4. Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang keluarga.
Tahap ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya
dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua
dan anaknya yang berusia remaja.

f. Tahap Keluarga dengan anak dewasa


Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
1. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar.
2. Mempertahankan keintiman pasangan.
3. Membantu orang tua memasuki masa tua.
4. Membantu anak untuk mandiri di masyarakat.
5. Penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.

g. Keluarga usia pertengahan


Tugas perkembangan pada usia perkawinan ini adalah:
1. Mempertahankan kesehatan.
2. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman sebaya dan anak-anak.
3. Meningkatkan keakraban pasangan.
Fokus utama dalam usia keluarga ini antara lain: mempertahankan kesehatan
pada pola hidup sehat, diet seimbang, olah raga rutin, menikmati hidup, pekerjaan dan
lain sebagainya.

h. Keluarga usia lanjut


Tugas perkembangan pada tahap usia perkawinan ini ialah:
1. Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan.
2. Adaptasi dengan perubahan kehilangan pasangan, teman, kekuatan fisik dan
pendapatan.
3. Mempertahankan keakraban suami/istri dan saling merawat.
4. Mempertahankan hubungan dengan anak dan sosial masyarakat.
5. Melakukan life review.
6. Mempertahankan penataan yang memuaskan merupakan tugas utama keluarga pada
tahap ini.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ilmu keluarga merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari berbagai ilmu. Karena itu,
terdapat banyak ahli dari berbagai latar belakang yang berbeda mngutarakan pendapatnya.
Diantara berbagai teori yang disampaikan, ada 7 perspektifyang paling terkenal yang dapat
membantu kita untuk memahami tentang keluarga dan bagaimana manajemen sumber daya
dalam keluarga.

Yang pertama adalah teori Struktural Fungsional, teori ini menjelaskan bahwa tiap-
tiap anggota keluarga harus menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan yang
semestinya.

Lalu ada juga teori Sosial Konflik, teori ini berbanding terbalik dengan teori
Struktural, teori ini berpendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai
macam dinamika dan perubahan seiring berjalannya waktu, sebab itu, perubahan atau
pergantian fungsi dan peran sangatlah maklum terjadi dalam keluarga.

Yang ketiga adalah teori Ekologi, di teori ekologi ini, dibahas bahwa anggota
keluarga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dalam kehidupannya. Selanjutnya adalah teori
Pertukaran Sosial. Di dalam teori ini dijelaskan bahwa setiap hubungan dalam keluarga
dipengaruhi oleh pemikiran cost and benefit. Bahwa semua koneksi dapat diakhiri apabila
salah satu pihak sudah merasa tidak diuntungkan lagi.

Yang kelima adalah teori Feminis. Teori ini adalah teori yang paling sensitif untuk
dibahas karena terdapat perbedaan pandangan besar dalam masyarakat. Di satu sisi teori ini
memberikan kebahagiaan dan kebebasan kepada wanita, namun di lain sisi, teori ini
memberikan dampak buruk bagi ketahanan keluarga.
Turunan dari teori feminis ada teori Gender. Di teori Gender ini dibahas tentang
ketidaksetaraan yang dianggap tidak adil oleh kedua belah pihak. Dan yang terakhir terdapat
teori Perkembangan atau teori Development. Duvall sebagai penggagasnya, menganggap
bahwa keluarga harus melewati 8 tahapan dalam keluarga, barulah dapat disebut keluarga
yang sejahtera.

3.2 Saran

Penulis menyadari masih banyaknya kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini,
sebab itu diharapkan saran dan kritik yang membangun. Dan dimohon kesediaannya untuk
memaklumi kesalahan kata, ataupun pendapat yang diutarakan penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. N., Putri, U. V., & Mulyati. (2018). Pengaruh Manajemen Waktu Ibu Bekerja
Terhadap Kecerdasan Emosional Anak. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan
Pendidikan, 38-43.

Anderson, K. L. (1997, August). Gender, Status, and Domestic Violence: An Integration of


Feminist and Family Violence Approaches. Journal of Marriage and Family, 59
No.3, 655-669.

Anindani, D. G., Hasanah, U., & Cholilawati. (2018). Hubungan Konformitas Peer Group
Dengan Perilaku Berpacaran Pada Remaja. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga
dan Pendidikan, 21 No.8, 58-67.

Butler, & Judith. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New
York and London: Routledge.

Cook, K. S., & Rice, E. (2003). Social Exchange Theory. Dalam S. U. Department of
Sociology, Handbook of Social Psychology (hal. 52-55). New York: Kluwer
Academic/Plenum Publisher.

Handayani, A., Setiawan, A., & Yulianti, P. D. (2018). Individual Adaptation Based on
Family Development Stage. Advances in Social Science, Education and Humanity
Research, 287, 185-189.

Hidayati, N. (2018). Teori Feminisme: Sejarah, Perkembangan dan Relevansinya dengan


Kajian Keislaman Kontemporer. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 14 No.1,
21-29.

Homans, G. C. (1961). Social Behavior: Its Elementary Forms. (Brace, Penyunt.) Oxford,
England: Harcourt.

Izzaty, R. E. (2008). Peran Aktivitas Pengasuhan pada Pembentukan Perilaku Anak sejak
Usia Dini (Kajian Psikologis berdasarkan Teori Sistem Ekologi). Jurnal Fakultas
Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta, 1-14.
Juju, J. (2009). HUBUNGAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN
DAMPAK DARI TAYANGAN TELEVISI PADA ANAK USIA SEKOLAH
(KELAS I, II, DAN III) DI SDN BAROS MANDIRI 2 CIMAHI TENGAH. Jurnal
Penelitian, 18-27.

Khuza, M. (2013). Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture.
Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 101-118.

Mahoney, J. L., & Ettekal, A. V. (2017). Ecological Systems Theory. Dalam J. L. Mahoney,
The SAGE Encyclopedia of Out-of-School Learning (hal. 239-241). Thousand Oaks:
SAGE Publications, Inc.

Maulida, S., Nurlaila, & Hasanah, U. (2018). Hubungan Kelekatan Orangtua dengan
Kemandirian Remaja. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan.

Nauly, M. (2002). Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik.
Bukittinggi: Universitas Sumatera Utara.

Puspiitawati, H. (2013). KONSEP, TEORI DAN ANALISIS GENDER . Bogor: PT IPB Press.

Salsabila, U. H. (2018). TEORI EKOLOGI BRONFENBRENNER SEBAGAI SEBUAH


PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM. Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, 7 No.1, 139-158.

Schwarz, F. (1996). You Can Trust the Communists (to be Communist). Long Beach,
Chantico: Publishing Co.

Syahri, M. (2014). Teori Pertukaran Sosial George C.Homans dan Peter M. Blau. Surabaya:
Universitas Airlangga Surabaya.

Tittenbrun, J. (2013). Ralph Dahrendorf's Conflict Theory of Social Differentiation and Elite
Theory. Innovative Issues and Approaches in Social Science, 6 No.3.

Tualeka, M. N. (2017). Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern. Jurnal Al-Hikmah, 32-
48.

Tyas, F. P., Herawati, T., & Sunarti, E. (2017). Tugas Perkembangan Keluarga dan Kepuasan
Pernikahan Pada Pasangan Menikah Usia Muda. Jurnal Ilmu Keluarga dan
Konsumen, 10 No.2, 83-94.
Wardani. (2016, Maret). MEMBEDAH TEORI SOSIOLOGI: Teori Pertukaran (Exchange
Theory) George Casper Homans. Jurnal Studia Insania, 4 No.1, 19-38.

Winkler, C. (2010). Feminist Sociological Theory. Dalam C. Crothers, HISTORICAL


DEVELOPMENTS AND THEORETICAL APPROACHES IN SOCIOLOGY (hal. 47-
69). Montana, USA: Eolss Publisher Co.Ltd.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai