Anda di halaman 1dari 25

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Alokasi Dana Desa (ADD)

Alokasi Dana Desa atau ADD adalah merupakan dana yang harus
dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari
bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima dari
Kabupaten yang penggunaannya 30% untuk belanja aparatur dan operasional
dan 70% untuk belanja publik dan pemberdayaan masyarakat (Sanusi dan
Djumlani, 2014: 78).

Menurut peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007


tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada pasal 18 bahwa Alokasi
Dana Desa berasal dari APBD Kabupaten/Kota yang bersumber dari bagian
Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10 % (sepuluh persen).

Dalam pengelolaan ADD dibentuk tim Kabupaten yang selanjutnya


disebut Tim Fasilitasi Kabupaten, tim pendamping yang selanjutnya disebut
Tim Pendamping Kecamatan sedangkan di desa disebut Tim Pengelola Desa.
Kemudian adapula Pengawas Kegiatan dan Penanggungjawab Operasional
(PJOK). Adapun tujuan pelaksanaan ADD adalah :

1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan


pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai
kewenangannya;
2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara
partisipatif sesuai dengan potensi desa;
3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan
kesempatan berusaha bagi masyarakat desa; serta
4. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.
Rumus pembagian Alokasi Dana Desa (ADD) menggunakan dasar
asas adil dan merata, yaitu:

1. Asas Merata adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa (ADD) yang
sama untuk di setiap Desa atau yang disebut dengan Alokasi Dana Desa
(ADD) minimal.
2. Asas Adil adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa (ADD) yang dibagi
secara proporsional untuk di setiap Desa berdasarkan Nilai Bobot Desa
yang dihitung dengan rumus dan variable tertentu atau Alokasi Dana Desa
(ADD) Proporsional (ADDP).

Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari Pengelolaan Keuangan Desa dalam APBDesa oleh
karena itu dalam Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa (ADD) harus
memenuhi Prinsip Pengelolaan Alokasi Dana Desa sebagai berikut:

1. Seluruh kegiatan yang didanai oleh Alokasi Dana Desa (ADD)


direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan prinsip
dari, oleh dan untuk masyarakat.
2. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif,
teknis dan hukum.
3. Alokasi Dana Desa (ADD) dilaksanakan dengan menggunakan prinsip
hemat, terarah dan terkendali.
4. Jenis kegiatan yang akan dibiayai melalui Alokasi Dana Desa (ADD)
sangat terbuka untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat berupa
pemenuhan kebutuhan dasar, penguatan kelembagaan desa dan kegiatan
lainnya yang dibutuhkan masyarakat desa yang diputuskan melalui
musyawarah desa.
5. Alokasi Dana Desa (ADD) harus dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDesa) dan proses penganggarannya mengikuti
mekanisme yang berlaku.
Berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Desa yang bersumber
pada APBN bahwa besaran Dana Desa setiap kabupaten/kota bupati/walikota
menetapkan besaran Dana Desa untuk setiap Desa di wilayahnya. Besaran
Dana Desa setiap Desa berdasarkan jumlah penduduk Desa, luas wilayah
Desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis. Jumlah
penduduk Desa, luas wilayah Desa, dan angka kemiskinan Desa dihitung
dengan bobot :

a. 30% (tiga puluh per seratus) untuk jumlah penduduk Desa.


b. 20% (dua puluh per seratus) untuk luas wilayah Desa.
c. 50% (lima puluh per seratus) untuk angka kemiskinan.

Pemerintah daerah mengharapkan kebijakan Alokasi Dana Desa ini


dapat mendukung pelaksanaan pembangunan partisipatif berbasis masyarakat
dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan sekaligus memelihara
kesinambungan pembangunan di tingkat desa. Dengan adanya Alokasi Dana
Desa, desa memiliki kepastian pendanaan sehingga pembangunan dapat terus
dilaksanakan tanpa harus terlalu lama menunggu datangnya dana bantuan dari
pemerintah pusat.

2.1.2 Konsep Akuntabilitas

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999


tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah merupakan
keinginan nyata pemerintah untuk melaksanakan good governance dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dalam suatu pemerintahan yang baik
salah satu hal yang disyaratkan adalah terselenggaranya good governance.
Inpres tersebut mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan negara untuk mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, dengan didasarkan perencanaan
stratejik yang ditetapkan oleh masing-masing instansi.
Pertanggungjawaban dimaksud berupa laporan yang disampaikan
kepada atasan masing-masing, lembaga-lembaga pengawasan dan penilai
akuntabilitas, dan akhirnya disampaikan kepada presiden selaku kepala
pemerintahan. Laporan tersebut menggambarkan kinerja instansi pemerintah
yang bersangkutan melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP).

PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Intansi


Pemerintah menyatakan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban untuk
menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Menurut Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan


Keuangan dan Pembangunan RI (2000:12), akuntabilitas adalah kewajiban
untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan seseorang/pimpinan suatu unit organisasi kepada pihak
yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban.
Akuntabilitas adalah hal yang penting untuk menjamin nilai-nilai seperti
efisiensi, efektifitas, reliabilitas dan prediktibilitas. Suatu akuntabilitas tidak
abstrak tapi kongkrit dan harus ditentukan oleh hukum melalui seperangkat
prosedur yang sangat spesifik mengenai masalah apa saja yang harus
dipertanggungjawabkan.

Sulistiyani (2004) menyatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas


adalah dua kata kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun
penyelenggaraan perusahaan yang baik, dinyatakan juga bahwa dalam
akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala
kegiatan terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada pihak yang
lebih tinggi. Akuntabilitas dapat dilaksanakan dengan memberikan akses
kepada semua pihak yang berkepentingan, bertanya atau menggugat
pertanggungjawaban para pengambil keputusan dan pelaksana baik ditingkat
program, daerah dan masyarakat. Dalam hal ini maka semua kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan Alokasi Dana Desa harus dapat diakses oleh
semua unsur yang berkepentingan terutama masyarakat di wilayahnya.

Mardiasmo (2002 : 104) mengemukakan bahwa secara garis besar


manajamen keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Evaluasi
terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pembiayaan pembangunan daerah
mempunyai implikasi yang sangat luas. Kedua komponen tersebut akan sangat
menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan
otonomi daerah.

Menurut (Mardiasmo, 2002 : 105), Ada tiga prinsip utama yang


mendasari pengelolaan keuangan daerah yaitu :

1. Prinsip transparansi atau keterbukaan. Transparansi di sini memberikan


arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk
mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan
masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat
banyak.
2. Prinsip akuntabilitas. Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban
publik yang berarti bahwa proses penganggaranmulai dari perencanaan,
penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak
hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi juga
berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun
pelaksanaan anggaran tersebut.
3. Prinsip value for money. Prinsip ini berarti diterapkannya tiga pokok
dalam proses penganggaran yaitu ekonomis, efisiensi, dan efektif.
Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam
jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang murah. Efisiensi berarti
bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut dapat menghasilkan ouput
yang maksimal (berdaya guna). Efektifitas berarti bahwa penggunaan
anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan
publik.

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan ini, Kaho (1997:125)


menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan
fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk
memberikan pelayanan dan pembanguna, dan keuangan inilah yang
merupakan salah satu dasar dari kriteria untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

Aspek lain dalam pengelolaan keuangan daerah adalah perubahan


paradigma pengelolaan keuangan itu sendiri, hal tersebut perlu dilakukan
untuk menghasilkan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan
kepentingan dan harapan dari masyarakat daerah setempat terhadap
pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, dan efektif. Paradigma
anggaran daerah yang diperlukan tersebut antara lain :

1. Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan public.


2. Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah.
3. Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas
secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
4. Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja untuk seluruh
jenis pengeluaran maupun pendapatan.
5. Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di
setiap organisasi yang terkait.
6. Anggaran daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para
pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan
memperhatikan prinsip value for money (Mardiasmo, 2002 : 106).

Keberhasilan akuntabilitas Alokasi Dana Desa (ADD) sangat


dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Namun
demikian di dalam pelaksanaannya sangat tergantung bagaimana pemerintah
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pengelolaan ADD. serta
responsif terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat, dan partisipasi
masyarakat dalam mendukung keberhasilan program. Dengan demikian
tingkat akuntabilitas pengelolaan ADD telah membuka ruang politis bagi
warga untuk menjadi aktif terlibat dalam penyelenggaraan pengawasan
pembangunan, sehingga berpotensi menciptakan proses pembangunan yang
transparan, akuntabel, responsive partisipatif.

Sebagaimana dicantumkan dalam Peraturan Bupati Nomor 11 Tahun


2008, bahwa pengelolaan ADD di tingkat desa dilaksanakan oleh Tim
Pelaksana Desa, dan Tim Pelaksana Kegiatan yang melaksanakan kegiatan
pembangunan atau pemeliharaan fisik, yang ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Desa. Adapun tugas Tim Pelaksana Desa adalah menyusun rencana
penggunaan ADD, menyusun jadwal rencana pencairan dana dan
mengadministrasikan keuangan serta pertanggungjawabannya, melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang dibiayai dari ADD, melakukan pemantauan dan
pengendalian terhadap kegiatan fisik yang dilaksanakan oleh Tim Pelaksana
Kegiatan, serta melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan ADD secara
periodik kepada Tim Fasilitasi Tingkat Kecamatan. Sedangkan Tim Pelaksana
Kegiatan bertugas menyusun Rencana Anggaran Biaya dan gambar
konstruksi, melaksanakan kegiatan pembangunan atau pemeliharaan fisik serta
mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatan kepada Tim Pelaksana Desa.

Selain itu, untuk mendukung keterbukaan dan penyampaian informasi


secara jelas kepada masyarakat, maka setiap pelaksanaan kegiatan fisik dari
ADD wajib dilengkapi dengan Papan Informasi Kegiatan yang dipasang di
lokasi kegiatan. Guna mewujudkan pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi
dan akuntabilitas maka diperlukan adanya kepatuhan pemerintahan desa
khususnya pengelola ADD untuk melaksanakan ADD sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2.1.2 Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pertanggungjawaban Alokasi Dana
Desa (ADD)

Perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan


ADD berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 113 Tahun 2014 pasal 20, 24, 38, dan 44 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa.

1. Perencanaan ADD
a. Sekretaris Desa menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang
APBDesa berdasarkan RKPDesa tahun berkenaan.
b. Sekretaris Desa menyampaikan rancangan Peraturan Desa tentang
APBDesa kepada Kepala Desa.
c. Rancangan peraturan Desa tentang APBDesa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Kepala Desa kepada Badan
Permusyawaratan Desa untuk dibahas dan disepakati bersama.
d. Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa disepakati bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat bulan Oktober
tahun berjalan.

2. Pelaksanaan ADD
a. Semua penerimaan dan pengeluaran desa dalam rangka pelaksanaan
kewenangan desa dilaksanakan melalui rekening kas desa.
b. Khusus bagi desa yang belum memiliki pelayanan perbankan di
wilayahnya maka pengaturannya ditetapkan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
c. Semua penerimaan dan pengeluaran desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah.
3. Pertanggungjawaban ADD
a. Kepala Desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi
pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota setiap akhir tahun
anggaran.
b. Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari pendapatan, belanja,
dan pembiayaan.
c. Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Desa.
d. Peraturan Desa tentang laporan pertanggungjawaban realisasi
pelaksanaan APBDesa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri :
1) Format Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan
APBDesa Tahun Anggaran berkenaan.
2) Format Laporan Kekayaan Milik Desa per 31 Desember Tahun
Anggaran berkenaan.
3) Format Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
masuk ke desa.

2.1.4 Pemerintah Desa

Menurut hukum UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dimaksud


dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama
lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan dalam
demokrasi penyelenggaraan pemerintah desa. Anggota BPD ialah wakil dari
penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota
BPD terdiri dari ketua RW, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama
atau tokoh masyarakat lainnya.

Reformasi dalam dekade terakhir telah membawa perubahan yang bisa


dirasakan hingga tingkat desa. Desentralisasi telah mengembangkan harapan
dan cita-cita bagi masyarakat desa. Selain memberikan kewenangan yang
lebih luas dalam perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan,
desentralisasi telah mengarahkan tata pemerintahan agar lebih transparan,
akuntabel, serta mampu menyediakan pelayanan publik yang lebih baik.

Desentralisasi telah merubah sistem pemerintahan yang sebelumnya


terpusat (sentralistik) menjadi terdesantralisasi ke daerah. Terjadi perubahan
drastis hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dan hubungan antar
sektor dalam pemerintahan. Perubahan ini ditegaskan dengan terbitnya
Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Menurut Turner dan Hulme (1997: 152), Desentralisasi diartikan


sebagai pelimahan kewenangan (transfer of authority) dalam menjalankan
berbagai urusan publik dari pemerintah pusat ke individu atau agensi lain
yang lebih dekat dalam pemberian layanan publik. Desentralisasi sendiri
mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada
msyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan,
dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar
daerah.
Sebagai suatu negara kesatuan yang menganut azas desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah pusat memberi
keleluasaan atau kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan pengembangan suatu daerah
untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada
campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Sebuah daerah otonom
memiliki hak dan kewajiban untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Visi otonomi dari
sudut pandang eknomi tidak lain adalah untuk membawa masyarakat ke
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu (Syaukani, et.al,
2009: 38). Konsekuensi desentralisasi dan otonomi desa adalah adanya
pelimpahan fungsi dan kewenangan pemerintah pusat ke desa.

2.1.5 Fungsi dan Kewenangan Pemerintah Desa

Menurut Richard dan Musgrave (1993: 6), pada prinsipnya fungsi


pemerintah dalam ekonomi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fungsi alokasi
(allocation Function), fungsi distribusi (distribution function), dan fungsi
stabilisasi (stabilization function).

Fungsi alokasi adalah fungsi pemerintah dalam menyediakan barang


publik atau pengadaan barang dan jasa yang gagal disediakan oleh mekanis
pasar. Fungsi distribusi adalah fungsi pemerintah dalam rangka
mendistribusikan pendapatan dan kesejahteraan kepada masyarakat secara
berkeadilan. Fungsi stabilisasi adalah fungsi pemerintah dalam rangka
mencapai atau mempertahankan kondisi tertentu, seperti terciptanya
kesempatan kerja yang tinggi, stabilnya tingkat harga pada level yang rasional,
atau mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Skala mikro
ketiga fungsi tersebut dapat dijalankan pemerintah desa dalam perekonomian
desa untuk itu pemerintah desa memerlukan berbagai kewenangan (Soemarso,
2007: 23).
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa secara formal
merupakan kewenangan yang ditegaskan dalam peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan PP No.72 Tahun 2005 tentang desa. Bab III Pasal 7
bahwa terdapat 4 (empat) hal yang menjadi kewenangan desa yaitu:

1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa.
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/ Kota. Untuk tugas ini harus disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.

2.1.6 Kelembagaan Desa

Lembaga merupakan suatu sistem atau kompleks nilai dan norma yang
berpusat pada pada tujuan tertentu. Pada umumnya lembaga- lembaga dibuat
bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut
memiliki sifat yang dinamis yakni bahwa lembaga- lembaga tersebut akan
mengalami perubahan sejalan dengan dengan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Lembaga sosial setidaknya terdiri atas tiga aspek :

1. Sistem tata kelola.


2. Hubungan yang berpusat pada aktivitas.
3. Himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu
kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.

Pemerintah sangat memerlukan lembaga di perdesaan yang handal


sebagai wadah/saluran pembangunan yang tepat dalam rangka mempercepat
pembangunan perdesaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Untuk itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang perlunya
pembentukan lembaga kemasyarakatan modern seperti BUMD, LKMD, PKK,
Kelompok tani, dan lain- lain, guna mendukung keberhasilan pembangunan di
desa.

Tugas dan fungsi lembaga kemasyarakatan dalam Peraturan Menteri


Dalam Negeri Nomor 5/2007 disebutkan untuk membantu Pemerintah Desa
dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa, dalam hal :

1. Menyusun rencana pembangunan secara partisipatif.


2. Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan
mengebangkan pembangunan secara partisipatif.
3. Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong-royong dan
swadaya masyarakat.
4. Menumbuh kembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka Lembaga Kemasyarakatan


secara ideal diharapkan dapat melaksanakan fungsi:

1. Penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan.


2. Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat
dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat.
4. Penyusunan rencana, pelaksana, pengendali, pelestarian dan
pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif.
5. Penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi serta swadaya
gotong-royong masyarakat.
6. Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
7. Pemberdayaan hak politik masyarakat.
2.1.7 Pembangunan Desa

Pembangunan masyarakat pedesaan diartikan sebagai aktivitas yang


dilakukan oleh masyarakat dimana mereka mengidentifikasikan kebutuhan
dan masalahnya bersama. Pembangunan daerah perdesaan diarahkan pada :

1) Untuk pembangunan desa yang bersangkutan dengan memanfaatkan


sumberdaya pembangunan yang dimiliki (SDA dan SDM)
2) Untuk meningkatkan keterkaitan pembangunan antara sektor
(Perdagangan, pertanian dan industri) antara desa, antar perdesaan dan
perkotaan,
3) Untuk memperkuat pembangunan nasional secara menyeluruh.
Pembangunan di desa merupakan model pembangunan partisipatif yaitu
suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara
musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup
masyarakat yang telah lama berakar budaya wilayah Indonesia.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Permendagri No 66 tahun


2007, karakteristik pembangunan partisipatif diantaranya direncanakan dengan
pemberdayaan dan partisipatif. Pemberdayaan, yaitu upaya untuk mewujudkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sedangkan partisipatif, yaitu keikutsertaan dan
keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
Pembangunan di desa menjadi tanggungjawab Kepala Desa. Kepala Desa
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum
Musrenbangdes, hasil musyawarah tersebut di ditetapkan dalam RKPD
(Rencana Kerja Pembangunan Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDesa.
Dalam pelaksanaan pembangunan Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa
dan dapat dibantu oleh lembaga kemasyarakatan di desa. Pembangunan Desa
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat
Desa dengan semangat gotong royong.
2.1.8 Pemberdayaan Masyarakat

Berdasarkan Permendesa nomor 5 Tahun 2015 tentang penetapan


prioritas penggunaan dana desa bahwa Pemberdayaan Masyarakat Desa
adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat
dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku,
kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan
kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.

Pemberdayaan merujuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan


secara sistematis dan mencerminkan pertahapan kegiatan atau upaya
mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan
berkemampuan menuju keberdayaan. Makna “memperoleh” daya, kekuatan
atau kemampuan merujuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan
atau meningkatkan daya, kekuatan, atau kemampuan sehingga memiliki
keberdayaan. Kata“memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi
sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh daya tahu
kemampuan. Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif
bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau
kekuatan adalah pihak- pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemammpuan,
misalnya pemerintah atau agen-agen pembanguan lainnya.

2.2 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan Alokasi


Dana Desa, diantaranya dilakukan oleh Lina Nasihatun Nafidah Mawar
Suryaningtyas (2015), yang meneliti tentang Akuntabilitas pengelolaan
alokasi dana desa dalam upaya meningkatkan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat, hasilnya menunjukan bahwa pemerintah desa
sudah melakukan perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban
pembangunan dan pemberdayaan desa Dapurkejambon sesuai dengan
peraturan yang ada, terbukti dengan adanya tahapan perencanaan kegiatan
dapat dilakukan persiapan berupa penyusunan Daftar Usulan Rencana
Kegiatan (DURK) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang kegiatannya
dibiayai oleh Alokasi Dana Desa. Namun demikian tujuan Alokasi Dana Desa
dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat Dapurkejambon masih dirasa
kurang optimal karena masyarakat kurang merespon dengan baik.

Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Siti Ainul Wida, Djoko
Supatmoko1, Taufik Kurrohman (2017), yang meneliti tentang Akuntabilitas
Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa – Desa Kecamatan
Rogojampi Kabupaten Banyuwangi, hasilnya menunjukan bahwa Sistem
Akuntabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pertanggungjawaban Alokasi Dana Desa di 9 Desa kecamatan Rogojampi
telah berlangsung sebesar 100 %, dan memperoleh nilai AA. Hal itu berarti
akuntabilitas pengelolaannya telah berlangsung dengan memuaskan, dan
sesuai dengan peraturan perundang– undangan yang berlaku dan merekap
setiap kegiatan dalam bentuk laporan yang telah ditentukan berdasarkan
Prosedur yang telah ditetapkan.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Justita Dura (2016), yang


meneliti tentang Pengaruh Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana
Desa, Kebijakan Desa, dan Kelembagaan Desa Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat, hasilnya menunjukan bahwa alokasi dana desa, kebijakan desa,
dan kelembagaan desa berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat. Terdapat juga pengaruh secara bersama-sama (simultan) antara
ketiga variable tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat.
TABEL
HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA

No Penelitian, tahun Judul Hasil Penelitian


1 Lina Nasihatun Akuntabilitas pemerintah desa sudah
Nafidah Mawar pengelolaan alokasi melakukan perencanaan,
Suryaningtyas,(2015) dana desa dalam upaya pelaksanaan,pertanggung
meningkatkan jawaban pembangunan dan
pembangunan dan pemberdayaan desa Dapur
pemberdayaan kejambon sesuai dengan
masyarakat peraturan yang ada.
2 Siti Ainul Wida, Akuntabilitas SistemAkuntabilitas dalam
DjokoSupatmoko1, Pengelolaan Alokasi perencanaan, pelaksanaan,
Taufik Kurrohman, Dana Desa (ADD) di pengawasan dan
(2017) Desa – Desa Kecamatan pertanggungjawaban
Rogojampi Kabupaten Alokasi Dana Desa di 9
Banyuwangi DesakecamatanRogojampi
telahberlangsung sebesar
100%,dan memperoleh
nilai AA.
3 Justita Dura, (2016) Pengaruh Akuntabilitas Alokasi dana desa,
Pengelolaan Keuangan kebijakan desa, dan
Alokasi Dana Desa, kelembagaan desa
Kebijakan Desa, dan berpengaruh secara
Kelembagaan Desa signifikan terhadap
Terhadap Kesejahteraan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat, Terdapat juga pengaruh
secara bersama-sama
(simultan) antara ketiga
variable tersebut terhadap
kesejahteraan masyarakat.
2.3 Kerangka Penelitian Teoritis (KPT)

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyatakan bahwa salah


satu sumber pendapatan desa diperoleh dari bagian dana perimbangan pusat
dan daerah yang diterima Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10 %
(sepuluh per seratus). Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa, yang
menyebutkan bahwa sumber keuangan desa salah satunya berasal dari bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten untuk desa paling sedikit 10 %. Yang dimaksud dengan ”bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” adalah terdiri dari dana
bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah
dikurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung
kepada Desa untuk dikelola oleh desa, dengan ketentuan 30 % (tigapuluh
perseratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD
dan 70 % (tujuhpuluh perseratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan
masyarakat.

Berdasarkan ketentuan tersebut Pemerintah Kabupaten Temanggung


Tahun 2008 mengatur pengalokasian ADD dengan Peraturan Bupati
Temanggung Temanggung Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Alokasi Dana Desa Kabupaten Temanggung Tahun 2008 yang
menetapkan bahwa pelaksanaan ADD wajib dilaporkan oleh Tim Pelaksana
Desa , dan pertanggungjawaban ADD terintegrasi dengan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDes sesuai dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Temanggung Nomor 8 Tahun 2007. Sedangkan pengawasan
pelaksanaan ADD secara internal dilaksanakan oleh Kepala Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, serta masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial
terhadap pelaksanaan ADD serta oleh aparat pengawas internal kabupaten
yang merupakan pengawasan umum terhadap penyelenggaraan pemerintah.
ADD adalah salah satu sumber pendapatan desa yang pengelolaannya
terintergrasi dalam APBDesa. Maka secara garis besar kerangka pemikiran
penelitian akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa-Desa dalam
wilayah Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten Temanggung didasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2007 tentang Desa, pada pasal 68 ayat
(1) huruf c, yang menyatakan bahwa yang menyatakan bahwa ADD adalah
salah satu sumber pendapatan desa, yang dimasukkan dalam APB Desa.

Disamping itu pada pasal 74 disebutkan juga bahwa Pedoman


penyusunan APB Desa, perubahan APB Desa, perhitungan APB Desa, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan Peraturan
Bupati/Walikota. Peraturan pemerintah tersebut ditindaklanjuti oleh
Pemerintah Kabupaten Temanggung dengan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun
2007 tentang Keuangan Desa, disebutkan pada pasal 25 ayat (1) Semua
penerimaan desa dilakukan melalui kas desa ; ayat (2) Semua pengeluaran
desa dilakukan melalui kas desa dengan didukung oleh bukti pengeluaran
yang sah ; ayat (3) Semua penerimaan dan pengeluaran pembiayaan desa
dilakukan melalui kas desa.

Secara spesifik untuk pengelolaan ADD Tahun 2008 diatur secara rinci
dalam Peraturan Bupati Temanggung Nomor 11 tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Alokasi Dana Desa Kabupaten Temanggung Tahun 2008.
Tahapan pengelolaan ADD diatur secara garis besar mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban.

2.3.1 Tahap Perencanaan

Mekanisme perencanaan ADD dimulai dari Kepala Desa selaku


penanggungjawab ADD mengadakan musyawarah desa untuk membahas
rencana penggunaan ADD, yang dihadiri oleh unsur pemerintah desa, Badan
Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan desa dan tokoh masyarakat,
hasil musyawarah tersebut dituangkan dalam Rancangan Penggunaan Dana
(RPD) yang merupakan salah satu bahan penyusunan APBDes.
2.3.2 Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam APBDes yang


pembiayaannya bersumber dari ADD sepenuhnya dilaksanakan oleh Tim
Pelaksana Desa, selanjutnya guna mendukung keterbukaan dan penyampaian
informasi secara jelas kepada masyarakat, maka pada setiap pelaksanaan
kegiatan fisik ADD wajib dilengkapi dengan Papan Informasi Kegiatan yang
dipasang di lokasi kegiatan.

2.3.3 Tahap Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban ADD terintegrasi dengan pertanggungjawaban


pelaksanaan APBDes sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Temanggung Nomor 8 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa. Namun demikian
Tim Pelaksana ADD wajib melaporkan pelaksanaan ADD yang berupa
Laporan Bulanan, yang mencakup perkembangan peelakasanaan dan
penyerapan dana, serta Laporan Kemajuan Fisik pada setiap tahapan pencairan
ADD yang merupakan gambaran kemajuan kegiatan fisik yang dilaksanakan.

Kerangka pemikiran akuntabilitas ADD di Desa MayongLor


Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara digambarkan sebagaimana berikut :

KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN


PP. 72 Tahun 2005 tentang Desa

Perda No. 8 Tahun 2007

Peraturan Bupati No.11 Tahun 2008


Alokasi Dana Desa

Pelaksanaan ADD di Tingkat Desa

Perencanaan ADD Pelaksanaan Pertanggungjawaban ADD


ADD
- Partisipatif - Transparansi - Akuntabilitas
- Transparansi - Akuntabilitas

Anda mungkin juga menyukai